oleh
Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Sebetulnya, agak males juga
ngomongin soal premanisme itu karena mereka itu hanya manusia berperilaku
sampah yang mengganggu dan harus diusir dari pandangan kita. Mereka itu hanya
gangguan dalam hidup dan tidak perlu jadi hitungan atau topik pembicaraan. Akan
tetapi, dengan adanya kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang disingkat
KDM (Kang Dedi Mulyadi) membentuk Satgas antipremanisme, masyarakat menjadi
punya perlindungan atau harapan untuk terbebas dari perilaku premanisme yang
meresahkan dan merugikan. Banyak masyarakat yang melaporkan aksi premanisme
melalui media sosial mereka. Sayangnya, masih banyak perilaku premanisme yang
terjadi. Mungkin karena sudah terlalu lama hidup mengandalkan aksi premanisme,
para preman itu kebingungan mau mengerjakan apa untuk menopang hidupnya.
Hal-hal seperti itu mendorong saya menuliskan pengalaman saya soal aksi
premanisme ini. Mereka memang tidak terpelajar, bodoh, dan mengesalkan.
Kejadiannya, hari ketiga Idul Fitri atau lebaran 2025
saya mengunjungi bibi saya di Tangerang untuk bersilaturahmi. Pulangnya, tentu
saja lewat Jakarta. Sebelum pulang ke Bandung, mau main dulu ke beberapa tempat
wisata di Jakarta. Jadi, jelas keluar dari tol dalam kota untuk menuju ke
tempat-tempat itu. Sayangnya, di jalanan Jembatan II, Jakarta, yang kalau belok
ke kanan menuju Kota Tua tiba-tiba kabel kopling mobil saya putus. Mobil saya
tidak bisa lagi bergerak. Saya ke pinggirkan mobil saya agar tidak mengganggu
lalu lintas. Saya dan anak-anak saya coba cari-cari bengkel mobil yang buka. Akan
tetapi, masih libur, tak satupun toko alat-alat mobil di Jakarta ada yang buka,
bengkel yang ada pun tidak sanggup memperbaiki karena ada barang yang harus
dibeli dulu. Kami semua sempat kebingungan, apalagi hari mulai menuju sore,
situasi menjadi tambah sulit.
Situasi itu mulai memaksa saya dan anak-anak untuk
memperbaiki sendiri.
Ketika
kami sedang memperbaiki sendiri, tiba-tiba ada preman penuh tato yang datang
sambil bertanya, “Mogok, Bang?”
Saya jawab, “Iya.”
Kirain dia mau bantuin, tetapi tiba-tiba dia meminta uang
untuk dirinya dan teman-temannya untuk minum kopi. Saya mulai kesal sekaligus
kasihan juga sih. Kesal karena saya lagi bingung dan berusaha memperbaiki
mobil, dia malah bikin tambah susah dengan memalak saya. Meskipun begitu, saya
juga merasa kasihan karena mungkin saja memang dia tidak punya uang.
Anak laki-laki saya yang bungsu, masih kelas 3 SMA,
langsung emosi bicara lantang sama preman itu, “Jangan minta uang! Nih, saya
kasih rokok saja!”
Si Preman itu bilang, “Pengen beli kopi sama
teman-teman!”
Melihat situasi itu, saya bilang sama Si Preman, “Udah,
nih saya kasih sepuluh ribu.”
“Dua puluh ribu, Bang,” dia nawar.
Mulai saya pengen nonjok dia. Kalau saya tonjok, dia
pasti langsung jatuh karena badannya juga kelihatan tidak sehat, tidak stabil.
Akan tetapi, daripada ribut, terus mengganggu lalu lintas, saya kasih lima
belas ribu.
Udah dikasih lima belas ribu, dia minta lagi rokok ke
anak saya. Saya kasih kode agar anak saya memberikan rokok buat preman itu,
jangan berkelahi. Akhirnya, preman itu pergi.
Setelah Si Preman pergi, anak saya yang bungsu itu segera
bilang ke kakak laki-lakinya yang baru lulus kuliah, “A, kalau dia datang lagi
sama teman-temannya, kita hajar mereka. Masa kita bertiga nggak bisa ngalahin
mereka?”
Agak beda memang anak saya yang bungsu ini. Dia mudah berkelahi
kalau soal kehormatan. Lagian, dia suka berlatih MMA.
Begitulah kejadian saya hampir menonjok preman Jakarta.
Saya dari Bandung mau silaturahmi dan sebentar berwisata di Jakarta, malah
mendapatkan ketidakamanan. Ini akan membuat citra DKI Jakarta menjadi buruk.
Gubernur dan aparat kepolisian harus paham ini. Kan tidak bagus kalau Jakarta
dibiarkan dipenuhi para preman dan tidak nyaman, males ke DKI Jakarta.
Sebetulnya, Si Preman itu bisa mendapatkan uang lebih
banyak dari saya. Jika dia datang membantu memperbaiki mobil, apa saja dia bisa
bantu, mencarikan montir, mencari koran atau dus untuk tempat duduk saya, atau
hal positif lainnya, dia akan lebih banyak dapat uang, beneran. Nggak perlu
meminta pun, pasti saya kasih.
Ketika anak-anak saya bisa menyambungkan kembali kabel
kopling yang putus itu, mobil saya bisa kembali bergerak, tetapi saya ragu
untuk bisa pulang ke Bandung lewat tol, takut putus di tengah tol. Akhirnya,
saya minta tolong ke kantor Pemadam Kebakaran di Penjaringan, Jakarta, untuk
sebentar ikut parkir.
Kebetulan
di dekat situ ada tambal ban dan cuci motor yang buka. Saya pinjam beberapa
alat untuk lebih baik memperbaiki kabel kopling. Tanpa disangka, orang-orang di
sana segera memberikan bantuan, ikut mencari barang-barang yang saya butuhkan.
Kantor Damkar pun membolehkan saya dan anak-anak untuk menggunakan fasilitas di
sana, seperti, kamar mandi, mushala, kursi, dan charger Hp. Malah, ibu-ibu di sana ikut menemani ngobrol.
Menyenangkan sekali.
Karena
saya merasa senang, saya berterima kasih kepada mereka dan memberikan sejumlah
uang, jauh lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan yang saya berikan kepada
Si Preman.
“Terima
kasih, Pak De!” kata mereka setelah semuanya selesai.
Setelah
itu, kami bisa sebentar jalan-jalan di Jakarta, lalu pulang ke Bandung.
Tuh,
kan jadi tambah saudara kalau begitu. Saya orang Bandung. Mereka orang Jakarta,
baru ketemu saat itu, tetapi mereka memanggil saya “Pak De”. Itu artinya
terjalin persaudaraan. Begitu seharusnya, tumbuh silaturahmi dan mengalirkan
rezeki, bukan dengan cara premanisme, memalak orang.
Apakah
aparat DKI Jakarta tidak malu kalau ada orang Bandung yang memukuli preman
Jakarta di tempatnya sendiri?
Cobalah
kita semua harus mengadaptasi situasi yang baru, baik aparat, pejabat, maupun
masyarakat untuk terbiasa hidup tanpa ada premanisme agar hidup menjadi lebih
aman, lebih baik, dan harmonis.
Sampurasun.