Saturday, 5 April 2014

Kesepahaman antara Plato dan Prabu Siliwangi



oleh Tom Finaldin 


Bandung, Putera Sang Surya


Prabu Siliwangi dan Plato hidup berbeda zaman dan berbeda tempat.

Prabu Siliwangi adalah Raja Sunda yang namanya hidup sampai hari ini dan menjadi kebanggaan orang Sunda. Ajarannya yang menasional hari ini terus diucapkan banyak orang, yaitu Silih Asah Silih Asih Silih Asuh, ‘saling mencerdaskan, saling menyayangi, saling menjaga’.

Plato adalah filsuf barat kenamaan yang teori dan pendapatnya sampai hari ini diajarkan pada berbagai perguruan tinggi terkemuka dunia. Pemikirannya menginspirasi para pemikir zaman ini. Sayangnya, ia sering dijadikan alasan para pendukung demokrasi untuk melaksanakan sistem politik demokrasi. Padahal, sesungguhnya ia mengkritik habis-habisan sistem demokrasi. Menurutnya, demokrasi itu sistem politik yang rendah dan berbahaya. Demokrasi rendah itu kata dia, kata saya demokrasi itu kampungan.

Perhatikan pendapat Plato (429-347) berikut ini tentang demokrasi. Menurutnya, demokrasi itu adalah sistem pemerintahan yang buruk.

Demokrasi adalah pemerintahan oleh masyarakat miskin. Rakyat miskin membentuk dan merebut kekuasaan. Akan tetapi, dalam demokrasi menginginkan kebebasan  anarki.

Bila tidak ada pembatasan kebebasan, orang-orang berbuat sesuka hatinya sehingga tidak ada lagi suatu kekuasaan yang mengatur ketertiban umum.

Bilamana anarki sudah tidak dapat lebih lama lagi dibiarkan merajalela, rakyat memilih seorang di antara mereka yang mempunyai kelebihan daripada orang lain di dalam berbagai hal (primus interpares) untuk memimpin negara.

Coba ulang-ulang lagi baca pendapat Plato tersebut sampai paham. Kalau sudah paham, mari kita baca prediksi Prabu Siliwangi tentang Indonesia ke depan, sebentar lagi.

Raksasa-raksasa yang beringas semakin hari semakin bandel, sombong, pongah, brutal, dan sewenang-wenang melebihi kerbau bule. Mereka tidak sadar bahwa zaman manusia sudah dikuasai binatang!

Kekuasaan raksasa-raksasa buta itu tidak terlalu lama, tetapi selama berkuasa itu keterlaluan sekali menindas rakyat susah yang sedang berharap datangnya mukjizat. Raksasa-raksasa itu akan menjadi tumbal, tumbal kejahatannya sendiri. Kapan waktunya? Nanti kalau sudah tampak Anak Gembala! Mulai saat itu akan terjadi keributan, huru-hara, dari rumah menjadi sekampung, dari sekampung menjadi senegara! Orang-orang bodoh pada jadi gila ikut-ikutan membantu mereka yang sedang berkelahi yang dipimpin oleh Pemuda Buncit! Penyebabnya berkelahi? Memperebutkan warisan, tanah. Mereka yang serakah ingin mendapatkan lebih banyak lagi. Mereka yang memiliki hak meminta haknya diberikan. Mereka yang sadar berdiam diri. Mereka hanya menonton, tetapi tetap terimbas juga.

Mereka yang berkelahi akhirnya kelelahan. Mereka baru tersadar. Ternyata, semuanya tidak ada yang mendapatkan bagian. Hal itu disebabkan tanah dan kekayaan alam seluruhnya habis, habis oleh mereka yang memegang banyak uang. Para raksasa lalu menyusup curang ke berbagai kelompok. Mereka yang berkelahi jadi ketakutan sendiri, takut dipersalahkan atas kerusakan dan kehilangan tanah serta kekayaan negara. Lalu, mereka mencari Anak Gembala yang rumahnya di ujung sungai berpintu batu setinggi manusia beratapkan pohon handeuleum bertiangkan pohon hanjuang. Mereka mencari Anak Tumbal. Mereka menginginkan tumbal untuk dikambinghitamkan. Akan tetapi, Anak Gembala sudah tidak ada, sudah bergerak bersama dengan Pemuda Berjanggut. Keduanya sudah pindah membuka lembaran baru, pindah ke Lebak Cawene!

