Sunday, 18 February 2024

Prabowo-Gibran Mesti Dikeroyok Rame-Rame

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Ingatkan Prabowo dan Gibran sejak sekarang bahwa mereka akan dikeroyok dan dihajar rakyat rame-rame jika tak menjalankan program hilirisasi serta makan siang  dan susu gratis seperti yang diucapkannya.  Ingatkan bahwa mereka akan lebih menderita dibandingkan Soeharto dulu ketika dijatuhkan secara memalukan. Saya adalah salah seorang yang juga ikut rame-rame menjatuhkan Soeharto dulu.

            Rakyat Indonesia dari dulu selalu kebingungan, kenapa Indonesia yang dianugerahi kekayaan alam berlimpah ruah, tetapi hidupnya selalu miskin?

            Sekarang kita tahu bahwa rakyat miskin karena selalu menjual barang mentah ke luar negeri dan membelinya kembali setelah menjadi barang jadi. Hal ini mulai saya pahami ketika diundang oleh Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan ke rumah dinasnya dulu untuk berdiskusi masalah budaya. Dia menjelaskan bahwa biji kopi Garut dijual ke Jepang seharga Rp10 ribu sekilo, lalu kita membelinya kembali setelah kopi itu menjadi barang siap seduh dengan harga puluhan ribu rupiah sekilo, bahkan di tempat tertentu hanya satu gelas kecil. Artinya, kita untung sangat kecil, negara lain untung sangat besar. Mereka yang kaya, kita tetap jadi kuli miskin.

            Dengan adanya program hilirisasi, kita akan menikmati barang mentah hingga barang jadi di dalam negeri sendiri, dinikmati lebih banyak oleh rakyat kita, dengan keuntungan yang sangat besar oleh rakyat kita. Kapas yang tumbuh di tanah kita harus dibuat benang hingga kain oleh rakyat kita dan dijahit oleh bangsa kita sendiri sehingga keuntungan terbesar dinikmati oleh kita sendiri. Bangsa lain boleh ikut menikmati, tetapi dengan aturan yang kita tentukan dan tidak boleh merugikan diri kita sendiri. Itu namanya hilirisasi.

            Soal hilirisasi sudah dicontohkan oleh Jokowi, baik itu untuk emas maupun nikel. Barang tambang mentah berasal dari Bumi Indonesia dan minimal barang setengah jadi harus dibuat di Indonesia yang suatu saat harus menjadi barang jadi pula di Indonesia. Kalau toh kita belum punya uang banyak untuk membangun industrinya dan belum memiliki manusia-manusia cerdas untuk mengolahnya, kita harus mewajibkan negara lain yang ingin barang mentah Indonesia harus membuat pabrik di Indonesia sehingga mereka harus bawa uang ke Indonesia dan rakyat kita bisa belajar dari mereka agar suatu saat mampu memproduksi sendiri. Prabowo-Gibran tinggal meneruskannya dan meluaskannya ke barang-barang mentah lainnya. Itu namanya hilirisasi.

            Soal makan siang dan minum susu gratis pun harus kita kawal agar berjalan dengan baik dan lancar meskipun itu tidak bisa diburu-buru. Hal itu disebabkan program itu adalah program baru yang harus dirancang dan disiapkan dananya terlebih dahulu. Setelah Prabowo dan Gibran dilantik, mereka harus mulai merancang dan menyiapkan anggaran bersama DPR RI sehingga pada tahun berikutnya program makan siang dan minum susu gratis secara bertahap bisa berjalan dengan baik dinikmati masyarakat. Suatu saat program ini bisa menyeluruh sebagaimana yang diharapkan.

            Rakyat harus mengingatkan soal hilirisasi serta makan dan susu gratis ini. Jika mereka menghentikan hilirisasi dengan menguntungkan bangsa asing dan merugikan bangsa sendiri, jika mereka berbohong soal makan siang dan minum susu gratis, kita keroyok mereka rame-rame hingga jatuh memalukan. Rakyat sudah menitipkan harapan kepada mereka, wajar rakyat marah jika harapannya tidak sesuai dengan kenyataan.

