Saturday, 20 August 2011

Karni Ilyas yang Membingungkan

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Sudah dua kali saya melihat keanehan yang dilakukan Karni Ilyas. Entah berapa kali yang tidak sempat saya perhatikan. Saya kan tidak selalu sering menonton acaranya, sekali-kali saja kalau sempat. Saya lebih suka diam merenung, merapikan kebun, mengurusi binatang peliharaan, dan bekerja mencari nafkah tentunya. Kalau lelah, ya pasti tidur.

Benar yang itu. Karni Ilyas yang itu. Yang acaranya ada di tvOne. Betul yang itu, Presiden Jakarta Lawyers Club.

Keanehan yang saya maksud adalah dia menunjukkan sikap seolah-olah sebagai pencinta Belanda. Padahal, Belanda itu penjajah kan? Pertama, kalau tidak lupa, saat membahas kasus ipad, Darsem, dan Ruyati, ia tampak begitu keras menyanggah Nudirman Munir, anggota DPR. Saat itu Nudirman mengatakan bahwa soal penangkapan oleh polisi dalam kasus ipad itu diakibatkan sistem hukum di Indonesia yang masih terlalu bergantung pada hukum Belanda. Kata Nudirman, karena terlalu bergantung Belanda, hukum di Indonesia pun sama salahnya, yaitu menganggap bahwa aparat dan pemerintah selalu benar tidak bisa disalahkan serta tidak ada sanksi jika terjadi kesalahan menangkap orang. Pendapat Munir langsung disanggah tegas oleh Karni Ilyas. Menurut Karni, yang salah adalah DPR, sedangkan Belanda justru lebih baik dan lebih bersih. Saat itu pula Nudirman mencoba menerangkan, tetapi tidak sempat karena diskusi berlanjut ke pembicara lain. Beruntung pada akhir acara Nudirman mendapatkan kesempatan untuk lebih menegaskan bahwa memang hukum yang mengikuti Belanda itu salah besar, polisi atau jaksa bisa enak menangkap orang dan tidak ada sanksi jika salah menangkap, padahal korban penangkapan sudah ada.

Kedua, pada 20 Juli 2011 Karni Ilyas pun sempat memotong kata-kata Teguh Juwarno, anggota DPR, yang akan menerangkan bahwa korupsi di Indonesia merupakan warisan dari VOC. Belum juga selesai Teguh menjelaskan, Karni cepat sekali memotong. Dia seperti tidak ingin mendengar penjelasan Teguh Juwarno. Menurut Karni, kita tidak perlu melemparkan badan menyalahkan orang lain tentang korupsi. Katanya, Belanda itu lebih bersih. Misalnya, kalau ada uang lebih, akan dikembalikan. Dalam pandangannya, korupsi terjadi mulai tahun 60-an, sedangkan masa sebelumnya tak ada. Ia mencontohkan bahwa Natsir sendiri menggunakan pakaian yang kurang baik. Artinya, tak ada korupsi pada elit-elit zaman Natsir.

Sungguh membingungkan Mr. Presiden Karni itu. Kalau Belanda itu baik, bersih, dan tertib, mengapa menjajah kita? Penjajahan itu jelas pasti korup.

Sejarah pun mencatat bahwa korupsi di Indonesia dimulai sejak kehadiran VOC dan terjadi di dalam tubuh VOC sendiri, lalu menular ke kalangan penduduk pribumi. Tak ada sejarah korupsi sebelum VOC datang. Itu artinya korupsi adalah budaya barat yang disebar ke Indonesia dalam masa pemerintahan kolonial.

Kalau memang hukum Belanda bersih dan hebat mampu mengatasi korupsi, mengapa VOC di Indonesia bangkrut? VOC kan bangkrut, lalu pemerintah Kerajaan Belanda mengambil alih wilayah Indonesia yang telah diperas VOC itu. Kebangkrutan VOC itu tidak terlepas dari perilaku korupsi yang terjadi di dalamnya.

Orang Belanda, Douwess Dekker, bergabung bersama pejuang pribumi nasionalis melawan pemerintahan Belanda. Mengapa dia melakukan itu? Dia melihat banyaknya terjadi korupsi di dalam pemerintahan kolonial Belanda. Ia berkali-kali melihat perilaku-perilaku korup jahat itu dan berulang-ulang pula melaporkannya ke pemerintah resmi. Hasilnya bisa diduga, ia tidak digubris dan pemerintah Belanda mengabaikannya. Douwess Dekker bahkan mendapatkan perilaku buruk. Korupsi terus berlanjut, rakyat kecil makin menggelepar, sementara orang-orang Belanda dan cecunguk-cecunguk para demang itu kaya raya. Bersihkah orang-orang Belanda itu? Bingung saya.

