Friday, 30 October 2020

Blunder Politik Macron

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Emmanuel Macron adalah Presiden Perancis, sudah pasti dia adalah politisi. Sebagai politisi, dia harus menghadapi Pemilu yang akan datang serta ingin dirinya dan partainya menang. Hal itu lumrah terjadi pada diri seorang politisi.

            Kita tidak tahu apakah pidato Macron yang mengaitkan terorisme, radikalisme, dan Islam itu adalah dalam rangka pembenahan keamanan di Perancis atau memang sedang mengangkat isu yang dianggapnya seksi untuk mendorongnya kembali dalam kepemimpinan di Perancis. Pemenggalan kepala seorang guru sejarah di Perancis oleh seorang pemuda muslim dianggapnya sebagai perlawanan terhadap demokrasi dan kebebasan berekspresi. Isi pidatonya jelas sekali mengatakan hal tersebut. Dia pun menjelaskan bahwa rakyat Perancis memiliki hak untuk menistakan (agama). Itulah yang membuat banyak orang marah, terutama muslim. Padahal, pembiaran terhadap penistaan (agama) ini telah mengakibatkan saling bunuh di Perancis.

            Sekitar seminggu yang lalu dua wanita berjilbab ditusuk di bawah Menara Eifel sambil dimaki-maki, “Orang Arab Kotor! Tempat kalian bukan di sini!”

            Beruntung kedua wanita itu tidak tewas. Mereka dilarikan polisi ke rumah sakit.

            Kemudian, guru sejarah dipenggal kepalanya gara-gara mempertontonkan karikatur Muhammad saw. Pelakunya ditangkap polisi. Hal itu berlanjut dengan penusukan dan penggorokan leher di gereja di Nice, Perancis.

            Kalaulah hal-hal itu diangkat sebagai isu untuk mendongkrak popularitas dirinya menjelang Pemilu di Perancis dengan mendiskreditkan Islam sebagai “agama yang sedang mengalami krisis”, sungguh itu merupakan langkah politik blunder. Sebetulnya, dari isi pidatonya awalnya bagus bahwa dia memusuhi gerakan terorisme dan radikal Islam yang mengganggu ketenangan warga. Semua negara pun sedang memusuhi itu. Akan tetapi, ketika hal itu dikaitkan dengan ajaran Islam, itu adalah sebuah kesalahan fatal. Apalagi penghinaan kepada Nabi saw itu dianggap kebebasan berekspresi dan perlu dilindungi sebagai cara hidup warga Perancis.

            Warga dunia dan warga Perancis sebetulnya sudah tidak mempedulikan perbedaan agama itu, mayoritas semua ingin hidup damai dan kerja sama yang saling menguntungkan, kecuali segelintir orang yang hidupnya memang dari provokasi dan menebar konflik. Hal itu bisa dilihat di konten-konten youtube yang dibuat para pemuda Amerika Serikat (AS) dan di Perancis sendiri. Seorang pemuda Amerika Serikat keturunan Arab bikin banyak video tentang pandangan kehidupan beragama di AS. Semua yang dia wawancarai menghendaki adanya perdamaian, saling menghormati, menghilangkan permusuhan karena perbedaan agama, adanya kerja sama yang baik, bisnis yang lancar tanpa harus dihalangi perbedaan agama. Di Perancis sendiri saya lihat banyak pemuda yang membuat video “prank” dengan cara mem-bully perempuan muslim berjilbab di taman, di jalan, di kampus, dan di keramaian lainnya. Ketika perempuan berjilbab itu di-bully dan dihina agamanya yang Islam itu, banyak sekali pemuda nonmuslim yang membelanya, bahkan hampir berkelahi dengan para pem-bully itu. Ketika diberi tahu bahwa tindakan itu hanya “prank” dan bermaksud untuk mengetahui sejauh mana sikap nonmuslim terhadap muslim yang sedang teraniaya, mereka semua tertawa-tawa. Hal itu menunjukkan bahwa perbedaan agama sudah tidak lagi menjadi kendala untuk hidup bersama dan para pemuda itu tidak saling melakukan penghinaan dan permusuhan atas dasar perbedaan keyakinan. Jumlah generasi muda yang sudah sangat toleran ini semakin banyak dan kita bisa mencobanya sendiri berhubungan dengan orang-orang asing dalam kerja sama tertentu, misalnya, budaya atau teknologi. Perbedaan agama itu tidak menjadi masalah yang berarti.

            Dengan melihat perkembangan toleransi yang makin menguat di dunia, kecuali beberapa gelintir para provokator, isu yang digunakan Macron dengan mengaitkan Islam dan radikalisme untuk mendapatkan keuntungan politik adalah blunder. Orang sudah semakin paham bahwa terorisme dan Islam adalah dua hal yang berbeda, sama sekali tidak ada kaitannya. Meskipun jumlah umat Islam di Perancis bisa dikatakan minoritas, mayoritas warga Perancis sudah tidak mau lagi percaya dengan isu-isu menyesatkan tentang Islam dan terorisme, terutama kaum mudanya. Mereka toh sudah menjalani hidup bersama dan mayoritas baik-baik saja, kecuali sedikit orang-orang bebal. Isu yang diangkat Macron bukannya akan meningkatkan popularitasnya, melainkan sebaliknya, berpotensi menurunkan elektabilitasnya. Hal itu diperparah dengan adanya kasus-kasus kekerasan dan kematian atas dasar keagamaan serta adanya seruan untuk memboikot produk-produk Perancis. Jika upaya boikot ini berhasil dan konsisten dilakukan dunia, terutama negeri-negeri berpenduduk mayoritas muslim, ekonomi Perancis akan terganggu, para pengusaha akan menderita kerugian. Hal itu akan mendorong turunnya popularitas Macron di Perancis. Hal-hal ini pun akan digunakan sebagai amunisi bagi saingan Macron dan partainya untuk menghantam pemerintah sehingga Macron dan para pendukungnya jatuh dari kursi pemerintahan.

            Begitu kira-kira analisis saya. Kalau mau berkomentar, berkomentarlah yang baik dan nyambung dengan isi artikel. Komentar yang buruk dan tidak nyambung akan saya hapus.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment