Saturday, 22 October 2022

Jokowi Jangan Datang ke Pengadilan Soal Ijazah

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Sudah saya bilang bahwa soal gugatan ijazah palsu Jokowi itu memang lucu dan hanya akan menjadi konsumsi orang-orang bodoh. Memang mungkin maksudnya juga untuk menggerakkan orang-orang bodoh sehingga bikin keributan karena percaya bahwa Presiden Jokowi ijazahnya palsu, lalu demonstrasi dan bikin huru-hara dengan tuntutan yang itu-itu saja, “turunkan Jokowi”. Padahal, Jokowi bakal turun sendiri pada 2024. Semakin diteruskan soal itu, semakin lucu dan tampak bodohnya.

            Saya perhatikan pada sidang pertama di pengadilan, 18 Oktober 2022, pengacara penggugat, Eggy Sudjana, marah-marah karena Jokowi tidak hadir ke pengadilan. Dia memaksa hakim untuk memaksa Jokowi datang ke pengadilan. Jika Jokowi tidak mau hadir ke pengadilan, berarti benar ijazahnya palsu. Hakim harus memutuskan bahwa ijazah Jokowi palsu.

            Lihat Si Eggy marah-marah saja sudah pengen ketawa.

            Kenapa harus marah? Sewot banget.

            Itu kan hak setiap orang, mau datang atau tidak ke pengadilan. Kalau tidak datang, sidangkan saja tanpa kehadiran Jokowi, kan bisa.

            Lalu, Eggy semakin lucu, tetapi tidak melawak. Tidak melawak saja sudah lucu. Kalau melawak, malah mungkin tidak lucu. Dia menuntut hakim jika Jokowi tidak bisa hadir, harus diputuskan bahwa ijazah Jokowi benar-benar palsu.

            Kan bodor.

            Hakim tahu apa tentang keaslian ijazah seseorang?

            Hakim tidak punya pemahaman untuk itu. Pihak yang sangat paham tentang keaslian ijazah seseorang adalah lembaga yang mengeluarkan ijazah itu, yaitu pihak sekolah dan pemerintah. Kalaupun hakim mau memutuskan keaslian atau kepalsuan ijazah, ya harus bertanya dulu kepada pihak sekolah dan pemerintah. Bodoh sekali hakim jika memutuskan perkara tanpa bertanya dulu kepada pihak-pihak yang terkait. Karirnya bisa berhenti sampai situ kalau sok tahu tanpa pengetahuan memutuskan suatu perkara.

            Menurut saya, Jokowi tidak perlu datang ke pengadilan, biarkan saja orang-orang lucu itu kelojotan dengan kelucuannya. Jokowi sebetulnya masih baik, mengirimkan pengacara untuk mewakilinya. Artinya, masih menghormati penggugatnya. Kalau terjadi kepada diri saya, beneran saya tidak akan pernah datang ke pengadilan, tidak akan mewakilkan kepada pengacara, dan akan saya lecehkan serta tertawakan orang-orang itu.

            Ngapain juga datang? Apa untungnya buat saya?

            Males banget.

            Mereka yang menuduh ijazah saya palsu, kok saya yang harus membuktikannya keasliannya?

            Biarkan saja mereka usaha sendiri membuktikan ijazah saya palsu. Saya mah nungguin saja sambil macul, main bareng sama orang-orang yang saya cintai, ngabedahkeun balong, santai saja. Jika mereka tidak bisa membuktikannya, nah baru saya perkarakan dengan pasal fitnah, pencemaran nama baik, penyebaran berita bohong, dan pasal-pasal lainnya yang bakal menjerat mereka hingga tidak bisa menghindar dari tuntutan saya. Beneran.

            Kalau Jokowi datang ke pengadilan, malah bahaya. Itu bakal jadi preseden buruk bagi masyarakat.

            Bagaimana kalau ada orang yang membenci para pembaca tulisan saya ini menggugat keaslian ijazah saudara-saudara sekalian?

            Apakah kalian mau bersusah-susah melayani mereka?

            Kita harus pontang-panting kesana-kemari untuk membuktikan keaslian ijazah kita. Mereka yang bikin perkara, kita yang repot.

