oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Musim kampanye pemilihan
presiden (Pilpres) 2024 makin dekat. Setiap hari, waktu mengarah ke sana. Para
pendukung sudah mulai lebih memperkenalkan jagoannya. Para calon presiden
(Capres) atau sebetulnya bakal calon presiden (Bacapres) sudah mulai banyak
menghiasi obrolan dan berbagai tayangan di media sosial. Mereka itu sebenarnya
bukan Capres karena baru diusulkan partai, belum didaftarkan ke Komisi
Pemilihan Umum (KPU). Mereka itu baru Bacapres dan belum tentu juga menjadi Capres.
Paling tidak, ada empat Bacapres yang saya ketahui,
yaitu: Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, Anies Baswedan, dan Airlangga
Hartarto. Mungkin ke depannya akan bertambah atau berkurang, kita belum tahu.
Mereka inilah yang mulai dielu-elukan pada berbagai media, baik maya maupun
nyata.
Sayangnya, para pendukungnya banyak yang berlebihan dalam
memberikan dukungan dan memperkenalkan jagoannya hingga ke hal-hal yang tidak
masuk akal, bodoh, dan menyesatkan. Anies Baswedan, misalnya, disebut sebagai “utusan
Allah swt, adik nabi, bahkan Allah swt sendiri”. Saya tidak tahu apakah mereka
yang menyebut hal-hal itu adalah benar-benar pendukung Anies atau malah
orang-orang yang anti-Anies. Hal itu disebabkan kalimat-kalimat seperti itu merusakkan
nama Anies Baswedan sendiri. Orang cerdas sudah pasti bisa menilai betapa
bodohnya kalimat-kalimat seperti itu. Bahkan, yang sedang viral akhir-akhir ini
adalah yang disampaikan oleh Abah Aos yang katanya ulama dari Cimahi. Abah Aos
dengan terang benderang mengatakan bahwa Anies adalah “imam mahdi”. Jadi, siapa
pun yang tidak memilih Anies adalah dajjal.
Kan lucu, ya nggak?
Imam Mahdi itu levelnya dunia, bukan lokal negara. Tak
ada riwayat Imam Mahdi daftar jadi Capres dan berusaha keras mendapatkan
dukungan dari tiga partai oposisi untuk menggenapi 20% suara.
Hadits mana yang mengungkapkan hal-hal itu?
Tidak ada!
Bagaimana kalau kalah?
Masa Imam Mahdi kalah?
Itu cuma ngarang berdasarkan hawa nafsu yang memalukan.
Demikian juga terhadap Ganjar Pranowo. Pendukungnya
berlebihan menurut saya. Di spanduk-spanduk yang beredar di Jawa Barat Ganjar
disebut “Nyantri-Nyunda”. Kalau nyantri, okelah, Ganjar memang dekat dengan
kalangan nahdliyin. Bahkan, istrinya sendiri, Atikoh, adalah anak kiyai yang
punya pesantren besar. Akan tetapi, kalau disebut “nyunda”, itu berlebihan.
Ganjar itu orang Jawa yang jelas bukan orang Sunda. Tidak tepat jika disebut “nyunda”.
Istilah nyunda itu menunjukkan bahwa seseorang itu paham kesundaan, hidup
dengan cara Sunda, bertata-titi Sunda, berbahasa Sunda, serta tahu sejarah dan
uga Sunda.
Nyunda dari mananya Ganjar Pranowo?
Ganjar Pranowo mungkin lebih tepat disebut “njowo”!
Dia orang Jawa dan bukan Sunda.
Kalaulah Ganjar diperkenalkan agar mendapat tempat di
hati orang Sunda sehingga orang-orang Sunda memilihnya menjadi presiden
Indonesia, cari kalimat lain yang lebih tepat dan lebih menyatukan rasa antara
orang Jawa dengan orang Sunda. Tim suksesnya harus lebih kreatif untuk hal ini,
jangan mengada-ada dan jangan berlebihan.
Kalau berlebihan, kasihan Anies, kasihan Ganjar. Mereka
diperkenalkan dengan cara yang tidak tepat dan salah. Perkenalkan mereka dengan
baik, masuk akal, dan sesuai dengan kenyataan.
Kalau Prabowo dan Airlangga, saya belum melihat kalimat-kalimat
yang tidak masuk akal dalam mendukung mereka hingga saat ini. Entah kalau
nanti. Jika saya melihat ada yang tidak masuk akal dan memalukan, akan saya
kritik lagi agar kita semua semakin cerdas dan mencerdaskan.
Sampurasun.