oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Adalah suatu kesalahan
yang sudah menjadi penyakit menahun bahwa banyak orang Indonesia menganggap
dirinya lebih lemah, bodoh, dan terbelakang dibandingkan orang-orang barat.
Penyakit pikiran itu mengakibatkan kita sering memuji orang barat dan kerap
mengekor pandangan-pandangan barat. Lebih ngaco lagi kita sering mengikuti
kebiasaan hidup orang-orang barat. Padahal, budaya Indonesia lebih luhur dan
mulia dibandingkan budaya yang berkembang di barat.
Okelah, dari puluhan bahkan mungkin ratusan buku budaya
yang diajarkan di perguruan tinggi mengatakan bahwa tak ada budaya yang lebih
tinggi di muka Bumi ini. Semua budaya bernilai sama. Seluruhnya merupakan teman
hidup perkembangan manusia. Buku-buku itu ditulis oleh orang-orang barat.
Kalaupun ada yang ditulis orang Indonesia, tetap saja rujukannya dari buku-buku
barat itu.
Dari seluruh kajian atau teori mengenai budaya yang saya
pahami, arti dari budaya itu intinya adalah sama, yaitu cara-cara manusia hidup menghadapi alam sekitarnya. Itu benar
sampai sekarang dan tidak ada yang membantahnya.
Akan tetapi, kita melihat perbedaan yang nyata antara
budaya Indonesia dengan budaya yang berkembang di barat. Dari pemahaman arti
budaya yang sama, terjadi perbedaan dalam praktik di kehidupan nyata. Di barat
berkembang pemikiran yang kemudian berpengaruh juga ke Indonesia bahwa manusia
itu harus berupaya menghadapi alam sekitarnya.
Memang benar manusia barat dan manusia Indonesia
berhadapan dengan alam, tetapi berbeda cara dan maksudnya. Kita lihat bahwa
dari pemahaman tersebut, di barat terjadi situasi berseberangan antara manusia
dan alam sekitarnya. Timbul pertarungan antara manusia dengan alam. Manusia
berupaya keras melawan alam, kemudian menguasainya, lalu mengambil keuntungan
dari alam. Manusia mengeksploitasi alam untuk kepentingannya sendiri. Alam pun
dikalahkan oleh manusia untuk sementara waktu. Demikianlah budaya yang
berkembang sampai sekarang di kalangan manusia-manusia kapitalis.
Pemikiran, perilaku, dan cara-cara kapitalistis tersebut
mempengaruhi orang-orang Indonesia. Bahkan, di Indonesia pemahaman tersebut
ditambah-tambah secara ngaco dan sok tahu oleh para akademisi, ahli
agama, pemuka masyarakat, dan orang-orang dari pemerintah juga. Penambahan
pemahaman tersebut adalah bahwa dunia dan
seisinya ini diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia. Hal itu diajarkan
mulai di sekolah dasar sampai di perguruan tinggi, bahkan di masjid-masjid.
Padahal, pemikiran itu adalah pemikiran
kapitalistis yang sama sekali tidak ada sumbernya dari ajaran Islam.
Siapa bilang dunia dan seisinya ini untuk manusia? Apa
dasarnya? Di mana landasan logikanya?
Yang benar adalah Allah swt menciptakan dunia dan
seisinya, termasuk manusia dan para malaikat adalah untuk kepentingan-Nya
sendiri, untuk rencana yang dikehendaki-Nya sendiri.
Oleh
sebab itu, Allah swt berfirman, “Tidak
semata-mata Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk menyembah-Ku.”
Arti
dari menyembah-Ku adalah mengabdikan diri kepada Allah swt. Di
sana jelas terletak kepentingan Allah swt. Dia menginginkan manusia untuk
menjadi pengabdi-Nya dengan cara yang Dia ajarkan lewat para nabi, baik melalui
aktivitas ritual maupun sosial.
Orang-orang
kita cuma ngikut-ngikut orang barat dan bangga kalau sudah nyontek orang lain. Rese
banget sih.
Akibat dari pemahaman budaya yang menimbulkan perilaku
keliru, terjadi ketidakseimbangan alam. Alam menjadi rusak, global warming, bencana alam di
mana-mana, banjir, gempa, tsunami, hujan angin besar, kekurangan air bersih,
timbulnya berbagai penyakit, dan seabrek kerusakan lainnya. Kerusakan alam itu
jelas berpengaruh pada manusia. Artinya, manusia harus menderita akibat
ketidakseimbangan alam yang diakibatkan oleh manusia itu sendiri yang berawal
dari pemahaman budaya yang salah.
Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa budaya yang berkembang
di barat kapitalis yang kemudian berpengaruh pula pada orang-orang Indonesia
adalah budaya yang salah, keliru, rendah, dan sama sekali tidak bermartabat.
