oleh
Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Bangsa Indonesia dikenal
sebagai bangsa yang santun, ramah, dan pemaaf. Sebagai negara dengan jumlah
penduduk mayoritas muslim, seharusnya lebih beradab dan lembut. Akan tetapi,
akhir-akhir ini seiring dengan perhelatan berbagai kegiatan politik, bangsa ini
mengalami penurunan adab dan etika. Mulut dan lidah yang biasanya berbahasa
halus menjadi kasar dan tidak bermutu. Mata dan bibir yang biasanya penuh
senyum menjadi penuh dengki dan ejekan.
Tidakkah kita ingat bahwa kita harus menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda?
Hal ini bisa dilihat dengan jelas dalam Pemilihan
Presiden RI 2019. Ketika Calon Presiden 01
Jokowi mengunjungi sebuah provinsi, rakyat yang tidak mendukungnya
berteriak-teriak menyebut-nyebut nama Calon Presiden 02 Prabowo sebagai sikap
penolakan, anti, ejekan, dan jelas menunjukkan rasa tidak hormat.
Hal ini terjadi pula kepada Gubernur Provinsi Jawa Barat
Ridwan Kamil ketika menonton pertandingan sepak bola Persib, kesebelasan yang
pernah dibesarkannya hingga menjadi juara itu, diejek dan diintimidasi dengan
teriakan, “Prabowo! Prabowo!”
Benar-benar sudah kehilangan rasa hormat mereka.
Mereka yang berteriak adalah para pendukung Capres 02
Prabowo.
Hal yang sama terjadi juga kepada pasangan Capres-Cawapres
02, baik Prabowo maupun Sandiuno. Mereka pun disambut teriakan-teriakan, “Jokowi!
Jokowi! Jokowi!”
Di mana itu rasa hormat dan etika?
Saya beritahu bahwa Nabi Muhammad saw mengajarkan untuk
memuliakan manusia meskipun kafir atau nonmuslim. Apalagi jika mereka adalah
para pemimpin di kalangan kaum nonmuslim sendiri. Kepada para pemimpin
nonmuslim saja Nabi Muhammad saw mengharuskan umatnya memuliakan, apalagi
kepada para pemimpin di kalangan kaum muslim sendiri.
Nabi Muhammad saw pernah berkata dengan nada agak tegas, “Jika ada orang mulia di antara kaum kafir
yang mendatangi kita, perlakukanlah mereka sebagai orang mulia.”
Nabi Muhammad saw tahu bahwa banyak dari para sahabatnya yang jika didatangi pemimpin nonmuslim selalu bersikap
merendahkan, mengejek, menghalangi, bahkan membunuhnya. Para sahabat awalnya
memang kerap menghalangi para pemimpin nonmuslim untuk bertemu Nabi Muhammad
saw. Hal itu disebabkan Nabi Muhammad saw berwatak lembut dan penuh kasih
sehingga sering sekali memenuhi keinginan para pemimpin kafir itu. Dalam
kebanyakan pertemuan atau negosiasi dengan pemimpin nonmuslim, Nabi Muhammad
saw kerap dipandang oleh para sahabatnya sebagai terlalu menguntungkan kaum
nonmuslim.
Tak heran jika ada pemimpin nonmuslim hendak menemui Nabi
Muhammad saw, para sahabat suka menghalanginya dengan berkata, “Rasulullah sedang tidak ada.”
Kenyataannya, Nabi Muhammad saw sedang ada di rumahnya.
Sering pula para sahabat menyambut para pemimpin nonmuslim
dengan mengajaknya berbincang-bincang, lalu jalan-jalan. Akan tetapi, ketika sampai
di tempat sepi, mereka memenggal kepalanya. Matilah pemimpin kafir itu.
Nabi Muhammad saw tahu itu semua. Oleh sebab itu, Rasul
saw menasihati para sahabatnya dengan keras untuk memuliakan tamu-tamunya yang
kafir itu.
Suatu hal yang memang seharusnya memuliakan para tamu
dengan sikap yang baik meskipun berbeda akidah dengan kita. Demikian juga
dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, Indonesia yang berpenduduk mayoritas
muslim harus tampil mulia dengan cara memuliakan para tamunya.
Apakah jika didatangi Presiden Rusia, Tiongkok, Kaisar
Jepang, Presiden Amerika Serikat, Ratu Inggris, atau pemimpin nonmuslim
lainnya, kita akan melemparinya dengan batu, telur, berteriak kasar, memaki,
atau membunuh mereka?
Kita harus memuliakan mereka karena mereka adalah tamu
kita.
Hal yang sama harus kita lakukan pula terhadap para calon
presiden atau para pejabat yang mendatangi daerah kita meskipun kita tidak akan
memilih mereka. Hormati mereka agar kita menjadi manusia terhormat. Muliakan
mereka agar kita menjadi mulia.
Sampurasun
No comments:
Post a Comment