Saturday 20 August 2011

Karni Ilyas yang Membingungkan

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Sudah dua kali saya melihat keanehan yang dilakukan Karni Ilyas. Entah berapa kali yang tidak sempat saya perhatikan. Saya kan tidak selalu sering menonton acaranya, sekali-kali saja kalau sempat. Saya lebih suka diam merenung, merapikan kebun, mengurusi binatang peliharaan, dan bekerja mencari nafkah tentunya. Kalau lelah, ya pasti tidur.

Benar yang itu. Karni Ilyas yang itu. Yang acaranya ada di tvOne. Betul yang itu, Presiden Jakarta Lawyers Club.

Keanehan yang saya maksud adalah dia menunjukkan sikap seolah-olah sebagai pencinta Belanda. Padahal, Belanda itu penjajah kan? Pertama, kalau tidak lupa, saat membahas kasus ipad, Darsem, dan Ruyati, ia tampak begitu keras menyanggah Nudirman Munir, anggota DPR. Saat itu Nudirman mengatakan bahwa soal penangkapan oleh polisi dalam kasus ipad itu diakibatkan sistem hukum di Indonesia yang masih terlalu bergantung pada hukum Belanda. Kata Nudirman, karena terlalu bergantung Belanda, hukum di Indonesia pun sama salahnya, yaitu menganggap bahwa aparat dan pemerintah selalu benar tidak bisa disalahkan serta tidak ada sanksi jika terjadi kesalahan menangkap orang. Pendapat Munir langsung disanggah tegas oleh Karni Ilyas. Menurut Karni, yang salah adalah DPR, sedangkan Belanda justru lebih baik dan lebih bersih. Saat itu pula Nudirman mencoba menerangkan, tetapi tidak sempat karena diskusi berlanjut ke pembicara lain. Beruntung pada akhir acara Nudirman mendapatkan kesempatan untuk lebih menegaskan bahwa memang hukum yang mengikuti Belanda itu salah besar, polisi atau jaksa bisa enak menangkap orang dan tidak ada sanksi jika salah menangkap, padahal korban penangkapan sudah ada.

Kedua, pada 20 Juli 2011 Karni Ilyas pun sempat memotong kata-kata Teguh Juwarno, anggota DPR, yang akan menerangkan bahwa korupsi di Indonesia merupakan warisan dari VOC. Belum juga selesai Teguh menjelaskan, Karni cepat sekali memotong. Dia seperti tidak ingin mendengar penjelasan Teguh Juwarno. Menurut Karni, kita tidak perlu melemparkan badan menyalahkan orang lain tentang korupsi. Katanya, Belanda itu lebih bersih. Misalnya, kalau ada uang lebih, akan dikembalikan. Dalam pandangannya, korupsi terjadi mulai tahun 60-an, sedangkan masa sebelumnya tak ada. Ia mencontohkan bahwa Natsir sendiri menggunakan pakaian yang kurang baik. Artinya, tak ada korupsi pada elit-elit zaman Natsir.

Sungguh membingungkan Mr. Presiden Karni itu. Kalau Belanda itu baik, bersih, dan tertib, mengapa menjajah kita? Penjajahan itu jelas pasti korup.

Sejarah pun mencatat bahwa korupsi di Indonesia dimulai sejak kehadiran VOC dan terjadi di dalam tubuh VOC sendiri, lalu menular ke kalangan penduduk pribumi. Tak ada sejarah korupsi sebelum VOC datang. Itu artinya korupsi adalah budaya barat yang disebar ke Indonesia dalam masa pemerintahan kolonial.

Kalau memang hukum Belanda bersih dan hebat mampu mengatasi korupsi, mengapa VOC di Indonesia bangkrut? VOC kan bangkrut, lalu pemerintah Kerajaan Belanda mengambil alih wilayah Indonesia yang telah diperas VOC itu. Kebangkrutan VOC itu tidak terlepas dari perilaku korupsi yang terjadi di dalamnya.

Orang Belanda, Douwess Dekker, bergabung bersama pejuang pribumi nasionalis melawan pemerintahan Belanda. Mengapa dia melakukan itu? Dia melihat banyaknya terjadi korupsi di dalam pemerintahan kolonial Belanda. Ia berkali-kali melihat perilaku-perilaku korup jahat itu dan berulang-ulang pula melaporkannya ke pemerintah resmi. Hasilnya bisa diduga, ia tidak digubris dan pemerintah Belanda mengabaikannya. Douwess Dekker bahkan mendapatkan perilaku buruk. Korupsi terus berlanjut, rakyat kecil makin menggelepar, sementara orang-orang Belanda dan cecunguk-cecunguk para demang itu kaya raya. Bersihkah orang-orang Belanda itu? Bingung saya.

Setelah Indonesia merdeka, Douwess Dekker pernah menjadi salah seorang menteri dalam kabinetnya Presiden RI Ir. Soekarno. Kepercayaan Soekarno itu adalah akibat dari perjuangan Douwess Dekker membela rakyat dan memerangi korupsi pada masa pemerintah kolonial.