Setelah Indonesia merdeka, Douwess Dekker pernah menjadi salah seorang menteri dalam kabinetnya Presiden RI Ir. Soekarno. Kepercayaan Soekarno itu adalah akibat dari perjuangan Douwess Dekker membela rakyat dan memerangi korupsi pada masa pemerintah kolonial.

Soal contoh yang disampaikan Karni Ilyas tentang Natsir yang menggunakan pakaian butut, padahal merupakan tokoh terpandang, itu mah gampang dipahami. Bukan cuma Natsir yang begitu, Soekarno juga pakai sepeda, genteng rumahnya bocor saat istrinya melahirkan Megawati hingga kasurnya basah kuyup. Founding father yang lain juga begitu kok. Petinggi negeri yang sempat berkuasa saat Orde Baru pun memiliki pengalaman yang sama. Sudharmono, mantan Wapres zaman Soeharto, misalnya, sejak masih SMP, berjuang dan berperang tanpa kepikiran akan menjadi apa nanti. Soal ia dianggap kroni Soeharto pada masa orde baru, itu mah lain masalah dan beda waktu.

Para pendiri dan petinggi negeri yang mengalami masa revolusi dan mempertahankan kemerdekaan semua begitu. Mereka semua melawan penjajah Belanda korup yang membuat rakyat menderita. Mereka tidak rela tanah airnya dikorupsi. Mereka melawan korupsi itu.

Kalau Belanda baik, bersih, tertib, dan hebat, mengapa harus dilawan dan diusir? Kalau memang bagus, pasti jadi bagian yang tidak terpisahkan dari jiwa-jiwa rakyat Indonesia dan akan menjadi saudara kandung benar-benar seperti para wali yang berasal dari tanah Arab. Akan tetapi, kan tidak begitu ceriteranya. Para wali itu memberikan pencerahan dan pengajaran tanpa korupsi hingga mereka menjadi bagian dari jiwa Bumi Pertiwi ini. Belanda mah nggak, tetap saja penjajah jahat. Jelas?

Kalau Karni Ilyas mengatakan sejak 60-an korupsi mulai terjadi, itu pasti. Hal itu disebabkan dimulai praktik-praktik demokrasi yang memberikan peluang sangat besar bagi orang-orang untuk berebut tahta dan harta. Belanda korup pergi, para demang gigit jari, negeri bersih sebentar, lalu demokrasi mulai, korupsi pun terjadi lagi. Begitu kisahnya.

Jadi, saya bingung dengan Mr. Karni. Bagaimana bisa Belanda dianggap baik, bersih, dan tertib?

Meskipun demikian, kita semua mesti paham dan sadar memang masih sangat banyak orang yang memuja Belanda jahat itu. Biasanya, mereka memang berusia sudah tergolong tua. Anak-anak muda sih tidak seperti itu.

Berdasarkan pengamatan saya, ada tiga kategori para pemuja Belanda di negeri ini. Pertama, orang-orang bodoh yang tidak mengerti situasi. Ini jumlahnya sangat banyak di negeri ini, tetapi pada zaman dulu, zamannya penjajahan. Mereka tidak mengerti mengapa harus bertempur berjuang melawan penjajahan karena toh hidup sudah begitu seharusnya, sudah hukumnya Indonesia dituntun dan digiring-giring orang asing. Kata Soekarno, mereka adalah rakyat kelas kambing 100%. Mereka sudah terlalu lama dijajah dan rusak pikirannya sehingga benar-benar menganggap bahwa orang-orang barat berkulit putih itu lebih hebat daripada mereka. Mereka sangat percaya bahwa kehidupan mereka harus dituntun, diarahkan, dan diikat bagai kambing oleh orang-orang bule. Celakanya, mereka mengganggap Soekarno nggak ada kerjaan, cari-cari perkara, bikin onar karena menumbuhkan semangat revolusi. Hal itu bisa dilihat dari tulisan-tulisan Soekarno dalam Dibawah Bendera Revolusi. Soekarno tampak sekali kesulitan untuk menyadarkan orang-orang ini. Sekarang jumlah manusia-manusia jenis ini sudah sangat sedikit, bahkan mungkin tidak ada. Keturunan mereka pun tampaknya akan menyalahkan orangtuanya yang lemah pikiran itu.

Kedua, mereka yang diuntungkan hidup dalam zaman Belanda. Orang-orang ini jumlahnya lumayan banyak, tetapi habis satu demi satu karena faktor usia. Saya beberapa kali bertemu dengan mereka dari beragam kalangan, baik saat ini tergolong dalam ekonomi lemah, menengah, atau atas. Mereka memang diuntungkan oleh pemerintah kolonial Belanda dan sempat berdansa-dansi dengan penjajah. Salah seorang pengusaha ternama pun yang masih ada saat ini memuja-muja Belanda. Katanya, Belanda itu memberikan pelajaran bernegara dan berbangsa plus cara berbisnis. Wajar mereka berpendapat seperti itu kan pernah diuntungkan dulu saat sebagian besar rakyat menderita dan melarat.

Di kota-kota besar di negeri ini, misalnya, Kota Bandung, para pemuja Belanda saat ini bisa dipastikan dulunya tinggal atau bertetangga dengan Belanda. Adapun para penentangnya yang kemudian menjadi pejuang, tinggal di daerah pinggiran. Kalau kita mengambil contoh dari kalangan artis, seperti antara Rahmat Hidayat dan Ebet Kadarusman. Mereka berdua artis senior. Rahmat Hidayat itu hidup di daerah pinggiran, seperti, Ciwastra, Cibaduyut, Kopo, dan Dayeuhkolot. Adapun Ebet Kadarusman hidup di daerah-daerah kelas atas, misalnya, Cipaganti, Cihampelas, Cilaki, Eldorado, dan sebagainya. Kedua kelompok pemuda berbeda lapisan sosial ini kerap bentrok dan saling caci. Begitu ceritera yang dituturkan Rahmat Hidayat sendiri. Saya tidak mengatakan Kang Ebet pemuja Belanda. Tak pernah ia mengatakan hal itu. Hanya, biasanya lokasi rumah sangat menentukan pro atau kontra terhadap kolonial Belanda. Lalu, pengalaman hidupnya yang menyenangkan itu dikisahkan kepada keturunannya. Jadi, para keturunannya ini saat ini memiliki pandangan yang hampir sama dengan orangtua, kakek, atau buyutnya. Namun, jumlah mereka ini pun sudah sangat berkurang sekarang, lagi-lagi karena dicabut nyawa oleh Malaikat Izrail, mati.

Ketiga, para intelektual atau ilmuwan. Jumlahnya saat ini tarik-ulur, bisa banyak, sangat banyak, atau sedikit untuk kemudian musnah. Jumlah mereka ini sangat bergantung informasi dan kesediaan mereka terbuka terhadap pengetahuan. Orang-orang jenis ini biasanya dari awalnya sudah menderita penyakit pikiran yang menganggap bahwa barat harus selalu bagus. Apalagi jika mereka pernah berkunjung ke Belanda dan atau belajar hukum di sana. Banyak di antara mereka yang cepat terpesona dan terpengaruhi pikirannya dengan ilmu pengetahuan yang didapatnya.

Orang-orang dalam kategori ini mirip seperti yang dikatakan K.H. Salimudin, M.A., Ketua Yayasan Al Ikhwan, yaitu “mangsa empuk” kaum orientalis. Hal itu disebabkan mereka mudah sekali terpesona dan terhipnotis oleh ilmu pengetahuan baru. Dalam keadaan pikirannya shock, ‘terkejut’ oleh hal yang baru diketahuinya, dimasukkanlah pikiran-pikiran sekuler dan pemujaan terhadap barat sekaligus pengerdilan terhadap ajaran Islam oleh kaum orientalis. Begitulah mereka pulang ke Indonesia dengan pikiran-pikiran miring.

Kalau K.H. Salimudin kan menjelaskan hal tersebut sebagai seorang ahli agama dari sudut pandang perjuangan Islam untuk memuliakan Islam dan kaum muslimin. Agak berbeda dengan saya yang melihat dari sudut pandang nasionalisme dan keluhuran budaya Indonesia. Bagi saya, orang-orang shock ini akan selalu memandang bahwa barat pasti hebat, sedangkan Indonesia selalu rendah, kecil, dan tertinggal. Demikian pula mereka akan menganggap bahwa penjajah Belanda adalah hebat karena kulitnya putih dan termasuk barat. Padahal, sesungguhnya kita, bangsa Indonesia, adalah lebih mulia dibandingkan mereka dan lebih pintar tentunya. Kalau saja bangsa ini menyadarinya, niscaya kita akan menemukan bahwa kita berada di atas segala bangsa, baik otak maupun ruhaninya. Kita cuma sedang jatuh, lalu tersesat. Jatuh oleh apa? Jatuh oleh Belanda rakus itu yang kata beberapa orang baik, bersih, tertib, dan hebat. Oleh sebab itu, mulailah hargai diri sendiri dan belajar dari diri sendiri.

