Wednesday, 10 April 2019

Memecah Belah Ulama


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Dalam suasana Pemilu 2019, baik Pilpres maupun Pileg yang digelar April 2019 ini, situasi harus diakui bahwa masyarakat “memanas” karena dipanas-panasi melalui media sosial. Hal yang sangat mengkhawatirkan adalah banyaknya orang yang mengklaim diri atau diklaim sebagai ulama ikut juga terlibat dalam suasana yang panas ini. Secara sepintas saja sudah sangat jelas terlihat bahwa ada ulama dan habib yang mendukung pasangan Jokowi-Maruf Amin dan ada yang mendukung pasangan Prabowo-Sandiaga Uno. Sayangnya, di media sosial berseliweran postingan-postingan, baik itu kata-kata maupun video yang isinya memaki-maki ulama hingga ada istilah yang menurut saya aneh, yaitu, “ulama kami, ulama kalian, ulama mereka”. Istilah itu menunjukkan dengan jelas adanya perpecahan di antara orang-orang yang mengklaim diri atau diklaim sebagai ulama.

            Saya sungguh tidak tahu apakah perpecahan itu diakibatkan oleh orang di luar Indonesia yang ingin memecah para ulama di Indonesia, apakah diciptakan oleh para politikus busuk yang hanya peduli kekuasaannya dan tidak peduli dengan keharmonisan rakyat Indonesia, atau memang orang-orang yang disebut ulama itu sendiri yang menginginkan kondisi seperti itu. Sungguh saya tidak tahu hal itu dan hanya bisa diketahui melalui penelitian mendalam, baik menggunakan metode kualitatif, kuantitatif, ataupun campuran di antara keduanya.

            Kenyataan seperti itu membuat saya bertanya-tanya apakah mungkin para ulama bisa saling memaki, menghujat, dan saling merendahkan?

            Apa dan siapa sih sebenarnya yang disebut ulama itu?

            Di dalam beberapa literatur yang saya baca dan dari pemahaman orang Indonesia secara umum, ulama biasa dipahami sebagai orang yang berilmu agama dan menjadi pemimpin agama di lingkungan masyarakat. Intinya, ulama itu adalah orang yang berilmu.

            Kalaulah artinya hanya seperti itu, tidak perlu heran jika banyak orang yang mengaku-aku sebagai ulama atau diakui sebagai ulama. Kemudian, terjadi banyak percekcokan, perselisihan, pertengkaran karena perbedaan kepentingan, kekuasaan, pengaruh, harga diri, atau kedudukan. Tak heran pula ada istilah ulama su yang biasa diartikan sebagai ulama buruk atau ulama jahat. Hal itu juga secara bahasa tidaklah salah jika ulama su adalah orang berilmu yang buruk atau jahat.

            Hal tersebut dapat menjawab pertanyaan saya tentang apakah para ulama bisa saling menghujat, memaki, memfitnah, atau merendahkan?

            Jawabannya, “Bisa!”

            Hal itu disebabkan bahwa arti ulama yang digunakan hanyalah ‘orang berilmu’. Perpecahan di antara ulama pun tidak bisa dihindari dan itu memalukan bagi kaum muslimin.


Arti Ulama dalam Al Quran
Berbeda jika kita menggunakan Al Quran untuk memahami apa dan siapa itu ulama. Dalam Al Quran arti ulama itu tidak sebatas orang berilmu agama dan menjadi pemimpin agama, tetapi “orang yang memiliki rasa takut kepada Allah swt”.

            Allah swt berfirman, “… Di antara hamba-hamba Allah, yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama….” (QS Fathir : 28)

            Para ahli tafsir mengatakan bahwa ulama itu adalah orang yang berilmu agama tinggi yang dengan ilmunya mengantarkan dirinya takut kepada Allah swt. Intinya, ulama itu adalah orang yang takut kepada Allah swt.

            Hal ini mudah dipahami karena untuk memiliki rasa takut kepada Allah swt, harus memiliki ilmu tentang Allah swt. Arti kebalikannya adalah jika tidak takut kepada Allah swt, ia tidak memiliki ilmu tentang Allah swt. Takut karena memiliki ilmunya. Tidak takut karena tidak memiliki ilmunya.

            Dengan menggunakan arti ulama yang berasal dari Al Quran, sangatlah tidak mungkin terjadi perpecahan di antara ulama. Orang yang takut kepada Allah swt tidak mungkin saling mencaci, saling memaki, saling menghujat, atau saling merendahkan. Orang-orang ini takut sekali jika pikirannya, kata-katanya, dan perbuatannya menimbulkan kerusakan di muka Bumi dengan menyakiti  hati dan fisik orang yang takut kepada Allah swt. Orang yang takut Allah swt mustahil menyakiti orang yang takut kepada Allah swt.

            Hal itu menjelaskan bahwa sesungguhnya tidak perlu ada istilah ulama su karena tidak mungkin orang yang takut Allah swt berbuat buruk atau jahat. Sudah pasti orang jahat dan buruk adalah bukan orang yang takut kepada Allah swt. Dia pasti bukan ulama.

            Apalagi jika kita menggunakan kata “takwa” untuk mengganti kalimat “orang yang takut kepada Allah swt”, akan jelas terlihat jalan logisnya. Kata takwa memiliki makna pula “takut kepada Allah swt”.

            Sangatlah tidak masuk akal jika ada kalimat “orang takwa yang jahat” atau “orang takwa yang buruk”. Orang takwa itu selalu baik karena takut kepada Allah swt.

            Akan tetapi, masuk akal jika ada kalimat “orang berilmu yang jahat” atau “orang berilmu yang buruk”.


Tak Mungkin Ulama Berpecah Belah
Jika kita melihat perpecahan atau konflik di antara orang yang katanya “ulama”, itu disebabkan mereka sesungguhnya bukan ulama atau orang jahat yang sedang menyakiti ulama. Tidak mungkin ulama dengan ulama saling menyakiti. Tidak mungkin orang takwa dengan orang takwa saling merendahkan. Pasti salah satu ada yang jahat atau kedua-duanya jahat.

            Kalau sama-sama takwa dan takut kepada Allah swt, mengapa harus bertengkar?

            Ulama su sesungguhnya bukanlah ulama dalam pandangan Allah swt. Mereka hanyalah orang-orang yang merasa nikmat mengklaim diri atau diklaim orang lain sebagai ulama. Akan tetapi, tidak dalam pandangan Allah swt. Mereka hanyalah manusia jahat dan buruk.

           Saya mohon maaf jika dalam tulisan saya ini terdapat kesalahan. Apabila para pembaca yang baik hati menemukan kesalahan, tolong koreksi saya dengan baik dan berikan saya tambahan ilmu yang baik. Saya sangat senang mendapatkan banyak koreksi sehingga saya dapat memperbaiki diri dengan lebih baik lagi.

Sampurasun.

Monday, 1 April 2019

Tidak Perlu Pengaman Swasta di TPS


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya
Pada satu sisi kita harus bersyukur atas semangat masyarakat untuk menyukseskan Pemilu RI 2019 dengan kepedulian yang tinggi untuk mendukung jago-jagonya dalam perhelatan demokrasi, termasuk bersedia memberikan pengamanan gratis untuk “membantu” KPU di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS). Akan tetapi, pada sisi lain ada kekhawatiran lain tentang kehadiran pengamanan swasta di setiap TPS yang ada.

            Sebagaimana yang kita ketahui perang di media sosial yang diwarnai dengan hoax, fitnah, dan ujaran kebencian begitu banyak berseliweran. Keras sekali perang kata-kata itu. Hal itu kalau tidak dikendalikan, bisa berakibat pada bentrokan fisik di dunia nyata.

            Para pendukung Pasangan 01 Jokowi-Maruf Amin membentuk pengamanan khusus untuk di TPS-TPS. Demikian pula para pendukung Pasangan 02 Prabowo-Sandiuno bersedia membuat pengamanan ekstra di TPS-TPS.

            Hal yang wajib diperhatikan adalah jika di sebuah TPS ada dua “pengamanan swasta” yang berasal dari 01 dan 02, tak ada jaminan mereka baik-baik saja, tak ada kepastian mereka tidak akan bentrok. Bahkan, akan menjadi beban baru bagi KPU untuk mengadakan pengamanan tambahan untuk mengawasi mereka agar tidak bentrok.

            Di samping itu, ada tenaga pengamanan dari pendukung pasangan calon presiden yang merencanakan menyediakan makanan dan minuman untuk masyarakat yang datang ke tempat pemungutan suara. Itu sangat berbahaya, malah bisa berakibat hukum karena dapat dianggap memberikan pengaruh pada keputusan masyarakat untuk memilih calon presiden yang mereka sukai.

            Sebaiknya, tidak perlu ada tenaga pengamanan untuk di TPS yang berasal dari kedua pasangan calon presiden. Gunakan saja pengamanan yang resmi dan disediakan oleh negara karena lebih bisa dipastikan netral dibandingkan mereka yang berasal dari dua kubu pasangan calon.

            Semangat itu bagus, tetapi efek negatif dari semangat berlebihan itu buruk.

Sampurasun.