oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Bukan cuma Karni Ilyas
yang bingung, semua orang juga saat ini dibuat bingung oleh maraknya aksi
tawuran di sekolah, kampus, dan masyarakat umum. Saat ini tawuran memang
seperti menjadi trend yang digunakan
untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang sudah lama tidak terpecahkan.
Adalah sebuah acara menarik yang digelar Karni Ilyas
tentang membudayanya tawuran pelajar di tvOne
dalam acara ILC. Bung Karni mencoba mencari tahu dari narasumber-narasumber
yang diundangnya mengenai tawuran ini dengan harapan bisa menemukan akar
masalah serta penyelesaiannya sekaligus. Sebuah acara yang positif untuk mendapatkan
hal positif pula.
Sayangnya, sampai acara berakhir, akar permasalahan
tawuran dan penyelesaiannya tidak didapatkan dengan baik. Tentu saja tidak
mungkin mendapatkan hal-hal yang sangat menentukan dan menjadi rujukan tepat
dari acara yang dibatasi waktu dan diselingi iklan tersebut. Meskipun demikian,
acara tersebut membuat banyak pihak memiliki wawasan lebih luas mengenai
hal-ihwal tawuran.
Ada hal yang menggelitik dalam acara tersebut, yaitu
Karni Ilyas menyarankan untuk belajar ke luar negeri dalam rangka mengatasi
perilaku tawuran tersebut. Itulah yang saya sebut membingungkan.
Mengapa sih kita harus selalu melihat ke luar negeri?
Mengapa sih kita harus selalu mencontek cara-cara hidup
orang lain?
Mengapa sih kita tidak mau menyelesaikan permasalahan
dengan bertanya kepada diri sendiri, bertanya pada budaya dan nilai luhur
sendiri?
Dalam acara itu, kalau saya tidak salah, Karni Ilyas
mengatakan seperti ini, “Mengapa di Eropa sana ketika ada dua sekolah sudah
berhadap-hadapan, tak ada satu benda pun yang melayang? Itu karena jika ada
yang memukul, langsung masuk sel.”
Jujur saja, saya tidak percaya dengan kata-katanya itu.
Hal itu disebabkan pertama, ia
mengatakan Eropa, tetapi tak
menjelaskan negara yang mana. Kedua, dia
bilang ada dua sekolah yang berhadapan, juga tak diterangkan sekolah mana di
kota apa. Ketiga, tidak dijelaskan
dalam rangka apa kedua sekolah itu berhadapan, mau berkelahi atau sepakbola?
Perkataannya itu hanyalah mirip kebiasaan orang-orang
Indonesia yang selalu mengatakan bahwa segala yang berasal dari luar negeri itu
lebih baik dan lebih bagus. Bukan cuma Karni Ilyas yang begitu kok, yang
lainnya juga sering seperti itu. Misalnya, saya pernah mendengar langsung dari
seorang pejabat pusat yang heboh menceriterakan penanganan lanjut usia di
Jepang saat mengadakan kunjungan ke organisasi lanjut usia di Bandung.
Kok
harus selalu bersandar pada pengalaman luar negeri sih?
Padahal,
program yang dimiliki oleh organisasi lanjut usia yang dikunjunginya di Bandung
itu sebenarnya lebih baik dan lebih tepat karena menggunakan kearifan lokal,
yaitu program Nyaah ka Kolot, ‘Menyayangi
Orang Tua’. Dalam program itu, terlibat
berbagai elemen, seperti, pemerintah, pengusaha, masyarakat, terutama generasi
muda.
Masih dalam acara ILC kemarin-kemarin itu, ada
narasumber, seorang psikolog hebat, mengatakan, “Kita kurang pintar mencontek
negara lain.”
Masyaaallah, kok
disarankan kita harus pintar mencontek orang lain?
Hanya
segitukah kepandaian kita?
Mencontek
orang lain?
Ada anggota DPR RI yang mengupayakan ajaran agama agar
lebih diperhatikan di sekolah-sekolah dengan cara lebih memantapkan materi
pelajarannya dan waktunya ditambah.
Karni Ilyas setuju dengan itu, tetapi tetap menyarankan untuk mencontoh aturan di
negara-negara lain.
Bagi saya, segala yang dilakukan negara lain memang tidak
salah untuk dipelajari, tetapi bukan untuk dicontek, melainkan untuk dijadikan sekedar
wawasan dan bahan pertimbangan. Upaya yang sangat tepat adalah mencari penyelesaian
berdasarkan pengalaman hidup dan budaya sendiri. Kalau ternyata kurang cukup,
baru melirik dari negara lain. Contoh dari negara lain itu hendaknya hanya
berupa pelengkap jika dirasakan kurang setelah menggunakan cara-cara sendiri.
Kalau sudah cukup dengan cara-cara yang berasal dari jiwa sendiri, ya tidak
usah ngikutin orang lain.
Lumayan berbahaya jika kita menggunakan cara-cara bangsa
lain dalam menangani masalah tawuran atau perilaku kekerasan yang terjadi di
kampus-kampus. Bahayanya adalah kita bisa mengalami keburukan yang sama seperti
yang dialami mereka. Menurut saya, tawuran siswa atau mahasiswa Indonesia yang
telah menimbulkan kematian setidaknya 21 jiwa itu masih lebih baik dibandingkan
dengan yang terjadi di sekolah-sekolah negara barat. Korban yang 21 itu berasal
dari berpuluh-puluh kali tawuran di berbagai sekolah dan daerah di Indonesia
dalam waktu lama. Artinya, tidak setiap tawuran menimbulkan kematian.
Memang di kampus-kampus barat tidak ada itu yang namanya
tawuran antarpelajar. Saya setuju dengan Karni Ilyas yang wartawan
berpengalaman luas itu. Menurutnya, jika ada tawuran di luar negeri, pasti ada
beritanya di CNN. Saya pun meyakininya, tidak ada tawuran pelajar di barat.
Kalau ada, pasti banyak film barat yang bertemakan tawuran semacam itu. Saya
lumayan sering menonton film-film barat. Yang ada bukan tawuran pelajar, tetapi
tawuran antargeng.
Bahaya dari mencontek aturan barat adalah korban dan
peristiwanya bisa seburuk yang terjadi di barat. Hal itu jauh lebih buruk dan
lebih sadis dibandingkan tawuran yang terjadi di Indonesia.
Pengen tahu apa peristiwanya?
Di barat itu satu kali kejadian, korbannya bisa mencapai
belasan orang. Dua kali kejadian, bisa puluhan orang. Jika dihitung seluruhnya,
lebih banyak lagi korban yang sudah tercatat dan terkubur di berbagai pemakaman.
Tahu kan peristiwanya?
Kalau sudah lupa, saya ingatkan lagi.
Benar di negara barat tak ada tawuran pelajar, tetapi
siswa atau mahasiswa mereka bisa dengan mudah membawa pistol berpeluru ke dalam
kelas, kemudian menembak siswa lain berikut gurunya dengan membabi buta.
Sudah
ingat sekarang?
Memang
aturan di sana kelihatannya mencegah tawuran dan itu benar karena tawurannya
pun tidak pernah ada. Jadi, tawuran tidak ada bukan karena aturannya yang hebat,
melainkan memang tak pernah terjadi tawuran antarkampus. Akan tetapi, mereka
tidak bisa mencegah peluru-peluru yang berdesingan di kelas-kelas yang berasal
dari senjata yang dibawa para siswanya. Bahkan, peluru-peluru itu ada yang
menembus tubuh warga Negara Indonesia yang sedang berada di negara mereka
hingga tewas.
Kita
bersyukur tidak ada kasus seperti itu. Kita bersyukur hanya punya kasus tawuran
yang lebih mudah diselesaikan dibandingkan kasus seperti di negara mereka.
Tekanan ideology of success yang
diderita mereka lebih parah dibandingkan di Indonesia. Maksudnya, sukses dalam
pencapaian materi dan kekuasaan.
Imam
Prasodjo benar bahwa ada orientasi yang salah dalam diri para pelajar kita,
yaitu bangga atau sangat senang jika ditakuti, dihargai, dianggap paling tinggi
dan penting karena sudah melakukan hal-hal negatif. Hal itu menjadi salah satu
penyebab tawuran. Akan tetapi, hal itu kan memang sudah terjadi sejak zaman
purba sampai saat ini setiap hari di mana pun. Ada sebagian orang yang sangat
senang dan bangga jika dipatuhi, diakui, dihormati, dan dianggap lebih hebat
serta lebih berkuasa dibandingkan yang lainnya setelah menunjukkan
perilaku-perilaku negatifnya, baik itu fisik maupun nonfisik.