Eh ya, ... hampir lupa, kita mesti ingat bahwa Belanda itu adalah penjajah korup dan melakukan penjajahan paling korup serta mengerikan di muka Bumi ini. Belanda adalah penjajah yang paling bengis di antara semua penjajah yang ada di dunia. Nanti pada tulisan lain akan kita banding-bandingkan kelakuan negeri-negeri penjajah. Akan tetapi, pastinya kita akan mengetahui dengan nyata dan tak terbantahkan bahwa Belanda adalah penjajah terkorup dan terjahat di seluruh daratan dan lautan di seluruh muka Bumi ini.

Seorang komunis kenamaan dunia, C. Santin, mengatakan bahwa penjajahan Belanda di Indonesia adalah penjajahan yang paling mendirikan bulu roma di seluruh dunia.

Friday, 19 August 2011

Sunda dan Jawa Barat Harus Jual Mahal

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Dari dulu sampai sekarang Provinsi Jawa Barat merupakan “penentu” kemenangan politik partai-partai. Hal ini disebabkan provinsi ini merupakan lumbung suara yang sangat penting karena jumlahnya sangat banyak, bahkan terbanyak. Sebagian politisi kawakan mengatakan bahwa jika telah menang di Jawa Barat, dipastikan menang mudah di tingkat nasional.

Dalam perebutan kekuasaan mendatang pun, provinsi ini tetap menjadi lahan basah para politikus untuk diperas agar dapat memberikan kontribusi bagi kepentingannya. Kita bisa melihat bahwa akhir-akhir ini partai-partai menggunakan wilayah Bandung sebagai pilihan utama untuk mengadakan berbagai perhelatan besar berskala nasional, entah itu deklarasi, rapat kerja, musyawarah, kongres, temu kader, dan lain sebagainya. Golkar, PPP, dan Demokrat sudah menunjukkan aktivitas itu. Ke depan partai-partai lain pun tampaknya menyusul pula.

Ada hal yang menggelitik soal Bandung, Sunda, dan Jawa Barat dalam hal politik ini. Jika dilihat dari statistik, sudah tak bisa dibantah lagi memang provinsi ini sangat seksi dijadikan rebutan agar penduduknya terbujuk rayu para politisi untuk memenangkan partai dan kelompoknya. Akan tetapi, ada hal lain di luar itu yang bisa kita cermati bersama, yaitu dalam pandangan spiritual. Ada kemungkinan bahwa para politisi menjadikan daerah Bandung sebagai tempat untuk mengadakan berbagai perhelatan besar disebabkan pula pandangan secara spiritual.

Dalam penglihatan berbagai ahli spiritual, baik zaman dulu maupun zaman sekarang, Bandung memiliki arti yang sangat strategis, bahkan menentukan kepemimpinan nasional pada masa mendatang. Lebih tepatnya lagi menjadi tempat kemunculannya Sang Pemimpin Agung yang benar-benar adil, Ratu Adil.

Dalam pandangan spiritual zaman dulu, Prabu Siliwangi, Raja Kerajaan Sunda Pajajaran, mengatakan bahwa Budak Angon, ‘Anak Gembala’, yang kemudian menjadi Ratu Adil akan ngababakan, ‘membuka lembaran baru’, di Lebak Cawene. Lebak artinya lembah. Cawene artinya perempuan, bisa pula cawan atau mangkuk. Cawan atau mangkuk ini tetap saja mengacu pada perempuan, tepatnya alat kelamin perempuan yang mirip cawan. Dari segi geografis, lembah yang bentuknya mirip mangkuk perempuan adalah Cekungan Bandung. Cekungan Bandung dulunya memang sebuah danau besar yang dikelilingi oleh gunung-gunung. Coba saja cek kepada para ahli, lihat pula peta, buku-buku geografi dan geologi, atau cek sendiri juga bisa, caranya naik ke atas genteng rumah di Kota Bandung, lalu lihat sekeliling 360 derajat, Anda akan menemukan bahwa Anda sedang berada di sebuah cekungan atau lembah yang dikelilingi oleh gunung-gunung. Artinya, Anda sedang berada di dasar danau besar.

Jayabaya pun mengisyaratkan hal yang sama, yaitu Ratu Adil itu tempatnya dekat Gunung Perahu sebelah barat Tempuran. Kemudian, ia pun lebih menjelaskan bahwa di tempat itu ada tiga pohon beringin, Ringin Telu.

