Sunday, 9 August 2015

Kontradiksi Pendapat Jeffrey Winters


oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Nama Jeffrey Winters, profesor dari Northwestern University Amerika Serikat, sejak pasca-reformasi mendapat perhatian cukup besar dari media-media di Indonesia, baik cetak maupun elektronik di dunia maya dan dunia nyata. Pendapat-pendapatnya cukup mendapat perhatian dari berbagai kalangan karena berkaitan dengan kondisi terkini Negara Indonesia. Ketika gerakan reformasi berhasil menggulingkan pemerintahan Suharto dengan Orde Baru-nya, pendapat-pendapat Jeffrey Winters mengenai Indonesia bersenyawa dengan eforia kebebasan masyarakat Indonesia sehingga sering dianggap sebagai sumber kebenaran karena sama-sama menyerang pemerintahan Orde Baru yang korup dan represif. Akan tetapi, pada beberapa kalangan ilmuwan Indonesia, ia dianggap terlalu berani dan kurang ajar. Prof. Muladi pernah geram dengan pernyataan Jeffrey Winters yang sangat tendensius karena menuduh dengan keras Ginanjar Kartasasmita telah melakukan praktik-praktik yang dianggap korup dan manipulatif.

            Sebagaimana telah saya katakan bahwa pendapat ataupun berbagai komentar Jeffrey Winters mengenai Indonesia bersenyawa dengan kondisi terkini Negara Indonesia sehingga mendapat tempat di telinga dan pikiran rakyat Indonesia. Hal itu merupakan kekuatan daya jual seorang Jeffrey Winters pada khalayak ramai. Akan tetapi, itu juga merupakan kelemahan yang dimiliki Jeffrey Winters. Artinya, pendapat-pendapat atau komentar-komentarnya sama sekali bukan sesuatu yang baru. Ia hanya mengungkapkan berbagai kondisi terkini yang dirasakan bangsa Indonesia secara umum dan telah termuat dalam berbagai media massa. Misalnya, harga BBM naik, keharusan adanya people power, penegakan hukum yang kurang tegas, tersanderanya eksekutif oleh kepentingan politik tertentu, pemerintah yang tidak tegas, dan lain sebagainya. Yang disampaikannya memang benar terjadi, tetapi bukan sesuatu yang aneh. Tak perlu seorang bergelar profesor untuk menyampaikan komentar dan atau pendapat seperti itu, orang-orang biasa juga bisa kok mengatakan berbagai hal sebagaimana yang dikatakan Jeffrey Winters. Tukang becak, tukang cukur, kuli angkut di pasar atau pelabuhan, anak SMA, pengangguran yang sering baca koran atau nonton berita teve paham juga apa yang sering dilontarkan Jeffrey Winters. Biasa saja. Tak ada yang aneh.


Pendapat yang Kontradiktif

Pendapat dan komentar Jeffrey Winters selalu menarik karena memang benar terjadi dan kita semua tahu hal-hal yang disampaikannya, bahkan kita mengalaminya dalam keseharian hidup kita. Oleh sebab itu, berbagai tulisan atau wawancara dengannya sangat menarik untuk dibaca karena seolah-olah dia menguatkan berbagai hal yang kita alami sehari-hari. Karena menarik, saya tertarik membaca beberapa pendapatnya. Beberapa hal memang benar masuk akal, tetapi saya mencatat ada kontradiksi dari pendapat-pendapatnya itu. Hal itu ada dalam tulisan-tulisan tentang dia yang sempat saya baca. Mungkin ada banyak kontradiksi lain pada tulisan-tulisan lain yang belum sempat saya baca.

            Pendapat yang kontradiktif itu dimuat dalam dua tulisan yang berbeda judul, tetapi sama-sama dimuat dalam media mainstream Wall Street Journal. Berikut komentar kontradiktif tersebut.

            Pada sebuah tulisan ia mengatakan, “Kita di Indonesia belum bisa memilih sosok seperti Bung Karno yang berani mengajak Indonesia untuk bisa mandiri dalam segala bidang. Selama ini kita selalu memilih sosok presiden yang sangat suka di bawah pengaruh asing kapitalisme.”

            Akan tetapi, dalam judul lain ia mengatakan hal yang bertolak belakang, “Beberapa investor asing keberatan karena Jokowi terikat pada gagasan nasionalisme yang membuat sulit investasi asing masuk di Indonesia.”

            Pembaca sekalian yang budiman bisa melihat bukan bagaimana kontradiktifnya kedua pernyataan tersebut?

            Kalau belum bisa melihatnya, mari kita bahas satu per satu.


1. Pendapat Pertama

            Pernyataan pertamanya adalah, “Kita di Indonesia belum bisa memilih sosok seperti Bung Karno yang berani mengajak Indonesia untuk bisa mandiri dalam segala bidang. Selama ini kita selalu memilih sosok presiden yang sangat suka di bawah pengaruh asing kapitalisme.”

            Pernyataannya ini menunjukkan keyakinan yang penuh bahwa bangsa Indonesia bisa makmur gemah ripah loh jinawi jika memiliki semangat kemandirian dan terlepas dari pengaruh kapitalisme sebagaimana yang diajarkan oleh Pemimpin Besar Revolusi Republik Indonesia Ir. Soekarno. Memang dalam kenyataannya Soekarno sangat keras sekali mengajarkan hal ini agar dalam setiap aspek kehidupan, baik dalam hubungan di dalam negeri maupun dalam hubungan internasional, Indonesia selalu mendapatkan keuntungan yang sangat besar. Pengolahan sumber daya alam, sumber daya manusia, maupun pengelolaan ekonomi harus bertujuan untuk sebesar-besarnya kepentingan nasional, bukan untuk keuntungan negara lain. Soekarno lebih suka untuk tidak bergantung pada kapitalisme walaupun para negeri kapitalis itu memiliki modal besar yang mungkin saja dapat menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Soekarno sama sekali tidak silau dengan besarnya modal yang dimiliki para kapitalis. Ia lebih suka memberdayakan sumber daya manusia Indonesia untuk kemudian mengelola sumber daya alam Indonesia untuk kepentingan nasionalnya sendiri. Ia berkeyakinan bahwa sangat tidak perlu modal-modal dari kapitalis asing jika hanya membuat Indonesia takluk, bertekuk lutut, mengiba, dan kehilangan harga diri di percaturan politik internasional. Dari Soekarno-lah kita mengenal istilah Berdikari, ‘Berdiri di Atas Kaki Sendiri’.

            Semua orang masih mengingat bagaimana Soekarno menolak bantuan-bantuan kapitalis dengan kata-kata, “Go to Hell with Your Aids.”

            Pergi ke Neraka dengan Semua Bantuan-bantuan Kalian.

            Perhatikan pula kalimat kerasnya, “Amerika kita seterika, Inggris kita linggis.”

            Hal itu menunjukkan bahwa Soekarno sama sekali tidak ingin dipengaruhi ataupun berada di bawah kekuasaan negeri-negeri kapitalis. Ia ingin Indonesia bebas mandiri, Berdikari, dan berkembang sesuai dengan kemampuannya sendiri. Artinya, ia tidak peduli apakah investor atau pengusaha asing mau masuk atau tidak. Ia hanya peduli, baik jika investor atau pengusaha asing masuk atau tidak, yang untung harus Indonesia. Itulah semangat nasionalisme.

            Sejarah mencatat bagaimana hebatnya rasa nasionalisme Bung Karno dan kesiapan untuk prihatin sambil menunggu saat yang tepat untuk berkembang dengan menolak berbagai modal asing, pengusaha asing, dan tenaga-tenaga ahli asing, “Biarlah kekayaan alam Indonesia tersimpan dan terkubur di dalam perut Bumi Indonesia. Biarlah tersimpan di sana sampai suatu saat nanti para pemuda kita banyak yang menjadi ahli pertambangan sehingga mampu menambang sendiri dan mengolah sendiri.”