Ebiet
G. Ade pun sudah sejak lama melantunkan syair mengenai hal itu, … mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah
kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa ….
Untuk
hal itu, diperlukan upaya agar orientasi dan pandangan para pemuda kita
berubah.
Memang
tidak mudah menguraikan benang kusut masalah tawuran ini, tetapi
setidak-tidaknya ada kunci yang dapat dipergunakan oleh kita semua, yaitu ada
pakar yang mencatat bahwa aksi tawuran ini disebabkan terjadinya perubahan tren
yang mendadak sejak 1968. Artinya, aksi tawuran ini sudah berlangsung selama 44
tahun di Indonesia sejak 1968.
Kita
bisa melakukan penelaahan dan penelitian mengapa tidak terjadi tawuran sebelum
1968 dan mengapa setelah tahun itu terjadi tawuran.
Ada
apa pada kedua masa itu?
Apa
perbedaan di antara kedua masa itu?
Kita
bisa melihatnya dari berbagai sisi, baik itu politik, leadership, ekonomi, budaya, pendidikan, dan lain sebagainya.
Saya
menduganya dengan keras bahwa mulai tahun itu sampai sekarang terjadi penurunan
kepemimpinan dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, tekanan perlombaan
mengejar materi yang mulai semakin keras, masuknya budaya asing yang lebih
cepat melalui media televisi, dan lain sebagainya.
Perilaku
siswa SD pada tahun tujuh puluhan sudah mulai dikeluhkan oleh para guru. Para
guru mulai merasakan perbedaan yang jauh dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Salah satu contohnya adalah guru saya sendiri sewaktu masih SD yang mengatakan
bahwa penghormatan kepada guru sudah mulai kurang. Berbeda dengan siswa masa
lalu yang sangat menghormati guru. Saking hormatnya, anak-anak tidak pernah
ribut di kelas jika di meja guru ada kopiah gurunya. Hanya ada kopiahnya saja,
para siswa hening seolah-olah gurunya ada di kelas, padahal tidak ada.
Dalam
hal cepat dan derasnya pengaruh budaya asing melalui media televisi pun sangat
terasa. Saat itu lebih parah dibandingkan saat ini perihal pemujaan dan
pemujian terhadap budaya asing. Pada
masa itu segala yang berasal dari barat adalah dianggap lebih baik, lebih
bagus, dan lebih hebat sambil melecehkan budaya dalam negeri sendiri.
Orang-orang malu untuk menggunakan batik serta gengsi menyanyikan lagu-lagu
daerah dan atau lagu-lagu berbahasa Indonesia. Lagu-lagu barat lebih mendominasi
meskipun nggak ngerti arti dari syairnya. Demikian pula perilaku pergaulan anak
muda yang sangat kebarat-baratan. Jika ada anak muda yang tidak berperilaku
meniru barat, dianggap ketinggalan zaman. Malahan, anak-anak muda sangat bangga
jika sudah berpenampilan seperti gipsy atau
hippies. Padahal, gaya itu
acak-acakan sekali. Saya mengalami hal-hal ini. Parahnya, yang namanya alkohol,
ganja, dan obat terlarang pun menjadi ukuran kampungan-tidaknya seorang pemuda.
Saya
masih ingat dengan benar bahwa mewabahnya breakdance
disebabkan TVRI menayangkan tarian itu dalam acara Dunia dalam Berita. Padahal, tayangan itu tidak lebih dari satu
menit. Dari tayangan beberapa detik itu, orang-orang mulai mencari tahu lebih jauh
tentang breakdance. Akhirnya,
bermunculan di mana-mana kursus breakdance
dan pantomim. Yang tidak mampu kursus pun belajar sendiri dari
teman-temannya. Tarian ini pun menjadi ukuran kampungan-tidaknya bagi para
pemuda.
Media
televisi ditambah video kaset yang kerap memutar film-film barat bernuansa
kekerasan dan seks menguasai tontonan generasi muda. Hal itu membuat saya
berpendapat bahwa orang barat itu kalau bikin film selalu kurang percaya diri.
Mereka tak pernah percaya diri menyuguhkan ceritera sebenarnya tanpa dibarengi adegan
kekerasan dan seks. Tanpa kekerasan dan seks, mereka ragu akan mendapatkan
penonton yang banyak.
