oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Emmanuel Macron adalah
Presiden Perancis, sudah pasti dia adalah politisi. Sebagai politisi, dia harus
menghadapi Pemilu yang akan datang serta ingin dirinya dan partainya menang.
Hal itu lumrah terjadi pada diri seorang politisi.
Kita tidak tahu apakah pidato Macron yang mengaitkan
terorisme, radikalisme, dan Islam itu adalah dalam rangka pembenahan keamanan
di Perancis atau memang sedang mengangkat isu yang dianggapnya seksi untuk mendorongnya
kembali dalam kepemimpinan di Perancis. Pemenggalan kepala seorang guru sejarah
di Perancis oleh seorang pemuda muslim dianggapnya sebagai perlawanan terhadap
demokrasi dan kebebasan berekspresi. Isi pidatonya jelas sekali mengatakan hal
tersebut. Dia pun menjelaskan bahwa rakyat Perancis memiliki hak untuk
menistakan (agama). Itulah yang membuat banyak orang marah, terutama muslim.
Padahal, pembiaran terhadap penistaan (agama) ini telah mengakibatkan saling
bunuh di Perancis.
Sekitar seminggu yang lalu dua wanita berjilbab ditusuk
di bawah Menara Eifel sambil dimaki-maki, “Orang Arab Kotor! Tempat kalian
bukan di sini!”
Beruntung kedua wanita itu tidak tewas. Mereka dilarikan
polisi ke rumah sakit.
Kemudian, guru sejarah dipenggal kepalanya gara-gara
mempertontonkan karikatur Muhammad saw. Pelakunya ditangkap polisi. Hal itu
berlanjut dengan penusukan dan penggorokan leher di gereja di Nice, Perancis.
Kalaulah hal-hal itu diangkat sebagai isu untuk
mendongkrak popularitas dirinya menjelang Pemilu di Perancis dengan
mendiskreditkan Islam sebagai “agama yang sedang mengalami krisis”, sungguh itu
merupakan langkah politik blunder. Sebetulnya, dari isi pidatonya awalnya bagus
bahwa dia memusuhi gerakan terorisme dan radikal Islam yang mengganggu ketenangan
warga. Semua negara pun sedang memusuhi itu. Akan tetapi, ketika hal itu
dikaitkan dengan ajaran Islam, itu adalah sebuah kesalahan fatal. Apalagi
penghinaan kepada Nabi saw itu dianggap kebebasan berekspresi dan perlu
dilindungi sebagai cara hidup warga Perancis.
Warga dunia dan warga Perancis sebetulnya sudah tidak
mempedulikan perbedaan agama itu, mayoritas semua ingin hidup damai dan kerja
sama yang saling menguntungkan, kecuali segelintir orang yang hidupnya memang
dari provokasi dan menebar konflik. Hal itu bisa dilihat di konten-konten
youtube yang dibuat para pemuda Amerika Serikat (AS) dan di Perancis sendiri.
Seorang pemuda Amerika Serikat keturunan Arab bikin banyak video tentang
pandangan kehidupan beragama di AS. Semua yang dia wawancarai menghendaki
adanya perdamaian, saling menghormati, menghilangkan permusuhan karena
perbedaan agama, adanya kerja sama yang baik, bisnis yang lancar tanpa harus
dihalangi perbedaan agama. Di Perancis sendiri saya lihat banyak pemuda yang
membuat video “prank” dengan cara mem-bully perempuan muslim berjilbab di
taman, di jalan, di kampus, dan di keramaian lainnya. Ketika perempuan
berjilbab itu di-bully dan dihina agamanya yang Islam itu, banyak sekali pemuda
nonmuslim yang membelanya, bahkan hampir berkelahi dengan para pem-bully itu.
Ketika diberi tahu bahwa tindakan itu hanya “prank” dan bermaksud untuk
mengetahui sejauh mana sikap nonmuslim terhadap muslim yang sedang teraniaya,
mereka semua tertawa-tawa. Hal itu menunjukkan bahwa perbedaan agama sudah
tidak lagi menjadi kendala untuk hidup bersama dan para pemuda itu tidak saling
melakukan penghinaan dan permusuhan atas dasar perbedaan keyakinan. Jumlah
generasi muda yang sudah sangat toleran ini semakin banyak dan kita bisa
mencobanya sendiri berhubungan dengan orang-orang asing dalam kerja sama
tertentu, misalnya, budaya atau teknologi. Perbedaan agama itu tidak menjadi
masalah yang berarti.
Dengan melihat perkembangan toleransi yang makin menguat
di dunia, kecuali beberapa gelintir para provokator, isu yang digunakan Macron dengan
mengaitkan Islam dan radikalisme untuk mendapatkan keuntungan politik adalah
blunder. Orang sudah semakin paham bahwa terorisme dan Islam adalah dua hal
yang berbeda, sama sekali tidak ada kaitannya. Meskipun jumlah umat Islam di
Perancis bisa dikatakan minoritas, mayoritas warga Perancis sudah tidak mau
lagi percaya dengan isu-isu menyesatkan tentang Islam dan terorisme, terutama
kaum mudanya. Mereka toh sudah menjalani hidup bersama dan mayoritas baik-baik
saja, kecuali sedikit orang-orang bebal. Isu yang diangkat Macron bukannya akan
meningkatkan popularitasnya, melainkan sebaliknya, berpotensi menurunkan
elektabilitasnya. Hal itu diperparah dengan adanya kasus-kasus kekerasan dan
kematian atas dasar keagamaan serta adanya seruan untuk memboikot produk-produk
Perancis. Jika upaya boikot ini berhasil dan konsisten dilakukan dunia,
terutama negeri-negeri berpenduduk mayoritas muslim, ekonomi Perancis akan
terganggu, para pengusaha akan menderita kerugian. Hal itu akan mendorong
turunnya popularitas Macron di Perancis. Hal-hal ini pun akan digunakan sebagai
amunisi bagi saingan Macron dan partainya untuk menghantam pemerintah sehingga
Macron dan para pendukungnya jatuh dari kursi pemerintahan.
Begitu kira-kira analisis saya. Kalau mau berkomentar,
berkomentarlah yang baik dan nyambung dengan isi artikel. Komentar yang buruk
dan tidak nyambung akan saya hapus.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment