oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Pembangunan karakter
bangsa dari dulu sudah dilakukan dan terus dilakukan di negeri ini. Agaknya,
berbagai penataran, Diklat, atau pemberian materi mengenai kebangsaan ini
merupakan salah satu penyebab utuhnya Negara Indonesia sampai sekarang. Di
samping itu, tentu saja pelajaran-pelajaran di sekolah pun menguatkan keutuhan
Negara Indonesia. Pada masa Ir. Soekarno ada yang namanya Diklat Nasakom dan
masa orde baru ada P4. Kedua hal itu sama-sama membangun karakter bangsa.
Meskipun pada setiap orde upaya-upaya itu ada plus-minusnya, tak bisa
dipungkiri tetap menjadi pengikat rasa warga Negara Indonesia.
Ketika memasuki orde reformasi, pilar-pilar kebangsaan
yang telah diajarkan pada masa Orla dan Orba mulai ditinggalkan karena orang-orang
memandang pilar-pilar itu hanya dijadikan kedok kesewenang-wenangan penguasa,
terutama pada masa Orba. Masyarakat pun dalam keadaan euphoria menoleh budaya
kebebasan yang diimpor dari barat. Pada masa awal reformasi tampaknya terasa
kita telah menggunakan jalan yang benar dengan cara meniru-niru struktur dan
susunan kehidupan orang barat. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, kita
mulai menyadari bahwa kita terjebak dalam kebebasan itu sendiri sehingga
merindukan kembali nilai-nilai luhur budaya bangsa. Berbagai tindak-tanduk para
politisi serta hiruk-pikuknya kehidupan mulai mengeringkan ruhani orang-orang.
Masyarakat pun ingin kembali pada kesejukan dirinya dan terlindungi dari
kekeringan jiwanya.
Salah satu jawabannya adalah reaktualisasi pilar-pilar
kebangsaan. MPR RI menjalankan proyek sosialisasi
empat pilar kebangsaan yang terdiri atas Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945. Proyek itu memang banyak bolongnya dan sangat tampak
kekurangannya, sobek di sana-sini. Akan tetapi, itu merupakan langkah awal yang
teramat baik untuk kembali membangun karakter bangsa. Minimal, mengenalkan
kembali, terutama kepada generasi muda bahwa kita, bangsa Indonesia, memiliki
empat pilar yang dapat menyelamatkan bangsa dan rakyatnya dari kehancuran pada
berbagai segi, baik itu batin maupun lahir.
Saya sangat tidak setuju kepada orang-orang yang
menganggap sia-sia proyek sosialisasi empat pilar kebangsaan tersebut. Mereka
berpendapat dengan mengatasnamakan rakyat bahwa rakyat tidak memerlukan empat
pilar kebangsaan.
Gila
mereka itu. Bodoh teramat tolol!
Saat
ini kita saksikan perilaku korup semakin semarak, tawuran pelajar, tawuran
antarkampung, pertengkaran di tingkat elit yang merembet ke grassroot, terorisme, kriminalitas, turunnya
moral serta rusaknya penghormatan kepada orangtua dan guru, jual-beli
legislasi, dan seabrek kekisruhan lainnya. Perilaku-perilaku menyimpang itu
salah satu penyebab terbesarnya adalah jauhnya kita dari nilai-nilai budaya
bangsa sendiri.
Orang-orang
sok pintar yang tidak menganggap penting pilar-pilar kebangsaan itu lebih
percaya pada penegakkan hukum dan perbaikan sistem. Menurut mereka, kejahatan
dan atau kerusakan yang terjadi di Indonesia bisa diselesaikan dengan hukum,
penguatan lembaga pemerintah termasuk yang ad hoc, serta penyempurnaan sistem.
Mereka tidak terlalu salah, tetapi juga tidak benar.
Hukum,
sistem, dan pemerintahan itu sesungguhnya seharusnya merupakan perwujudan dari
nilai-nilai yang ada dalam masyarakat agar nilai-nilai itu mendapatkan jaminan
tetap terjaga serta dipatuhi. Jika jauh dari nilai-nilainya sendiri, masyarakat
akan selalu bermasalah dengan hukum, sistem, dan pemerintahan itu sendiri.
Supaya
lebih jelas dan tidak pusing, saya kasih contoh. Begini. Islam diisukan oleh
Yahudi memiliki hukum-hukum yang sadis dan tidak berperikemanusiaan, misalnya,
potong tangan, potong leher, atau rajam. Isu itu kemudian diterima juga di
Indonesia sehingga enggan menggunakan hukum Islam. Anehnya, cuma itu yang
diisukan sebagai hukum Islam, yaitu potong tangan, potong leher, dan rajam,
yang lainnya enggak muncul. Itu dan itu terus yang diomongin di mana-mana,
malahan di pesantren juga cuma itu yang ramai dibicarakan. Bedanya, orang-orang
pesantren itu yakin bahwa hukum yang sadis itu pantas dijalankan untuk menjaga
keamanan dan ketertiban.
Meskipun
dianggap sadis dan melanggar Ham, orang-orang tidak pernah belajar dan
memahami, memangnya ada berapa orang pada zaman Rasulullah saw dan para
khalifah yang mendapatkan hukuman itu?
Ketika
Abu Bakar As Shidiq menjadi khalifah yang sekaligus pemegang kendali hukum,
sama sekali tidak ada orang yang bermasalah dengan hukum. Oleh sebab itu, Abu
Bakar ra hampir saja mengundurkan diri dari jabatan kepemimpinannya. Ia merasa
malu karena tidak melakukan apa pun. Ia merasa seolah-olah memiliki jabatan,
tetapi tak memiliki pekerjaan karena tidak ada satu orang pun yang dihukum.
Apa
yang menyebabkan situasi aman tersebut pada masa Abu Bakar ra?