Pemahaman yang salah mengakibatkan tindakan salah, menimbulkan kerusakan alam,
akhirnya merugikan manusia sendiri. Begitu siklusnya.
Akan tetapi, lucunya, setelah menyadari kesalahannya,
manusia berupaya memperbaikinya dengan hal-hal lucu, misalnya, penghijauan di
kota-kota, penanaman pohon di hutan-hutan, kampanye hemat energi, penyusunan
undang-undang yang melindungi alam, dan hal-hal lain yang juga lucu. Disebut
lucu karena upaya-upaya itu tidak akan pernah berhasil maksimal. Hal itu
disebabkan berbenturan dengan pemahaman yang masih salah yang menimbulkan
perilaku salah. Manusia tetap ingin mengalahkan alam dan menguasainya. Selain
itu, upaya perbaikan yang dilakukan manusia tidak sebanding dengan kerusakan
yang telah diperbuatnya. Kerusakan akibat keserakahan manusia lebih besar dibandingkan
upaya perbaikan yang teramat kecil dan sering mendapat rintangan itu.
Jadi, budaya yang seperti itu di samping rendah dan tidak
bermartabat, juga lucu.
Sekarang mari kita lihat budaya asli Indonesia.
Orang-orang Indonesia pun sama menghadapi
alam sekitar, tetapi dengan cara yang berbeda. Caranya lebih luhur dan
mulia. Di Indonesia dulu sebelum masa penjajahan dan sebelum bergaul dengan
orang-orang kapitalis serakah, terasa sekali keluhuran budaya itu. Pemahaman
yang berkembang di Indonesia adalah bukannya bertarung melawan alam, melainkan bermitra dengan alam. Leluhur orang
Indonesia selalu mengadakan kemitraan tersebut agar tetap terjadi keseimbangan
alam sehingga tak ada yang dikalahkan, semuanya harus mendapatkan manfaat, baik
manusia maupun alam sekitarnya, tentunya termasuk hewan-hewan.
Para orang tua kita dulu sebelum membangun rumah pribadi atau
bangunan untuk fasilitas publik semacam balai pertemuan atau pusat pemerintahan,
selalu berpuasa terlebih dahulu, tak jarang pula sampai mati geni, malahan
sampai puluhan hari. Di samping itu, mereka pun berkomunikasi dengan
makhluk-makhluk halus agar tidak saling mengganggu. Hal itu dilakukan agar
terjadi keseimbangan dan keharmonisan dengan alam, tidak saling merusak. Dari
upaya laku batin tersebut, didapatkan petunjuk untuk melakukan pembangunan.
Selain itu, diperoleh pemahaman apa yang boleh, apa yang harus, dan apa yang
terlarang untuk dikerjakan.
Demikian
pula dalam melakukan pertanian dan peternakan. Para orang tua kita dulu
melakukan upaya-upaya batin, bahkan tak jarang ketika melakukan
pekerjaannya semisal bertani atau
beternak, mereka ngahaleuang, ‘bernyanyi’,
untuk tanaman dan peliharaan mereka. Orang-orang Baduy ketika menanam benih
padi dan mengurus pertaniannya selalu menyanyikan lagu-lagu yang isinya
mengajak berbicara pada padi-padi yang sedang tumbuh di samping puji-pujian
pada nyai pohaci. Nyai Pohaci dipercaya mereka sebagai dewi padi.
Di
Jawa ada bangunan yang dibangun oleh
bunyi kecapi. Tentunya, yang membangun tetap saja tukang bangunan, tetapi
pembangunannya mengikuti irama kecapi.
Hal-hal
semacam itu banyak dilakukan dengan beragam cara di Indonesia. Tujuannya sama,
yaitu agar terjadi keselamatan, keseimbangan, dan keharmonisan hidup.
Di
daerah Nagreg, Kabupaten Bandung, dulu
sempat ada raja yang mengeluarkan peraturan yang melarang untuk menebang pohon,
mengambil air, menangkap ikan, apalagi melakukan kerusakan. Siapa pun yang melanggar
peraturan tersebut, hukumannya diserahkan kepada para makhluk halus. Raja tidak
melakukan sanksi apa pun, tetapi mempercayakannya kepada makhlus halus setempat
yang terdiri atas siluman, dedemit, genderuwo, kuntilanak, dan sebagainya. Para
jin itu diberikan izin untuk mengganggu sampai membunuh orang-orang yang
melakukan kerusakan alam di tempat tertentu. Lalu, para jin itu dipersilakan
untuk memakan sari daging dan tulangnya, meminum darahnya, serta menyedot isi
otaknya.
Apa arti dari aturan raja itu?