            Hal yang sangat mencengangkan adalah ketika Soekarno menerima rombongan pengusaha asing dari berbagai negara yang berminat untuk mengelola pertambangan di Indonesia.

            Soekarno menegaskan dirinya memang tertarik untuk mengembangkan pertambangan di Indonesia, tetapi meminta waktu, “Kalian boleh menambang di Indonesia, tetapi bukan saat ini. Sebaiknya, kalian pulang. Silakan kalian datang lagi nanti setelah presidennya bukan aku. Pada saat itu pemuda-pemuda kami sudah banyak yang ahli dalam pertambangan.”

            Terdapat banyak kalimat-kalimat atau ajaran-ajaran Soekarno yang mengandung rasa nasionalisme yang tinggi. Dari beberapa sikap dan ketegasan Bung Karno, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Soekarno sangat tidak menyandarkan diri pada pengusaha asing, modal asing, tenaga ahli asing, investor asing, bahkan sumbangan dari pihak asing kapitalis. Bung Karno menginginkan Indonesia mendidik putera-puteri Indonesia untuk menjadi pandai sehingga mampu mengelola berbagai sumber kekayaan Indonesia untuk kemakmuran bersama dalam rangka pengabdian pada nusa dan bangsa. Memang ada harga mahal yang harus dibayar untuk tetap hidup mandiri dan Berdikari, yaitu percepatan menuju kemakmuran bangsa akan berjalan tidak terlalu cepat karena menunggu para pemuda yang dikirim ke berbagai negara untuk menuntut ilmu agar dapat membangun bangsa dengan tenaganya sendiri, semangatnya sendiri, pikirannya sendiri, serta keyakinannya sendiri. Soekarno tahu hal itu dan yakin bahwa rakyat berada bersamanya. Itulah nasionalisme.

            Bung Karno tidak antikapitalis asing dalam pergaulan internasional. Ia hanya mempertahankan kedaulatan dan kekayaan alam Indonesia agar tidak terjarah oleh pihak-pihak kapitalis asing. Ia bersedia bekerja sama dengan siapa pun dan negeri apa pun dalam ideologi apa pun sepanjang Indonesia tidak dirugikan atau tidak hanya untung sedikit pada saat pihak kapitalis asing mendapatkan untung banyak. Ia ingin Indonesia yang mendapatkan untung besar dari setiap kerja sama yang dilakukan dengan pihak asing, bukan menggadaikan asset bangsa dan kehormatan bangsa. Itulah nasionalisme Soekarno.

            Pernyataan Jeffrey Winters bahwa sosok Soekarno adalah presiden terhebat sepanjang sejarah Indonesia dengan nasionalismenya yang tidak menghendaki pengaruh kapitalis asing menunjukkan bahwa ajaran nasionalisme Soekarno yang tidak terbuai pengusaha asing, modal asing, investor asing, dan tenaga ahli asing akan membuat Indonesia makmur sekaligus terhormat secara berdaulat di hadapan dunia internasional. Pernyataannya itu menegaskan bahwa Indonesia memang perlu mandiri dan membatasi, bahkan menolak pengusaha asing, modal asing, investor asing, dan tenaga ahli asing jika Indonesia hanya mendapatkan keuntungan yang sedikit dan atau dirugikan. Jeffrey Winters menandaskan bahwa Indonesia perlu seorang pemimpin dan atau presiden yang mampu menolak dan membatasi modal asing dan tenaga kerja asing jika Indonesia tidak mendapatkan keuntungan yang besar.

            Soekarno menolak atau menunda kerja sama dengan pihak asing bukan berarti menutup pintu untuk kerja sama, melainkan menunggu saat yang tepat ketika Indonesia sudah memiliki kemampuan yang cukup dalam negosiasi serta dalam proses ketika kerja sama berjalan. Soekarno tidak hanya ingin menjual sumber daya alam karena hanya akan untung sedikit. Ia ingin putera-puteri Indonesia yang telah terdidik ikut berperan aktif dalam mengambil berbagai keputusan strategis dalam jalinan kerja sama. Dengan demikian, Indonesia akan mendapatkan keuntungan berlipat yang bukan hanya menjual sumber daya alam, melainkan dari hal lainnya.

            Tentu saja sikap nasionalisme Soekarno akan membuat pihak asing berpikir keras dan kemungkinan terburuknya adalah mundur serta tidak terjalin kerja sama yang diinginkan sehingga tak ada keuntungan yang didapat oleh kedua pihak. Bagi Soekarno, itu bukanlah masalah. Daripada rugi atau untung hanya sedikit, lebih baik tidak sama sekali. Ia percaya bahwa suatu saat bangsanya sendiri mampu mengelola secara mandiri dan Berdikari.

            Pemimpin yang senasionalis Soekarno akan dengan mudah mengatakan, “Go to hell with your capital.”

            Pernyataan Jeffrey Winters jelas sekali bahwa nasionalisme yang diajarkan dan digaungkan Ir. Soekarno adalah obat mujarab untuk membuat Indonesia tumbuh dan berdiri kuat sebagai bangsa yang besar. Untuk menggapai kekuatan dan kebesaran itu, Indonesia harus memegang teguh nasionalisme dan mampu menanggung berbagai risiko dalam mempertahankan keyakinan.


2. Pendapat Kedua

Pendapat kedua yang dilontarkan Jeffrey Winters sangatlah bertolak belakang dengan pendapatnya yang pertama. Pada pernyataan ini justru ia mengkritik gagasan nasionalisme pemerintahan Jokowi. Ini adalah hal yang aneh. Pernyataan pertama ia memuja nasionalisme Soekarno, tetapi pernyataan kedua meledek gagasan nasionalisme pemerintahan Jokowi. Padahal, nasionalisme Jokowi itu belum seujung kuku nasionalismenya Soekarno.

            Menurut Jeffrey Winters, “Beberapa investor asing keberatan karena Jokowi terikat pada gagasan nasionalisme yang membuat sulit investasi asing masuk di Indonesia.”

            Bisa kita lihat bukan bahwa menurut Jeffrey Winters penyebab sulit majunya Indonesia disebabkan oleh investasi asing yang sulit masuk ke Indonesia?

                Sulitnya investasi asing masuk ke Indonesia disebabkan pemerintahan Jokowi yang terikat gagasan nasionalisme. Dalam kata lain pengusaha asing, modal asing, tenaga ahli asing, dan lain sebagainya dari asing tidak akan mendapatkan untung besar dari kerja sama yang dilakukan bersama Indonesia. Untung sih jelas akan didapatkan kapitalis, tetapi mungkin berada di bawah target kapitalis. Hal itu disebabkan keuntungan yang besar justru akan diraup oleh Indonesia. Keuntungan yang akan diraup Indonesia itu berasal dari gagasan nasionalisme.

                Sangat aneh bukan?

                Pada pernyataan pertama Jeffrey Winters sangat mengagungkan nasionalisme Soekarno yang bisa membuat Indonesia kuat dan terhormat. Akan tetapi, dalam pernyataan kedua ia mengkritik nasionalisme pemerintahan Jokowi. Padahal, nasionalisme Jokowi yang belum seberapa itu berasal dari ajaran-ajaran nasionalisme Soekarno. Bahkan, nasionalisme Indonesia itu berawal dari nasionalismenya Soekarno.

               Dari pendapat-pendapatnya yang kontradiktif tersebut timbul pertanyaan.

               Mengapa dia mengungkapkan pernyataan yang kontradiktif?

               Apa motivasinya?

               Untuk apa?

               Siapa yang untung dari pernyataan-pernyataan itu?

               Bagaimana kita sebagai bangsa Indonesia menyikapinya?

               Pernyataan-pernyataan Jeffrey Winters dapat dianalisis dari berbagai segi, misalnya, segi ekonomi, segi hubungan internasional, segi politik dalam dan luar negeri, segi pendidikan, bahkan segi pertahanan dan keamanan. Dalam tulisan kali ini mari kitat analisis dari segi hubungan internasional.

              Untuk lebih jelasnya, ada baiknya kita mengenal siapa Jeffrey Winters secara singkat. Profilnya dapat berguna untuk menumbuhkan berbagai hipotesis berkaitan dengan pernyataan-pernyataannya itu.


Jeffrey Winters

Jeffrey Winters memiliki ketertarikan dalam bidang oligarki dan elit; pertahanan kemakmuran, ketidaksederajatan, dan kekuasaan penting; stratifikasi kemakmuran ekstrim; negara-negara bekas jajahan. Bidang-bidang itu berada dalam ruang lingkup perbandingan politik dan politik Amerika. Wilayah yang menjadi pusat perhatiannya adalah Amerika Serikat dan Asia. Bidang yang sangat dikuasainya adalah analisis perbandingan sejarah dan perkembangan politik Amerika.

            Profesor Winters adalah spesialis dalam hal sejarah dan kasus-kasus kontemporer mengenai oligarki dan perputaran para elit yang mencakup pula situasi di Athena dan Romawi kuno, Eropa abad pertengahan, Amerika Serikat, serta Indonesia, Singapura, dan Filipina. Bukunya yang berjudul Oligarchy (Cambridge, 2011) meraih APSA’s 2012 Gregory M. Luebbert Award untuk buku terbaik dalam bidang perbandingan politik. Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan dipublikasikan pula di Cina dan Spanyol. Penelitiannya, karya ilmahnya, dan pengajarannya berfokus pada bidang Perbandingan dan Ekonomi Politik. Di samping itu, tema-tema yang penting dalam karyanya adalah termasuk pula Hubungan Modal-Negara, Mobilitas Modal dan Struktur Kekuasaan Investor, World Bank, Hak Azasi Manusia, Otoritarianisme, dan Transisi Demokrasi di Negara-negara Bekas Jajahan. Dia telah melakukan penelitian yang luas di wilayah Asia Timur Selatan.

            Bukunya yang berjudul Power in Motion: Capital Mobility and the Indonesian State (Cornell 1996) menggali struktur kekuasaan dalam lingkup siapa yang menyuplai dan menyembunyikan sumber investasi masyarakat. Dengan Jonathan Pincus, dia menjadi co-editor Reinventing the World Bank (Cornell 2002), sebuah kritik yang luas terhadap struktur dan operasional bank tersebut. Keduanya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan di Jakarta. Jeffrey juga sudah menerbitkan dua buku lainnya di Indonesia pada 1999, yaitu: Dosa-Dosa Politik Orde Baru (Political Sins of Suharto’s New Order) yang merupakan best seller di Indonesia pada tahun itu dan pada 2004 ia menerbitkan Orba Jatuh, Orba Bertahan? (Indonesia’s “New Order” Falls or Endures?). Dia adalah seorang dari tiga sarjana yang diundang pada 2014 oleh The American Society for Political and Legal Philosophy untuk menulis karya ilmiah yang bertopik “kemakmuran” untuk diterbitkan pada jurnal institusi tersebut, yaitu NOMOS.

            Pada 2006, 2008, 2012, dan 2013, Profesor Winters telah diberi Gulungan Piagam The Associated Student Government (ASG) Faculty sebagai pengajar unggulan (dipilih oleh para pelajar terpilih dan ternominasikan). Pada 2014 The Politics Department memberinya penghargaan The Farrell Teaching Prize.

            Profesor Winters adalah pendiri dan direktur program The Equality Development and Globalization Studies (EDGS) dan Direktur The Social Sciences Program at the Center for Public Policy Transformation (Transformasi). Keduanya berada di Jakarta.

            Buku-buku hasil karyanya, antara lain, Oligarchy (2011): Cambridge University Press; Reinventing the World Bank (2002), Co-edited with Jonathan Pincus: Cornell University Press, Dosa-Dosa Politik Orde Baru [Political Sins of Suharto’s New Order] (1999): Djambatan Press, Orba Jatuh, Orba Bertahan? [Indonesia’s “New Order” Falls or Endures?] (1999): Djambatan Press; Power in Motion: Capital Mobility and the Indonesian State (1996): Cornell University Press.
     
           Karya ilmiah terpilih lainnya, antara lain, Oligarchy (2015, forthcoming): Encyclopedia of Political Thought; Oligarchy and Democracy in Indonesia (2014); In Beyond Oligarchy: Wealth, Power, and Contemporary Indonesian Politics, edited by Michelle Ford and Thomas B. Pepinsky: Cornell University Press; Critical Dialogue on Oligarchy and Machiavellian Democracy (2012): Perspectives on Politics; Oligarchs and Oligarchy in Southeast Asia (2011); In The Routledge Handbook of Southeast Asian Politics, edited by Richard Robison: RoutledgeCurzon Press; Oligarchy in the United States? (2009), Co-authored with Benjamin PagePerspectives on Politics.

            Setelah lulus S-1 ilmu politik, Jeffrey direkrut menjadi dosen sastra Amerika di Fakultas Sastra, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Itulah awal perkenalannya dengan Indonesia. Jeffrey sempat menetap tiga tahun di Yogyakarta. Setelah itu, dia pulang ke Amerika untuk mengambil gelar master di Yale University, Connecticut. Begitu lulus, dia melanjutkan program doktornya di kampus yang sama.
            
              Setelah meraih gelar doktor pada 1991, Jeffrey tidak kembali ke UGM. Dia diterima mengajar ilmu politik di University of Michigan, Ann Arbor. Namun, sejak 1993 dia pindah dan resmi menjadi dosen ilmu politik di Northwestern University, Chicago. Meski begitu, sampai sekarang Jeffrey masih rutin 3-5 kali datang ke Indonesia dalam setahun untuk melakukan riset.


Analisis dalam Perspektif Hubungan Internasional

Kita telah melihat bahwa Jeffrey Winters adalah seorang akademisi yang memiliki reputasi cukup baik dan mendapat perhatian cukup besar pula. Setiap pernyataan atau pendapatnya bisa saja mempengaruhi alam pikiran orang banyak, bahkan menjadi inspirasi bagi penyelenggara negara untuk membuat suatu kebijakan. Oleh sebab itu, berbagai komentarnya layak untuk dicermati dan dianalisis sehingga dapat menjadi suatu pemahaman yang dapat pula menyumbangkan gagasan baru dalam dunia akademis dan menjadi catatan penting bagi masyarakat serta penyelenggara negara.

            Dalam tulisan kali ini penulis menganalisis dari perspektif hubungan internasional. Ada banyak pemahaman, teori, dan atau bahasan mengenai hubungan internasional. Akan tetapi, penulis membatasi hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan Jeffrey Winters dan pernyataan-pernyataannya.

            Menurut Coulumbis dan Wolfe (1981), fenomena-fenomena yang merupakan ruang lingkup hubungan internasional, di antaranya, perang, konferensi internasional, diplomasi, spionase, olimpiade, perdagangan, bantuan luar negeri, imigrasi, pariwisata, pembajakan, penyakit menular, dan revolusi kekerasan. Sebagai fenomena sosial, ruang lingkup hubungan internasional sangat jamak alias tidak berurusan dengan masalah-masalah politik saja. Namun, seiring perkembangan zaman, ruang lingkup hubungan internasional juga berkembang, yaitu menyangkut masalah-masalah lingkungan hidup, hak asasi manusia, alih teknologi, kebudayaan, kerja sama keamanan, dan kejahatan internasional.

            Hubungan internasional sebagai disiplin ilmu atau bidang studi meliputi berbagai spesialisasi, seperti, politik internasional, politik luar negeri, ekonomi internasional, ekonomi politik internasional, organisasi internasional, hukum internasional, komunikasi internasional, administrasi internasional, kriminologi internasional, sejarah diplomasi, studi wilayah, military science, manajemen internasional, serta kebudayaan antarbangsa.

