oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Sikap cengeng biasanya
dimiliki anak-anak kecil. Akan tetapi, tidak semua anak kecil cengeng. Yang
cengeng ya memang sudah pengennya aja cengeng. Jika sikap cengengnya itu tidak
berubah, akibatnya dia akan menemukan banyak masalah yang tidak bisa ia dipecahkan
dalam hidupnya kelak. Bahkan, ia bisa bikin masalah dengan orang lain yang
akibatnya akan merugikan dirinya sendiri. Sudah menjadi rumus kehidupan bahwa
seseorang itu akan menanggung akibat dari perilaku yang ditimbulkannya sendiri.
Saya punya ceritera tentang anak cengeng yang sering
menyusahkan teman-temannya, tetapi pada akhirnya dia sendiri yang rugi karena
teman-temannya perlahan enggan bermain dengannya lagi, lalu meninggalkannya.
Ceritera ini tentang saya sendiri ketika masih kecil dan sering bermain dengan
teman-teman. Dulu, ketika Kota Bandung tidak sepadat hari ini, masih banyak
tanah kosong, lapang yang bisa digunakan bermain-main. Pemukiman warga memang
sangat banyak, tetapi masih banyak ruang yang bisa digunakan. Tanah-tanah
kosong yang lapang dan pemukiman warga itulah yang menjadi ruang bermain kami.
Seluruhnya menjadi arena bermain. Salah satu permainan yang kami lakukan adalah
polisi-polisian. Cara dan aturannya
sederhana saja. Kami membagi dua kelompok. Satu kelompok menjadi polisi, satu
kelompok lagi menjadi penjahat. Tugas polisi adalah menangkap penjahat,
sedangkan tugas penjahat adalah melarikan diri. Itu saja dan biasanya permainan
berakhir ketika seluruh penjahat tertangkap. Polisi memang harus selalu menang
dan penjahat harus selalu kalah, biasanya begitu dan tidak pernah berubah. Tak ada yang dirugikan dalam
permainan itu. Kami semuanya senang bisa berlari-lari, sembunyi, mencari-cari,
mengatur strategi, bekerja sama, dan lain sebagainya. Kedua kelompok, baik
polisi maupun penjahat punya strategi masing-masing.
Pada suatu saat ketika kami akan memulai bermain polisi-polisian tiba-tiba salah seorang
dari kami mulai belagu. Dia ingin jadi komandan polisi. Padahal, yang jadi
komandan polisi biasanya dipilih yang tubuhnya agak besar, lebih cerdas, dan
larinya lebih kencang. Begitu juga komandan penjahat dipilih berdasarkan hal
yang sama. Aturan itu sudah baku dan tidak pernah ada masalah. Akan tetapi,
saat itu keceriaan bermain mulai berubah karena anak yang belagu itu
benar-benar ingin jadi komandan polisi, padahal kelompok sudah dibagi dua dan
tiap orang punya tugas masing-masing. Awalnya, kami membujuk agar dia jadi
polisi saja, nggak perlu jadi komandan polisi. Akan tetapi, dia ngotot dengan
wajah cemberut masam. Semua menjadi agak kurang senang, tetapi permainan harus
dilakukan. Akhirnya, kami memaksakan diri untuk bermain dengan cara biasa. Akan
tetapi, Si Anak Cengeng itu benar-benar menunjukkan kecengengannya dengan cara
dia memboikot permainan. Ia mengancam tidak akan ikut bermain, lalu
berupaya mempengaruhi yang lain untuk
tidak ikutan main. Kami mulai kesal, tetapi kami ingin bermain. Akhirnya, kami
bermain tanpa dia. Permainan pun berjalan, tetapi menjadi tidak asyik lagi
karena Anak Cengeng itu berdiam diri dengan muka masam campur sedih sambil mempengaruhi yang
lain untuk tidak melanjutkan permainan. Akhirnya, permainan sempat terhenti
karena suasana hati tidak enak lagi.
Kami tahu, anak itu memang belagu dari dulu dan sering
mengadukan teman-teman yang lain kepada orang tuanya sendiri sambil menangis bahwa dia
disakiti, dijauhi, dimusuhin sama yang lainnya. Akibatnya, pernah
sebelum-sebelumnya di antara kami ada yang kena marah orangtuanya gara-gara
diadukan tidak mengajaknya bermain dan memusuhinya, padahal kami,
teman-temannya tidak pernah melakukan seperti yang diadukannya kepada
orangtuanya. Kalaupun iya, itu disebabkan dia sendiri yang sering berperilaku
aneh yang membuat suasana tidak menyenangkan lagi.