Soal contoh yang disampaikan Karni Ilyas tentang Natsir yang menggunakan pakaian butut, padahal merupakan tokoh terpandang, itu mah gampang dipahami. Bukan cuma Natsir yang begitu, Soekarno juga pakai sepeda, genteng rumahnya bocor saat istrinya melahirkan Megawati hingga kasurnya basah kuyup. Founding father yang lain juga begitu kok. Petinggi negeri yang sempat berkuasa saat Orde Baru pun memiliki pengalaman yang sama. Sudharmono, mantan Wapres zaman Soeharto, misalnya, sejak masih SMP, berjuang dan berperang tanpa kepikiran akan menjadi apa nanti. Soal ia dianggap kroni Soeharto pada masa orde baru, itu mah lain masalah dan beda waktu.

Para pendiri dan petinggi negeri yang mengalami masa revolusi dan mempertahankan kemerdekaan semua begitu. Mereka semua melawan penjajah Belanda korup yang membuat rakyat menderita. Mereka tidak rela tanah airnya dikorupsi. Mereka melawan korupsi itu.

Kalau Belanda baik, bersih, tertib, dan hebat, mengapa harus dilawan dan diusir? Kalau memang bagus, pasti jadi bagian yang tidak terpisahkan dari jiwa-jiwa rakyat Indonesia dan akan menjadi saudara kandung benar-benar seperti para wali yang berasal dari tanah Arab. Akan tetapi, kan tidak begitu ceriteranya. Para wali itu memberikan pencerahan dan pengajaran tanpa korupsi hingga mereka menjadi bagian dari jiwa Bumi Pertiwi ini. Belanda mah nggak, tetap saja penjajah jahat. Jelas?

Kalau Karni Ilyas mengatakan sejak 60-an korupsi mulai terjadi, itu pasti. Hal itu disebabkan dimulai praktik-praktik demokrasi yang memberikan peluang sangat besar bagi orang-orang untuk berebut tahta dan harta. Belanda korup pergi, para demang gigit jari, negeri bersih sebentar, lalu demokrasi mulai, korupsi pun terjadi lagi. Begitu kisahnya.

Jadi, saya bingung dengan Mr. Karni. Bagaimana bisa Belanda dianggap baik, bersih, dan tertib?

Meskipun demikian, kita semua mesti paham dan sadar memang masih sangat banyak orang yang memuja Belanda jahat itu. Biasanya, mereka memang berusia sudah tergolong tua. Anak-anak muda sih tidak seperti itu.

Berdasarkan pengamatan saya, ada tiga kategori para pemuja Belanda di negeri ini. Pertama, orang-orang bodoh yang tidak mengerti situasi. Ini jumlahnya sangat banyak di negeri ini, tetapi pada zaman dulu, zamannya penjajahan. Mereka tidak mengerti mengapa harus bertempur berjuang melawan penjajahan karena toh hidup sudah begitu seharusnya, sudah hukumnya Indonesia dituntun dan digiring-giring orang asing. Kata Soekarno, mereka adalah rakyat kelas kambing 100%. Mereka sudah terlalu lama dijajah dan rusak pikirannya sehingga benar-benar menganggap bahwa orang-orang barat berkulit putih itu lebih hebat daripada mereka. Mereka sangat percaya bahwa kehidupan mereka harus dituntun, diarahkan, dan diikat bagai kambing oleh orang-orang bule. Celakanya, mereka mengganggap Soekarno nggak ada kerjaan, cari-cari perkara, bikin onar karena menumbuhkan semangat revolusi. Hal itu bisa dilihat dari tulisan-tulisan Soekarno dalam Dibawah Bendera Revolusi. Soekarno tampak sekali kesulitan untuk menyadarkan orang-orang ini. Sekarang jumlah manusia-manusia jenis ini sudah sangat sedikit, bahkan mungkin tidak ada. Keturunan mereka pun tampaknya akan menyalahkan orangtuanya yang lemah pikiran itu.

Kedua, mereka yang diuntungkan hidup dalam zaman Belanda. Orang-orang ini jumlahnya lumayan banyak, tetapi habis satu demi satu karena faktor usia. Saya beberapa kali bertemu dengan mereka dari beragam kalangan, baik saat ini tergolong dalam ekonomi lemah, menengah, atau atas. Mereka memang diuntungkan oleh pemerintah kolonial Belanda dan sempat berdansa-dansi dengan penjajah. Salah seorang pengusaha ternama pun yang masih ada saat ini memuja-muja Belanda. Katanya, Belanda itu memberikan pelajaran bernegara dan berbangsa plus cara berbisnis. Wajar mereka berpendapat seperti itu kan pernah diuntungkan dulu saat sebagian besar rakyat menderita dan melarat.

