oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Urusan
teroris sudah sejak lama memuakkan, memusingkan, dan yang jelas membuat rasa
aman masyarakat meluntur. Sudah sejak
lama pula aparat penegak hukum “mengurusi” terorisme ini. Kalau dulu, tentara
paling sibuk menanganinya, sekarang dipindahtangankan pada pihak kepolisian.
Akan tetapi, ternyata menurut sumber resmi, jumlah teroris sekarang bertambah
banyak dengan para warrior yang masih
berusia teramat muda.
Lantas,
penanggulangan yang dilakukan pemerintah dari zaman ke zaman di negeri ini apa
hasilnya?
Saya
bisa mengatakan bahwa upaya yang dilakukan selama ini menemui kegagalan yang
luar biasa. Memang banyak teroris yang ditangkap dan mati, tetapi kalau
jumlahnya ternyata bertambah banyak, percuma juga. Artinya, terjadi kesalahan
dalam penanganannya. Kalau penanganannya benar, mestinya berkurang, bahkan
hilang sama sekali. Upaya yang bisa dikatakan berhasil adalah penyelesaian
separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh. Sampai sekarang, gerakan itu tak
ada lagi. Para penduduk Aceh tetap berada dalam NKRI dan dari hari ke hari
bersama-sama berjuang membangun diri dan negerinya.
Gerakan
yang dikatakan teroris baru-baru ini menimbulkan praduga yang sama sekali
“tidak bersahabat” dalam arti didalangi oleh kepentingan-kepentingan tertentu,
baik politis maupun ekonomi. Banyak analisis dari banyak pihak yang menunjukkan
ke arah itu yang rata-rata masuk akal.
Saya
sendiri merasa aneh. Katanya mereka itu orang-orang terlatih, terdidik, dan
terbina untuk melakukan serangkaian aksi teror. Akan tetapi, kok seperti itu
gerakannya, sama sekali tidak menunjukkan sebagaimana orang-orang yang
terlatih. Malahan, tampil buruk.
Pada
waktu yang lalu alasan yang mengemuka adalah mereka ingin mendirikan Negara
Islam Indonesia (NII), menjatuhkan pemerintah yang sah. Alasan itu malah
menjadikan orang-orang mempelajari NII dan hasilnya ternyata orang mulai tahu
kebenaran perjuangan SM Kartosoewiryo dalam mempertahankan wilayah yang telah
direbut dari Belanda serta melindungi rakyat ketika TNI berhijrah ke
Yogyakarta. Sejarah NII asli dan perilaku teror yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan
perbedaan yang nyata, ada keterputusan sejarah dan tidak nyambung. Artinya,
kelakuan para teroris itu tidak sebagaimana perjuangan NII asli yang sudah
tutup buku dan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Aksi
teror yang baru-baru ini menimbulkan korban dari pihak kepolisian dikabarkan
tidak lagi “menjual” niat untuk mendirikan NII, melainkan dendam pada pihak
kepolisian yang telah melakukan kekejaman pada “ikhwan-ikhwannya”. Kalau aksi
itu memang benar berasal dari dendam, bukan digerakkan kepentingan tertentu,
gerakannya mungkin tidak sesembrono itu. Seandainya saya jadi teroris yang
dendam pada polisi, pasti akan mengatur siasat jitu yang tepat sasaran dan
meminimalisasi risiko yang terjadi. Artinya, polisi berhasil dibunuh atau
dilukai, tetapi saya tetap selamat, jangankan mati, terluka pun tidak. Orang
berani tak harus mati.
