Sunday, 31 March 2019

Para Pencinta Palsu

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Sudah menjadi penyakit yang biasa kambuh dalam masa-masa perhelatan politik, Pemilu, baik itu pemilihan eksekutif maupun anggota legislatif, simbol-simbol agama digunakan sebagai alat politik untuk menarik jumlah pemilih sekaligus menjatuhkan saingannya sebagai pihak yang tidak mengerti agama maupun tidak melaksanakan ajaran agama dengan semestinya. Simbol-simbol keagamaan itu digunakan hanya untuk menambah jumlah  dukungan, sedangkan program-program kerja yang seharusnya ditawarkan oleh calon para pemimpin kepada rakyat tidak terlalu diperhatikan. Orang-orang sibuk memainkan isu agama yang sesungguhnya berpotensi merusakkan hakikat agama itu sendiri.

            Jika kita perhatikan, dalam Pemilihan Presiden Republik Indonesia, 2019, simbol-simbol dan isu agama menjadi sangat kuat mewarnai dan mempengaruhi masyarakat. Banyak pihak yang mengklaim diri sebagai kelompok para pencinta “ulama dan habib” dengan harapan umat Islam yang jumlahnya mayoritas tertarik untuk memilih kelompok tersebut dan meninggalkan kelompok saingannya.

            Anehnya, di antara mereka yang mengklaim pencinta ulama dan habib itu dengan mudahnya melayangkan kata-kata kotor, keji, kasar, dan tidak beradab kepada saingannya dan pendukungnya. Kita tahu bahwa calon presiden RI pada 2019 ini adalah Jokowi dan Prabowo. Mereka banyak mendapatkan dukungan dari para ulama dan habib. Para ulama dan habib itu terbagi dua, ada yang mendukung Jokowi dan ada pula yang mendukung Prabowo. Dengan entengnya, tanpa pikir panjang banyak pendukung Prabowo melayangkan kata-kata kotor “kecebong” bagi para pendukung Jokowi. Demikian pula sebaliknya, banyak pendukung Jokowi yang menggelari “kampret” bagi pendukung Prabowo.

            Sungguh aneh perilaku itu. Di satu sisi mereka mengklaim diri sebagai pencinta ulama dan habib, tetapi di sisi lain mereka memberikan julukan kecebong dan kampret kepada saingannya.

            Bukankah, kedua Capres itu didukung oleh para ulama dan habib?

            Dengan memberikan julukan buruk kepada para pendukung Capres itu sekaligus juga memberikan panggilan yang buruk kepada para ulama dan habib yang mendukung pasangan Capres-Cawapres masing-masing.

            Bukankah perilaku itu menunjukkan tabiat yang tidak berpendidikan dan jauh dari ajaran agama?

            Bukankah Nabi Muhammad saw melarang kita untuk memberikan panggilan buruk kepada orang lain?

            Sesungguhnya, demi Allah swt, mereka hanyalah para “pencinta palsu”. Mereka sungguh penuh kepalsuan.

            Wahai para Pencinta Palsu, sampai kapan kalian mempermainkan agama untuk mendapatkan posisi politik?

Sampurasun

Friday, 8 March 2019

Hilangnya Rasa Hormat


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang santun, ramah, dan pemaaf. Sebagai negara dengan jumlah penduduk mayoritas muslim, seharusnya lebih beradab dan lembut. Akan tetapi, akhir-akhir ini seiring dengan perhelatan berbagai kegiatan politik, bangsa ini mengalami penurunan adab dan etika. Mulut dan lidah yang biasanya berbahasa halus menjadi kasar dan tidak bermutu. Mata dan bibir yang biasanya penuh senyum menjadi penuh dengki dan ejekan.

            Tidakkah kita ingat bahwa kita harus menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda?

