oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Sudah menjadi penyakit yang
biasa kambuh dalam masa-masa perhelatan politik, Pemilu, baik itu pemilihan
eksekutif maupun anggota legislatif, simbol-simbol agama digunakan sebagai alat
politik untuk menarik jumlah pemilih sekaligus menjatuhkan saingannya sebagai
pihak yang tidak mengerti agama maupun tidak melaksanakan ajaran agama dengan
semestinya. Simbol-simbol keagamaan itu digunakan hanya untuk menambah jumlah dukungan, sedangkan program-program kerja yang
seharusnya ditawarkan oleh calon para pemimpin kepada rakyat tidak terlalu
diperhatikan. Orang-orang sibuk memainkan isu agama yang sesungguhnya
berpotensi merusakkan hakikat agama itu sendiri.
Jika kita perhatikan, dalam Pemilihan Presiden Republik Indonesia,
2019, simbol-simbol dan isu agama menjadi sangat kuat mewarnai dan mempengaruhi
masyarakat. Banyak pihak yang mengklaim diri sebagai kelompok para pencinta “ulama
dan habib” dengan harapan umat Islam yang jumlahnya mayoritas tertarik untuk
memilih kelompok tersebut dan meninggalkan kelompok saingannya.
Anehnya, di antara mereka yang mengklaim pencinta ulama
dan habib itu dengan mudahnya melayangkan kata-kata kotor, keji, kasar, dan
tidak beradab kepada saingannya dan pendukungnya. Kita tahu bahwa calon
presiden RI pada 2019 ini adalah Jokowi dan Prabowo. Mereka banyak mendapatkan
dukungan dari para ulama dan habib. Para ulama dan habib itu terbagi dua, ada
yang mendukung Jokowi dan ada pula yang mendukung Prabowo. Dengan entengnya,
tanpa pikir panjang banyak pendukung Prabowo melayangkan kata-kata kotor “kecebong”
bagi para pendukung Jokowi. Demikian pula sebaliknya, banyak pendukung Jokowi
yang menggelari “kampret” bagi pendukung Prabowo.
Sungguh aneh perilaku itu. Di satu sisi mereka mengklaim
diri sebagai pencinta ulama dan habib, tetapi di sisi lain mereka memberikan
julukan kecebong dan kampret kepada saingannya.
Bukankah, kedua Capres itu didukung oleh para ulama dan
habib?
Dengan memberikan julukan buruk kepada para pendukung
Capres itu sekaligus juga memberikan panggilan yang buruk kepada para ulama dan
habib yang mendukung pasangan Capres-Cawapres masing-masing.
Bukankah perilaku itu menunjukkan tabiat yang tidak
berpendidikan dan jauh dari ajaran agama?
Bukankah Nabi Muhammad saw melarang kita untuk memberikan panggilan buruk kepada orang lain?
Sesungguhnya, demi Allah swt, mereka hanyalah para “pencinta
palsu”. Mereka sungguh penuh kepalsuan.
Wahai para Pencinta Palsu, sampai kapan kalian
mempermainkan agama untuk mendapatkan posisi politik?
Sampurasun