oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Baru-baru ini kita
dikagetkan dengan aksi para guru besar yang bergerombol melakukan serangan pada
pemerintahan Jokowi. Itu hal yang mengejutkan karena seharusnya mereka
melakukan kritik itu setiap hari pada pemerintah, bukan ketika dua belas hari
sebelum pencoblosan Pilpres 2024 dan setelah Mahfud MD mundur dari jabatan
Menkopolhukam. Ini lebih tampak seperti bukan kegiatan akademis, melainkan
aktivitas politik.
Semestinya, mereka menjaga martabat tradisi ilmiah
kampus, seperti, menggunakan data, fakta, teori, analisa, dan simpulan yang
kemudian diperdebatkan di kalangan kampus sendiri sebagai pengembangan ilmu
pengetahuan yang pada masa depan dapat diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Para guru besar itu tampak menyuarakan hal-hal yang sebetulnya selalu
diperbincangkan dan diperdebatkan oleh para netizen setiap hari. Netizen
terbiasa saling sahut, saling ledek, saling adu argumen tentang berbagai hal
semisal politik identitas, kualitas demokrasi, kecurangan Pemilu, dan perilaku
para politisi. Seharusnya, para guru besar tidak ikut-ikutan seperti netizen
kebanyakan.
Inilah yang membuat saya sedih karena sering sekali saya
mengutip, menyandarkan pendapat untuk diajarkan kepada murid-murid saya dari
para guru besar itu. Sayangnya, para guru besar itu kini condong pada kekuatan
politik tertentu yang berupaya menyerang pemerintah dan menjatuhkan pemerintah.
Itu dilakukan hanya beberapa hari sebelum Pilpres 2024. Saya akan sangat senang
dan menghargai jika mereka melakukan kritikan itu jauh-jauh hari sebelum
pemilihan karena akan mengundang perdebatan positif, adu argumen ilmiah yang
mencerdaskan, dan tidak condong atau menjatuhkan dan membela kekuatan politik
tertentu. Para guru besar itu harus tetap menjaga tradisi ilmiah yang
mencerdaskan dan melahirkan ilmu pengetahuan. Kesetiaannya harus pada ilmu
pengetahuan dan bukan pada kekuatan politik tertentu. Mereka harus berada di
atas para politisi dan tidak terjatuh dalam politik praktis jika ingin
mengatasnamakan kampus. Kalau atas nama pribadi, ya boleh-boleh saja karena itu
menjadi tanggung jawab pribadi dan bukan suara dari kampus. Banyak profesor,
doktor, dan akademisi yang menjadi politisi, tetapi tidak mewakili kampusnya,
hanya mewakili dirinya sendiri.
Akibat yang mereka lakukan adalah mereka pun mendapatkan
serangan dari netizen yang propemerintah, projokowi, die hard-nya Jokowi. Sedih
sekali melihatnya. Para netizen yang entah sejauh apa pendidikannya,
profesinya, dari kuli bangunan, tukang asongan, hingga ke para elit partai,
pengusaha, dan orang penting lainnya balik menyerang para guru besar itu.
Bahkan, organisasi yang sangat terhormat, yaitu Forum Rektor yang diisi oleh
para rektor yang jabatan dan posisinya lebih tinggi dibandingkan para guru
besar itu menegaskan bahwa apa yang disampaikan para guru besar itu tidak
mewakili lembaga kampus yang dipimpinnya. Para rektor mengingatkan bahwa kampus
tidak boleh menjadi tempat untuk memecah belah bangsa. Lebih jauh dari itu, ada
rektor-rektor yang secara tegas memuji pemerintahan Jokowi dan pro terhadap
Jokowi untuk melawan suara dari para guru besar itu.
Ada baik dan buruknya para akademisi ini berdebat di
internet. Baiknya adalah bisa mencerdaskan rakyat. Buruknya, para netizen ini
sering liar pendapatnya dalam menanggapi perdebatan dan bisa mengakibatkan
misleading, menyesatkan banyak orang sehingga bukannya mencerdaskan, melainkan
membodohkan.
Salam hormat kepada para rektor dan para guru besar. Tetaplah menjadi guru besar yang terhormat
dan menjaga tradisi ilmiah kampus agar pengetahuan berkembang dan memberikan
arah positif pada kehidupan manusia.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment