oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Anak cengeng
mengesalkan memang. Lebih mengesalkan lagi jika dia gunakan kecengengannya itu
sebagai senjata untuk mendapatkan keinginannya.
Pernah suatu kali saya menjemput anak saya yang masih di
sekolah dasar melihat bagaimana kesalnya seorang ibu yang juga sedang menjemput
anaknya. Ia menunggu bubar sekolah anaknya sambil membawa anak satunya lagi
yang masih kecil, seusia anak TK. Anak yang masih kecil ini merengek-rengek
minta dibeliin mainan, tetapi Sang Ibu tidak memberikannya. Si Anak terus
merengek sambil memukul-mukul ibunya. Lama-lama anak itu menangis. Semakin lama
tangisan anak itu semakin keras hingga membuat ibu-ibu yang lain di sana
“menasihati” Sang Ibu. Mereka menasihati Sang Ibu agar memberikan apa yang
diminta anaknya itu karena anak itu memang menangis sambil terus memukul-mukul
meminta mainan yang harganya hanya dua ribu rupiah. Mungkin ibu-ibu yang
memberi nasihat itu kasihan kepada anak yang menangis itu. Mungkin mereka
berpikir kok Sang Ibu begitu sulitnya memberi anak mainan yang harganya sangat
murah itu, padahal Si Anak sudah menangis keras tanda sangat ingin dan ketika
capek menangis keras, berlanjut ke menangis tersedu-sedu, membuat orang iba.
Akhirnya, Sang Ibu mengalah. Ia memberikan apa yang dinginkan anaknya meskipun
sambil marah-marah.
Setelah membeli mainan itu, kebetulan Sang Ibu dan
anaknya itu berpindah tempat duduk ke samping saya. Asalnya, ia berada di
kerumunan ibu-ibu. Saya memang duduk agak jauh dari kerumunan itu, saya kan
laki-laki. Sungguh, saya tidak mengajak Sang Ibu mengobrol, tetapi ia Curhat
sendiri secara Curcor. Ia masih kesal
dengan kelakuan anaknya itu. Ia mulai Curhat ngomongin anaknya yang kecil itu.
Ia mengatakan bahwa anaknya memang ngeselin, menjengkelkan, setiap keinginannya
selalu ingin dipenuhi, padahal sudah sangat banyak keinginannya yang dipenuhi.
Dia selalu ingin lebih.
Ia bilang sambil menunjuk anaknya, “Menangis itu senjata
dia. Dia akan cengeng di depan orang banyak.”
Menurutnya, kalau tidak di depan orang banyak, ia tidak
akan berperilaku cengeng seperti itu.
“Dia tahu, saya bakalan malu sama ibu-ibu yang lain kalau
membiarkan dia menangis minta jajan. Dia tahu pasti saya memberikan apa yang
dia minta,” katanya.
Saya cuma tersenyum sambil bilang, “Ooh ….”
“Mereka itu nggak tahu kalau hari ini anak ini sudah
jajan lebih dari dua puluh ribu,” katanya lagi.
Yang dimaksud Sang Ibu “mereka” itu adalah kerumunan
ibu-ibu yang tadi menasihatinya agar memberi apa yang diinginkan anaknya karena
harganya murah.
Kita sudahi cerita Si Anak Cengeng dan Sang Ibu. Sekarang
mari berbicara tentang politisi cengeng yang punya senjata cengeng.
Politisi cengeng itu karena cengengnya, pasti akan
merengek-rengek minta posisi pada pihak yang dianggap memiliki posisi lebih
besar dengan harapan mendapatkan posisi juga. Jika keinginannya itu ditolak, ia
akan merengek lebih keras. Bahkan, akan memukul-mukul apa saja yang bisa dia
pukul, ia bisa pukul meja, gelas, genting, kaca, piring, tempat sampah, atau
kaleng bekas. Teriakan rengekannya akan lebih keras bernada mengancam. Mulailah
ia meminta perhatian orang-orang agar orang banyak iba padanya, agar
orang-orang terkelabui perasaannya. Ia tampil sebagai orang yang sedang
dianiaya, diperlakukan tidak adil, dizholimi oleh yang lebih berkuasa. Di
samping itu, ia pun menebar kisah-kisah yang tidak utuh sehingga membingungkan
orang banyak. Ia gunakan sumber daya yang dimilikinya untuk mengganggu ketenangan
orang banyak dengan Curhat-Curhat murahannya hingga orang-orang terpengaruh dan
energinya tersedot untuk memperhatikan dia.
Akibat dari perilakunya yang kacangan itu, orang-orang
mulai terpengaruhi. Kisah-kisah yang diumbarnya secara tidak utuh membuat
orang-orang terkelabui hingga menyalahkan orang yang lebih berkuasa daripada
dirinya. Mirip anak cengeng yang minta perhatian orang banyak agar ibunya
merasa malu hingga keinginannya terpenuhi.
Senjata politisi cengeng itu adalah kecengengannya. Ia
akan bersikap sama jika ada masalah yang tidak sesuai dengan keinginannya. Dia
bakalan cengeng lagi, lalu minta perhatian rakyat bahwa ia sedang diperlakukan
tidak adil.
Kalau senjata cengengnya itu berhasil membuat pihak yang
berkuasa menjadi lemah seperti Sang Ibu yang tadi ceriterakan, ia akan
menggunakan kecengengannya itu pada masa-masa berikutnya. Ia akan memukul-mukul
pihak yang lebih besar lewat media, konferensi pers, tim sukses, dan lain
sebagainya sambil menunjukkan bahwa dirinya sedang disakiti sehingga menimbulkan
iba orang lain sekaligus menumbuhkan kebencian kepada pihak yang lebih
berkuasa.
Politisi cengeng itu akan membawa senjata cengengnya
seumur hidupnya karena memang pada dasarnya dia orang yang cengeng. Lebih parah
lagi kalau sampai mengajak berkelahi secara fisik. Kontrol dirinya menjadi
sangat lemah ketika jalan beradab tidak bisa memenuhi keinginannya, jalan tidak
beradab pun menjadi pilihannya. Kayak anak kecil yang tidak bisa menyelesaikan
masalah dengan tertib, kemudian menggunakan fisik sebagai pemecahan masalah.
Anak kecil biasanya berkelahi sambil matanya berkaca-kaca karena cengeng. Kalau
anak kecil memang wajar cengeng. Mereka kan generasi yang harus dibina. Kalau
politisi cengeng, kan lucu, memalukan.
Siapa hayo yang cengeng?
Hidup Cengeng!
Teruskanlah kecengenganmu hingga negeri berantakan!
Halo cengeng?
Kalian lagi ngapain?
mmilih pmmpin2 slalu hnya brdasarkn ktrunan kningratan,bnyakny massa pndukung,suara,glar pndidikn yg tinggi,harta,golongan brpngarug,smua itu mnyayat mlukai rasa keadilan kmanusiaan mmakn korban.
ReplyDelete