Gunung Perahu tampak jelas menunjuk pada Gunung Tangkuban Parahu dan itu di Bandung. Adapun Tempuran adalah tempat terjadinya banyak pertempuran. Ringin Telu dalam bahasa Sunda adalah Caringin Tilu, ‘Beringin Tiga’. Ketiga pohon itu terletak di salah satu gunung yang mengitari Bandung. Kalau saya membuka pintu depan rumah orangtua saya di sekitar Soekarno-Hatta, Bandung, langsung terlihat pohon beringin yang paling tinggi dari ketiganya. Jika ada penggaris yang panjangnya sekitar 25 km, lalu dibentangkan, akan tepat sekali sangat lurus dari pintu rumah orangtua saya sampai ke Gunung Caringin Tilu. Memang tempat itu dari zaman dulu disebut Caringin Tilu. Ketika saya masih SD sampai SMP, berkali-kali datang ke tempat itu bersama-sama teman-teman karena menyenangkan untuk hikking. Di atas puncaknya, di tempat pohon beringin tiga itu tumbuh berkumpul, bertemu dengan rombongan lain dari berbagai tempat yang mencari udara segar di sana, sebagian malah ada yang membawa gitar dan radio dengan pakaian yang warnanya mencolok, kadang-kadang tampak lucu cari-cari perhatian. Tempat itu dulu memang menyenangkan dan menjadi ajang bertemunya anak-anak muda yang gemar berolah raga, jalan-jalan, rekreasi, sekaligus saling berkenalan berharap bisa jadi pasangan cinta.

Itu berdasarkan pandangan spiritual zaman dulu, yaitu dari Prabu Siliwangi dan Jayabaya. Ada pandangan spiritual zaman ini yang justru sangat mencengangkan. Bagi saya sih, sangat mengagetkan. Beberapa waktu lalu, masih dalam tahun ini juga, 2011, para ahli spiritual dari berbagai belahan Bumi, secara internasional, melakukan pertemuan di Gunung Tangkuban Parahu, Bandung, kemudian dari pandangan batin multinasional itu didapat gambaran yang sama tentang dunia ini, termasuk Indonesia. Gambaran ini ditulis dalam judul yang lain, supaya lebih jelas. Saya juga baru tahu ketika diminta menjadi pembicara dalam diskusi panel yang diselenggarakan keluarga istana kerajaan-kerajaan Sunda yang tergabung dalam Yayasan Pamanah Rasa. Ada lima pembicara, saya salah satunya, dan ada seorang pembicara ahli spiritual yang menjadi peserta pertemuan internasional spiritual di Gunung Tangkuban Parahu.

Mengingat dua hal penting di atas, yaitu pandangan politis berdasarkan statistik yang menggiurkan serta pandangan spiritual zaman dulu dan zaman sekarang, orang Sunda dan Jawa Barat harus ekstra jual mahal. Kita sudah membuktikan kesetiaan kita kepada negeri ini dan mengikuti berbagai proses politik dengan teramat baik. Akan tetapi, ternyata teramat banyak elit dan penyelenggara negara telah menunjukkan tabiat serendah-rendahnya dan sehina-hinanya dengan melakukan berbagai penyimpangan kekuasaan yang akibatnya teramat buruk terhadap kita dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Itu artinya mereka telah mempermainkan dan mengkhianati kebaikan yang telah kita tunjukkan. Sekarang adalah saatnya kita yang menentukan sendiri bagaimana seharusnya negeri ini dijalankan agar tercipta kemakmuran dan kejayaan sesuai dengan yang diamanatkan oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Orang Sunda dan penduduk Jawa Barat sudah memiliki modal yang sangat besar, yaitu jumlah pemilih yang besar dan posisi strategis yang “mengepung” Ibukota Jakarta. Di samping itu, tentunya dalam pandangan spiritual, memiliki sejumlah modal besar yang sangat menentukan (ditulis dalam judul lain). Kita jangan mau lagi ditipu janji-janji kosong yang tampak manis, tetapi memuakkan.

Kita harus hanya bersedia dipimpin oleh orang yang idealnya sih mirip Nabi Muhammad saw. Akan tetapi, jika Rasulullah saw dianggap terlalu ideal dalam arti terlalu sempurna sehingga sangat sulit untuk dicontoh seluruh perilakunya, kita bisa melihat contoh kepemimpinan ideal lainnya, yaitu Prabu Siliwangi, Raja Kerajaan Sunda Pajajaran yang tak punya cela.

