Monday, 15 December 2025

Bencana Akibat Salah Mikir

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung Putera Sang Surya

Di masjid, gereja, vihara, tempat-tempat ibadat lain, di perguruan tinggi, pada berbagai seminar, pada rupa-rupa pidato dari dulu sampai hari ini masih saya dengar, “Alam dan seisinya ini diciptakan sebesar-besarnya untuk kepentingan manusia!”

            Pernah mendengar bukan kalimat seperti itu?

            Dari mana kalimat itu berasal?

            Apa dasarnya?

            Kalau ada kitab suci, agama apa pun yang mengajarkan hal itu, saya ingin tahu penjelasannya. Bagi saya, kalimat itu salah total. Sejak masih SMA, saya heran dengan kalimat itu, tetapi dipercaya manusia hingga hari ini. Benar-benar menghermankan, eh mengherankan.

            Sepanjang penelusuran saya, ada kemungkinan kalimat itu berasal dari pemahaman budaya yang salah. Dari seluruh ajaran budaya dan buku-buku yang beredar, ada satu pemahaman inti bahwa “budaya adalah cara manusia hidup menghadapi alamnya”. Inilah pemahaman yang salah itu.

            Kesalahan pemahaman itu mengakibatkan kesalahan sikap. Karena posisinya “berhadapan”, manusia selalu berusaha mengalahkan alam, menguasai, dan menundukkan alam. Manusia menggali, mengeksploitasi, dan menikmati hingga alam dikalahkan sehingga manusia menjadi pemenang dalam kehidupan ini. Apa pun diambil, dikuasai, dan ditaklukan untuk kesenangan manusia.

            Akibat kesalahan berpikir, kesalahan pemahaman, dan kesalahan bersikap, terjadi ketidakseimbangan alam. Akibatnya, banyak terjadi bencana di darat, di laut, dan di udara. Manusia sudah merasakannya. Jika kesalahan berpikir itu tidak diperbaiki, alam menjadi bertambah rusak dan manusia juga yang akhirnya mengalami kerugian dan penderitaan.

            Contoh sederhananya adalah efek perambahan hutan menimbulkan banjir, pemanasan udara mengakibatkan gunung es mencair dan menambah volume air laut yang menenggalamkan daratan, serta menipisnya atmosfir sehingga sinar Matahari langsung menembus kulit. Banyak lagi contoh lain yang akan sangat banyak jika ditulis di sini.


Banjir dan Longsor Sumatera (Foto: CNN Indonesia)


            Seharusnya, manusia itu bukan berhadapan dengan alam, melainkan “bermitra” dengan alam dalam menjalani hidup dan kehidupan. Manusia dan alam harus bekerja sama dengan baik saling menjaga sehingga tercipta kehidupan harmonis dan tidak saling mengalahkan.

            Orang tua kita dulu atau para sesepuh, selalu berhati-hati jika akan membangun apa pun. Para tetua kerap berpuasa, semedi, tirakat, merenung, bertapa, berpikir menyelaraskan diri dengan alam agar pembangunan bisa berjalan tanpa harus merusakkan alam. Mereka berkontemplasi dengan makhluk-makhluk alam, baik yang lahir maupun yang gaib. Mereka berkomunikasi agar terjadi keselarasan kehidupan. Dengan demikian, manusia bisa berkembang dengan baik dan alam pun tetap dapat hidup dengan harmonis.

            Sayangnya, perilaku para sepuh kita itu sering dituduh musyrik, kafir, kuno, kolot, terbelakang, bahkan murtad. Padahal, para orang tua itu sedang berusaha menyeimbangkan diri dengan alam. Sayangnya, kita sekarang lebih suka dengan pendekatan proyek, bisnis, korup, duit, duit, dan duit yang membuat kita menjadi budak duniawi yang kerap menyesatkan.

            Lambat atau cepat manusia akan memanen penderitaan dan kerusakan jika tidak segera memperbaiki diri untuk menciptakan kebaikan. Jika manusia sadar dengan kesalahannya dan mengoreksi dirinya, alam yang merupakan tempat kita hidup akan menjadi seimbang dan menyenangkan, itulah yang dinamakan “rahmatan lil alamin”.

            Sampurasun.

No comments:

Post a Comment