Thursday, 4 October 2012

Budaya Indonesia Lebih Luhur Dibandingkan Barat


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Adalah suatu kesalahan yang sudah menjadi penyakit menahun bahwa banyak orang Indonesia menganggap dirinya lebih lemah, bodoh, dan terbelakang dibandingkan orang-orang barat. Penyakit pikiran itu mengakibatkan kita sering memuji orang barat dan kerap mengekor pandangan-pandangan barat. Lebih ngaco lagi kita sering mengikuti kebiasaan hidup orang-orang barat. Padahal, budaya Indonesia lebih luhur dan mulia dibandingkan budaya yang berkembang di barat.
 
            Okelah, dari puluhan bahkan mungkin ratusan buku budaya yang diajarkan di perguruan tinggi mengatakan bahwa tak ada budaya yang lebih tinggi di muka Bumi ini. Semua budaya bernilai sama. Seluruhnya merupakan teman hidup perkembangan manusia. Buku-buku itu ditulis oleh orang-orang barat. Kalaupun ada yang ditulis orang Indonesia, tetap saja rujukannya dari buku-buku barat itu. 

            Dari seluruh kajian atau teori mengenai budaya yang saya pahami, arti dari budaya itu intinya adalah sama, yaitu cara-cara manusia hidup menghadapi alam sekitarnya. Itu benar sampai sekarang dan tidak ada yang membantahnya.

            Akan tetapi, kita melihat perbedaan yang nyata antara budaya Indonesia dengan budaya yang berkembang di barat. Dari pemahaman arti budaya yang sama, terjadi perbedaan dalam praktik di kehidupan nyata. Di barat berkembang pemikiran yang kemudian berpengaruh juga ke Indonesia bahwa manusia itu harus berupaya menghadapi alam sekitarnya.

            Memang benar manusia barat dan manusia Indonesia berhadapan dengan alam, tetapi berbeda cara dan maksudnya. Kita lihat bahwa dari pemahaman tersebut, di barat terjadi situasi berseberangan antara manusia dan alam sekitarnya. Timbul pertarungan antara manusia dengan alam. Manusia berupaya keras melawan alam, kemudian menguasainya, lalu mengambil keuntungan dari alam. Manusia mengeksploitasi alam untuk kepentingannya sendiri. Alam pun dikalahkan oleh manusia untuk sementara waktu. Demikianlah budaya yang berkembang sampai sekarang di kalangan manusia-manusia kapitalis.

            Pemikiran, perilaku, dan cara-cara kapitalistis tersebut mempengaruhi orang-orang Indonesia. Bahkan, di Indonesia pemahaman tersebut ditambah-tambah secara ngaco dan sok tahu oleh para akademisi, ahli agama, pemuka masyarakat, dan orang-orang dari pemerintah juga. Penambahan pemahaman tersebut adalah bahwa dunia dan seisinya ini diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia. Hal itu diajarkan mulai di sekolah dasar sampai di perguruan tinggi, bahkan di masjid-masjid. Padahal, pemikiran itu   adalah pemikiran kapitalistis yang sama sekali tidak ada sumbernya dari ajaran Islam.

            Siapa bilang dunia dan seisinya ini untuk manusia? Apa dasarnya? Di mana landasan logikanya?

            Yang benar adalah Allah swt menciptakan dunia dan seisinya, termasuk manusia dan para malaikat adalah untuk kepentingan-Nya sendiri, untuk rencana yang dikehendaki-Nya sendiri.

Oleh sebab itu, Allah swt berfirman, “Tidak semata-mata Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk menyembah-Ku.”

Arti dari menyembah-Ku adalah mengabdikan diri kepada Allah swt. Di sana jelas terletak kepentingan Allah swt. Dia menginginkan manusia untuk menjadi pengabdi-Nya dengan cara yang Dia ajarkan lewat para nabi, baik melalui aktivitas ritual maupun sosial.

Orang-orang kita cuma ngikut-ngikut orang barat dan bangga kalau sudah nyontek orang lain. Rese banget sih.

   Akibat dari pemahaman budaya yang menimbulkan perilaku keliru, terjadi ketidakseimbangan alam. Alam menjadi rusak, global warming, bencana alam di mana-mana, banjir, gempa, tsunami, hujan angin besar, kekurangan air bersih, timbulnya berbagai penyakit, dan seabrek kerusakan lainnya. Kerusakan alam itu jelas berpengaruh pada manusia. Artinya, manusia harus menderita akibat ketidakseimbangan alam yang diakibatkan oleh manusia itu sendiri yang berawal dari pemahaman budaya yang salah.

        Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa budaya yang berkembang di barat kapitalis yang kemudian berpengaruh pula pada orang-orang Indonesia adalah budaya yang salah, keliru, rendah, dan sama sekali tidak bermartabat. Pemahaman yang salah mengakibatkan tindakan salah, menimbulkan kerusakan alam, akhirnya merugikan manusia sendiri. Begitu siklusnya.
       
       Akan tetapi, lucunya, setelah menyadari kesalahannya, manusia berupaya memperbaikinya dengan hal-hal lucu, misalnya, penghijauan di kota-kota, penanaman pohon di hutan-hutan, kampanye hemat energi, penyusunan undang-undang yang melindungi alam, dan hal-hal lain yang juga lucu. Disebut lucu karena upaya-upaya itu tidak akan pernah berhasil maksimal. Hal itu disebabkan berbenturan dengan pemahaman yang masih salah yang menimbulkan perilaku salah. Manusia tetap ingin mengalahkan alam dan menguasainya. Selain itu, upaya perbaikan yang dilakukan manusia tidak sebanding dengan kerusakan yang telah diperbuatnya. Kerusakan akibat keserakahan manusia lebih besar dibandingkan upaya perbaikan yang teramat kecil dan sering mendapat rintangan itu.
            
           Jadi, budaya yang seperti itu di samping rendah dan tidak bermartabat, juga lucu.
     
     Sekarang mari kita lihat budaya asli Indonesia. Orang-orang Indonesia pun sama menghadapi alam sekitar, tetapi dengan cara yang berbeda. Caranya lebih luhur dan mulia. Di Indonesia dulu sebelum masa penjajahan dan sebelum bergaul dengan orang-orang kapitalis serakah, terasa sekali keluhuran budaya itu. Pemahaman yang berkembang di Indonesia adalah bukannya bertarung melawan alam, melainkan bermitra dengan alam. Leluhur orang Indonesia selalu mengadakan kemitraan tersebut agar tetap terjadi keseimbangan alam sehingga tak ada yang dikalahkan, semuanya harus mendapatkan manfaat, baik manusia maupun alam sekitarnya, tentunya termasuk hewan-hewan.
        
        Para orang tua kita dulu sebelum membangun rumah pribadi atau bangunan untuk fasilitas publik semacam balai pertemuan atau pusat pemerintahan, selalu berpuasa terlebih dahulu, tak jarang pula sampai mati geni, malahan sampai puluhan hari. Di samping itu, mereka pun berkomunikasi dengan makhluk-makhluk halus agar tidak saling mengganggu. Hal itu dilakukan agar terjadi keseimbangan dan keharmonisan dengan alam, tidak saling merusak. Dari upaya laku batin tersebut, didapatkan petunjuk untuk melakukan pembangunan. Selain itu, diperoleh pemahaman apa yang boleh, apa yang harus, dan apa yang terlarang untuk dikerjakan.

Demikian pula dalam melakukan pertanian dan peternakan. Para orang tua kita dulu melakukan upaya-upaya batin, bahkan tak jarang ketika melakukan pekerjaannya  semisal bertani atau beternak, mereka ngahaleuang, ‘bernyanyi’, untuk tanaman dan peliharaan mereka. Orang-orang Baduy ketika menanam benih padi dan mengurus pertaniannya selalu menyanyikan lagu-lagu yang isinya mengajak berbicara pada padi-padi yang sedang tumbuh di samping puji-pujian pada nyai pohaci.  Nyai Pohaci dipercaya mereka sebagai dewi padi.

Di Jawa ada bangunan yang dibangun oleh bunyi kecapi. Tentunya, yang membangun tetap saja tukang bangunan, tetapi pembangunannya mengikuti irama kecapi.

Hal-hal semacam itu banyak dilakukan dengan beragam cara di Indonesia. Tujuannya sama, yaitu agar terjadi keselamatan, keseimbangan, dan keharmonisan hidup.

Di daerah Nagreg, Kabupaten Bandung, dulu sempat ada raja yang mengeluarkan peraturan yang melarang untuk menebang pohon, mengambil air, menangkap ikan, apalagi melakukan kerusakan. Siapa pun yang melanggar peraturan tersebut, hukumannya diserahkan kepada para makhluk halus. Raja tidak melakukan sanksi apa pun, tetapi mempercayakannya kepada makhlus halus setempat yang terdiri atas siluman, dedemit, genderuwo, kuntilanak, dan sebagainya. Para jin itu diberikan izin untuk mengganggu sampai membunuh orang-orang yang melakukan kerusakan alam di tempat tertentu. Lalu, para jin itu dipersilakan untuk memakan sari daging dan tulangnya, meminum darahnya, serta menyedot isi otaknya.
        
           Apa arti dari aturan raja itu?
       