Kami yang mayoritas dan punya hati lebih lapang mengalah
di samping memang takut juga dimarahin sama orangtuanya yang kena hasutan
anaknya sendiri. Kami membiarkan Si Anak Cengeng itu mendapatkan keinginannya untuk
menjadi komandan polisi. Kami pun bermain lagi. Akan tetapi, Si Cengeng itu
memang tidak kompeten jadi komandan. Selain tubuhnya lebih kecil daripada para
penjahat, juga nggak ngerti jadi komandan sekaligus tidak paham lapangan karena
ada tempat-tempat yang tidak diketahuinya dengan baik sebagai tempat persembunyian
penjahat. Anehnya, dengan mengesalkannya, ia tampaknya menikmati perannya itu.
Ia seperti senang memerintah orang ke sana ke mari hanya sekedar menunjukkan
bahwa dia jadi komandan. Akibatnya, hasil permainan yang sudah turun-temurun
itu berubah jadi aneh. Biasanya, polisi yang menang, penjahat kalah dan
tertangkap semua. Akan tetapi, saat itu pertama kali dalam sejarah permainan,
penjahat yang menang. Artinya, tidak semua penjahat dapat ditangkap. Saya
adalah salah satu penjahatnya. Saya tidak bisa tertangkap. Saya juga merasa
aneh. Sampai hampir maghrib, saya tidak tertangkap juga dan tidak bisa mereka
temukan juga tempat persembunyian saya. Akan tetapi, karena adzan Maghrib
sebentar lagi berkumandang, saya memperlihatkan diri, keluar dari
persembunyian, dan mengingatkan semuanya untuk segera pulang ke rumah.
Permainan pun diakhiri.
Besok-besoknya semua sepakat untuk bermain di tempat yang
agak jauh dari biasanya agar Si Cengeng tidak ikutan main. Permainan pun
kembali dilakukan tanpa Si Cengeng.
Nah, kalau ada politisi kelakuannya kayak Si Cengeng yang
saya ceriterakan tadi, ada benarnya juga kata-kata Gus Dur (Alm), “Seperti
Taman Kanak-kanak.”
Politisi tidak boleh kayak anak kecil. Artinya, kalau
tidak dapat meraih posisi yang diinginkannya, jangan lantas cemberut, bermuka
masam campur kecewa sedih, mengancam nggak akan ikutan main, asyik bikin aksi sendiri sambil
mempengaruhi orang lain, terus mengumbar-umbar ceritera untuk mempengaruhi
emosi massa yang belum tentu benar, malah banyak bohongnya.
Kelakuannya itu terus dilakukan sampai yang sadar, yang
lebih dewasa, yang lebih mengerti mengalah, lalu memberikan apa yang dia
inginkan. Politisi Cengeng namanya. Tandanya, kalau yang diinginkannya itu
diberikan, dia gembira bukan main persis kayak anak kecil yang asalnya merengek
minta balon, tetapi tidak dikasih oleh ibunya. Saat ibunya terpaksa membeli
balon supaya rengekannya berhenti, wajah Si Cengeng itu berubah ceria penuh
sukacita. Lalu, ia memainkan balon itu
sampai meledak, duarrr! Terus, nangis
lagi nyalahin orang lain dan minta balon lagi.
Dasar
Cengeng!
Tapi,
gak apa-apa namanya juga anak kecil. Kalau politisi cengeng, wah kebangetan
deh.
Politisi
itu tidak boleh cengeng. Politisi itu harus bekerja menggunakan aturan yang
sudah disepakati. Kalau aturan sudah dilaksanakan, kemudian ia kalah dan tidak
mendapatkan posisi, jangan lantas kayak Si Cengeng yang cemberut, lalu main
sendirian. Terus, maksa-maksa agar aturannya diubah sesuai seleranya saat itu. Bahaya kalau seperti itu. Nanti-nanti, kalau seleranya berubah, aturannya juga harus diubah sesuai perubahan seleranya sambil memaksa dengan wajah masam dan tetap mempengaruhi orang lain untuk mendukung dirinya.
Ngaco!
Politisi
itu harus tegar. Dia harus yakin bahwa kalau memang dirinya ingin mengabdi
kepada bangsa dan negara, posisi itu nomor dua. Nomor pertama adalah mengabdi
pada bangsa dan negara di mana saja dia berada dan dalam posisi apa saja. Kalau
dia merasa akan lebih baik mengabdi dengan menduduki posisi tertentu,
perjuangkanlah. Kalau tidak berhasil, jangan cengeng, tetapi harus kembali pada
niat awal, membangun bangsa pada posisi apa saja.
Cengeng
Lu!
No comments:
Post a Comment