Di kota-kota besar di negeri ini, misalnya, Kota Bandung, para pemuja Belanda saat ini bisa dipastikan dulunya tinggal atau bertetangga dengan Belanda. Adapun para penentangnya yang kemudian menjadi pejuang, tinggal di daerah pinggiran. Kalau kita mengambil contoh dari kalangan artis, seperti antara Rahmat Hidayat dan Ebet Kadarusman. Mereka berdua artis senior. Rahmat Hidayat itu hidup di daerah pinggiran, seperti, Ciwastra, Cibaduyut, Kopo, dan Dayeuhkolot. Adapun Ebet Kadarusman hidup di daerah-daerah kelas atas, misalnya, Cipaganti, Cihampelas, Cilaki, Eldorado, dan sebagainya. Kedua kelompok pemuda berbeda lapisan sosial ini kerap bentrok dan saling caci. Begitu ceritera yang dituturkan Rahmat Hidayat sendiri. Saya tidak mengatakan Kang Ebet pemuja Belanda. Tak pernah ia mengatakan hal itu. Hanya, biasanya lokasi rumah sangat menentukan pro atau kontra terhadap kolonial Belanda. Lalu, pengalaman hidupnya yang menyenangkan itu dikisahkan kepada keturunannya. Jadi, para keturunannya ini saat ini memiliki pandangan yang hampir sama dengan orangtua, kakek, atau buyutnya. Namun, jumlah mereka ini pun sudah sangat berkurang sekarang, lagi-lagi karena dicabut nyawa oleh Malaikat Izrail, mati.

Ketiga, para intelektual atau ilmuwan. Jumlahnya saat ini tarik-ulur, bisa banyak, sangat banyak, atau sedikit untuk kemudian musnah. Jumlah mereka ini sangat bergantung informasi dan kesediaan mereka terbuka terhadap pengetahuan. Orang-orang jenis ini biasanya dari awalnya sudah menderita penyakit pikiran yang menganggap bahwa barat harus selalu bagus. Apalagi jika mereka pernah berkunjung ke Belanda dan atau belajar hukum di sana. Banyak di antara mereka yang cepat terpesona dan terpengaruhi pikirannya dengan ilmu pengetahuan yang didapatnya.

Orang-orang dalam kategori ini mirip seperti yang dikatakan K.H. Salimudin, M.A., Ketua Yayasan Al Ikhwan, yaitu “mangsa empuk” kaum orientalis. Hal itu disebabkan mereka mudah sekali terpesona dan terhipnotis oleh ilmu pengetahuan baru. Dalam keadaan pikirannya shock, ‘terkejut’ oleh hal yang baru diketahuinya, dimasukkanlah pikiran-pikiran sekuler dan pemujaan terhadap barat sekaligus pengerdilan terhadap ajaran Islam oleh kaum orientalis. Begitulah mereka pulang ke Indonesia dengan pikiran-pikiran miring.

Kalau K.H. Salimudin kan menjelaskan hal tersebut sebagai seorang ahli agama dari sudut pandang perjuangan Islam untuk memuliakan Islam dan kaum muslimin. Agak berbeda dengan saya yang melihat dari sudut pandang nasionalisme dan keluhuran budaya Indonesia. Bagi saya, orang-orang shock ini akan selalu memandang bahwa barat pasti hebat, sedangkan Indonesia selalu rendah, kecil, dan tertinggal. Demikian pula mereka akan menganggap bahwa penjajah Belanda adalah hebat karena kulitnya putih dan termasuk barat. Padahal, sesungguhnya kita, bangsa Indonesia, adalah lebih mulia dibandingkan mereka dan lebih pintar tentunya. Kalau saja bangsa ini menyadarinya, niscaya kita akan menemukan bahwa kita berada di atas segala bangsa, baik otak maupun ruhaninya. Kita cuma sedang jatuh, lalu tersesat. Jatuh oleh apa? Jatuh oleh Belanda rakus itu yang kata beberapa orang baik, bersih, tertib, dan hebat. Oleh sebab itu, mulailah hargai diri sendiri dan belajar dari diri sendiri.

Eh ya, ... hampir lupa, kita mesti ingat bahwa Belanda itu adalah penjajah korup dan melakukan penjajahan paling korup serta mengerikan di muka Bumi ini. Belanda adalah penjajah yang paling bengis di antara semua penjajah yang ada di dunia. Nanti pada tulisan lain akan kita banding-bandingkan kelakuan negeri-negeri penjajah. Akan tetapi, pastinya kita akan mengetahui dengan nyata dan tak terbantahkan bahwa Belanda adalah penjajah terkorup dan terjahat di seluruh daratan dan lautan di seluruh muka Bumi ini.

Seorang komunis kenamaan dunia, C. Santin, mengatakan bahwa penjajahan Belanda di Indonesia adalah penjajahan yang paling mendirikan bulu roma di seluruh dunia.

No comments:

Post a Comment