Mereka yang mencari Anak Gembala hanya menemukan burung gagak yang berkoak-koak di dahan mati. Dengarkan semuanya! Zaman bakalan ganti lagi, tetapi nanti setelah Gunung Gede meletus yang disusul meletusnya tujuh gunung. Gempar lagi seluruh dunia. Orang Sunda dipanggil-panggil. Orang Sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Senegara bersatu lagi. Nusa jaya, jaya lagi sebab berdiri Ratu Adil. Ratu Adil yang sejati.

Ratu siapa? Dari mana asalnya itu ratu? Nanti juga kalian bakal tahu. Sekarang yang penting, cari dan temukan oleh kalian Si Anak Gembala!

Sudah paham?

Begini Saudara. Dalam zaman demokrasi sekarang ini banyak sekali elit yang berkuasa dan berperilaku rusak. Prabu Siliwangi menggambarkannya sebagai raksasa-raksasa yang pongah dan brutal. Sementara itu, rakyat masih sangat banyak yang hidup menderita, melarat, segala kesulitan. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, banyak sekali raksasa yang sekarang mulai berjatuhan menjadi tumbal kelakuannya sendiri. Di samping itu, raksasa-raksasa ini berebutan mendapatkan kekuasaan, kursi, alias jabatan. Di antara mereka sendiri akhirnya saling bentrok karena ada yang merasa dicurangi dan tidak puas, apalagi setelah melihat hasil Pemilu. Parahnya, mereka mengikutsertakan rakyat untuk masuk dalam pertempuran mereka. Rakyat itulah yang dikatakan Sang Prabu sebagai orang-orang bodoh yang jadi gila membantu mereka yang berkelahi.

Dalam kondisi itu, persis sekali sebagaimana yang dikatakan Plato bahwa dalam demokrasi diinginkan kebebasan-anarki. Perilaku pertengkaran, kerusuhan, dan perebutan kekuasaan itulah yang disebut Plato sebagai kondisi kebebasan-anarki.

Berbagai persaingan dan kekisruhan itu terus berlanjut sampai akhirnya mereka capek sendiri, lelah. Hal itu disebabkan mereka yang bertengkar itu ternyata tidak mendapatkan apa-apa, apalagi rakyat yang hanya ikut-ikutan seolah-olah membela kebenaran, padahal sesungguhnya menjadi alat bagi kepentingan orang-orang tertentu. Yang mendapatkan kekuasaan adalah hanya mereka yang punya banyak uang, bukan orang pintar, bukan orang baik, bukan pula orang shaleh, arif, dan bijaksana.

Setelah benar-benar tersadar dari ketertipuannya serta menyadari kebodohan dan kesalahannya, orang-orang pun mencari Si Anak Gembala yang mampu menyelesaikan kemelut dan kekacauan yang terjadi. Dialah yang dianggap paling adil dan bijak untuk membangun bangsa.

Si Anak Gembala ini kalau dalam bahasa Presiden Soekarno disebut Laki-laki Dunia.

Soekarno meneriakkan, “Marilah kita ikuti Laki-laki Dunia itu!”

Menurut Plato, ketika keadaan anarki sudah tak tertahankan dan membuat rakyat sangat menderita, maka orang-orang akan mencari orang yang terbaik untuk menyelesaikan segalanya. Istilah Plato yang digunakan untuk orang itu adalah primus interpares, artinya orang yang memiliki kelebihan dibandingkan orang lain dalam segala hal.

Primus interpares itu adalah Budak Angon, Si Anak Gembala.

Amazing, isn’t it?

Peranan Golput dalam Pembangunan

oleh Tom Finaldin



Bandung, Putera Sang Surya

Jangan Golput! Jangan Golput!