Jangan mau kita hanya diberi janji manis dan selembar uang limapuluh atau seratus ribuan, kemudian nantinya kita sengsara berkepanjangan karena dipimpin oleh para petualang politik busuk. Kita harus jual mahal agar benar-benar memiliki pemimpin yang adil sehingga dapat membawa NKRI benar-benar sesuai yang diharapkan Preambul UUD 1945. Jika kita menemukan pribadi-pribadi yang mengemis suara karena ingin menjadi pemimpin, tetapi tidak mirip atau tidak mengarah pada kepribadian Prabu Siliwangi, sebaiknya kita jangan ikut pemilihan. Itulah satu-satunya kesempatan dan kekuasaan yang kita miliki untuk menunjukkan harga diri kita dalam sistem demokrasi hina ini. Kita harus jual mahal karena kita ini bukan orang-orang murahan. Kita ini orang-orang yang punya harga diri tinggi.

Standar kita adalah kepemimpinan Rasulullah saw. Kalaupun tidak bisa karena terlalu tinggi, minimal mendekati pribadi Prabu Siliwangi. Pada tulisan lain akan diuraikan hal-hal positif dari Prabu Siliwangi yang dapat dijadikan standar bagi kita.

Sekedar catatan, saya yakin para politisi yang menawarkan diri dan mengemis dukungan untuk menjadi pemimpin kita sama sekali tidak akan pernah mampu untuk menjadi pemimpin seperti Prabu Siliwangi. Hal itu disebabkan sistem politik demokrasi menjauhkan manusia dari keteladanan pemimpin unggulan seperti Prabu Siliwangi, apalagi seperti Nabi Muhammad saw. Mau jadi pemimpin unggulan bagaimana, caranya saja sudah sangat salah, kampanye penuh dusta, menebar uang recehan¸ menipu, tidak ikhlas, dan lain sebagainya. Demokrasi itu memang brengsek.

Tenang saja sambil berdoa, nanti juga ada kok, tetapi bukan melalui sistem demokrasi. Insyaallah.

1102, Semua Serba Terbalik

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Beberapa waktu yang lalu, saya diminta oleh Ketua Yayasan Pamanah Rasa Nusantara Dr. H. Gunawan Undang, Drs., M.Si. untuk menjadi pembicara dalam sebuah diskusi panel di daerah Garut, Jawa Barat. Diskusi panel tersebut merupakan bagian dari acara pengukuhan pengurus Yayasan Pamanah Rasa Nusantara wilayah Garut. Yayasan Pamanah Rasa Nusantara adalah organisasi tempat berkumpulnya para keluarga keturunan istana kerajaan-kerajaan Sunda. Pusatnya berada di Kota Bandung.

Sebenarnya, kaget juga sih saya diminta untuk menjadi salah seorang pembicara, apalagi berbicara mengenai Uga Wangsit Siliwangi di hadapan keturunan raja-raja Sunda. Sesungguhnya, sayalah yang harus banyak belajar dari keturunan raja-raja Sunda itu. Di samping itu, saya ini adalah nobody ,’bukan siapa-siapa’, hanya seorang penulis yang kebetulan suka membeli banyak buku yang dibaca ketika dalam waktu senggang. Berbeda dengan pembicara lainnya, yaitu: pertama, Abah Dago, seorang spiritualis yang menjadi peserta pertemuan ahli spiritual sedunia di Gunung Tangkuban Parahu beberapa bulan lalu, masih tahun ini juga, 2011. Kisah dari Abah Dago ini yang intinya akan saya bahas dalam tulisan kali ini. Kedua, Kang Husin Al Banjari, orang kepercayaan Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, yang kini menjadi Ketua Forum Jabar Selatan, berkantor di Gedung Pakuan, rumah dinas Gubernur Jawa Barat. Ketiga, Abah Dedi Effendi, pelukis kenamaan tingkat dunia yang lukisannya pernah ditayangkan di Metro TV dan mendapatkan rekor dari Muri. Lukisannya sih biasa, yaitu kucing yang sedang memakan tikus. Yang luar biasa adalah ukurannya, yaitu 0,4 mm. Guinness Book of Record tidak bisa memberikannya rekor dunia karena memandang bahwa tidak akan ada lagi orang yang mampu menyaingi kecilnya lukisan Abah Dedi. Alasan yang aneh memang. Keempat, saya lupa namanya, tetapi seorang dosen doktor ekonomi.

