Thursday, 30 May 2024

Nggak Masalah Ngaku Cucu Nabi atau Anak Malaikat Sekalipun

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Saya pikir sudah selesai urusan “cucu Nabi” ini, tetapi akhir-akhir ini kembali menyeruak. Sebetulnya, tidak masalah mengaku-aku sebagai cucu nabi, anak malaikat, atau ngaku-ngaku apa pun. Kalau hanya mengaku-aku, biarkan saja. Namanya juga mengaku-aku.

            Saya juga sering mengaku-aku sebagai keturunan Pangeran Diponegoro, iya kan?

            Tidak ada yang membenci dan marah sama saya gara-gara mengaku-aku itu. Biasa saja. Leluhur saya itu ada yang bernama Minggon, ada juga yang nama belakangnya Kolopaking, nyambung ke Solo.

            Jokowi itu orang Solo. Jangan-jangan leluhur saya dengan leluhur Jokowi itu ... ah, jangan deh.

            Kalau hanya mengaku-aku, biarin aja. Kalem saja. Kalaupun mereka menguatkan pengakuannya dengan dongeng-dongeng, senyumin aja.

            Kan nggak lucu, ada yang mengaku bisa membuat Malaikat Munkar dan Nakir tidak jadi bertanya kepada Si Mayit karena Si Mayit sepanjang hidupnya suka memberikan kacang kulit setiap sore kepada salah seorang yang disebut ulama dan mengaku-aku cucu Nabi. Ada lho ceritera itu.

            Senyumin aja.

            Hal yang menjadi masalah itu adalah setelah mengaku-aku cucu Nabi, minta dihormati, minta dimuliakan, ingin dipercaya sebagai orang paling soleh, memaksa orang untuk mengikuti kemauannya, memaki-maki para kiyai, menghina para ustadz, menghujat orang lain sebagai kafir, zalim, munafik, fasik, mengintimidasi orang-orang yang tidak mempercayai mereka dengan menggunakan kekerasan dan premanisme, serta sejumlah hal buruk lainnya yang tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad saw yang mereka klaim sebagai “kakeknya”. Itu yang menjadi masalah.

            Kalau sudah mengusik orang lain, itu bakal menjadi masalah. Nah, orang-orang yang sering mengaku-aku cucu Nabi itu kerap membuat orang lain kesal dan marah. Itu masalah.

            Kalau cuma ngaku-ngaku, itu urusan mereka sendiri. Kalau sudah membuat tidak nyaman orang lain, akan menjadi urusan orang-orang yang merasa terganggu itu.

            Orang Israel mengaku-aku sebagai “umat pilihan Tuhan”, nggak masalah. Hal yang membuat masalah adalah mereka mengklaim tanah Palestina milik mereka dan melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap warga Palestina. Oleh sebab itu, orang-orang Israel selalu berperang dan tidak pernah merasa aman hingga kini.

            Orang Jerman mengaku-aku sebagai “keturunan Dewa Aria”, ras paling utama di muka Bumi, nggak masalah. Hal yang  menjadi masalah adalah mereka memerangi seluruh umat manusia dan ingin menguasainya hingga tunduk di hadapan mereka. Akhirnya, mereka runtuh dipermalukan hingga saat ini tak ada yang percaya lagi terhadap keunggulan mereka.

            Orang Jepang mengaku-aku sebagai “keturunan Dewa Matahari”, nggak masalah. Hal yang menjadi masalah adalah mereka ingin menguasai Asia, termasuk melakukan penjajahan yang sangat kejam kepada Indonesia. Kini mereka terusir dari Indonesia, kalah perang, dibom atom, dan harus merendahkan diri untuk bisa bekerja sama dengan bangsa-bangsa lain, termasuk terhadap Indonesia.

            Begitulah kisah orang yang mengaku-aku sebagai keturunan hebat, tetapi melakukan kejahatan kepada manusia lainnya. Runtuh secara memalukan.

            Kalau cuma mengaku-aku, cuekin aja. Kalau sudah mengganggu, boleh dilawan, tetapi ingat negara kita adalah negara hukum, lawan dengan cara-cara yang konstitusional, bukan dengan cara kekerasan dan premanisme.

            Begitu ya. Kalau percaya saya adalah keturunan Pangeran Diponegoro, tidak apa-apa. Tidak percaya juga, tidak berdosa. Kalau tertawa atas pengakuan saya, itu lebih baik.

            Sampurasun.