        Sang Raja menginginkan terjadinya keseimbangan alam dan terjaganya manusia dari sifat rakus. Rakus itu kalau dalam bahasa ekonomi sekarang adalah kapitalisitis.
          
           Dari aturan tersebut, kita melihat ada kemitraan di antara raja, rakyat, makhluk halus, dan alam sekitarnya. Artinya, dikembangkan pemahaman untuk tidak saling menguasai, berseberangan, apalagi eksploitasi secara serakah. Sama sekali tidak dibenarkan manusia untuk menguasai dan mengalahkan alam. Hidup seimbang dan harmonis adalah pilihan logis dan bermartabat karena saling menguntungkan.
        
        Di wilayah Baduy ada hutan larangan yang dipagari oleh kata pamali, ‘pemali’. Jangankan menebang pohon, hanya untuk mengambil ranting yang patah di hutan itu, orang-orang tak berani dengan mengatakan teu wasa, ‘tak berani melanggar kata pemali’.
      
      Saudara pembaca yang budiman, bisa kan sekarang membedakan tinggi rendahnya budaya yang berkembang di barat dan di Indonesia?
     
       Begini Saudara, di barat itu sampai sekarang terus berkembang budaya manusia harus menang menaklukkan alam, sedangkan di Indonesia dikembangkan budaya bermitra dengan alam.

Mana yang lebih mulia dan luhur, bertarung atau bermitra dengan alam?

Orang yang berpikir dan memiliki hati nurani jernih pasti akan mengatakan bahwa bermitra dengan alam adalah lebih baik. Lain lagi orang yang sudah digelapkan syetan pasti mengatakan bahwa mengalahkan alam itu adalah lebih baik. Padahal, sireum oge ditincak-tincak teuing mah nyoco, ‘semut juga kalau terlalu disakiti, akan menggigit’. Artinya, alam kalau dikalahkan, pasti akan melawan.

Perlawanan alam itu sekarang terjadi, bukan?

Manusia kebingungan menghadapinya saat ini.
            
           Sayang sekali Saudara, Indonesia pun sekarang dimarahi oleh alam dan menderita luar biasa. Hal itu diakibatkan oleh kita yang sering menertawakan budaya orang tua kita dengan menganggapnya kuno dan terbelakang, padahal bernilai tinggi bukan main. Orang-orang Jepang baru tahun-tahun belakangan ini mengerti bahwa memperdengarkan lagu-lagu indah pada tumbuhan akan membuat sehat pertumbuhan tanaman itu. Orang-orang Baduy sudah sejak berabad-abad lalu menyanyikan lagu untuk menyenangkan padi-padinya. Selain itu, kita terlalu yakin dan menggantungkan diri pada pemikiran-pemikiran barat yang biasanya berstandar pada pemenuhan materi dan kekuasaan. Di samping itu pula, orang-orang Islam di Indonesia ini gemar sekali mengatakan ini musyrik, itu musryik, segala sesuatu yang belum dipahaminya diberi gelar musyrik, everything is musyrik, everything is bidah. Padahal, belum tentu. Misalnya, ini terjadi dengan nyata. Dulu orang-orang Islam yang pengennya disebut intelektual itu sempat mengatakan bidah atau musyrik bagi mereka yang membacakan doa-doa pada air, lalu air itu diminum oleh orang yang sakit agar sembuh. Akan tetapi, sekarang ilmu pengetahuan membenarkan bahwa air yang dibacakan doa itu berubah molekulnya dan berpengaruh positif hingga bisa digunakan untuk pengobatan.

Di mana musyriknya?

Di mana bidahnya?

Jadi, jangan terlalu cepat mengatakan musyrik hanya karena kita belum mengerti dengan benar.
            
           Bagi orang-orang Islam, coba itu belajar dari para wali yang telah berjasa menyebarkan ajaran Islam di Bumi Nusantara ini. Pagelaran wayang itu dipenuhi oleh ritual-ritual yang bisa menggelincirkan manusia ke arah kemusyrikan, tetapi para wali tidak mengatakannya musyrik. Bahkan, mereka menggunakannya untuk menyebarkan ajaran Islam dan mengganti dengan halus segala hal yang menjurus ke arah kemusyrikan hingga bisa dengan luwes diterima masyarakat, tidak menunjukkan perlawanan yang kasar terhadap kekafiran. Hasilnya, negeri ini menjadi negeri berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia, bukan?

