Thursday, 13 November 2014

Politisi Jangan Cengeng! Kayak Anak Kecil!



oleh Tom Finaldin




Bandung, Putera Sang Surya


Sikap cengeng biasanya dimiliki anak-anak kecil. Akan tetapi, tidak semua anak kecil cengeng. Yang cengeng ya memang sudah pengennya aja cengeng. Jika sikap cengengnya itu tidak berubah, akibatnya dia akan menemukan banyak masalah yang tidak bisa ia dipecahkan dalam hidupnya kelak. Bahkan, ia bisa bikin masalah dengan orang lain yang akibatnya akan merugikan dirinya sendiri. Sudah menjadi rumus kehidupan bahwa seseorang itu akan menanggung akibat dari perilaku yang ditimbulkannya sendiri.


            Saya punya ceritera tentang anak cengeng yang sering menyusahkan teman-temannya, tetapi pada akhirnya dia sendiri yang rugi karena teman-temannya perlahan enggan bermain dengannya lagi, lalu meninggalkannya. Ceritera ini tentang saya sendiri ketika masih kecil dan sering bermain dengan teman-teman. Dulu, ketika Kota Bandung tidak sepadat hari ini, masih banyak tanah kosong, lapang yang bisa digunakan bermain-main. Pemukiman warga memang sangat banyak, tetapi masih banyak ruang yang bisa digunakan. Tanah-tanah kosong yang lapang dan pemukiman warga itulah yang menjadi ruang bermain kami. Seluruhnya menjadi arena bermain. Salah satu permainan yang kami lakukan adalah polisi-polisian. Cara dan aturannya sederhana saja. Kami membagi dua kelompok. Satu kelompok menjadi polisi, satu kelompok lagi menjadi penjahat. Tugas polisi adalah menangkap penjahat, sedangkan tugas penjahat adalah melarikan diri. Itu saja dan biasanya permainan berakhir ketika seluruh penjahat tertangkap. Polisi memang harus selalu menang dan penjahat harus selalu kalah, biasanya begitu dan tidak pernah  berubah. Tak ada yang dirugikan dalam permainan itu. Kami semuanya senang bisa berlari-lari, sembunyi, mencari-cari, mengatur strategi, bekerja sama, dan lain sebagainya. Kedua kelompok, baik polisi maupun penjahat punya strategi masing-masing.


            Pada suatu saat ketika kami akan memulai bermain polisi-polisian tiba-tiba salah seorang dari kami mulai belagu. Dia ingin jadi komandan polisi. Padahal, yang jadi komandan polisi biasanya dipilih yang tubuhnya agak besar, lebih cerdas, dan larinya lebih kencang. Begitu juga komandan penjahat dipilih berdasarkan hal yang sama. Aturan itu sudah baku dan tidak pernah ada masalah. Akan tetapi, saat itu keceriaan bermain mulai berubah karena anak yang belagu itu benar-benar ingin jadi komandan polisi, padahal kelompok sudah dibagi dua dan tiap orang punya tugas masing-masing. Awalnya, kami membujuk agar dia jadi polisi saja, nggak perlu jadi komandan polisi. Akan tetapi, dia ngotot dengan wajah cemberut masam. Semua menjadi agak kurang senang, tetapi permainan harus dilakukan. Akhirnya, kami memaksakan diri untuk bermain dengan cara biasa. Akan tetapi, Si Anak Cengeng itu benar-benar menunjukkan kecengengannya dengan cara dia memboikot permainan. Ia mengancam tidak akan ikut bermain, lalu berupaya  mempengaruhi yang lain untuk tidak ikutan main. Kami mulai kesal, tetapi kami ingin bermain. Akhirnya, kami bermain tanpa dia. Permainan pun berjalan, tetapi menjadi tidak asyik lagi karena Anak Cengeng itu berdiam diri dengan muka masam campur sedih sambil mempengaruhi yang lain untuk tidak melanjutkan permainan. Akhirnya, permainan sempat terhenti karena suasana hati tidak enak lagi.


            Kami tahu, anak itu memang belagu dari dulu dan sering mengadukan teman-teman yang lain kepada orang tuanya sendiri sambil menangis bahwa dia disakiti, dijauhi, dimusuhin sama yang lainnya. Akibatnya, pernah sebelum-sebelumnya di antara kami ada yang kena marah orangtuanya gara-gara diadukan tidak mengajaknya bermain dan memusuhinya, padahal kami, teman-temannya tidak pernah melakukan seperti yang diadukannya kepada orangtuanya. Kalaupun iya, itu disebabkan dia sendiri yang sering berperilaku aneh yang membuat suasana tidak menyenangkan lagi.