            Menurut J. C. Johari (1960), hubungan internasional adalah suatu studi tentang interaksi yang berlangsung di antara negara-negara berdaulat. Di samping itu, juga studi tentang pelaku-pelaku nonnegara (non-state actors) yang perilakunya memiliki impak terhadap tugas-tugas negara bangsa.

           Robert Strausz-Hupe dan Stefan T. Possony (1960) berpendapat bahwa studi hubungan internasional mempelajari hubungan timbal balik antarnegara serta mengkaji tindakan anggota suatu masyarakat yang berhubungan dengan atau ditujukan kepada masyarakat negara lain.

          Trygue Mathisen, dalam bukunya Methodology in the Study of International Relations, seperti yang dikutip oleh Suwardi Wiriaatmaja (1971) mencatat bahwa salah satu istilah hubungan internasional mempunyai arti semua aspek internasional dari kehidupan sosial umat manusia dalam arti semua tingkah laku manusia yang terjadi atau berasal dari suatu negara dapat mempengaruhi tingkah laku manusia negara lain.

         Dengan memperhatikan pendapat para ahli di atas menjadi jelas bahwa kehadiran Jeffrey Winters di Indonesia, pendapat-pendapat Jeffrey Winters tentang Indonesia dan manusia Indonesia, serta interaksi lainnya yang dilakukan Jeffrey Winters di Indonesia dengan elemen-elemen bangsa Indonesia merupakan suatu peristiwa yang termasuk dalam koridor hubungan internasional. Hal itu disebabkan Jeffrey Winters berasal dari luar negeri, yaitu Amerika Serikat yang berinteraksi dengan elemen dalam negeri Indonesia. Hubungan internasional bukan hanya mempelajari hubungan sebuah bangsa dengan bangsa lain, melainkan juga hubungan yang terjadi antarpelaku nonnegara yang bisa institusi swasta ataupun perseorangan. Seseorang Indonesia yang melakukan chatting  di media sosial dengan seseorang asing pun sudah termasuk hubungan internasional.

          Hubungan internasional yang terjadi selalu berada dalam dua situasi yang bertolak belakang. Artinya, hubungan itu bisa positif atau negatif. Bisa damai atau perang. Contoh hubungan yang positif adalah pertukaran pelajar, alih teknologi, dagang yang saling menguntungkan, temu budaya, barter, dan komunikasi antarumat beragama. Contoh hubungan yang negatif adalah spionase, mata-mata, memicu huru-hara, penjajahan, perang, intimidasi, penipuan, propaganda, perampokan sumber daya alam, dan kerja sama manipulatif.

         Kehadiran atau keberadaan Jeffrey Winters di Indonesia termasuk kategori hubungan internasional dalam interaksi yang positif, bukan negatf. Setidak-tidaknya itulah yang tampak bisa diukur dari luar. Ia hadir di Indonesia sebagai dosen Sastra Amerika di Fakultas Sastra, UGM, Yogyakarta. Kemudian, menulis beberapa buku dan karya ilmiah yang dapat menambah wawasan serta bahan-bahan untuk dianalisis lebih jauh. Di samping itu, ia pun memberikan ceramah di hadapan peserta seminar yang bernilai akademis.
Kita tidak bisa menilai interaksi Jeffrey Winters di Indonesia sebagai hubungan internasional yang negatif karena memang tidak bisa diukur atau diraba, kecuali menduga dan dugaan itu pun cukup berbahaya jika tidak ada alasan atau tanda-tandanya. Misalnya, orang bisa menduga ia adalah spion atau mata-mata asing atau pemicu kekacauan berpikir, tetapi itu tidak bisa dibuktikan. Hal itu disebabkan yang namanya spionase atau pemicu kekacauan berpikir adalah kegiatan yang tidak tampak nyata dan selalu dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Kegiatan seperti itu bisa menjadi tampak nyata setelah terlihat hasil kerja negatifnya dan dia sendiri mengakuinya atau terdapat bukti akurat yang ditemukan mengenai upaya-upaya rahasianya. Contoh nyata adalah keberadaan Snouck Hurgronje di Aceh. Ia fasih berbahasa Arab dan mengerti ajaran Islam dengan cukup baik. Kemampuannya itu menjadikannya akrab dengan para pemimpin dan rakyat Aceh. Ia dianggap bukan merupakan ancaman bagi rakyat Aceh. Saat itu rakyat Aceh melihat hubungan internasional antara Snouck Hurgronje dengan Aceh adalah hubungan yang positif. Akan tetapi, Snouck Hurgronje sesungguhnya melakukan kerja-kerja rahasia untuk melemahkan Aceh agar dapat dikuasai oleh para kolonialis. Ia belajar bahasa Arab dan Islam di Arab untuk mendekati pemimpin dan rakyat Aceh sehingga bisa diterima dengan baik dan pendapat-pendapatnya tentang Islam dapat pula mempengaruhi rakyat Aceh. Bukti bahwa Snouck Hurgronje adalah kaki tangan tangan kolonialis dalam menghancurkan Aceh dapat diketahui setelah Aceh benar-benar dilemahkan oleh pernyataan-pernyataan Snouck Hurgronje.

           Kalimat Snouck Hurgronje yang terkenal melemahkan rakyat Aceh adalah, “Dunia ini ibarat anjing. Anjing itu najis. Oleh sebab itu, umat Islam jangan mendekati dunia.”
Kalimat itu merupakan kalimat yang mengacaukan pikiran orang-orang Aceh. Ketika Snouck dianggap memahami ajaran Islam, kata-katanya pun dipercaya sebagai bersumber dari ajaran Islam. Akibatnya, orang-orang Aceh tidak lagi mementingkan dunia dan lebih banyak diam di masjid-masjid sambil berdzikir dan melakukan ritual-ritual islami lainnya. Itulah yang kemudian membuat lemah energi orang Aceh dalam memelihara dan membela tanah airnya. Ketika rakyat Aceh mulai melemah berbarengan dengan dibukanya Terusan Suez di Mesir, penjajah merasa perlu untuk segera menguasai Aceh sepenuhnya. 

           Dilancarkanlah penyerangan-penyerangan secara fisik yang memang mengagetkan dan sulit untuk dibendung. Penjajah yang sudah mengumpulkan kekuatan beradu fisik dengan rakyat Aceh yang mulai melemah akibat kebanyakan diam di masjid dan mengabaikan duniawi. Penjajah pun yang berada dalam keadaan kuat berupaya menghancurkan Aceh seperti “dikejar waktu”. Hal itu disebabkan dengan dibukanya Terusan Suez dipandang dapat “mempercepat” hubungan antara Aceh dengan Mekah. Hubungan yang cepat itu dianggap berbahaya karena rakyat Aceh akan mengenal Islam lebih baik dan menyadari kekeliruan yang disampaikan Snouck Hurgronje.

           Demikianlah hubungan internasional antara Snouck Hurgronje dengan Aceh yang tampak dari luar positif, tetapi negatif dari dalam. Kesimpulannya adalah interaksi itu sesungguhnya bernilai negatif.

          Apakah Jeffrey Winters seperti Snouck Hurgronje?

         Kita tidak tahu. Bisa iya, bisa pula tidak.

         Dikatakan bahwa Jeffrey Winters bisa seperti Snouck Hurgronje, memang bisa. Hal itu disebabkan kita tidak pernah tahu dengan pasti keseluruhan hidup Jeffrey Winters. Kita tidak tahu dengan siapa saja dia berinteraksi, baik di dalam negeri Indonesia maupun di luar negeri. Dia bekerja untuk siapa saja dan dari mana dia mendapatkan uang, baik untuk hidupnya maupun untuk membiayai kegiatan-kegiatannya. Kita tidak pernah tahu.

