oleh Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Jadi lucu dan
menggelikan. Dulu ketika saya masih SD atau SMP, bahkan SMA, Bandung-Jakarta
itu harus ditempuh sampai enam jam perjalanan, bahkan bisa delapan jam
perjalanan karena jalan yang memutar dan kualitas kendaraan yang tidak sehebat
sekarang. Untuk lebih mempercepat perjalanan, dibangunlah jalan tol. Dengan
keberadaan jalan tol dan kualitas kendaraan yang jauh lebih baik, mestinya
perjalanan bertambah cepat dan nyaman. Akan tetapi, ternyata sekarang ini tidak
beda-beda amat dengan zaman dulu. Memang iya sih Bandung-Jakarta sekarang hanya
bisa ditempuh dalam dua jam perjalanan, tetapi itu kan cuma dari pintu tol
Bandung sampai pintu tol Jakarta. Di luar itu, waktu tempuhnya tidak bisa diprediksikan.
Sebelum masuk tol di Bandung, kita sudah mengalami kemacetan yang sama sekali
tidak membuat nyaman. Setelah keluar tol di Jakarta apalagi, berdesak-desakan
dengan hutan rimba mobil dan sepeda motor yang bisa-bisa membuat stress.
Akibatnya, waktu tempuh dari Bandung sampai dengan tujuan di Jakarta bisa
sangat lama. Waktunya bisa mencapai enam jam, bahkan lebih. Jadi, sebetulnya
hampir tak ada perubahan berarti dari masa lalu. Dulu enam jam, sekarang juga
enam jam, malahan bisa lebih kalau lagi ada demonstrasi. Meskipun sekarang
harga kendaraan bisa mencapai ratusan juta rupiah dengan kondisi teramat baik,
tetap saja tidak lebih cepat dengan harga mobil yang sepuluh jutaan karena sama-sama
terjebak dalam macet. Malahan, zaman dulu ada situasi yang lebih menyenangkan.
Meskipun waktu tempuh lama, jalanan tidak macet dan kita bisa menikmati kondisi
alam di berbagai daerah yang dilewati sambil beristirahat dengan kesahajaan
masa lalu. Sekarang ini pengalaman seperti itu tidak bisa lagi dinikmati. Kalau
menggunakan jalan lama lagi, bisa lebih buruk karena di jalan lama juga saat
ini sudah macet. Bisa tambah ngaco.
Kemacetan itu diakibatkan oleh berbagai masalah, di
antaranya, tatakota, fasilitas jalan, perdagangan kendaraan, baik roda empat,
tiga, atau dua, serta masalah pendapatan daerah. Tatakota seperti sekarang ini
sangat menyulitkan karena membutuhkan biaya teramat mahal dan akibat sosial yang
tak bisa dihindari. Soal fasilitas jalan juga jelas masalah. Jalan yang ada
tidak bertambah, kalaupun bertambah hanya sedikit, seadanya, sedangkan
penjualan kendaraan tambah semarak. Kalau jual-beli kendaraan ditahan atau
dikurangi, bisa berakibat pada pendapatan daerah karena dari setiap penjualan,
daerah mendapatkan keuntungan ekonomi dan selanjutnya dari pajak kendaraan.
Kalau ingin tidak macet, harus ada kebijakan pemerintah
pusat untuk menyebarkan penduduk ke wilayah-wilayah lain, jangan terus menumpuk
di dalam kota. Kemudian, di wilayah-wilayah baru itu digairahkan
pertumbuhan-pertumbuhan ekonomi sehingga masyarakat lebih tersebar secara lebih
merata. Kemacetan pun bisa mulai teratasi. Kata Muhaimin Iskandar yang Menteri Transmigrasi
itu, memindahkan penduduk ke wilayah lain itu mahal biayanya. Ya mahal atuh kalau memindahkan orang Solo ke Sulawesi
atau ke Kalimantan. Jangan jauh-jauh atuh, di Pulau Jawa juga masih banyak
yang kosong tidak termanfaatkan. Salah satu syaratnya adalah tanah harus
dibagikan gratis. Tanah atau bangunan yang tidak dimanfaatkan selama tiga tahun
atau lebih harus diambil alih oleh pemerintah untuk kemudian dimanfaatkan
dengan baik. Tanah-tanah kosong harus dikelola dengan baik agar lebih subur.
Hutan-hutan dan rawa-rawa harus dibuka kembali dengan catatan dipertimbangkan
keseimbangan alamnya, jangan merusak. Dengan demikian, penduduk tersebar lebih
merata, kendaraan pun tidak menumpuk di kota-kota besar. Malahan, orang-orang
di kota besar akan pindah ke wilayah lain yang lebih luas dengan kesempatan
berhasil yang menjanjikan dalam hal ekonomi.
Akan tetapi, pemerataan penduduk, pembagian dan
pengolahan tanah, serta pembangunan ekonomi yang prorakyat seperti itu teramat
sulit dalam sistem politik demokrasi sekarang ini karena teramat banyak elit
yang punya banyak hutang janji sama pihak-pihak lain yang berkepentingan dalam
penguasaan ekonomi serta sumber daya alam. Mereka nggak akan ada pikiran untuk
membagikan tanah secara gratis agar kemacetan berkurang. Malahan mungkin merasa
rugi melakukan hal itu karena tanah harus tetap diperjualbelikan sehingga
menguntungkan mereka untuk bayar hutang janji sama konco-konconya. Di samping
itu, penjualan kendaraan terus digenjot agar mendapatkan uang juga, peduli amat
dengan kemacetan. Mereka lebih memilih membangun jalan atau sarana transportasi
lain di wilayah yang sudah sesak dan sempit. Dari pembangunan itu pun mereka
punya keuntungan bisnis lainnya lagi. Jadi, semuanya sudah sangat kusut dan
membingungkan.
Jika semuanya diarahkan pada kekuasaan untuk kepentingan
kekuasaan, rusaklah negara dan masyarakat. Mestinya, kekuasaan itu diarahkan
pada kesejahteraan dan kemakmuran bersama dalam rangka mengabdikan diri kepada
Allah swt.
Politik demokrasi itu ngaco, sumpah ngaco! Banyak sekali
kepala daerah yang terpilih merasa dendam kepada kelompok-kelompok yang dulu
menjadi saingannya. Akibatnya, dia berusaha menahan hak-hak kelompok-kelompok
saingannya itu, tetapi mempermudah urusan kroni-kroninya. Mau memeratakan
kemakmuran bagaimana kalau sudah begitu.
Sudahi saja demokrasi, nggak bakalan masuk neraka kok,
malahan bisa masuk sorga. Ratakan pembangunan, sebarkan penduduk, kemacetan pun
teratasi, dan kemakmuran pun akan dinikmati bersama. Insyaallah.