Saturday, 5 April 2014

Peranan Golput dalam Pembangunan

oleh Tom Finaldin



Bandung, Putera Sang Surya

Jangan Golput! Jangan Golput!


Banyak sekali yang berteriak seperti itu. Bisa dipastikan teriakan itu berasal dari orang-orang yang khawatir kenikmatannya akan hilang karena telah mendapatkan banyak keuntungan dari sistem politik demokrasi atau berasal dari orang-orang yang kebelet ingin menikmati keuntungan dari sistem politik demokrasi yang bejat itu atau dari orang-orang yang masih membiarkan dirinya terkelabui oleh sistem politik demokrasi yang penuh penipuan itu.

Banyak pula yang berusaha mempengaruhi masyarakat bahwa jika tidak memilih, berarti tidak berperan serta dalam pembangunan. Bodoh mereka itu! Tolol bin sarap!

Peran serta Golput dalam pembangunan itu jelas sekali. Mereka menunjukkan sikap yang tegas untuk tidak memilih dengan alasan yang beragam. Sebenarnya, Golput itu sudah sangat sering menang dalam setiap pemilihan di tingkat apapun, tetapi eksistensinya masih dianggap lemah karena para politikus dan mereka yang masih percaya demokrasi tetap memiliki kekuatan untuk menggunakan suara yang ada yang terkumpul dalam pemilihan--entah jujur, entah curang. Golput hanya dianggap masyarakat yang “seolah-olah” setuju dengan hasil pemilihan dan proses pemilihan. Meskipun demikian, Golput tetap diperhatikan sebagai kekuatan yang akan melemahkan legitimasi hasil pemilihan dan proses pemilihan. Kecilnya atau sedikitnya suara yang diperoleh untuk menduduki posisi politis menandakan lemahnya legitimasi masyarakat. Jika suara Golput semakin besar, akan berpengaruh terhadap legitimasi demokrasi itu sendiri. Itu pertanda yang sangat bagus. Artinya, situasi negara dengan suara Golput yang tinggi akan mendorong para akademisi, teknokrat, birokrat, dan para orang bijak di negeri ini untuk memikirkan sistem lain yang cocok dan sesuai dengan perasaan rakyat untuk melangsungkan proses pembangunan.

Orang-orang Golput akan merasa tidak bersalah jika terjadi kerusakan yang ditimbulkan akibat perilaku para politisi dan pemimpin hasil demokrasi. Mereka memang tidak bersalah karena tidak memilih para pemimpin yang kemudian terbukti rusak moral, bejat akhlak, dan kotor pikiran. Malahan sikap orang-orang Golput akan mempengaruhi secara positif orang-orang yang telah menggunakan hak pilih karena para pejabat terpilih ternyata tidak amanah. Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap negara akan menurun teramat drastis dan berpotensi menimbulkan kekacauan. Pada titik itulah wise people di negeri ini dituntut bekerja keras untuk mencari jalan keluar dari situasi yang sangat rawan.

Orang-orang Golput akan memaksa para politisi untuk sadar diri bahwa mereka sebenarnya tidak pantas untuk duduk dalam jabatannya dan membuat para penyelenggara semakin sadar untuk memperbaiki diri dan kinerjanya supaya kepercayaan masyarakat yang telah Golput kembali kepadanya.

Suara Golput akan memaksa elemen-eleman penting di negeri ini untuk mencari cara lain dan gagasan lain yang bukan demokrasi karena ternyata demokrasi tidak mampu menyelesaikan masalah. Demokrasi hanya membuat beban negeri ini semakin berat dan menumbuhkan perpecahan di dalam masyarakat.

Inti dari tujuan pembangunan nasional itu kan ada di alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945, iya kan?

Untuk mencapai tujuan itu, tidak harus demokrasi, kan?

Malahan, orang-orang yang bertahan dalam demokrasi itu kemungkinan besar anti-terhadap perubahan. Mereka itu mirip banget dengan orang-orang yang mempertahankan status quo. Mereka orang-orang yang telah menyakralkan sistem politik demokrasi, sebagaimana orang-orang yang telah menyakralkan sistem politik dan dogma-dogma politik orde baru. Mereka nggak beda jauh-jauh amat dari orang-orang yang dikritiknya dahulu.

Kita berhak berubah dan memang kita harus berubah!

Kita punya nilai dan cara sendiri yang telah dilekatkan Tuhan sejak dalam kandungan, tinggal menggalinya dan membawanya ke permukaan. Hanya dengan cara itulah kita akan benar-benar mampu mencapai tujuan pembangunan nasional Indonesia.

No comments:

Post a Comment