         Bisa juga dia tidak seperti itu. Apa yang kita lihat dari luar tentang dia, itu juga yang sebenarnya dia lakukan, tidak ada yang lain. Kalau apa yang kita lihat tentang dia adalah benar tak ada yang lain, berarti dia jujur seperti jujurnya “aquarium”. Aquarium itu benda yang jujur. Apa yang kita lihat dari luar, itu juga sebenarnya yang ada di dalamnya. Jika yang kita lihat dari luar ikan arwana, benarlah jika kita tengok ke dalamnya adalah ikan arwana. Tidak mungkin kita lihat dari luar ikan arwana, ternyata di dalamnya adalah ikan koi. Sangat tidak mungkin. Akan tetapi, kalau apa yang kita lihat dari luar adalah kedok dari kenegatifan yang ada di dalam dirinya yang tidak kita lihat, berarti dia busuk seperti “pispot”.

        Tahu kan pispot?

        Pispot itu adalah wadah tempat buang air kencing, bahkan terkadang air besar. Biasanya digunakan oleh orang sakit yang tidak bisa ke WC atau orang tua yang sudah tidak bisa lagi pergi ke WC.

        Pispot itu barang yang manipulatif, penuh kebohongan. Apa yang kita lihat dari luar sama sekali berbeda dengan yang ada di dalamnya. Dari luar kita lihat pispot itu bersih, higienis, terkadang mengilap, bahkan sekarang ada yang dihiasi dengan gambar-gambar indah seperti bunga, ikan, atau buah-buahan yang berwarna-warni. Akan tetapi, itu sekedar gambar, kesan, dan kedok untuk menutupi kejijikan yang ada di dalamnya. Dari luar tampak bersih dan indah, tetapi di dalamnya adalah kotoran yang menjijikkan dan berbau busuk. Itulah pispot.

       Hubungan internasional pun demikian. Ada yang sejujur aquarium, tetapi ada pula yang sekotor, sebusuk, dan semenjijikan pispot.

       Apakah Jeffrey Winters sejujur aquarium?

      Apakah dia sekotor pispot?

      Kita tidak tahu.

      Yang jelas setiap hubungan internasional itu selalu didasari kepentingan mereka yang terlibat di dalam hubungan itu. Setiap pelaku yang melakukan hubungan internasional harus memahami benar kebutuhan dirinya yang akan diperjuangkan dalam hubungan itu. Apabila tidak memahami dengan benar kebutuhan dirinya, apalagi tidak memperjuangkannya, sama artinya dengan menyerahkan diri untuk dieksploitasi, ditipu, dan diperalat oleh orang lain. 

       Negara yang terlibat dalam hubungan internasional, harus dengan pasti memahami kebutuhan dalam negerinya dan memiliki kemampuan untuk memperjuangkannya di dalam hubungan yang terjadi. Apabila tidak paham kebutuhan dalam negerinya dan tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk memperjuangkan kebutuhannya, berarti negara itu siap untuk dijajah, dirampok, dibohongi, dimanipulasi, dikerjai, dikerdilkan, dan dipandang lemah oleh negara lain atau institusi asing lainnya.

        Dahlan Nasution (1991) menjelaskan, “Landasan politik luar negeri mana pun juga adalah misi untuk memaksimalkan sintesis nilainya…. Tindakan negara dalam politik luar negeri senantiasa bertujuan untuk mencapai sasaran yang dianggap sebagai kepentingan nasionalnya.”

        Penjelasan Dahlan tersebut menggambarkan bahwa politik luar negeri merupakan kebijakan suatu negara dalam hubungan internasional yang berdasarkan pada kepentingan dalam negerinya sendiri atau warganya. Suatu negara menjalankan politik luar negeri adalah untuk mempertahankan, meningkatkan taraf hidup, memberikan kenyamanan, serta menyalurkan keinginan rakyatnya sendiri.

        Dengan menggunakan penjelasan mengenai landasan politik luar negeri dari Dahlan Nasution, kita bisa memahami pula bahwa hubungan internasional yang dilakukan oleh aktor nonnegara seperti institusi maupun individu adalah berasal dari kebutuhan individu untuk diperjuangkan dalam hubungan yang terjadi. Sekarang mari kita lihat hubungan internasional yang terjadi antara Jeffrey Winters dengan pihak yang  ada di Indonesia. Sebatas yang penulis ketahui, Jeffrey Winters direkrut menjadi dosen Sastra Amerika di Fakultas Sastra, UGM, Yogyakarta, Indonesia. Dalam hubungan itu ada kepentingan atau keuntungan yang didapat kedua belah pihak. Jeffrey Winters mendapatkan gaji sebagai dosen, menambah koneksi, meningkatkan wawasan, dan mempertajam keilmuannya di Indonesia. Paling tidak, itu adalah keuntungan yang merupakan kebutuhan yang telah didapatnya. Pihak UGM pun memiliki keuntungan dengan adanya Jeffrey Winters, yaitu memiliki dosen Sastra Amerika yang merupakan akademisi sekaligus penduduk asli Amerika yang ilmunya ditransfer kepada para mahasiswa UGM, Yogyakarta, Indonesia. Dilihat dari hal tersebut, hubungan internasional yang terjadi bersifat positif, kedua pihak mendapatkan keuntungan yang bernilai positif. Tak ada sesuatu pun yang negatif.

           Seiring dengan berjalannya waktu, Jeffrey Winters tak lagi menjadi dosen di UGM, Indonesia, tetapi melanjutkan program doktornya sekaligus mengajar di University of Michigan, Ann Arbor. Namun, sejak 1993 dia pindah dan resmi menjadi dosen ilmu politik di Northwestern University, Chicago. Meski begitu, sampai sekarang Jeffrey masih rutin 3-5 kali datang ke Indonesia dalam setahun untuk melakukan riset. Dengan demikian, hubungan internasional antara Jeffrey Winters dengan pihak di Indonesia mulai berkurang. Meskipun demikian, dia masih mendapatkan keuntungan dari Indonesia secara langsung, yaitu mendapatkan bahan dan sumber penelitian yang dijadikannya disertasi. Akan tetapi, Indonesia tidak mendapatkan keuntungan secara langsung dari penelitian yang kemudian menjadi disertasinya itu. Artinya, Jeffrey Winters mendapatkan keuntungan yang lebih besar dibandingkan Indonesia dalam hal tersebut. Akan tetapi, hubungan internasional tersebut tidaklah bisa disebut negatif karena hubungan tersebut tidak menimbulkan kerugian pada salah satu pihak. Indonesia hanya mendapatkan keuntungan paling tidak dari biaya yang dibelanjakan Jeffrey Winters selama di Indonesia dan buku-buku hasil karya Jeffrey tentang Indonesia yang bisa menambah wawasan, pemahaman, bahkan menjadi salah satu bahan pertimbangan bagi bangsa Indonesia dan penyelenggara Negara Indonesia.

            Meskipun sudah tidak lagi mengajar di Indonesia, sebagaimana yang diakuinya,  sampai sekarang Jeffrey masih rutin 3-5 kali datang ke Indonesia dalam setahun untuk melakukan riset. Di samping itu, tentunya memberikan ceramah pada berbagai kalangan di Indonesia serta menyampaikan pendapat dan kritikannya pada media massa.

          Memang bukan menjadi urusan kita dan hanya Jeffrey Winters yang tahu dan paham benar maksud dan tujuannya melakukan riset di Indonesia serta menyampaikan berbagai komentarnya tentang Indonesia. Akan tetapi, kita pun tidak dilarang untuk tahu apa maksud dan tujuan dia melakukan riset dan menyampaikan pandangan-pandangannya tentang Indonesia serta keuntungan apa yang diperolehnya dari riset dan ungkapan-ungkapannya itu. Untuk dapat menganalisis dari sisi hubungan internasional, tentu harus bisa dipahami keuntungan-keuntungan dan kerugian-kerugian yang didapat pihak-pihak terlibat sebagai hasil dari interaksi internasional tersebut. Apalagi ada pernyataan Jeffrey Winters yang sangat kontradiktif sebagaimana yang dibahas dalam tulisan ini.

           Untuk memahami keuntungan-keuntungan apa saja yang didapat Jeffrey Winters dengan pasti dan jelas, tentu saja harus mewawancarai Jeffrey Winters secara khusus berikut orang-orang terdekatnya serta pihak-pihak yang kontra terhadap Jeffrey Winters agar didapat hasil yang berimbang. Akan tetapi, dalam tulisan ini penulis hanya menduga-duga berdasarkan berbagai tulisan tentang Jeffrey Winters di dunia maya. Kita dapat menduga bahwa Jeffrey Winters mendapat keuntungan dari Indonesia, di antaranya, menajamkan keilmuannya, mendapatkan materi dari penjualan buku-bukunya dan honor sebagai pembicara pada berbagai diskusi akademis, mendapatkan data-data aktual dan faktual, serta memasyhurkan namanya sebagai akademisi papan atas. Mungkin pula mendapatkan honor dari konsultasi-konsultasi yang diberikan berkaitan masalah-masalah politik dan ekonomi.

           Hanya itu?

           Mungkin ada banyak, tetapi baru itu yang dapat peneliti duga. Pembaca dapat menambahinya sendiri jika tahu.

           Mungkin ada yang bilang atau bahkan Jeffrey Winters sendiri menegaskan bahwa ia tidak menginginkan apa pun dari Indonesia. Dia hanya peduli dan cinta Indonesia.

          Maaf Saudara sekalian, kepedulian dan cinta itu agak sedikit munafik. Di dalam hubungan internasional, hampir tidak dikenal tujuan “peduli dan cinta” itu. Kalaupun ada karena memang dalam beberapa kasus benar-benar terjadi, dibalik “peduli dan cinta” itu tetap ada keuntungan atau kepentingan yang hendak dicapai. Misalnya, kita bangsa Indonesia sudah tidak aneh lagi jika memberikan bantuan uang, pikiran, makanan, tenaga, bahkan nyawa untuk Palestina, Bosnia, Afghanistan, dan Rohingya.

           Mengapa kita berkorban untuk mereka?

          Jawaban kita adalah karena kita peduli terhadap mereka dan mencintai mereka. Akan tetapi, dibalik kepedulian dan cinta kita terhadap mereka, ada yang ingin kita capai yang merupakan keuntungan dan kepentingan yang harus kita raih. Kita menginginkan hidup lebih baik, menghilangkan penjajahan dari muka Bumi, memusnahkan kebiadaban manusia atas manusia lainnya, hidup saling menghormati, dan tak ada yang diperbolehkan berbuat sewenang-wenang terhadap manusia. Bayangkan jika pembersihan etnis terhadap rakyat muslim Bosnia tidak dilawan, lalu para pembantai itu yang berkuasa. Kekejaman mereka bisa meluas dan mempengaruhi rasa aman kita. Bayangkan jika dulu Uni Soviet tidak diusir dari Afghanistan, kekuasaan komunis-atheis akan lebih luas dan pengaruhnya bisa masuk pula ke Indonesia. Bayangkan jika kekejian Israel terhadap Palestina, tidak ditahan atau tidak dibatasi bahkan tidak dilawan, Israel akan semakin angkuh dan pongah sehingga memiliki kekuatan yang lebih besar dalam mengacaukan dunia. Mereka kan punya sejarah yang tercatat sebagai pengacau dari zaman ke zaman. Kekuasaan mereka yang besar itu akan mempengaruhi pula Indonesia. Bayangkan pula jika kita tidak membantu Rohingya dan tidak meneriaki Myanmar, dunia akan menyaksikan pengusiran manusia yang dilegalkan oleh kekuasaan dan itu akan mempengaruhi hubungan antarnegara yang pada suatu saat akan kita rasakan bersama.

            Bukankah pembiaran terhadap kekejian manusia atas manusia lainnya pernah kita rasakan bersama pengaruhnya?

            Kolonialisme dan kejahatan penjajahan yang awalnya terjadi di wilayah lain ternyata harus pula dialami oleh Indonesia. Hal itu disebabkan kita tidak mempedulikan kejahatan itu karena terjadi di wilayah orang lain. Akibatnya, kekejian itu meluas dan Indonesia pun harus menderita sangat lama di bawah kaki penjajah asing.

           Bantuan kita terhadap negeri-negeri yang teraniaya dan perlawanan kita terhadap kejahatan manusia atas manusia lainnya pada dasarnya adalah melindungi diri kita sendiri agar tidak mengalami penderitaan yang sama. Kita ingin hidup lebih baik lagi, saling menghormati, bahkan saling membantu.

           Khusus bagi orang Islam Indonesia, keuntungan dari membantu Palestina, Bosnia, Afghanistan, dan Rohingya adalah lebih besar lagi, yaitu mempertahankan wibawa serta kemuliaan Islam dan kaum muslimin serta mendapatkan pahala dari Allah swt, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak.

         Itulah keuntungan-keuntungan yang ingin kita capai dibalik rasa peduli dan rasa cinta kita terhadap mereka yang sedang lebih menderita dibandingkan kita.

         Demikian pula jika Jeffrey Winters dan para pendukungnya mengatakan bahwa mereka tidak ingin apa-apa hanya “peduli dan cinta”, sesungguhnya ada yang ingin mereka capai dibalik rasa peduli dan cinta itu. Mereka yang lebih tahu, kita hanya bisa meraba dan menduganya.

         Lantas, apa yang didapat Indonesia dari Jeffrey Winters selain dari uang yang dibelanjakannya di Indonesia?

        Rakyat Indonesia memang memiliki keuntungan tidak langsung dari Jeffrey Winters, yaitu buku-buku dan ceramah-ceramahnya dapat memberikan wawasan dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, masyarakat Indonesia lebih memahami dirinya sendiri dan masalah yang sedang dihadapinya melalui kacamata Jeffrey Winters. Akan tetapi, manfaat dari ilmu yang dimilikinya akan jadi “menganggu” Indonesia jika ia mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang saling bertolak belakang. Sehebat apa pun pernyataannya, sepintar apa pun dia, jika mengeluarkan pernyataan yang kontradiktif, hasilnya akan kontraproduktif.

            Sebagaimana yang telah ditulis pada awal tulisan ini, dalam suatu pernyataan ia menyiratkan bahwa Indonesia harus memiliki presiden yang senasionalis Soekarno untuk membuat Indonesia lebih kuat, mandiri, dan terhormat. Akan tetapi, pada kali lain ia mengkritik nasionalisme pemerintahan Jokowi yang membuat sulit investor asing masuk ke Indonesia. Padahal, nasionalisme Jokowi itu belum seujung kuku nasionalisme Soekarno.

            Penulis mencoba memahami Jeffrey Winters dari kedua pernyataan yang kontradiktif itu. Pertama, Jeffrey Winters mungkin lupa bahwa nasionalisme Soekarno itu sangat keras dalam hal penolakan pengaruh asing kapitalis, termasuk investor asing yang bisa mengurangi kedaulatan Indonesia dalam berbagai hal, khususnya ekonomi. Kedua, Jeffrey mungkin tidak memahami dengan benar nasionalisme Soekarno dalam membangun dan mempertahankan kehormatan Indonesia. Ketiga, Jeffrey mungkin merupakan kepanjangan pemerintah Amerika Serikat dan atau investor-investor asing untuk meneliti Indonesia sehingga mendapatkan data-data agar AS dan para investor itu memiliki banyak data tentang Indonesia untuk dapat berbisnis di Indonesia dengan mendapatkan keuntungan yang besar. Di samping itu, ia pun mungkin berupaya membuka jalan dengan menggunakan dasar keilmuan yang dimilikinya agar Indonesia membuka pintu yang lebar bagi para pengusaha AS dan investor asing lainnya sehingga Indonesia tidak terlalu terikat pada gagasan nasionalisme.

            Jeffrey Winters mungkin lupa bahwa nasionalisme yang diajarkan Soekarno itu meliputi berbagai bidang. Ajaran-ajaran Soekarno sangat tidak membuka pintu sesempit apa pun yang bisa mengurangi harga diri bangsa Indonesia. Soekarno tidak akan mengemis untuk mendapatkan investasi dari pengusaha asing. Kalaupun perlu, dia akan meminjam untuk kemudian dibayar. Nasionalisme Soekarno tidak akan menerima investasi asing sekalipun menggiurkan jika investasi itu dibarengi syarat-syarat “aneh” yang harus dipenuhi Indonesia.

            Prof. Dr. H. Mohamad Surya, selaku anggota DPD RI mewakili Provinsi Jawa Barat, pernah berceritera kepada saya dalam suatu perjalanan ketika saya diminta mendampinginya dalam kunjungan kerjanya ke daerah-daerah, “Soekarno itu tegas bukan main. Amerika Serikat pernah menawarkan negaranya untuk membangun seluruh infrastruktur jalan yang diperlukan Indonesia di seluruh wilayah Indonesia. Akan tetapi, Amerika Serikat memberikan syarat bahwa seluas dua puluh meter di sepanjang kiri dan kanan jalan yang dibangun AS adalah milik pemerintah AS. Soekarno dengan tegas tanpa pikir panjang menolaknya.”

            Bayangkan kemudahan yang didapat Indonesia jika AS membangun infrastruktur jalan di seluruh Indonesia. Pemerintah Indonesia secara free mendapatkan infrastruktur jalan yang bisa membuka akses ke seluruh pelosok wilayah Indonesia dari Merauke sampai dengan Sabang yang sampai sekarang pemerintah Indonesia belum bisa melakukannya. Indonesia pun akan mengalami kemajuan ekonomi yang luar biasa, termasuk akses terhadap informasi, pendidikan, dan kesehatan yang akhirnya meningkatkan daya beli. Bagaimana cepatnya Indonesia akan makmur dengan kemudahan tersebut. Akan tetapi, Soekarno dengan cepat dan tegas menolaknya. Ia melihat bahaya yang timbul jika memberikan tanah meskipun hanya seluas dua puluh meter di kiri dan kanan jalan. Di samping sama dengan memberikan setetes kedaulatan kepada pihak asing, juga sama dengan mempersilakan AS untuk menguasai Indonesia secara ekonomi di tanah yang hanya dua puluh meter itu. Pemerintah dan pengusaha AS bisa mendirikan pusat-pusat ekonomi di sana, bahkan perkantoran. Ketika Indonesia baru merdeka serta belum memiliki banyak tenaga dan pemikir yang ahli dalam bidangnya, sama saja dengan tindakan bunuh diri jika memenuhi syarat-syarat yang diajukan AS. Soekarno bukan hanya seorang presiden bagi Indonesia, melainkan pula ayah bagi rakyat Indonesia. Soekarno memahami kelemahan bangsanya yang dianggapnya sebagai keluarganya. Oleh sebab itu, ia tidak membiarkan bangsanya yang masih lemah itu untuk bersaing dengan pihak asing yang telah lebih dulu maju dengan memberikan tanah seluas dua puluh meter itu. Ia tahu bangsanya akan kalah. Oleh sebab itu, ia mencegah kekalahan itu sejak dini.

            Jeffrey Winters mungkin tidak memahami dengan benar nasionalisme yang diajarkan Bung Karno. Soekarno tidak akan membiarkan kerja sama yang terjadi jika Indonesia untung sedikit, bahkan rugi, sementara negara lain mendapatkan untung besar. Oleh sebab itu, nasionalisme Soekarno sangat tegas dalam hal ini. Jika memahami dengan benar nasionalisme Bung Karno bukan sebatas retorika, Jeffrey tidak perlu mengkritik gagasan nasionalime Jokowi sekalipun akan mempersulit investasi asing masuk ke Indonesia. Hal itu disebabkan sulitnya investasi asing masuk ke Indonesia adalah suatu keharusan yang merupakan akibat dari gagasan nasionalisme. Dia mengatakan investasi asing sulit masuk ke Indonesia karena Jokowi terikat pada gagasan nasionalisme. “Sulit” itu masih membuka lebar pintu untuk masuk dengan syarat terjadi kesepahaman yang saling menguntungkan yang tidak mencederai nasionalisme Indonesia. Berbeda dengan Soekarno yang punya pikiran jauh ke depan. Nasionalisme Bung Karno bukan saja membuat sulit investasi asing masuk, melainkan menolak investasi untuk masuk jika dia melihat bahaya yang akan timbul dalam waktu dekat maupun puluhan atau ratusan tahun ke depan. Menolak investasi sama saja dengan “menutup pintu” yang artinya tak ada celah sempit pun untuk investasi bisa masuk.

            Dengan menolak investasi mungkin memang akan membuat kemajuan terhambat dalam arti memperpanjang waktu kemiskinan dan keterbelakangan. Akan tetapi, itu lebih baik dibandingkan dengan mengurangi harga diri dan kehormatan bangsa. Soekarno tahu bahwa rakyat Indonesia itu kuat bertahan dan sudah terbukti. Rakyat akan bersedia berkorban dalam keadaan hidup sangat sederhana jika itu jalan yang harus dilalui. Soekarno paham rakyatnya akan setia bersamanya karena meyakini bahwa pengorbanan itu dilakukan untuk mendapatkan keuntungan yang sangat besar pada akhirnya, yaitu kemajuan dan kemakmuran bangsa dalam kondisi bangsa kuat dan terhormat serta tetap berdaulat. Rakyat Indonesia sebenarnya akan mudah memahami situasi terburuk apa pun jika harus ditanggung bersama. Oleh sebab itu, ada pemeo “senasib sepenanggungan”. Hal yang paling tidak disukai rakyat Indonesia adalah ketidakadilan, ketidakmerataan, ketidakpastian, ketidakseimbangan, ketimpangan, dan hal lainnya yang mengandung nilai-nilai kecurangan serta kebohongan. Memang rakyat akan bergolak, kisruh, bahkan berseberangan dengan pemerintah jika rakyat tidak bisa mengerti mengapa harus ada yang berkorban sementara yang lain hidup dalam kemewahan.

            Jika rasa “senasib sepenangungan” itu tercipta dalam keadaan nyata, rakyat Indonesia selalu siap berdiri bersama dalam suasana “gotong royong” dalam menjawab seruan sebagaimana seruan Jenderal Sudirman, “Ibu Pertiwi telah memanggil, Ibu Pertiwi telah memanggil.”

            Bukan saja panggilan untuk bertempur secara fisik yang akan dijawab serempak oleh rakyat Indonesia, melainkan pula bertempur dalam hal ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya. Sepanjang dirinya paham dengan benar mengapa harus berada dalam kondisi itu, rakyat Indonesia tidak akan segan menjalaninya sepenuh hati. Akan tetapi, jika tidak memahaminya karena banyak hal yang membuatnya marah, panggilan itu sama sekali akan dilecehkannya dan itulah sesungguhnya yang membuat pemerintahan Indonesia berada dalam keadaan sulit dari zaman ke zaman.

           Kalau memahami dengan benar nasionalisme Bung Karno yang dikaguminya itu, Jeffrey Winters bukan hanya tidak akan mengkritik gagasan nasionalisme Jokowi, melainkan pula akan benar-benar menguraikan nasionalisme Bung Karno, terutama dalam bidang ekonomi yang dikuasainya sehingga Indonesia mendapatkan inspirasi untuk keluar dari berbagai kesulitan yang sedang dialaminya. Jeffrey bahkan mungkin bisa sampai memaparkannya hingga ke tingkat operasional-praktis sebagai pengejawantahan dari nasionalisme Bung Karno.

