Friday 5 October 2012

Sosialisasi Wawasan Kebangsaan


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Pembangunan karakter bangsa dari dulu sudah dilakukan dan terus dilakukan di negeri ini. Agaknya, berbagai penataran, Diklat, atau pemberian materi mengenai kebangsaan ini merupakan salah satu penyebab utuhnya Negara Indonesia sampai sekarang. Di samping itu, tentu saja pelajaran-pelajaran di sekolah pun menguatkan keutuhan Negara Indonesia. Pada masa Ir. Soekarno ada yang namanya Diklat Nasakom dan masa orde baru ada P4. Kedua hal itu sama-sama membangun karakter bangsa. Meskipun pada setiap orde upaya-upaya itu ada plus-minusnya, tak bisa dipungkiri tetap menjadi pengikat rasa warga Negara Indonesia.

            Ketika memasuki orde reformasi, pilar-pilar kebangsaan yang telah diajarkan pada masa Orla dan Orba mulai ditinggalkan karena orang-orang memandang pilar-pilar itu hanya dijadikan kedok kesewenang-wenangan penguasa, terutama pada masa Orba. Masyarakat pun dalam keadaan euphoria menoleh budaya kebebasan yang diimpor dari barat. Pada masa awal reformasi tampaknya terasa kita telah menggunakan jalan yang benar dengan cara meniru-niru struktur dan susunan kehidupan orang barat. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, kita mulai menyadari bahwa kita terjebak dalam kebebasan itu sendiri sehingga merindukan kembali nilai-nilai luhur budaya bangsa. Berbagai tindak-tanduk para politisi serta hiruk-pikuknya kehidupan mulai mengeringkan ruhani orang-orang. Masyarakat pun ingin kembali pada kesejukan dirinya dan terlindungi dari kekeringan jiwanya.
          
          Salah satu jawabannya adalah reaktualisasi pilar-pilar kebangsaan. MPR RI menjalankan proyek sosialisasi empat pilar kebangsaan yang terdiri atas Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945. Proyek itu memang banyak bolongnya dan sangat tampak kekurangannya, sobek di sana-sini. Akan tetapi, itu merupakan langkah awal yang teramat baik untuk kembali membangun karakter bangsa. Minimal, mengenalkan kembali, terutama kepada generasi muda bahwa kita, bangsa Indonesia, memiliki empat pilar yang dapat menyelamatkan bangsa dan rakyatnya dari kehancuran pada berbagai segi, baik itu batin maupun lahir.

       Saya sangat tidak setuju kepada orang-orang yang menganggap sia-sia proyek sosialisasi empat pilar kebangsaan tersebut. Mereka berpendapat dengan mengatasnamakan rakyat bahwa rakyat tidak memerlukan empat pilar kebangsaan.

Gila mereka itu. Bodoh teramat tolol!

Saat ini kita saksikan perilaku korup semakin semarak, tawuran pelajar, tawuran antarkampung, pertengkaran di tingkat elit yang merembet ke grassroot, terorisme, kriminalitas, turunnya moral serta rusaknya penghormatan kepada orangtua dan guru, jual-beli legislasi, dan seabrek kekisruhan lainnya. Perilaku-perilaku menyimpang itu salah satu penyebab terbesarnya adalah jauhnya kita dari nilai-nilai budaya bangsa sendiri.

Orang-orang sok pintar yang tidak menganggap penting pilar-pilar kebangsaan itu lebih percaya pada penegakkan hukum dan perbaikan sistem. Menurut mereka, kejahatan dan atau kerusakan yang terjadi di Indonesia bisa diselesaikan dengan hukum, penguatan lembaga pemerintah termasuk yang ad hoc, serta penyempurnaan sistem. Mereka tidak terlalu salah, tetapi juga tidak benar.

Hukum, sistem, dan pemerintahan itu sesungguhnya seharusnya merupakan perwujudan dari nilai-nilai yang ada dalam masyarakat agar nilai-nilai itu mendapatkan jaminan tetap terjaga serta dipatuhi. Jika jauh dari nilai-nilainya sendiri, masyarakat akan selalu bermasalah dengan hukum, sistem, dan pemerintahan itu sendiri.

Supaya lebih jelas dan tidak pusing, saya kasih contoh. Begini. Islam diisukan oleh Yahudi memiliki hukum-hukum yang sadis dan tidak berperikemanusiaan, misalnya, potong tangan, potong leher, atau rajam. Isu itu kemudian diterima juga di Indonesia sehingga enggan menggunakan hukum Islam. Anehnya, cuma itu yang diisukan sebagai hukum Islam, yaitu potong tangan, potong leher, dan rajam, yang lainnya enggak muncul. Itu dan itu terus yang diomongin di mana-mana, malahan di pesantren juga cuma itu yang ramai dibicarakan. Bedanya, orang-orang pesantren itu yakin bahwa hukum yang sadis itu pantas dijalankan untuk menjaga keamanan dan ketertiban. 

Meskipun dianggap sadis dan melanggar Ham, orang-orang tidak pernah belajar dan memahami, memangnya ada berapa orang pada zaman Rasulullah saw dan para khalifah yang mendapatkan hukuman itu?

Ketika Abu Bakar As Shidiq menjadi khalifah yang sekaligus pemegang kendali hukum, sama sekali tidak ada orang yang bermasalah dengan hukum. Oleh sebab itu, Abu Bakar ra hampir saja mengundurkan diri dari jabatan kepemimpinannya. Ia merasa malu karena tidak melakukan apa pun. Ia merasa seolah-olah memiliki jabatan, tetapi tak memiliki pekerjaan karena tidak ada satu orang pun yang dihukum.