            Biarkan saja mereka yang repot membuktikan tuduhan mereka. Kalau mereka berhasil dan benar, berarti kita sudah melakukan pemalsuan dokumen dan itu ada hukumnya, pidana, yang akan menjerat kita. Jika mereka tidak berhasil, terserah kita, bisa kita masukan ke dalam penjara.

            Sebetulnya, ada satu lagi kelucuan Eggy Sudjana terkait hal ini, tetapi akan terlalu panjang ditulis di sini. Nanti saja pada tulisan dengan judul yang lain. Gampang surampang kok.

            Sampurasun.

Wednesday, 19 October 2022

Ijazah Jokowi Senasib Ijazah Saya

 


oleh Tom Finaldin

 

 Bandung, Putera Sang Surya

Kadang ngeselin, kadang lucu melihat tingkah orang-orang yang entah bodoh atau pura-pura bodoh atau memang ingin membodohi orang lain. Ada yang bikin isu bahwa ijazah SMAN 6 Surakarta milik Jokowi bukan asli alias palsu. Bahkan, ada yang bilang bahwa Jokowi bukan lulusan SMAN 6 Surakarta. Dia mencuri ijazah orang lain. Cukup pintar orang-orang ini membodohi orang bodoh. Akan tetapi, bagi orang cerdas, orang-orang ini hanyalah pelawak bodoh.

            Setelah saya perhatikan sebentar saja, ijazah Jokowi itu mirip ijazah saya. Memang Jokowi tidak memiliki ijazah sebagai lulusan SMAN 6 Surakarta seperti yang dimiliki lulusan angkatan-angkatan setelahnya. Tidak akan pernah ada ijazah itu. Hal itu disebabkan Jokowi adalah lulusan Sekolah Menengah Pembangunan Persiapan (SMPP) 40 di Surakarta. Ijazah yang dikeluarkan pasti jelas ijazah SMPP 40. Pada perkembangan berikutnya, SMPP 40 ini berubah menjadi SMAN 6  Surakarta. Otomatis SMPP 40 tidak ada lagi. Otomatis pula siswa yang lulus berikutnya dari sana menggunakan nama SMAN 6, bukan lagi SMPP 40. Adapun Jokowi, lulus ketika sekolah itu masih bernama SMPP 40. Jadi, Jokowi yang memiliki ijazah SMPP 40 adalah merupakan alumnus pula dari SMAN 6 Surakarta karena lembaga itu masih sama dan hanya berubah nama.

            Begitu ya.

            Hal itu mirip dengan ijazah saya. Saya ini lulusan SMP Negeri 48 Kota Bandung, tetapi saya tidak memiliki ijazahnya. Hal itu disebabkan saya lulus SMP ketika sekolah itu masih bernama SMP Negeri 1 Buahbatu Bandung. Sekarang, sekolah dengan nama SMPN 1 Buahbatu sudah tidak ada lagi karena berubah nama menjadi SMP Negeri 48. Jadi, saya ini lulusan SMPN 48 ketika sekolah itu masih bernama SMP Negeri 1 Buahbatu. Sekolahannya masih sama hanya namanya yang berbeda. So, ijazah saya pun pasti SMP Negeri 1 Buahbatu, bukan SMP Negeri 48.

            Bukan ijazahnya yang palsu, ngaku-ngaku, atau dapat dari mencuri, tetapi begitulah kejadiannya.

            Dengar-dengar sih, perubahan nama itu mengikuti perubahan administratif willayah. Dulu wilayah itu masih termasuk Kabupaten Bandung, jadi namanya SMP Negeri 1 Buahbatu. Ketika wilayah itu masuk menjadi Kota Bandung, namanya berubah menjadi SMPN 48. Kalau mau lebih jelas, klik saja di Google, profil SMPN 48 Kota Bandung, ada yang menulis sejarahnya. Mudah kok.

            Demikian pula dengan ijazah istri saya. Istri saya itu lulusan SMK, tetapi tidak ada ijazah SMK-nya karena ketika istri saya lulus, sekolah itu masih bernama SMEA. Sekolahnya sama, hanya berubah nama mengikuti kebijakan pemerintah.