           Kembali ke soal budaya. Salah satu hal terbesar yang menggunting perkembangan keluhuran budaya Indonesia adalah penjajahan. Penjajahan Belanda memang merusakkan, bukan saja alam, melainkan pula pemikiran dan budaya bangsa. Mereka menekan dengan keras sehingga kita kehilangan jati diri kita. Mereka pun memperkenalkan budaya korupsi melalui perusahaannya yang bernama VOC. Perusahaan itu akhirnya bangkrut karena korupsi-korupsi juga. Akibatnya, kita terdistorsi dan mengalami penghentian perkembangan kearifan lokal karena perilaku-perilaku yang tecermin dari nilai-nilai luhur itu tergencet oleh kepentingan-kepentingan kolonial Belanda.

           Sesungguhnya, Indonesia ini diantarkan Allah swt menuju ke kesempurnaannya. Maksud saya, orang Islam Indonesia. Kita punya budaya dan nilai-nilai yang demikian luhur. Seharusnya, itu menjadi awal yang dapat disambungkan untuk mengamalkan ajaran Islam secara sempurna. Ada kesamaan antara budaya bangsa yang mengharapkan keharmonisan hidup bersama alam dengan ajaran Islam yang jelas mengarahkan pengikutnya untuk menjadi rahmatan lil alamin, ‘rahmat bagi seluruh alam’. Jika kaum muslimin berhasil menjadikan budaya bangsa sebagai pijakan utama untuk melaksanakan ajaran Islam secara kaffah, negeri ini akan benar-benar sempurna dalam berbagai hal. Jangan lagi mudah menuding itu kafir, ini musyrik, bidah, dan lain sebagainya. Tiru para wali yang telah berhasil itu.

      Salah satu contoh yang bisa dilakukan adalah kalau dulu jika akan melakukan atau membangun sesuatu itu melakukan ritual yang aneh-aneh, Islam telah menyempurnakan ritual-ritual itu dengan ritual-ritual islami, misalnya, shalat tahajud, istikharah, istisqa, doa bersama, uzlah, khalwat, dan lain sebagainya. Jadi, budaya bangsa yang sudah baik untuk hidup seimbang dan harmonis itu bisa dilengkapi dan disempurnakan oleh ajaran Islam. Hal itu disebabkan Islam memang merupakan ajaran penyempurna kehidupan.

Bukankah Muhammad Rasulullah saw itu diturunkan untuk menyempurnakan akhlak, baik akhlak terhadap yang lahir maupun akhlak terhadap yang gaib?

           Bagi mereka yang tidak beragama Islam, bisa menyesuaikan budaya bangsa yang nilai-nilainya melekat sejak dalam kandungan itu dengan agamanya masing-masing. Maaf saya tidak bisa berbicara panjang soal nonmuslim karena saya tidak memahami dengan benar agama lain, kecuali sedikit. Akan tetapi, paling tidak, semua agama di negeri ini memiliki kewajiban yang sama untuk mendorong negeri Indonesia menjadi negara besar, kuat, dan makmur, tetapi tetap santun, tidak menggunakan tipu daya untuk mengeruk kekayaan alam apalagi merampok negara lain untuk keuntungan duniawi. Adalah kesalahan dan kejahatan besar jika memuji-muji bangsa lain karena kesamaan agama, kemudian merusakkan pikiran, membuat hasutan, dan fitnah terhadap orang-orang Indonesia karena perbedaan agama di dalam negeri sendiri.

         Saya yakin para pembaca bisa sendiri mencari contoh-contoh perbedaan antara budaya menaklukan alam yang berkembang di barat dengan budaya bermitra dengan alam yang dimiliki bangsa Indonesia. Ada banyak hal yang bisa dikupas dan dipelajari. Satu contoh saja bisa menjadi kajian budaya yang teramat menarik dan bermanfaat.

Sudah seharusnya, kita, bangsa Indonesia, kembali bermitra dengan alam setelah sebelumnya menyesuaikannya dahulu dengan syariat Islam. Sesudah itu, baru gunakan teknologi untuk mendapatkan manfaat dari alam dalam rangka mengabdikan diri kepada Allah swt. Jadi, dalam kehidupan ini kita dapat bekerja dan berkembang, tetapi dalam koridor menjaga keharmonisan, keseimbangan, dan menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta. Jangan lagi menaklukan alam karena kita akan binasa dan berdosa. Hentikan pula mengajari generasi muda kita dengan pemahaman bahwa dunia dan seisinya ini untuk kepentingan manusia. Berikan pemahaman bahwa Allah swt menciptakan segala ciptaan-Nya adalah untuk kepentingan-Nya sendiri sesuai dengan rencana-Nya sendiri pula. Kita hanya wajib patuh agar dapat selamat, baik di dunia maupun di akhirat. Dengan demikian, budaya luhur Indonesia akan semakin berkembang semakin lengkap dan semakin tinggi. Demi Allah swt, insyaallah.

No comments:

Post a Comment