Apa yang menyebabkan situasi aman tersebut pada masa Abu Bakar ra?

Aturannya yang keras? UU-nya yang tegas? Pemerintahannya yang sempurna?

Oh bukan, bukan itu.

Penyebabnya adalah sudah sejak awal kaum muslimin diajari nilai-nilai kebaikan dari jiwa Islam yang suci dan luhur. Mereka diberi pemahaman bahwa orang Islam itu harus berbuat baik kepada seluruh manusia, jangan merusak, dan jangan melakukan keburukan di muka Bumi. Jika melakukan kesalahan atau kejahatan, Allah swt Mahamelihat dan akan memberikan hukuman yang keras. Pemahaman dan pengajaran itulah yang selalu diulang-ulang ditanamkan sehingga orang-orang mengerti untuk tidak melakukan keburukan dan berupaya selalu berbuat baik. Menurut Muhammad Rasulullah saw, yang disebut manusia Islam itu adalah orang yang mampu menjaga dirinya dari melukai orang lain. 

Nah, pemahaman-pemahaman itu akhirnya menjiwai kaum muslimin secara kuat. Dengan demikian, aturan dan hukum-hukum yang diterapkan semacam potong tangan dan potong leher itu hanya menjadi penjaga untuk memastikan orang-orang agar tidak menyimpang dari ajaran-ajaran Islam. Oleh sebab itu, wajar saja pada masa Abu Bakar ra memimpin tak ada kasus hukum karena orang-orang sudah paham dengan jiwa Islam-nya sendiri
.
Begitu, Bro.

Berkaca dari sana, menjadi teramat penting sosialisasi wawasan kebangsaan di Indonesia ini agar masyarakat Indonesia bisa menjaga dirinya sendiri untuk tidak melakukan perilaku-perilaku yang melanggar nilai dan norma luhur bangsa Indonesia. Pelanggaran hukum itu kan berarti pula pelanggaran terhadap nilai dan norma bangsa, iya kan?

Untuk memahami nilai-nilai bangsanya, warga Negara Indonesia harus diberi pelajaran mengenai dirinya sendiri yang sudah terkristal dalam pilar-pilar kebangsaan itu. Jika sudah mengerti, paham, dan menjiwai nilai-nilainya sendiri, setiap warga lebih memahami hak dan kewajibannya. Dengan demikian, perilaku melanggar hukum sudah mulai tercegah oleh dirinya sendiri, bukan oleh seabrek aturan-aturan yang ada dan senjata para aparat.

Hukum apa pun sekarang ini bisa dibeli di dunia ini. Sistem bisa diakal-akalin. Lembaga pemerintah bisa diacak-acak. Akan tetapi, jiwa dan nurani tak bisa dibohongi. Jiwa dan nurani itulah yang akan bersentuhan dengan wawasan kebangsaan.

Memang benar sosialisasi empat pilar yang kata orang-orang adalah proyeknya Taufiq Kiemas itu banyak kekurangannya, tetapi semangatnya sudah benar. Saya sendiri melihat kekurangan yang terjadi, misalnya, pematerinya tidak jelas siapa orangnya, tidak mempersiapkan materi dengan baik, materinya pun kabur kesana-kemari, nggak jelas mana ujungnya, mana awalnya. Bahkan, pematerinya ada yang berasal dari kalangan politisi yang jelas-jelas pasti lebih banyak berbicara mengenai dirinya sendiri dan menjadi sarana untuk kampanye terselubung. Belum lagi ukuran yang bisa menjadi alat evaluasinya tidak ada.

Adalah teramat baik sosialiasi wawasan kebangsaan tersebut dipersiapkan dengan matang mulai materinya, waktu pelaksanaannya, pematerinya, berikut evaluasinya. Cari di negeri ini orang-orang bersih yang tidak ditunggangi kekuatan politik apa pun agar bisa lebih bebas berimprovisasi. Tentunya, orang-orang ini adalah orang yang mencintai Indonesia, terutama teramat peduli dengan generasi masa depan. Di samping itu, orang-orangnya harus bersih, terbebas dari catatan keburukan dan yang teramat penting adalah bukan kaki tangannya kapitalis. Biarkan mereka berupaya keras dan fasilitasi untuk melakukan yang terbaik dalam menyosialisasikan wawasan kebangsaan.

Ada contoh buruk dari pelaksanaan P4 pada masa Orba. Ayah saya adalah kepala sekolah SD. Ia mengikuti P4 bersama para kepala sekolah lain di Bandung. Ayah saya termasuk ranking sepuluh besar dalam penataran itu. Akan tetapi, ia melihat kekurangan yang nyata dalam penataran itu, yaitu perilaku para pemateri sendiri. Karena pemateri itu selaku penatar, perilakunya sangat sombong dan angkuh seolah-olah merekalah yang lebih Pancasilais dibandingkan para peserta. Nah, perilaku menganggap diri paling Pancasilais itu sudah merupakan pelanggaran tersendiri terhadap nilai-nilai Pancasila.

Kita semua bisa belajar dari seluruh program yang telah berjalan di negeri ini dalam setiap masa mengenai pembangunan karakter bangsa. Kekurangan-kekurangan yang pernah terjadi dapat menjadi pelajaran berharga untuk melaksanakan sosialisasi wawasan kebangsaan dengan lebih baik agar bisa memberikan perubahan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.

Wawasan kebangsaan adalah sangat penting dalam membangun karakter bangsa yang pada gilirannya akan menumbuhkan manusia berbudi pekerti luhur yang mampu menjaga wibawa serta kedaulatan bangsa dan Negara Indonesia.

Insyaallah.

No comments:

Post a Comment