            Sampurasun

Wednesday, 7 February 2024

Para Guru Besar Sebaiknya Mengkritik Pemerintah Setiap Hari

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Baru-baru ini kita dikagetkan dengan aksi para guru besar yang bergerombol melakukan serangan pada pemerintahan Jokowi. Itu hal yang mengejutkan karena seharusnya mereka melakukan kritik itu setiap hari pada pemerintah, bukan ketika dua belas hari sebelum pencoblosan Pilpres 2024 dan setelah Mahfud MD mundur dari jabatan Menkopolhukam. Ini lebih tampak seperti bukan kegiatan akademis, melainkan aktivitas politik.

            Semestinya, mereka menjaga martabat tradisi ilmiah kampus, seperti, menggunakan data, fakta, teori, analisa, dan simpulan yang kemudian diperdebatkan di kalangan kampus sendiri sebagai pengembangan ilmu pengetahuan yang pada masa depan dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Para guru besar itu tampak menyuarakan hal-hal yang sebetulnya selalu diperbincangkan dan diperdebatkan oleh para netizen setiap hari. Netizen terbiasa saling sahut, saling ledek, saling adu argumen tentang berbagai hal semisal politik identitas, kualitas demokrasi, kecurangan Pemilu, dan perilaku para politisi. Seharusnya, para guru besar tidak ikut-ikutan seperti netizen kebanyakan.

            Inilah yang membuat saya sedih karena sering sekali saya mengutip, menyandarkan pendapat untuk diajarkan kepada murid-murid saya dari para guru besar itu. Sayangnya, para guru besar itu kini condong pada kekuatan politik tertentu yang berupaya menyerang pemerintah dan menjatuhkan pemerintah. Itu dilakukan hanya beberapa hari sebelum Pilpres 2024. Saya akan sangat senang dan menghargai jika mereka melakukan kritikan itu jauh-jauh hari sebelum pemilihan karena akan mengundang perdebatan positif, adu argumen ilmiah yang mencerdaskan, dan tidak condong atau menjatuhkan dan membela kekuatan politik tertentu. Para guru besar itu harus tetap menjaga tradisi ilmiah yang mencerdaskan dan melahirkan ilmu pengetahuan. Kesetiaannya harus pada ilmu pengetahuan dan bukan pada kekuatan politik tertentu. Mereka harus berada di atas para politisi dan tidak terjatuh dalam politik praktis jika ingin mengatasnamakan kampus. Kalau atas nama pribadi, ya boleh-boleh saja karena itu menjadi tanggung jawab pribadi dan bukan suara dari kampus. Banyak profesor, doktor, dan akademisi yang menjadi politisi, tetapi tidak mewakili kampusnya, hanya mewakili dirinya sendiri.

            Akibat yang mereka lakukan adalah mereka pun mendapatkan serangan dari netizen yang propemerintah, projokowi, die hard-nya Jokowi. Sedih sekali melihatnya. Para netizen yang entah sejauh apa pendidikannya, profesinya, dari kuli bangunan, tukang asongan, hingga ke para elit partai, pengusaha, dan orang penting lainnya balik menyerang para guru besar itu. Bahkan, organisasi yang sangat terhormat, yaitu Forum Rektor yang diisi oleh para rektor yang jabatan dan posisinya lebih tinggi dibandingkan para guru besar itu menegaskan bahwa apa yang disampaikan para guru besar itu tidak mewakili lembaga kampus yang dipimpinnya. Para rektor mengingatkan bahwa kampus tidak boleh menjadi tempat untuk memecah belah bangsa. Lebih jauh dari itu, ada rektor-rektor yang secara tegas memuji pemerintahan Jokowi dan pro terhadap Jokowi untuk melawan suara dari para guru besar itu.

            Ada baik dan buruknya para akademisi ini berdebat di internet. Baiknya adalah bisa mencerdaskan rakyat. Buruknya, para netizen ini sering liar pendapatnya dalam menanggapi perdebatan dan bisa mengakibatkan misleading, menyesatkan banyak orang sehingga bukannya mencerdaskan, melainkan membodohkan.

            Salam hormat kepada para rektor dan para guru besar.  Tetaplah menjadi guru besar yang terhormat dan menjaga tradisi ilmiah kampus agar pengetahuan berkembang dan memberikan arah positif pada kehidupan manusia.

            Sampurasun.