Kekuatan media TV dan film yang sangat kuat itu
mempengaruhi para pemuda kita untuk menirunya. Bermunculanlah geng-geng mirip yang ada
di film-film Amerika. Para pemuda kita bangga dengan itu. Memang dalam
film-film Amerika itu disuguhkan kisah-kisah tawuran antargeng. Di sana memang
banyak geng, misalnya, Geng Meksiko, Geng Asia (Cina atau Jepang), geng kulit
hitam, dan geng-geng lain yang terlibat dengan Napza, baik kulit putih maupun
kulit berwarna. Rupa-rupa geng itu sering terlibat tawuran.
Nah, perilaku-perilaku geng itu dengan segala atributnya
dicontoh oleh pemuda-pemuda kita yang gemar mengikuti perilaku bangsa asing.
Lembaga sekolah adalah salah satu tempat yang mudah untuk membentuk geng dan
merekrut anggotanya. Oleh sebab itu, kita sering mendengar istilah kebarat-baratan yang dialamatkan para
orangtua kepada para pelajar.
Ada salah satu contoh yang nyata terjadi. Beberapa waktu
lalu kita diresahkan oleh perilaku geng motor. Televisi sempat menayangkan
bagaimana “pelantikan” anggota baru geng motor di Bandung yang penuh dengan kekerasan.
Anak-anak yang ingin menjadi anggota geng diharuskan adu jotos dulu sampai
babak belur. Tayangan itu mengingatkan pada salah satu film yang pernah saya
tonton mengenai tawuran antara Geng Meksiko dengan geng kulit hitam Amerika. Dalam
film itu dikisahkan para pemuda Meksiko yang awalnya hidup normal dan wajar di
Amerika tiba-tiba mendapatkan perlakuan buruk dan merasa terancam oleh geng
kulit hitam. Mereka pun dengan sangat terpaksa mencari perlindungan pada Geng
Meksiko dengan cara menjadi anggotanya. Untuk menjadi anggota geng, mereka
diwajibkan berkelahi di antara sesama mereka serta para seniornya sampai babak
belur mengeluarkan darah. Setelah itu, mereka diterima dengan baik dan akan
mendapat perlindungan untuk selanjutnya saling melindungi sesama anggota geng.
Saat ini masuknya pengaruh asing yang tidak sesuai dengan
budaya bangsa diperkuat oleh internet. Banyak hal yang didapat dari internet.
Mereka pun semakin baik meniru kehidupan geng-geng di barat. Hal-hal detil
mengenai kehidupan geng sangat mudah diketahui.
Adik bungsu saya, perempuan, pernah diajak untuk menjadi
anggota geng tertentu. Ia dijanjikan perlindungan dan pertemanan yang lebih jujur
dan setia dalam geng tersebut. Adik saya akan aman di mana saja untuk keperluan
apa saja karena berada dalam perlindungan geng tersebut. Akan tetapi, adik saya
menolaknya karena salah satu syarat yang harus dilakukan adalah menginjak Kitab
Suci Al Quran sebagai lambang pembebasan diri dari ikatan apa pun dan menyandarkan
dirinya pada kesatuan geng. Ia pun menceriterakannya kepada saya. Malahan, adik
saya memberitahukan dengan jelas siapa saja anak-anak muda yang mengajaknya
kepada saya. Beruntung, hubungan kami berdua sangat-sangat dekat sehingga mudah
sekali untuk berdiskusi dalam segala hal. Nah, perilaku menginjak kitab suci
itu diadopsi dari perilaku para anggota geng barat yang memang sudah sangat
rusak kepercayaannya pada agama, kitab suci, dan para pemimpin agamanya
sendiri. Mereka merasa lebih aman dan lebih dihargai oleh komunitas di dalam
gengnya.
Benar sekali bahwa tawuran pelajar di luar negeri tidak
ada, tetapi perilaku kehidupan geng barat itu hidup dalam geng-geng pelajar
kita yang akhirnya mempengaruhi lembaga sekolah sehingga sebuah sekolah bisa
dianggap sebuah geng tertentu.
Perlu pula diperhatikan bahwa seseorang menjadi
anggota geng itu bukan karena selalu harus ingin ditakuti atau dihormati,
melainkan pula didorong oleh keterpaksaan karena takut oleh geng lain sehingga
mencari perlindungan terhadap geng lainnya. Keterpaksaan menjadi anggota geng
tersebut di Indonesia diakui oleh salah seorang anggota geng motor yang pernah
diinterogasi polisi.