Aturannya
yang keras? UU-nya yang tegas? Pemerintahannya yang sempurna?
Oh
bukan, bukan itu.
Penyebabnya
adalah sudah sejak awal kaum muslimin diajari nilai-nilai kebaikan dari jiwa
Islam yang suci dan luhur. Mereka diberi pemahaman bahwa orang Islam itu harus
berbuat baik kepada seluruh manusia, jangan merusak, dan jangan melakukan
keburukan di muka Bumi. Jika melakukan kesalahan atau kejahatan, Allah swt
Mahamelihat dan akan memberikan hukuman yang keras. Pemahaman dan pengajaran
itulah yang selalu diulang-ulang ditanamkan sehingga orang-orang mengerti untuk
tidak melakukan keburukan dan berupaya selalu berbuat baik. Menurut Muhammad
Rasulullah saw, yang disebut manusia Islam itu adalah orang yang mampu menjaga dirinya dari melukai orang lain.
Nah,
pemahaman-pemahaman itu akhirnya menjiwai kaum muslimin secara kuat. Dengan
demikian, aturan dan hukum-hukum yang diterapkan semacam potong tangan dan
potong leher itu hanya menjadi penjaga untuk memastikan orang-orang agar tidak
menyimpang dari ajaran-ajaran Islam. Oleh sebab itu, wajar saja pada masa Abu
Bakar ra memimpin tak ada kasus hukum karena orang-orang sudah paham dengan
jiwa Islam-nya sendiri
.
Begitu,
Bro.
Berkaca
dari sana, menjadi teramat penting sosialisasi wawasan kebangsaan di Indonesia
ini agar masyarakat Indonesia bisa menjaga dirinya sendiri untuk tidak
melakukan perilaku-perilaku yang melanggar nilai dan norma luhur bangsa
Indonesia. Pelanggaran hukum itu kan berarti pula pelanggaran terhadap nilai dan
norma bangsa, iya kan?
Untuk
memahami nilai-nilai bangsanya, warga Negara Indonesia harus diberi pelajaran
mengenai dirinya sendiri yang sudah terkristal dalam pilar-pilar kebangsaan
itu. Jika sudah mengerti, paham, dan menjiwai nilai-nilainya sendiri, setiap
warga lebih memahami hak dan kewajibannya. Dengan demikian, perilaku melanggar
hukum sudah mulai tercegah oleh dirinya sendiri, bukan oleh seabrek
aturan-aturan yang ada dan senjata para aparat.
Hukum
apa pun sekarang ini bisa dibeli di dunia ini. Sistem bisa diakal-akalin. Lembaga pemerintah
bisa diacak-acak. Akan tetapi, jiwa dan nurani tak bisa dibohongi. Jiwa dan
nurani itulah yang akan bersentuhan dengan wawasan kebangsaan.
Memang
benar sosialisasi empat pilar yang kata orang-orang adalah proyeknya Taufiq Kiemas
itu banyak kekurangannya, tetapi semangatnya sudah benar. Saya sendiri melihat
kekurangan yang terjadi, misalnya, pematerinya tidak jelas siapa orangnya,
tidak mempersiapkan materi dengan baik, materinya pun kabur kesana-kemari,
nggak jelas mana ujungnya, mana awalnya. Bahkan, pematerinya ada yang berasal
dari kalangan politisi yang jelas-jelas pasti lebih banyak berbicara mengenai
dirinya sendiri dan menjadi sarana untuk kampanye terselubung. Belum lagi
ukuran yang bisa menjadi alat evaluasinya tidak ada.
Adalah
teramat baik sosialiasi wawasan kebangsaan tersebut dipersiapkan dengan matang
mulai materinya, waktu pelaksanaannya, pematerinya, berikut evaluasinya. Cari
di negeri ini orang-orang bersih yang tidak ditunggangi kekuatan politik apa
pun agar bisa lebih bebas berimprovisasi. Tentunya, orang-orang ini adalah
orang yang mencintai Indonesia, terutama teramat peduli dengan generasi masa
depan. Di samping itu, orang-orangnya harus bersih, terbebas dari catatan
keburukan dan yang teramat penting adalah bukan kaki tangannya kapitalis.
Biarkan mereka berupaya keras dan fasilitasi untuk melakukan yang terbaik dalam
menyosialisasikan wawasan kebangsaan.
Ada
contoh buruk dari pelaksanaan P4 pada masa Orba. Ayah saya adalah kepala
sekolah SD. Ia mengikuti P4 bersama para kepala sekolah lain di Bandung. Ayah
saya termasuk ranking sepuluh besar dalam penataran itu. Akan tetapi, ia
melihat kekurangan yang nyata dalam penataran itu, yaitu perilaku para pemateri
sendiri. Karena pemateri itu selaku penatar, perilakunya sangat sombong dan
angkuh seolah-olah merekalah yang lebih Pancasilais dibandingkan para peserta.
Nah, perilaku menganggap diri paling Pancasilais itu sudah merupakan
pelanggaran tersendiri terhadap nilai-nilai Pancasila.
Kita
semua bisa belajar dari seluruh program yang telah berjalan di negeri ini dalam
setiap masa mengenai pembangunan karakter bangsa. Kekurangan-kekurangan yang
pernah terjadi dapat menjadi pelajaran berharga untuk melaksanakan sosialisasi
wawasan kebangsaan dengan lebih baik agar bisa memberikan perubahan terhadap
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Wawasan
kebangsaan adalah sangat penting dalam membangun karakter bangsa yang pada
gilirannya akan menumbuhkan manusia berbudi pekerti luhur yang mampu menjaga
wibawa serta kedaulatan bangsa dan Negara Indonesia.
Insyaallah.
No comments:
Post a Comment