oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Prabu Siliwangi dan Plato
hidup berbeda zaman dan berbeda tempat.
Prabu Siliwangi adalah Raja
Sunda yang namanya hidup sampai hari ini dan menjadi kebanggaan orang Sunda.
Ajarannya yang menasional hari ini terus diucapkan banyak orang, yaitu Silih Asah Silih Asih Silih Asuh, ‘saling
mencerdaskan, saling menyayangi, saling menjaga’.
Plato adalah filsuf barat
kenamaan yang teori dan pendapatnya sampai hari ini diajarkan pada berbagai
perguruan tinggi terkemuka dunia. Pemikirannya menginspirasi para pemikir zaman
ini. Sayangnya, ia sering dijadikan alasan para pendukung demokrasi untuk
melaksanakan sistem politik demokrasi. Padahal, sesungguhnya ia mengkritik
habis-habisan sistem demokrasi. Menurutnya, demokrasi itu sistem politik yang rendah dan berbahaya. Demokrasi rendah itu kata
dia, kata saya demokrasi itu kampungan.
Perhatikan pendapat Plato (429-347)
berikut ini tentang demokrasi. Menurutnya, demokrasi itu adalah sistem pemerintahan yang buruk.
Demokrasi
adalah pemerintahan oleh masyarakat miskin. Rakyat miskin membentuk dan merebut
kekuasaan. Akan tetapi, dalam demokrasi menginginkan kebebasan anarki.
Bila
tidak ada pembatasan kebebasan, orang-orang berbuat sesuka hatinya sehingga
tidak ada lagi suatu kekuasaan yang mengatur ketertiban umum.
Bilamana
anarki sudah tidak dapat lebih lama lagi dibiarkan merajalela, rakyat memilih
seorang di antara mereka yang mempunyai kelebihan daripada orang lain di dalam
berbagai hal (primus interpares)
untuk memimpin negara.
Coba ulang-ulang lagi baca
pendapat Plato tersebut sampai paham. Kalau sudah paham, mari kita baca
prediksi Prabu Siliwangi tentang Indonesia ke depan, sebentar lagi.
Raksasa-raksasa
yang beringas semakin hari semakin bandel, sombong, pongah, brutal, dan
sewenang-wenang melebihi kerbau bule. Mereka tidak sadar bahwa zaman manusia
sudah dikuasai binatang!
Kekuasaan
raksasa-raksasa buta itu tidak terlalu lama, tetapi selama berkuasa itu keterlaluan
sekali menindas rakyat susah yang sedang berharap datangnya mukjizat.
Raksasa-raksasa itu akan menjadi tumbal, tumbal kejahatannya sendiri. Kapan
waktunya? Nanti kalau sudah tampak Anak Gembala! Mulai saat itu akan terjadi
keributan, huru-hara, dari rumah menjadi sekampung, dari sekampung menjadi
senegara! Orang-orang bodoh pada jadi gila ikut-ikutan membantu mereka yang
sedang berkelahi yang dipimpin oleh Pemuda Buncit! Penyebabnya berkelahi?
Memperebutkan warisan, tanah. Mereka yang serakah ingin mendapatkan lebih
banyak lagi. Mereka yang memiliki hak meminta haknya diberikan. Mereka yang
sadar berdiam diri. Mereka hanya menonton, tetapi tetap terimbas juga.
Mereka
yang berkelahi akhirnya kelelahan. Mereka baru tersadar. Ternyata, semuanya
tidak ada yang mendapatkan bagian. Hal itu disebabkan tanah dan kekayaan alam
seluruhnya habis, habis oleh mereka yang memegang banyak uang. Para raksasa
lalu menyusup curang ke berbagai kelompok. Mereka yang berkelahi jadi ketakutan
sendiri, takut dipersalahkan atas kerusakan dan kehilangan tanah serta kekayaan
negara. Lalu, mereka mencari Anak Gembala yang rumahnya di ujung sungai
berpintu batu setinggi manusia beratapkan pohon handeuleum bertiangkan pohon
hanjuang. Mereka mencari Anak Tumbal. Mereka menginginkan tumbal untuk
dikambinghitamkan. Akan tetapi, Anak Gembala sudah tidak ada, sudah bergerak
bersama dengan Pemuda Berjanggut. Keduanya sudah pindah membuka lembaran baru,
pindah ke Lebak Cawene!
Mereka
yang mencari Anak Gembala hanya menemukan burung gagak yang berkoak-koak di
dahan mati. Dengarkan semuanya! Zaman bakalan ganti lagi, tetapi nanti setelah
Gunung Gede meletus yang disusul meletusnya tujuh gunung. Gempar lagi seluruh
dunia. Orang Sunda dipanggil-panggil. Orang Sunda memaafkan. Baik lagi semuanya.
Senegara bersatu lagi. Nusa jaya, jaya lagi sebab berdiri Ratu Adil. Ratu Adil
yang sejati.
Ratu
siapa? Dari mana asalnya itu ratu? Nanti juga kalian bakal tahu. Sekarang yang
penting, cari dan temukan oleh kalian Si Anak Gembala!
Sudah paham?
Begini Saudara. Dalam zaman
demokrasi sekarang ini banyak sekali elit yang berkuasa dan berperilaku rusak.
Prabu Siliwangi menggambarkannya sebagai raksasa-raksasa yang pongah dan
brutal. Sementara itu, rakyat masih sangat banyak yang hidup menderita,
melarat, segala kesulitan. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu,
banyak sekali raksasa yang sekarang mulai berjatuhan menjadi tumbal kelakuannya
sendiri. Di samping itu, raksasa-raksasa ini berebutan mendapatkan kekuasaan,
kursi, alias jabatan. Di antara mereka sendiri akhirnya saling bentrok karena
ada yang merasa dicurangi dan tidak puas, apalagi setelah melihat hasil Pemilu.
Parahnya, mereka mengikutsertakan rakyat untuk masuk dalam pertempuran mereka. Rakyat
itulah yang dikatakan Sang Prabu sebagai orang-orang
bodoh yang jadi gila membantu mereka yang berkelahi.
Dalam kondisi itu, persis
sekali sebagaimana yang dikatakan Plato bahwa dalam demokrasi diinginkan
kebebasan-anarki. Perilaku pertengkaran, kerusuhan, dan perebutan kekuasaan
itulah yang disebut Plato sebagai kondisi kebebasan-anarki.
Berbagai persaingan dan
kekisruhan itu terus berlanjut sampai akhirnya mereka capek sendiri, lelah. Hal
itu disebabkan mereka yang bertengkar itu ternyata tidak mendapatkan apa-apa,
apalagi rakyat yang hanya ikut-ikutan seolah-olah membela kebenaran, padahal
sesungguhnya menjadi alat bagi kepentingan orang-orang tertentu. Yang
mendapatkan kekuasaan adalah hanya mereka yang punya banyak uang, bukan orang
pintar, bukan orang baik, bukan pula orang shaleh, arif, dan bijaksana.
Setelah benar-benar tersadar
dari ketertipuannya serta menyadari kebodohan dan kesalahannya, orang-orang pun
mencari Si Anak Gembala yang mampu
menyelesaikan kemelut dan kekacauan yang terjadi. Dialah yang dianggap paling
adil dan bijak untuk membangun bangsa.
Si Anak Gembala ini kalau
dalam bahasa Presiden Soekarno disebut Laki-laki
Dunia.
Soekarno meneriakkan, “Marilah
kita ikuti Laki-laki Dunia itu!”
Menurut Plato, ketika
keadaan anarki sudah tak tertahankan dan membuat rakyat sangat menderita, maka
orang-orang akan mencari orang yang terbaik untuk menyelesaikan segalanya.
Istilah Plato yang digunakan untuk orang itu adalah primus interpares, artinya
orang yang memiliki kelebihan dibandingkan
orang lain dalam segala hal.
Primus
interpares itu adalah Budak Angon, Si Anak Gembala.
Amazing, isn’t it?
No comments:
Post a Comment