Oh ya, yang sangat teramat tidak boleh disepelekan adalah
bahwa geng-geng yang ada di sekolah-sekolah di Indonesia ini bisa pula sangat
mungkin dibentuk oleh orang-orang atau pihak-pihak di luar sekolah untuk kepentingan bisnis dan kekuasaan. Begini. Ini pengalaman saya pribadi. Usia SMA adalah usia
pancaroba yang dipenuhi rasa penasaran dalam keadaan emosi yang kurang
seimbang. Hal itu digunakan oleh para pengusaha untuk memasarkan barangnya pada
siswa SMA. Sekolah kami berkali-kali pada jam-jam istirahat didatangi oleh para
sales rokok. Rokok yang terkenal sampai hari ini. Para sales itu memang sangat
mahir berkomunikasi dan membaur dengan kami meskipun usianya jelas sudah bukan
usia SMA lagi. Mereka mengarahkan agar kami membentuk kelompok untuk mengadakan
berbagai kegiatan semisal touring ke
tempat-tempat wisata serta kegiatan-kegiatan lain yang sifatnya bisa diikuti
secara massal. Para sales itu jelas menyediakan dana untuk berbagai kegiatan
yang kami lakukan, bahkan perusahaannya memberikan sumbangan pada pihak sekolah
semisal bola voli, net untuk bulutangkis, raket, dan hal-hal lainnya. Yang
mengantarkan sumbangan pada pihak sekolah bukan para sales itu, melainkan
pentolan-pentolan kelompok yang masih siswa SMA tersebut. Mereka hanya titip
sumbangan untuk kemudian diberikan pada sekolah. Tentu saja hal itu merupakan
taktik agar kelompok yang telah dibentuk mereka mendapat restu dari pihak
sekolah.
Awalnya, saya dan teman-teman kurang ngeh dengan saran para sales itu. Kami tidak begitu tertarik. Akan
tetapi, para sales itu tidak kenal menyerah sampai-sampai meledek kami sebagai
siswa yang nggak punya kreativitas. Mereka mencontohkan bahwa di
sekolah-sekolah lain sudah terbentuk kelompok-kelompok sesuai arahan mereka.
Tentunya, tidak semua sekolah di Bandung yang mereka datangi dan arahkan. Hanya
sekolah-sekolah favorit tertentu yang dianggap layak untuk membantu pemasaran
dan atau promosi produk rokok mereka. Akhirnya, terbentuk juga sih kelompok
seperti yang mereka inginkan. Lagian, kami nggak keluar uang banyak karena
dibiayai perusahaan rokok. Malahan, para pentolan kelompok mendapatkan semacam
insentif, minimal rokok gratis. Jika mengadakan tour, kami bisa main-main, senang-senang, dan bergembira.
Nah, tanpa terasa besar kemungkinan kelompok ini pada sekolah-sekolah tertentu kemudian menjadi komunitas
yang eksklusif di sekolah. Kelompok ini dengan sendirinya menjadi komunitas
tertentu di sekolah. Mereka memiliki prestise tertentu di kalangan siswa
lainnya. Meskipun program dari para sales rokok itu sudah selesai dan tak
kembali lagi, kelompok ini tidak bubar. Mereka pun berubah menjadi sebuah geng.
Geng ini punya kelebihan keberanian sehingga tampak lebih “berkuasa”
dibandingkan siswa lainnya. Kelompok ini di lingkungan sekolah menjadi kelompok
yang ditakuti. Akan tetapi, jika siswa di sekolahnya mendapatkan gangguan dari sekolah
lain, kelompok ini pula yang akan berada paling depan untuk membela harga diri
sekolahnya. Akhirnya, tawuran deh. Memang pada saat saya masih SMA tawuran itu
tidak pernah ada, yang ada paling-paling sebatas “mau” tawuran, tetapi tidak
pernah terjadi.
Maksud saya menceriterakan pengalaman saya adalah agar
kita lebih berhati-hati karena bisa saja bukan sales rokok yang pada zaman ini
mendatangi para siswa, melainkan para pengedar Napza dengan menggunakan
pendekatan seperti para sales rokok seperti yang saya ceriterakan. Para
pengedar itu jelas membutuhkan pasar dan alat promosi. Jika itu terjadi dan
memang sangat mungkin terjadi, bahayanya akan sangat besar. Jika para sales
rokok itu dibatasi oleh program promosi dari perusahaannya, para pengedar
Narkoba itu tidak seperti itu. Mereka akan terus bersama geng yang telah
terbentuk, kemudian menjadikan geng itu sebagai bagian dari sindikatnya.