           Jika dapat memberikan solusi sampai ke tingkat praktis soal ekonomi, minimal memberikan inspirasi dan membantu pertumbuhan ekonomi berdasarkan nasionalisme Soekarno, Jeffrey Winters bisa “senasib dan sepenanggungan” dengan Douwes Dekker. Douwes Dekker adalah orang Belanda, negeri yang menjajah Indonesia paling lama dibandingkan penjajah lain dan yang paling banyak mengeruk keuntungan dari Indonesia. Akan tetapi,  Douwes Dekker berjuang bersama kaum nasionalis Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan. Hal yang paling tidak ia sukai adalah perilaku korup para demang yang berkolaborasi dengan pemerintah kolonial Belanda. Sering ia melaporkan berikut membawa bukti-bukti tindakan korupsi yang terjadi di Indonesia pada pemerintah Belanda. Akan tetapi, pemerintah Belanda tidak menanggapi laporan-laporan Douwes Dekker. Ia kesal bukan main karena jelas tindakan korupsi itu akan menimbulkan kesengsaraan yang sangat besar pada rakyat. Ia pun menjadi pejuang kemerdekaan Indonesia dengan terus memerangi tindakan korupsi. Ketika Indonesia merdeka, Soekarno mengangkat Douwes Dekker menjadi salah seorang menteri di dalam kabinetnya. Ia pun menjadi salah satu pahlawan Indonesia. Kini namanya diabadikan menjadi nama jalan di Indonesia, baik nama Belanda-nya, Jln. Douwes Dekker, maupun nama Indonesia-nya, Jln. Setiabudi yang berada di kawasan elit Kota Bandung. Ia dan keturunannya di Indonesia memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan orang Indonesia lainnya karena memang sudah menjadi orang Indonesia.

           Begitulah seharusnya jika ingin membantu Indonesia untuk menjadi lebih baik. Akan tetapi, kalau membuat pernyataan yang kontradiktif, jelas tidak bisa dipegang kata-katanya dan tidak pernah akan membantu, bahkan dianggap “mengganggu”.

           Kalau tidak lupa bahwa nasionalisme Soekarno tidak mudah dipengaruhi modal asing, Jeffrey Winters memang tidak memahami nasionalisme Indonesia dengan baik. Jika bukan itu yang menyebabkan Jeffrey Winters mengeluarkan pernyataan yang kontradiktif, kemungkinan dia berbicara dan bertindak di Indonesia adalah mewakili dirinya sendiri atau merupakan kepanjangan tangan pemerintah Amerika Serikat dan pengusaha asing yang ingin berbisnis di Indonesia dengan target mendapatkan keuntungan yang tinggi. Ia berupaya mencari data terbaru di Indonesia sekaligus mempengaruhi Indonesia dengan disipilin ilmunya agar pemerintah Indonesia tidak terikat pada gagasan nasionalisme sehingga memudahkan jalan bagi modal asing untuk masuk dan mendapatkan untung besar.

           Jika itu yang dilakukannya, Jeffrey Winters mirip dengan Snouck Hurgronje yang mempengaruhi rakyat Aceh dengan ajaran yang mirip Islam. Bedanya Snouck Hurgronje menginginkan Indonesia dikuasai penjajah dalam masa imperialisme kuno. Adapun Jeffrey Winters mempengaruhi secara akademis dengan ilmu pengetahuan yang pernyataannya seolah-olah ingin membuat Indonesia tambah maju dengan mengkritik nasionalisme Indonesia saat ini. Padahal,  tujuannya adalah menguasai Indonesia dalam masa neokolonialisme-imperialisme.

          Ada keuntungan yang didapat Jeffrey Winters atas upayanya tersebut?

         Jelas ada.

         Untuk Indonesia, apa untungnya?

         Indonesia hanya terpengaruhi yang jika tidak waspada, bisa jatuh dalam cengkeraman nekolim atau neolib.


Sikap Kita

Sebagai bangsa Indonesia yang terus-menerus memperjuangkan cita-cita para pendiri bangsa yang juga cita-cita kita bersama, kita harus tetap berpegang teguh pada gagasan nasionalisme bangsa dan dasar negara kita, Pancasila. Dalam berpegang teguh tersebut tentu saja ada godaan dan cobaan yang harus dilewati. Kita tidak boleh jatuh dalam godaan tersebut yang hanya akan membuat makmur segelintir orang, sementara yang lainnya terus berada dalam penderitaan. Gotong royong adalah senjata utama kita. Kita pun tidak boleh menyerah ketika mendapatkan banyak cobaan karena sesungguhnya cobaan itu merupakan masa penguatan diri untuk mencapai keberhasilan. Kritikan-kritikan harus terus kita sampaikan dengan cara beradab sebagai mana orang timur agar penguasa pemerintahan pun dengan beradab pula mendengar dan menangkap aspirasi rakyat untuk kemudian dituangkan dalam lembaran negara sehingga menjadi program yang harus diperjuangkan bersama. Kita pun tidak boleh lelah untuk memerangi ketidakadilan dan ketimpangan yang terjadi karena hal itu mengkhianati nasionalisme dan Pancasila.

            Pada saat ini kita harus semakin waspada karena setiap diri dari kita secara individu sudah bukan lagi sebatas anggota sebuah keluarga, warga suatu RT, RW, kampung, desa, kelurahan, kabupaten, kota, provinsi, bahkan Negara Indonesia, kita sudah menjadi warga penduduk dunia yang interaksi dengan dunia luar semakin terbuka dan semakin mudah dilakukan. Kita harus waspada karena setiap interaksi internasional yang terjadi, baik dilakukan oleh sebuah pemerintahan, institusi, ataupun individu adalah didasari oleh kepentingannya masing-masing, bukan untuk kepentingan orang lain. Pihak lain menjalin hubungan dengan kita disebabkan mereka menginginkan sesuatu dari diri kita.

           Oleh sebab itu, kita harus pandai berhitung jika terjadi interaksi internasional, apa yang kita dapatkan dari hubungan tersebut?

          Untungkah kita?

          Rugikah kita?

         Seberapa besar keuntungan yang kita raih dan berapa banyak orang lain mendapatkan keuntungan dari kita?

         Semua itu harus dihitung agar kita tidak rugi dan tidak tertipu seperti pada masa lalu, terutama dalam masa-masa penjajahan fisik. Bukan hanya terhadap Jeffrey Winters kita harus waspada, terhadap orang-orang lain yang berbeda negara pun kewaspadaan itu harus dipertahankan.

       Sebagai orang Islam, kita harus terus berpegang teguh pada Al Quran dan Sunnah Rasul. Allah swt dalam Al Quran mengajarkan bahwa jika suatu kaum cenderung berperilaku damai kepadamu, maka kamu pun harus berlaku damai terhadap mereka. Jika orang lain berperilaku damai terhadap kita, tetapi kita berlaku kasar, bahkan memerangi mereka, kita termasuk orang berlebihan dan zalim. Itu adalah perbuatan dosa. Akan tetapi, jika suatu kaum datang untuk memerangimu, tidak ada dosa bagimu untuk balik memerangi mereka. Meskipun demikian, pemberian maaf dan perdamaian adalah lebih Allah swt sukai daripada perseteruan, kekerasan, dan perang.

        Sebagai orang Indonesia, kita harus terus berpegang pada Proklamasi, Pembukaan UUD 1945, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, dan Sumpah Pemuda. Kita harus memerangi setiap bentuk penjajahan di atas muka Bumi, baik penjajahan fisik maupun penjajahan nonfisik dalam bentuknya yang terhalus sekalipun, seperti, neolib dan nekolim. Lebih jauh dari itu, kita harus menunjukkan pada dunia bahwa kita benar-benar “membenci” penguasaan, penipuan, penindasan, dan perampokan manusia atas manusia lainnya karena hal itu bertentangan dengan prinsip-prinsip kemerdekaan, kemanusiaan, dan perdamaian yang kita anut.

        Dengan siapa pun kita berinteraksi, kita harus hadir sebagai orang Indonesia yang memiliki jati diri Indonesia. Kita harus berbangga dengan itu karena itu adalah anugerah terindah yang diberikan Allah swt kepada kita.

*******