            Hal ini bisa dilihat dengan jelas dalam Pemilihan Presiden  RI 2019. Ketika Calon Presiden 01 Jokowi mengunjungi sebuah provinsi, rakyat yang tidak mendukungnya berteriak-teriak menyebut-nyebut nama Calon Presiden 02 Prabowo sebagai sikap penolakan, anti, ejekan, dan jelas menunjukkan rasa tidak hormat.

            Hal ini terjadi pula kepada Gubernur Provinsi Jawa Barat Ridwan Kamil ketika menonton pertandingan sepak bola Persib, kesebelasan yang pernah dibesarkannya hingga menjadi juara itu, diejek dan diintimidasi dengan teriakan, “Prabowo! Prabowo!”

            Benar-benar sudah kehilangan rasa hormat mereka.

            Mereka yang berteriak adalah para pendukung Capres 02 Prabowo.

            Hal yang sama terjadi juga kepada pasangan Capres-Cawapres 02, baik Prabowo maupun Sandiuno. Mereka pun disambut teriakan-teriakan, “Jokowi! Jokowi! Jokowi!”

            Di mana itu rasa hormat dan etika?

            Saya beritahu bahwa Nabi Muhammad saw mengajarkan untuk memuliakan manusia meskipun kafir atau nonmuslim. Apalagi jika mereka adalah para pemimpin di kalangan kaum nonmuslim sendiri. Kepada para pemimpin nonmuslim saja Nabi Muhammad saw mengharuskan umatnya memuliakan, apalagi kepada para pemimpin di kalangan kaum muslim sendiri.

            Nabi Muhammad saw pernah berkata dengan nada agak tegas, “Jika ada orang mulia di antara kaum kafir yang mendatangi kita, perlakukanlah mereka sebagai orang mulia.”

            Nabi Muhammad saw tahu bahwa banyak dari para sahabatnya  yang jika didatangi pemimpin nonmuslim selalu bersikap merendahkan, mengejek, menghalangi, bahkan membunuhnya. Para sahabat awalnya memang kerap menghalangi para pemimpin nonmuslim untuk bertemu Nabi Muhammad saw. Hal itu disebabkan Nabi Muhammad saw berwatak lembut dan penuh kasih sehingga sering sekali memenuhi keinginan para pemimpin kafir itu. Dalam kebanyakan pertemuan atau negosiasi dengan pemimpin nonmuslim, Nabi Muhammad saw kerap dipandang oleh para sahabatnya sebagai terlalu menguntungkan kaum nonmuslim.

            Tak heran jika ada pemimpin nonmuslim hendak menemui Nabi Muhammad saw, para sahabat suka menghalanginya dengan berkata, “Rasulullah sedang tidak ada.”

            Kenyataannya, Nabi Muhammad saw sedang ada di rumahnya.

            Sering pula para sahabat menyambut para pemimpin nonmuslim dengan mengajaknya berbincang-bincang, lalu jalan-jalan. Akan tetapi, ketika sampai di tempat sepi, mereka memenggal kepalanya. Matilah pemimpin kafir itu.

            Nabi Muhammad saw tahu itu semua. Oleh sebab itu, Rasul saw menasihati para sahabatnya dengan keras untuk memuliakan tamu-tamunya yang kafir itu.

            Suatu hal yang memang seharusnya memuliakan para tamu dengan sikap yang baik meskipun berbeda akidah dengan kita. Demikian juga dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim harus tampil mulia dengan cara memuliakan para tamunya.

            Apakah jika didatangi Presiden Rusia, Tiongkok, Kaisar Jepang, Presiden Amerika Serikat, Ratu Inggris, atau pemimpin nonmuslim lainnya, kita akan melemparinya dengan batu, telur, berteriak kasar, memaki, atau membunuh mereka?

            Kita harus memuliakan mereka karena mereka adalah tamu kita.

            Hal yang sama harus kita lakukan pula terhadap para calon presiden atau para pejabat yang mendatangi daerah kita meskipun kita tidak akan memilih mereka. Hormati mereka agar kita menjadi manusia terhormat. Muliakan mereka agar kita menjadi mulia.

Sampurasun