Orang-orang inilah yang kemudian menjadi pengarah geng-geng dari para pelajar
kita. Geng-geng di sekolah yang sangat berpengaruh di lingkungan teman-teman
satu sekolahnya inilah yang pertama kali bisa menimbulkan penyebab tawuran
dengan sekolah lain. Misalnya, salah seorang anggota geng di sebuah sekolah
melakukan penghinaan kepada salah seorang siswa dari sekolah lain. Kemudian,
siswa yang terhina itu mengadu kepada geng yang ada di sekolahnya. Mereka pun
marah, lalu melakukan pembalasan. Dalam melakukan pembalasan itu, mereka tidak
memilih mana siswa yang menjadi anggota geng, mana siswa yang baik-baik.
Pokoknya, mereka akan membalas kepada siswa yang satu sekolah dengan siswa yang
telah melakukan penghinaan kepada teman satu sekolahnya. Akibatnya, masalah
bertambah luas dan semakin rumit. Tawuran pun tak bisa dihindari.
Adalah lebih parah jika yang dikatakan Henri Yosodiningrat,
benar-benar terbukti. Henri mengatakan bahwa urusan Narkoba atau Napza ini
bukan hanya urusan bisnis, melainkan pula urusan politik. Artinya, ada negara
luar yang disebut oleh banyak orang sebagai negara maju dan sering dipuji-puji
oleh para elit Indonesia sebagai negara beradab tidak menginginkan Indonesia
menjadi negara besar, kuat, dan makmur. Mereka berupaya melemahkan Indonesia
dari berbagai sisi, salah satunya melalui Narkoba yang jelas akan melemahkan
generasi muda Indonesia. Dengan demikian, negara luar yang sering disembah-sembah
pikirannya oleh para elit Indonesia itu bisa dengan mudah menguasai
sektor-sektor ekonomi dan politik di Indonesia. Kalaupun mereka tidak bisa
menguasai, minimal Indonesia dibikin kalang kabut.
Begitulah yang terjadi dan demikianlah kekhawatiran saya.
Memang banyak hal yang harus dibenahi untuk menanggulang
urusan tawuran ini, salah satunya, guru jangan dijadikan hanya penyalur mata
pelajaran, tetapi juga harus diberi keleluasaan untuk memberikan ajaran-ajaran
moral dan budi pekerti. Untuk itu, tentunya para guru harus diberikan
kewenangan dalam memberikan hukuman dan penghargaan kepada siswa, jangan
ditakut-takuti oleh undang-undang hak azasi manusia yang terlalu mencontek
barat.
Jangan mencontek aturan-aturan barat karena sebenarnya
geng-geng yang ada di negeri ini merupakan bentukan yang mencontoh geng-geng
barat itu. Kita hendaknya kembali mengajarkan nilai-nilai dan norma-norma luhur
bangsa hingga para pemuda kita paham terhadap dirinya sendiri yang pada gilirannya
bisa memberikan manfaat, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Cari
pula cara atau jalan atau aturan yang disesuaikan dengan budaya dalam negeri
karena akan lebih mudah diresapi. Di samping itu, para elit pun harus
memberikan contoh yang baik karena kita ini sangat kekurangan teladan dari para
pemimpin. Merosotnya keteladanan telah membuat merosot moral dan budi pekerti
generasi muda. Meningkatnya keteladanan positif dari para elit akan menjadikan
negeri ini memiliki pola dan contoh yang bisa diikuti untuk kemudian
dibanggakan.
Sekali lagi, kita hendaknya melakukan penelitian mengenai
berbagai hal sebelum 1968 dan sesudahnya. Jika penelitian itu telah mendapatkan
kesimpulan dan saran, hendaknya tidak hanya dijadikan pengaya khazanah kepustakaan
nasional, melainkan dijadikan rujukan untuk membentuk dan menjalankan program
nyata. Sangatlah disayangkan jika hasil-hasil penelitian mengenai hal tersebut
hanya jadi pajangan di perpustakaan sampai berdebu karena tidak ada yang
memanfaatkannya.