Friday, 30 October 2020

Rindu Jokowi, Bukan Pemerintah

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Ketika perasaan umat Islam terhina, tersinggung, dan marah, sudah seharusnya para pemimpin muslim di mana pun menangkap perasaan umat dan menyuarakannya untuk mewakili umatnya. Demikian pula, Indonesia yang merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia sangat wajar jika berharap pemimpinnya, Presiden RI Jokowi, memberikan kecaman, teguran, atau paling tidak nasihat untuk Presiden Perancis Emmanuel Macron yang telah menghina Islam dan kaum muslimin. Bahkan, Macron mengatakan bahwa Samuel Paty, guru sejarah yang dipenggal gara-gara mempertontonkan karikatur Nabi Muhammad saw itu sebagai martir. Tidak perlu kaget jika banyak umat Islam pun menganggap Abdoullakh Anzorov yang memenggal kepala Samuel Paty pun sebagai martir. Itu akan membuat “chaos” baru.

            Pemerintah RI sudah cukup bagus melalui Kemenlu RI melakukan kecaman dan protes dengan cara memanggil Duta Besar Perancis Olivier Chambard untuk menjelaskan sikap dan posisi Indonesia terhadap masalah itu. Akan tetapi, itu kan pemerintah yang sifatnya kolektif kolegial. Bagi rakyat Indonesia, itu belum cukup terwakili. Rakyat menginginkan Jokowi yang bersuara. Rakyat rindu sosok Jokowi untuk bersuara terkait masalah penghinaan terhadap Nabi Muhammad saw. Suara Jokowi itu akan lebih kuat tekanannya dibandingkan ribuan gerombolan demonstran. Ucapannya akan lebih didengar. Rakyat pun akan mendapatkan harga diri yang lebih tinggi jika pemimpinnya berbicara mewakili perasaannya untuk disampaikan pada dunia, terutama terhadap Macron.

            Sampai tulisan ini disusun, belum terdengar Jokowi berbicara hal itu. Rakyat mulai bertanya-tanya dan itu tidak bagus karena akan banyak dugaan terhadap penyebab Jokowi belum juga bersuara.

            Apakah Jokowi merasa cukup suaranya diwakilkan kepada Kementerian Luar Negeri RI?

            Seperti saya bilang tadi, tidak cukup.

            Rakyat ingin mendengar dari Jokowi langsung. Pemerintah memang sudah bersikap dan itu bagus, tetapi rakyat menginginkan mendengar suara Jokowi. Hal itu bisa diperhatikan dari desakan yang disuarakan partai-partai pendukung pemerintah sendiri, seperti, Nasdem dan PDIP. Demikian pula Ormas sekelas GP Ansor pun berharap hal yang sama. Saya yakin banyak elemen masyarakat lain yang menginginkan Jokowi bersuara jelas terkait penghinaan yang dilakukan Macron.

            Kalaulah Jokowi merasa “heurin ku letah”, ‘susah bicara’, terhadap Macron karena Perancis adalah sahabat Indonesia, berbincanglah sebagai sahabat karena sahabat yang baik adalah sahabat yang mengingatkan sahabatnya ketika sahabatnya itu melakukan kesalahan. Dalam hal ini, Perancis adalah sahabat yang sedang melakukan kesalahan yang kalau mengikuti pendapat Menkopolhukam RI Mahfudz M.D., Macron sedang krisis gagal paham terhadap Islam. Jelas Macron sedang kusut pikiran dan melakukan kesalahan yang mengganggu ketenangan dunia.

            Di samping itu, jika terjadi perbincangan dengan Macron, Jokowi bisa ekspor nilai-nilai Pancasila terhadap Perancis dengan menunjukkan adanya UU anti penghinaan, anti penistaan, atau anti penyerangan terhadap agama untuk membina kerukunan umat beragama di Indonesia. Perancis bisa belajar dari hal itu jika ingin lebih tenang dan harus menahan kebiasaan dirinya untuk gemar menistakan agama. Itu adalah hal yang bagus.

            Bisa pula Jokowi bersikap tegas dan keras seperti kepada Cina. Meskipun Indonesia banyak melakukan hubungan bisnis dengan Cina, Jokowi tetap tegas soal kedaulatan negara di Laut Natuna Utara. Jokowi mengharapkan pasukannya untuk dapat menjaga dan mengamankan Laut Natuna Utara dari gangguan Cina. Sikap dia sangat jelas, baik dalam perkataannya maupun dalam sikapnya tentang kedaulatan negara.

            Masa terhadap Cina bisa tegas, tetapi terhadap Macron tidak bisa tegas nyata?

            Rakyat merindukan suara Jokowi, bukan suara pemerintah. Suara pemerintah sudah terdengar dan itu perlu diapresiasi. Suara sosok Jokowi yang belum terdengar. Jangan sampai rakyat menduga-duga penyebab Jokowi tidak bersuara. Itu tidak baik.

            Mau bersuara atau tidak, dalam arti diam saja, Jokowi harus menjelaskan sikapnya itu kepada masyarakat. Dengan demikian, rakyat bisa paham dan lebih tenang. Jika tidak, akan banyak pertanyaan di masyarakat tentang sosok Jokowi. Bisa-bisa timbul banyak hoax, ujaran kebencian, dan penyesatan pikiran jika Jokowi tidak menjelaskan sikapnya.

            Rakyat rindu suara Jokowi.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment