oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Dalam suasana Pemilu 2019,
baik Pilpres maupun Pileg yang digelar April 2019 ini, situasi harus diakui
bahwa masyarakat “memanas” karena dipanas-panasi melalui media sosial. Hal yang
sangat mengkhawatirkan adalah banyaknya orang yang mengklaim diri atau diklaim
sebagai ulama ikut juga terlibat dalam suasana yang panas ini. Secara sepintas
saja sudah sangat jelas terlihat bahwa ada ulama dan habib yang mendukung
pasangan Jokowi-Maruf Amin dan ada yang mendukung pasangan Prabowo-Sandiaga Uno.
Sayangnya, di media sosial berseliweran postingan-postingan, baik itu kata-kata
maupun video yang isinya memaki-maki ulama hingga ada istilah yang menurut saya
aneh, yaitu, “ulama kami, ulama kalian, ulama mereka”. Istilah itu menunjukkan
dengan jelas adanya perpecahan di antara orang-orang yang mengklaim diri atau
diklaim sebagai ulama.
Saya sungguh tidak tahu apakah perpecahan itu diakibatkan
oleh orang di luar Indonesia yang ingin memecah para ulama di Indonesia, apakah
diciptakan oleh para politikus busuk yang hanya peduli kekuasaannya dan tidak
peduli dengan keharmonisan rakyat Indonesia, atau memang orang-orang yang
disebut ulama itu sendiri yang menginginkan kondisi seperti itu. Sungguh saya
tidak tahu hal itu dan hanya bisa diketahui melalui penelitian mendalam, baik
menggunakan metode kualitatif, kuantitatif, ataupun campuran di antara
keduanya.
Kenyataan seperti itu membuat saya bertanya-tanya apakah
mungkin para ulama bisa saling memaki, menghujat, dan saling merendahkan?
Apa dan siapa sih sebenarnya yang disebut ulama itu?
Di dalam beberapa literatur yang saya baca dan dari pemahaman
orang Indonesia secara umum, ulama biasa dipahami sebagai orang yang berilmu agama dan menjadi pemimpin agama di lingkungan masyarakat.
Intinya, ulama itu adalah orang yang berilmu.
Kalaulah artinya hanya seperti itu, tidak perlu heran
jika banyak orang yang mengaku-aku sebagai ulama atau diakui sebagai ulama. Kemudian,
terjadi banyak percekcokan, perselisihan, pertengkaran karena perbedaan
kepentingan, kekuasaan, pengaruh, harga diri, atau kedudukan. Tak heran pula
ada istilah ulama su yang biasa
diartikan sebagai ulama buruk atau ulama jahat. Hal itu juga secara bahasa
tidaklah salah jika ulama su adalah orang berilmu yang buruk atau jahat.
Hal tersebut dapat menjawab pertanyaan saya tentang apakah
para ulama bisa saling menghujat, memaki, memfitnah, atau merendahkan?
Jawabannya, “Bisa!”
Hal itu disebabkan bahwa arti ulama yang digunakan
hanyalah ‘orang berilmu’. Perpecahan di antara ulama pun tidak bisa dihindari
dan itu memalukan bagi kaum muslimin.
Arti
Ulama dalam Al Quran
Berbeda jika kita
menggunakan Al Quran untuk memahami apa dan siapa itu ulama. Dalam Al Quran
arti ulama itu tidak sebatas orang berilmu agama dan menjadi pemimpin agama,
tetapi “orang yang memiliki rasa takut kepada Allah swt”.
Allah swt berfirman, “…
Di antara hamba-hamba Allah, yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama….” (QS
Fathir : 28)
Para ahli tafsir mengatakan bahwa ulama itu adalah orang yang berilmu agama tinggi yang dengan
ilmunya mengantarkan dirinya takut kepada Allah swt. Intinya, ulama itu
adalah orang yang takut kepada Allah swt.
Hal ini mudah dipahami karena untuk memiliki rasa takut
kepada Allah swt, harus memiliki ilmu tentang Allah swt. Arti kebalikannya
adalah jika tidak takut kepada Allah swt, ia tidak memiliki ilmu tentang Allah
swt. Takut karena memiliki ilmunya. Tidak takut karena tidak memiliki ilmunya.
Dengan menggunakan arti ulama yang berasal dari Al Quran,
sangatlah tidak mungkin terjadi perpecahan di antara ulama. Orang yang takut
kepada Allah swt tidak mungkin saling mencaci, saling memaki, saling menghujat,
atau saling merendahkan. Orang-orang ini takut sekali jika pikirannya,
kata-katanya, dan perbuatannya menimbulkan kerusakan di muka Bumi dengan
menyakiti hati dan fisik orang yang
takut kepada Allah swt. Orang yang takut Allah swt mustahil menyakiti orang
yang takut kepada Allah swt.
Hal itu menjelaskan bahwa sesungguhnya tidak perlu ada istilah
ulama su karena tidak mungkin orang
yang takut Allah swt berbuat buruk atau jahat. Sudah pasti orang jahat dan
buruk adalah bukan orang yang takut
kepada Allah swt. Dia pasti bukan ulama.
Apalagi jika kita
menggunakan kata “takwa” untuk mengganti kalimat “orang yang takut kepada Allah
swt”, akan jelas terlihat jalan logisnya. Kata takwa memiliki makna pula “takut kepada Allah swt”.
Sangatlah tidak masuk akal jika ada kalimat “orang takwa
yang jahat” atau “orang takwa yang buruk”. Orang takwa itu selalu baik karena
takut kepada Allah swt.
Akan tetapi, masuk akal jika ada kalimat “orang berilmu
yang jahat” atau “orang berilmu yang buruk”.
Tak
Mungkin Ulama Berpecah Belah
Jika kita melihat perpecahan
atau konflik di antara orang yang katanya “ulama”, itu disebabkan mereka
sesungguhnya bukan ulama atau orang jahat yang sedang menyakiti ulama. Tidak
mungkin ulama dengan ulama saling menyakiti. Tidak mungkin orang takwa dengan
orang takwa saling merendahkan. Pasti salah satu ada yang jahat atau
kedua-duanya jahat.
Kalau sama-sama takwa dan takut kepada Allah swt, mengapa
harus bertengkar?
Ulama su sesungguhnya
bukanlah ulama dalam pandangan Allah swt. Mereka hanyalah orang-orang yang
merasa nikmat mengklaim diri atau diklaim orang lain sebagai ulama. Akan
tetapi, tidak dalam pandangan Allah swt. Mereka hanyalah manusia jahat dan
buruk.
Saya mohon maaf jika dalam tulisan saya ini terdapat kesalahan. Apabila para pembaca yang baik hati menemukan kesalahan, tolong koreksi saya dengan baik dan berikan saya tambahan ilmu yang baik. Saya sangat senang mendapatkan banyak koreksi sehingga saya dapat memperbaiki diri dengan lebih baik lagi.
Sampurasun.
Saya mohon maaf jika dalam tulisan saya ini terdapat kesalahan. Apabila para pembaca yang baik hati menemukan kesalahan, tolong koreksi saya dengan baik dan berikan saya tambahan ilmu yang baik. Saya sangat senang mendapatkan banyak koreksi sehingga saya dapat memperbaiki diri dengan lebih baik lagi.
Sampurasun.