Soal materi yang diberikan Kang Husin dan Abah Dedi akan diungkapkan dalam tulisan lain. Adapun materi yang disampaikan doktor ekonomi itu ... saya agak kurang tertarik, biasa-biasa saja, mirip seminar ekonomi di berbagai tempat, seperti, tentang peningkatan keterampilan pemuda, pemanfaatan sumber daya alam, pengembangan koperasi, dan lain sebagainya. Bukan saya memandang tidak penting, tetapi hal seperti itu kan sudah sering dibicarakan di mana-mana. Saat ini saya ingin berbagi dengan pembaca mengenai inti materi yang disampaikan Abah Dago.

Sebagaimana yang tadi saya katakan, Abah Dago adalah peserta pertemuan ahli spiritual tingkat dunia di Gunung Tangkuban Parahu, Bandung. Spiritualis tingkat dunia dari berbagai negara berkumpul membicarakan gambaran-gambaran yang akan terjadi pada masa depan. Dalam pertemuan itu didapatkan gambaran yang sama bahwa bangsa yang akan menemukan masa kejayaan mulai 2011 sampai beberapa periode ke depan adalah orang Sunda, Cina, dan Yahudi. Soal Cina semua sudah pada tahu saat ini memang sedang manggung berupaya menyusul Amerika Serikat. Orang-orang Cina menyebutnya masa bank bomb, ‘ledakan perbankan’, yang artinya akan mendapatkan uang banyak dalam waktu mendadak. Soal Yahudi, mungkin akan jadi sedikit perhatian dan pertimbangan bagi orang-orang Islam untuk mengalahkannya. Yahudi memang akan sangat kuat hingga beberapa tahun mendatang dan siapa pun akan sulit menjatuhkannya. Akan tetapi, menurut buku yang disusun Jaber Bolushi dari Iran, Yahudi akan mulai bergoncang keras pada 2015, kemudian menurun sangat drastis hingga hancur lebur dan tersisa hanya beberapa orang akibat pembantaian yang dilakukan orang-orang Islam di kampung-kampungnya sendiri.

Soal Cina dan Yahudi, biarlah itu kita tinggalkan dulu. Saya lebih suka membicarakan diri sendiri. Uniknya, dari pertemuan spiritual itu, mereka menemukan angka tahun yang terbalik, yaitu 1102, bukan 2011. Angka tahun 1102 itu sesungguhnya adalah pula sama dengan 2011. Angka yang terbalik itu menandakan bahwa mulai pertengahan tahun 2011, dunia ini mulai terbalik. Misalnya, orang-orang terpinggirkan akan mulai ke tengah, yang di tengah malah akan ke pinggir, bahkan jatuh. Orang-orang yang sekarang berada di belakang akan ke depan, yang di depan akan terdesak mundur ke belakang, bahkan jatuh pula. Orang-orang yang di bawah akan bergerak ke puncak, yang di puncak malah terjembab celaka. Mulai 2011 ini sesungguhnya dimulai zaman kalasuba, zaman kemuliaan bagi kita, Indonesia. Step by step. Bukan hanya politik dan ekonomi yang kondisinya jadi terbalik, hal-hal lain pun ikut terbalik. Saya sendiri merasakannya, misalnya, dulu saya percaya dengan demokrasi, sekarang kan tidak lagi dan buktinya sudah sangat jelas. Dulu orang yakin dengan adagium Lord Acton, ternyata dalam tulisan kemarin-kemarin saya bisa mematahkannya, iya kan? Sebentar lagi saya akan tulis kekacauan trias politica dan pendapat-pendapat Huntington yang dulu sangat kita percayai. Semuanya akan terbalik memang.

Memang para ahli spiritual itu tidak menyebut Indonesia, tetapi Sunda. Saya sebagai orang Sunda senang benar mendengarnya. Akan tetapi, saya sangat berharap bahwa yang dimaksud Sunda itu bukan hanya Sunda seperti sekarang ini atau hanya seperti saya ini yang lahir di Sunda dalam keluarga Sunda, hidup di tanah Sunda, berbahasa ibu Sunda, dan berbudaya Sunda, melainkan Sunda yang dulu yang mencakup wilayah-wilayah nusantara. Dengan demikian, yang dimaksud para spiritualis internasional dengan Sunda itu adalah Indonesia sehingga yang mulai mengalami masa kejayaan itu kita semua seluruh bangsa Indonesia meskipun harus hancur dulu pemerintahannya.