Sang Raja menginginkan terjadinya keseimbangan alam dan
terjaganya manusia dari sifat rakus. Rakus itu kalau dalam bahasa ekonomi
sekarang adalah kapitalisitis.
Dari aturan tersebut, kita melihat ada kemitraan di
antara raja, rakyat, makhluk halus, dan alam sekitarnya. Artinya, dikembangkan
pemahaman untuk tidak saling menguasai, berseberangan, apalagi eksploitasi
secara serakah. Sama sekali tidak dibenarkan manusia untuk menguasai dan
mengalahkan alam. Hidup seimbang dan harmonis adalah pilihan logis dan
bermartabat karena saling menguntungkan.
Di wilayah Baduy ada hutan larangan yang dipagari oleh
kata pamali, ‘pemali’. Jangankan
menebang pohon, hanya untuk mengambil ranting yang patah di hutan itu,
orang-orang tak berani dengan mengatakan teu
wasa, ‘tak berani melanggar kata pemali’.
Saudara pembaca yang budiman, bisa kan sekarang
membedakan tinggi rendahnya budaya yang berkembang di barat dan di Indonesia?
Begini Saudara, di barat itu sampai sekarang terus
berkembang budaya manusia harus menang
menaklukkan alam, sedangkan di Indonesia dikembangkan budaya bermitra dengan alam.
Mana
yang lebih mulia dan luhur, bertarung atau bermitra dengan alam?
Orang
yang berpikir dan memiliki hati nurani jernih pasti akan mengatakan bahwa
bermitra dengan alam adalah lebih baik. Lain lagi orang yang sudah digelapkan
syetan pasti mengatakan bahwa mengalahkan alam itu adalah lebih baik. Padahal, sireum oge ditincak-tincak teuing mah nyoco,
‘semut juga kalau terlalu disakiti, akan menggigit’. Artinya, alam kalau
dikalahkan, pasti akan melawan.
Perlawanan
alam itu sekarang terjadi, bukan?
Manusia
kebingungan menghadapinya saat ini.
Sayang sekali Saudara, Indonesia pun sekarang dimarahi
oleh alam dan menderita luar biasa. Hal itu diakibatkan oleh kita yang sering
menertawakan budaya orang tua kita dengan menganggapnya kuno dan terbelakang,
padahal bernilai tinggi bukan main. Orang-orang Jepang baru tahun-tahun
belakangan ini mengerti bahwa memperdengarkan lagu-lagu indah pada tumbuhan
akan membuat sehat pertumbuhan tanaman itu. Orang-orang Baduy sudah sejak
berabad-abad lalu menyanyikan lagu untuk menyenangkan padi-padinya. Selain itu,
kita terlalu yakin dan menggantungkan diri pada pemikiran-pemikiran barat yang
biasanya berstandar pada pemenuhan materi dan kekuasaan. Di samping itu pula,
orang-orang Islam di Indonesia ini gemar sekali mengatakan ini musyrik, itu musryik, segala sesuatu yang belum dipahaminya
diberi gelar musyrik, everything is musyrik,
everything is bidah. Padahal, belum tentu. Misalnya, ini terjadi dengan
nyata. Dulu orang-orang Islam yang pengennya disebut intelektual itu sempat
mengatakan bidah atau musyrik bagi mereka yang membacakan doa-doa pada air,
lalu air itu diminum oleh orang yang sakit agar sembuh. Akan tetapi, sekarang
ilmu pengetahuan membenarkan bahwa air yang dibacakan doa itu berubah
molekulnya dan berpengaruh positif hingga bisa digunakan untuk pengobatan.
Di
mana musyriknya?
Di
mana bidahnya?
Jadi,
jangan terlalu cepat mengatakan musyrik hanya karena kita belum mengerti dengan
benar.
Bagi orang-orang Islam, coba itu belajar dari para wali
yang telah berjasa menyebarkan ajaran Islam di Bumi Nusantara ini. Pagelaran
wayang itu dipenuhi oleh ritual-ritual yang bisa menggelincirkan manusia ke
arah kemusyrikan, tetapi para wali tidak mengatakannya musyrik. Bahkan, mereka
menggunakannya untuk menyebarkan ajaran Islam dan mengganti dengan halus segala
hal yang menjurus ke arah kemusyrikan hingga bisa dengan luwes diterima
masyarakat, tidak menunjukkan perlawanan yang kasar terhadap kekafiran.
Hasilnya, negeri ini menjadi negeri berpenduduk mayoritas muslim terbesar di
dunia, bukan?
Kembali ke soal budaya. Salah satu hal terbesar yang
menggunting perkembangan keluhuran budaya Indonesia adalah penjajahan.