Banyak sekali yang berteriak seperti itu. Bisa dipastikan teriakan itu berasal dari orang-orang yang khawatir kenikmatannya akan hilang karena telah mendapatkan banyak keuntungan dari sistem politik demokrasi atau berasal dari orang-orang yang kebelet ingin menikmati keuntungan dari sistem politik demokrasi yang bejat itu atau dari orang-orang yang masih membiarkan dirinya terkelabui oleh sistem politik demokrasi yang penuh penipuan itu.

Banyak pula yang berusaha mempengaruhi masyarakat bahwa jika tidak memilih, berarti tidak berperan serta dalam pembangunan. Bodoh mereka itu! Tolol bin sarap!

Peran serta Golput dalam pembangunan itu jelas sekali. Mereka menunjukkan sikap yang tegas untuk tidak memilih dengan alasan yang beragam. Sebenarnya, Golput itu sudah sangat sering menang dalam setiap pemilihan di tingkat apapun, tetapi eksistensinya masih dianggap lemah karena para politikus dan mereka yang masih percaya demokrasi tetap memiliki kekuatan untuk menggunakan suara yang ada yang terkumpul dalam pemilihan--entah jujur, entah curang. Golput hanya dianggap masyarakat yang “seolah-olah” setuju dengan hasil pemilihan dan proses pemilihan. Meskipun demikian, Golput tetap diperhatikan sebagai kekuatan yang akan melemahkan legitimasi hasil pemilihan dan proses pemilihan. Kecilnya atau sedikitnya suara yang diperoleh untuk menduduki posisi politis menandakan lemahnya legitimasi masyarakat. Jika suara Golput semakin besar, akan berpengaruh terhadap legitimasi demokrasi itu sendiri. Itu pertanda yang sangat bagus. Artinya, situasi negara dengan suara Golput yang tinggi akan mendorong para akademisi, teknokrat, birokrat, dan para orang bijak di negeri ini untuk memikirkan sistem lain yang cocok dan sesuai dengan perasaan rakyat untuk melangsungkan proses pembangunan.

Orang-orang Golput akan merasa tidak bersalah jika terjadi kerusakan yang ditimbulkan akibat perilaku para politisi dan pemimpin hasil demokrasi. Mereka memang tidak bersalah karena tidak memilih para pemimpin yang kemudian terbukti rusak moral, bejat akhlak, dan kotor pikiran. Malahan sikap orang-orang Golput akan mempengaruhi secara positif orang-orang yang telah menggunakan hak pilih karena para pejabat terpilih ternyata tidak amanah. Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap negara akan menurun teramat drastis dan berpotensi menimbulkan kekacauan. Pada titik itulah wise people di negeri ini dituntut bekerja keras untuk mencari jalan keluar dari situasi yang sangat rawan.

Orang-orang Golput akan memaksa para politisi untuk sadar diri bahwa mereka sebenarnya tidak pantas untuk duduk dalam jabatannya dan membuat para penyelenggara semakin sadar untuk memperbaiki diri dan kinerjanya supaya kepercayaan masyarakat yang telah Golput kembali kepadanya.

Suara Golput akan memaksa elemen-eleman penting di negeri ini untuk mencari cara lain dan gagasan lain yang bukan demokrasi karena ternyata demokrasi tidak mampu menyelesaikan masalah. Demokrasi hanya membuat beban negeri ini semakin berat dan menumbuhkan perpecahan di dalam masyarakat.

Inti dari tujuan pembangunan nasional itu kan ada di alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945, iya kan?

Untuk mencapai tujuan itu, tidak harus demokrasi, kan?

Malahan, orang-orang yang bertahan dalam demokrasi itu kemungkinan besar anti-terhadap perubahan. Mereka itu mirip banget dengan orang-orang yang mempertahankan status quo. Mereka orang-orang yang telah menyakralkan sistem politik demokrasi, sebagaimana orang-orang yang telah menyakralkan sistem politik dan dogma-dogma politik orde baru. Mereka nggak beda jauh-jauh amat dari orang-orang yang dikritiknya dahulu.

Kita berhak berubah dan memang kita harus berubah!

Kita punya nilai dan cara sendiri yang telah dilekatkan Tuhan sejak dalam kandungan, tinggal menggalinya dan membawanya ke permukaan. Hanya dengan cara itulah kita akan benar-benar mampu mencapai tujuan pembangunan nasional Indonesia.