Kita mesti ingat bahwa Ibukota Jakarta itu dulunya adalah Pelabuhan Sunda Kelapa. Dalam pelajaran-pelajaran sejarah dan geografi dulu dikenal wilayah Sunda Besar dan Sunda Kecil yang mencakup pulau-pulau besar dan kecil di nusantara ini. Kerajaan Jawa Majapahit yang sangat besar dan terkenal itu didirikan pula oleh orang Sunda yang bernama Raden Wijaya. Demikian pula dengan tanah Papua. Menurut Abah Dago yang punya hubungan kerabat dengan keturunan Pangeran Asep Pakpak, penguasa Situ Bagendit, Garut, Suku Fakfak yang ada di Papua itu dibangun oleh keluarga Pangeran Asep Pakpak. Dulunya sih, Suku Pakpak, tetapi orang-orang Papua lidahnya sulit mengatakannya hingga menjadi Fakfak. Oleh sebab itu, tak heran jika terjadi masalah atau kesulitan di dalam Suku Fakfak, Papua, pada masa sekarang ini, keturunan Pangeran Asep Pakpak dari Sunda ini sering diminta bantuannya karena memang leluhurnya.

Kalau mau dibongkar lebih jauh lagi, seluruh kerajaan di nusantara ini berasal dari Salakanagara mulai zaman Aki Tirem dari tanah Sunda yang kemudian meluas hingga ke Kamboja sampai dengan setengah wilayah India. Bahkan, ada yang berpendapat bahwa India itu dulunya hanya salah satu kadipaten dari sebuah wilayah kerajaan di Indonesia ini. Malahan, kisah-kisah Mahabarata dan Ramayana itu bukan kisah orang-orang India, melainkan kisah-kisah kerajaan-kerajaan di Indonesia. Borobodur adalah bukti yang nyata. Jauh lebih dalam lagi, seluruh kerajaan di dunia ini berawal dari sebuah wilayah pemerintahan yang teramat maju berteknologi tinggi dan berekonomi melimpah yang kini tenggelam di dasar laut dan perut Bumi, tepat berada di bawah tanah Sunda yang sekarang ini. Wilayah itu yang disebut Plato sebagai The Lost World, Atlantis. Akan tetapi, itu jauh teuing, ‘kejauhan’, rumit mikirnya, rada cape.

Begini saja, berdasarkan penuturan Abah Dago, orang-orang Sunda mulai tumbuh meningkat kuat sejak 2011. Wilayah Sunda lama itu meliputi berbagai pulau kecil dan besar di nusantara plus Papua. Hal itu menunjuk pada Indonesia. Michael Gorbachev mengatakan akan ada super power baru dari Asia Tenggara dan itu menunjuk pada Indonesia. Nostradamus mengatakan akan hadir pemimpin baru dari timur yang membuat kemelaratan di daratan Eropa dan itu menunjuk pada Indonesia. Prabu Siliwangi mengatakan bahwa nusa akan jaya lagi dan itu artinya nusantara, pusatnya di Indonesia. Demikian pula Jayabaya dan Ronggowarsito mengatakan bahwa tanah Jawa akan makmur, itu pun menunjuk pada Indonesia. Profesor Jeffry Frankel, ahli ekonomi dari Amerika Serikat, baru-baru ini mengatakan bahwa Indonesia sebentar lagi dibanjiri modal asing dan itu berita teramat bagus.

Dari hal-hal tersebut, kita memiliki harapan bahwa Indonesia ini akan menjadi sangat besar dan kuat, super power. Terbalik bukan? Tahun 1102, dulunya Indonesia sebagai negara miskin dan terbelakang, berubah cepat menjadi negara kaya raya dan sangat tangguh. Adapun Sunda, Jawa, nusantara, bahkan Asia Tenggara semuanya menunjuk pada Indonesia tercinta ini. Meskipun demikian, para penjahat negara harus menyingkir atau disingkirkan dahulu supaya modal-modal asing yang membanjir sebagaimana disampaikan Prof. Jeffry Frankel dapat selamat sampai tujuan digunakan untuk kemakmuran bersama tidak dijamah tangan-tangan kotor yang digerakkan hati-hati busuk penuh niat korupsi, sebagaimana yang terjadi pada Orde Baru, bahkan lebih parah. Di samping itu, kita pun dapat lebih memanfaatkan sumber daya alam kita secara maksimal untuk kemakmuran kita semua. Oleh sebab itu, tak bosan-bosannya saya mengajak Saudara-saudara sekalian untuk memusuhi dan mengenyahkan demokrasi. Selama kita melakukan demokrasi, selama itu pula terbuka pintu-pintu suap dan korup untuk mendapatkan jabatan yang kemudian dijadikan alat untuk merampok harta-harta negara dan bangsa. Akibatnya, kita akan kembali berhutang sangat banyak kepada negara lain dan sama sekali tidak akan menikmati dengan utuh kekayaan alam kita sendiri, tetap saja miskin terus dan terus miskin.

Lawan angkara murka, jatuhkan demokrasi!