Penjajahan Belanda memang merusakkan, bukan saja alam, melainkan pula pemikiran
dan budaya bangsa. Mereka menekan dengan keras sehingga kita kehilangan jati
diri kita. Mereka pun memperkenalkan budaya korupsi melalui perusahaannya yang
bernama VOC. Perusahaan itu akhirnya bangkrut karena korupsi-korupsi juga.
Akibatnya, kita terdistorsi dan mengalami penghentian perkembangan kearifan
lokal karena perilaku-perilaku yang tecermin dari nilai-nilai luhur itu
tergencet oleh kepentingan-kepentingan kolonial Belanda.
Sesungguhnya, Indonesia ini diantarkan Allah swt menuju
ke kesempurnaannya. Maksud saya, orang Islam Indonesia. Kita punya budaya dan
nilai-nilai yang demikian luhur. Seharusnya, itu menjadi awal yang dapat
disambungkan untuk mengamalkan ajaran Islam secara sempurna. Ada kesamaan
antara budaya bangsa yang mengharapkan keharmonisan hidup bersama alam dengan
ajaran Islam yang jelas mengarahkan pengikutnya untuk menjadi rahmatan lil alamin, ‘rahmat bagi
seluruh alam’. Jika kaum muslimin berhasil menjadikan budaya bangsa sebagai
pijakan utama untuk melaksanakan ajaran Islam secara kaffah, negeri ini akan benar-benar sempurna dalam berbagai hal.
Jangan lagi mudah menuding itu kafir, ini musyrik, bidah, dan lain sebagainya.
Tiru para wali yang telah berhasil itu.
Salah satu contoh yang bisa dilakukan adalah kalau dulu
jika akan melakukan atau membangun sesuatu itu melakukan ritual yang aneh-aneh,
Islam telah menyempurnakan ritual-ritual itu dengan ritual-ritual islami,
misalnya, shalat tahajud, istikharah, istisqa, doa bersama, uzlah, khalwat, dan
lain sebagainya. Jadi, budaya bangsa yang sudah baik untuk hidup seimbang dan
harmonis itu bisa dilengkapi dan disempurnakan oleh ajaran Islam. Hal itu
disebabkan Islam memang merupakan ajaran penyempurna kehidupan.
Bukankah
Muhammad Rasulullah saw itu diturunkan untuk menyempurnakan akhlak, baik akhlak
terhadap yang lahir maupun akhlak terhadap yang gaib?
Bagi mereka yang tidak beragama Islam, bisa menyesuaikan
budaya bangsa yang nilai-nilainya melekat sejak dalam kandungan itu dengan
agamanya masing-masing. Maaf saya tidak bisa berbicara panjang soal nonmuslim
karena saya tidak memahami dengan benar agama lain, kecuali sedikit. Akan
tetapi, paling tidak, semua agama di negeri ini memiliki kewajiban yang sama
untuk mendorong negeri Indonesia menjadi negara besar, kuat, dan makmur, tetapi
tetap santun, tidak menggunakan tipu daya untuk mengeruk kekayaan alam apalagi
merampok negara lain untuk keuntungan duniawi. Adalah kesalahan dan kejahatan
besar jika memuji-muji bangsa lain karena kesamaan agama, kemudian merusakkan
pikiran, membuat hasutan, dan fitnah terhadap orang-orang Indonesia karena
perbedaan agama di dalam negeri sendiri.
Saya yakin para pembaca bisa sendiri mencari
contoh-contoh perbedaan antara budaya menaklukan
alam yang berkembang di barat dengan budaya bermitra dengan alam yang dimiliki bangsa Indonesia. Ada banyak hal
yang bisa dikupas dan dipelajari. Satu contoh saja bisa menjadi kajian budaya
yang teramat menarik dan bermanfaat.
Sudah
seharusnya, kita, bangsa Indonesia, kembali bermitra dengan alam setelah
sebelumnya menyesuaikannya dahulu dengan syariat Islam. Sesudah itu, baru
gunakan teknologi untuk mendapatkan manfaat dari alam dalam rangka mengabdikan
diri kepada Allah swt. Jadi, dalam kehidupan ini kita dapat bekerja dan
berkembang, tetapi dalam koridor menjaga keharmonisan, keseimbangan, dan
menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta. Jangan lagi menaklukan alam karena
kita akan binasa dan berdosa. Hentikan pula mengajari generasi muda kita dengan
pemahaman bahwa dunia dan seisinya ini
untuk kepentingan manusia. Berikan pemahaman bahwa Allah swt menciptakan
segala ciptaan-Nya adalah untuk kepentingan-Nya sendiri sesuai dengan
rencana-Nya sendiri pula. Kita hanya wajib patuh agar dapat selamat, baik di
dunia maupun di akhirat. Dengan demikian, budaya luhur Indonesia akan semakin
berkembang semakin lengkap dan semakin tinggi. Demi Allah swt, insyaallah.
No comments:
Post a Comment