            Banyak kok yang punya ijazah semacam ini. Tidak perlu heran. Hanya bagi orang-orang yang mata hatinya tertutup, hal seperti ini bisa menjadi bahan fitnah dan kebodohan. Padahal, untuk memahaminya sangat enteng surenteng,

            Sampurasun.

Thursday, 6 October 2022

Ganjar Gemukan PSI

 

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Setelah Partai Nasdem mendeklarasikan Anies Baswedan menjadi Bakal Calon Presiden untuk Pilpres 2024, pada hari yang sama Grace Natalie, pemimpin Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mendeklarasikan Ganjar Pranowo sebagai Bakal Calon Presiden RI 2024. Perilaku Nasdem dan PSI sama-sama mengejutkan. Pasalnya, banyak orang menyangka Anies akan diusung PKS karena kedekatannya. Adapun Ganjar akan diusung PDI-P karena merupakan kadernya. Meskipun demikian, kedua partai itu sama-sama lemahnya karena itu hanya deklarasi dan belum bisa menguatkan Anies maupun Ganjar sebagai Capres. Untuk menjadi Capres, perlu 20% suara kekuatan di parlemen. Nasdem maupun PSI belum memiliki kekuatan itu.

            Foto Grace Natalie saya dapatkan dari JawaPos dan Ganjar Pranowo dari RMOLBengkulu.


Grace Natalie (Foto: JawaPos.com)


            Terlepas dari itu semua, dari keberanian PSI menjadi partai pengusung pertama Ganjar sebagai Bacapres, telah membuat para pendukung Ganjar mendapatkan kegembiraan dan kekuatan. Hal ini bisa dilihat dari betapa kecewanya mereka terhadap PDI-P yang seolah-olah hendak menyingkirkan Ganjar untuk kemudian mengusung Puan Maharani untuk menjadi Capres RI. Mereka sudah bertekad jika Ganjar tidak menjadii Capres, pilihannya akan dialihkan ke Prabowo Subianto. Sekarang, PSI dengan berani mendeklarasikan Ganjar. Otomatis para pendukung  Ganjar akan bersimpati kepada PSI, bersama PSI, dan pada masa depan mereka akan memilih PSI.

            Apabila kita lihat berbagai survey, Ganjar selalu menjadi nomor satu, jauh di atas  orang-orang yang disebut-sebut calon presiden, seperti, Prabowo, Jokowi, Anies, Ridwan Kamil, dan AHY. Itu artinya, pendukung Ganjar yang terbanyak itu akan banyak yang menjadi pemilih PSI. Sementara itu, jika PDI-P meninggalkan Ganjar dan ngotot memilih Puan, suaranya akan menurun karena ditinggalkan pemilih Ganjar.


Ganjar Pranowo (Foto: RMOLBengkulu)


            Hal ini menjadi masuk akal ketika ada analisis bahwa pada Pemilu nanti, PDI-P dan PSI akan menjadi partai terkuat di DKI Jakarta. PDI-P sudah sangat kuat dan menang yang ditunjukkan dengan tingginya pemilih Jokowi ketika Pilpres 2019 lalu. Sementara itu, PSI akan tambah gemuk dan melambung karena keberanian dan konsistensinya dalam mendukung Ganjar. Karena kekuatan dua partai ini, timbul analisis lanjutan bahwa pada masa depan akan muncul pasangan Gibran Rakabuming Raka—Grace Natalie sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta.

            PDI-P jangan terlalu Baper dengan keberanian PSI dalam mendukung Ganjar Pranowo yang adalah kader PDI-P karena itu merugikan diri sendiri. Apalagi jika mengecam PSI yang dikatakannya tidak beretika karena mengusung Ganjar tanpa ada izin dari Megawati. Sungguh, tak ada aturan untuk itu. Siapa pun, baik partai maupun rakyat biasa, bisa mengusung siapa pun dari partai manapun untuk menjadi presiden. Soal bisa terdaftar atau tidak menjadi Capres RI, aturan-aturannya harus dipenuhi. Itu saja.

            Sampurasun.