            Kami yang mayoritas dan punya hati lebih lapang mengalah di samping memang takut juga dimarahin sama orangtuanya yang kena hasutan anaknya sendiri. Kami membiarkan Si Anak Cengeng itu mendapatkan keinginannya untuk menjadi komandan polisi. Kami pun bermain lagi. Akan tetapi, Si Cengeng itu memang tidak kompeten jadi komandan. Selain tubuhnya lebih kecil daripada para penjahat, juga nggak ngerti jadi komandan sekaligus tidak paham lapangan karena ada tempat-tempat yang tidak diketahuinya dengan baik sebagai tempat persembunyian penjahat. Anehnya, dengan mengesalkannya, ia tampaknya menikmati perannya itu. Ia seperti senang memerintah orang ke sana ke mari hanya sekedar menunjukkan bahwa dia jadi komandan. Akibatnya, hasil permainan yang sudah turun-temurun itu berubah jadi aneh. Biasanya, polisi yang menang, penjahat kalah dan tertangkap semua. Akan tetapi, saat itu pertama kali dalam sejarah permainan, penjahat yang menang. Artinya, tidak semua penjahat dapat ditangkap. Saya adalah salah satu penjahatnya. Saya tidak bisa tertangkap. Saya juga merasa aneh. Sampai hampir maghrib, saya tidak tertangkap juga dan tidak bisa mereka temukan juga tempat persembunyian saya. Akan tetapi, karena adzan Maghrib sebentar lagi berkumandang, saya memperlihatkan diri, keluar dari persembunyian, dan mengingatkan semuanya untuk segera pulang ke rumah. Permainan pun diakhiri.


            Besok-besoknya semua sepakat untuk bermain di tempat yang agak jauh dari biasanya agar Si Cengeng tidak ikutan main. Permainan pun kembali dilakukan tanpa Si Cengeng.


            Nah, kalau ada politisi kelakuannya kayak Si Cengeng yang saya ceriterakan tadi, ada benarnya juga kata-kata Gus Dur (Alm), “Seperti Taman Kanak-kanak.”


            Politisi tidak boleh kayak anak kecil. Artinya, kalau tidak dapat meraih posisi yang diinginkannya, jangan lantas cemberut, bermuka masam campur kecewa sedih, mengancam nggak akan ikutan main, asyik bikin aksi sendiri sambil mempengaruhi orang lain, terus mengumbar-umbar ceritera untuk mempengaruhi emosi massa yang belum tentu benar, malah banyak bohongnya.


            Kelakuannya itu terus dilakukan sampai yang sadar, yang lebih dewasa, yang lebih mengerti mengalah, lalu memberikan apa yang dia inginkan. Politisi Cengeng namanya. Tandanya, kalau yang diinginkannya itu diberikan, dia gembira bukan main persis kayak anak kecil yang asalnya merengek minta balon, tetapi tidak dikasih oleh ibunya. Saat ibunya terpaksa membeli balon supaya rengekannya berhenti, wajah Si Cengeng itu berubah ceria penuh sukacita. Lalu, ia  memainkan balon itu sampai meledak, duarrr! Terus, nangis lagi nyalahin orang lain dan minta balon lagi. 


Dasar Cengeng!


Tapi, gak apa-apa namanya juga anak kecil. Kalau politisi cengeng, wah kebangetan deh.


Politisi itu tidak boleh cengeng. Politisi itu harus bekerja menggunakan aturan yang sudah disepakati. Kalau aturan sudah dilaksanakan, kemudian ia kalah dan tidak mendapatkan posisi, jangan lantas kayak Si Cengeng yang cemberut, lalu main sendirian. Terus, maksa-maksa agar aturannya diubah sesuai seleranya saat itu. Bahaya kalau seperti itu. Nanti-nanti, kalau seleranya berubah, aturannya juga harus diubah sesuai perubahan seleranya sambil memaksa dengan wajah masam dan tetap mempengaruhi orang lain untuk mendukung dirinya. 

Ngaco!


Politisi itu harus tegar. Dia harus yakin bahwa kalau memang dirinya ingin mengabdi kepada bangsa dan negara, posisi itu nomor dua. Nomor pertama adalah mengabdi pada bangsa dan negara di mana saja dia berada dan dalam posisi apa saja. Kalau dia merasa akan lebih baik mengabdi dengan menduduki posisi tertentu, perjuangkanlah. Kalau tidak berhasil, jangan cengeng, tetapi harus kembali pada niat awal, membangun bangsa pada posisi apa saja.


Cengeng Lu!






           

No comments:

Post a Comment