Begini
Saudara, saya kok merasa aneh. Saya saja yang tidak terlatih, pasti bikin
strategi yang rapi, apalagi mereka yang terlatih, mestinya lebih rapi dan
cantik. Kalau saya dendam sama polisi, pasti dipikirin kapan polisi itu dalam
keadaan lemah, tidak konsentrasi, lengah, tidak bersenjata, tidak sedang
bertugas, dalam situasi yang terpojok, dicokok satu-satu, sendirian, dan saya
bersama banyak teman dengan jumlah yang lebih banyak daripada polisi dan
senjata yang lebih sempurna. Misalnya, saya pasti melakukan aksi ketika polisi
itu sedang di warung beli rokok malam-malam dalam keadaan sendirian, sedang
tidur, jalan-jalan dengan pacarnya, atau kondisi yang paling lemah adalah
polisi itu sedang beol, apalagi diare, mencret di WC umum, serta tidak sedang
berseragam lengkap. Saat kondisi polisi lemah itu saya pasti melakukan
pembunuhan dan tidak perlu dengan ledakan atau bunyi-bunyian yang menarik
perhatian orang-orang. Hajar aja pake benda tumpul, pasti mati kok. Jadi,
dendam itu terbalaskan dan tujuannya tercapai. Kemudian, cari lagi polisi lain
yang sedang lengah dan lemah, bunuh lagi. Begitu seterusnya, culik satu-satu,
lalu tuntaskan sampai rasa dendam terbalaskan secara sempurna.
Aksi
yang terjadi kemarin-kemarin itu aneh luar biasa. Kok menyerang polisi yang
berseragam lengkap, sedang bertugas, bersenjata lengkap, dan kondisi terorisnya
itu lebih lemah daripada polisi.
Ah, masa sih orang-orang terlatih seceroboh
itu?
Padahal,
kabarnya mereka dilatih di luar negeri.
Mereka
kurang terlatih ternyata.
Anehnya
lagi, judulnya “dendam pada polisi”, tetapi berniat mengebom Senayan. Kan di
Senayan itu bukan markas polisi.
Dengan
demikian, aneh sekali gerakannya, semrawut.
Apa
sih gol yang diinginkan teroris itu?
Polisi
pada mati?
Tidak
mungkin.
Pemerintahan
jatuh?
Tidak
mungkin. Pemerintah tidak akan jatuh oleh aksi-aksi aneh itu. Bisa saja jatuh,
tetapi bukan oleh aksi teror, melainkan oleh perilaku para penyelenggara negara
sendiri yang tidak amanah, banyak bohong, dan tidak berkompeten mengurus
negara.
Kegiatan
anak-anak muda teroris yang mestinya menjadi penerus bangsa itu hanya
menimbulkan huru-hara, kekacauan, beralihnya perhatian masyarakat, ketakutan,
dan menguntungkan pihak-pihak tertentu. Dari keanehan-keanehan itu, saya
meyakini bahwa mereka itu digerakkan oleh orang-orang brengsek yang memiliki
kepentingan ekonomi atau politik, baik dari dalam maupun dari luar negeri.
Pihak
kepolisian seharusnya matanya tertuju untuk membasmi orang-orang brengsek yang
menggerakkan para pemuda kita untuk melakukan aksi teror, bukan terlalu
ngurusin para pionnya. Para teroris muda dan polisi muda itu sama-sama aset
bangsa yang berguna untuk masa depan negeri. Mereka itu manusia yang ingin
hidupnya penuh manfaat dan berkualitas, baik untuk dirinya sendiri maupun orang
lain. Jangan jadikan mereka korban keserakahan orang-orang brengsek. Bedebah
dan jahat bukan main itu orang-orang brengsek yang mengadu domba para pemuda
kita hanya untuk kepentingan rendahnya. Polisi atau aparat jangan lagi banyak
mengomentari soal pesantren, apalagi pake ada sertifikasi ulama. Bisa-bisa
tambah ngaco.
Sertifikasi
itu apa?
Penyetaraan
wawasan keilmuan?
Penambahan
kompetensi?
Sampai
sekarang, orang berpikir dan menduga-duga sendiri tentang sertifikasi. Kalau sertifikasi
itu berupa “izin mengajar”, wah tambah kalang kabut dan lucu pastinya.
Jangan
juga ngotot-ngototan memasukkan materi pelajaran Antiteroris ke dalam kurikulum sekolah. Kan semua orang sudah pada
tahu bahwa kurikulum di Indonesia ini terlalu memberatkan siswa, akan menjadi
lebih berat jika ditambah dengan pelajaran baru yang tidak perlu itu.
Paling-paling, pemahaman antiteror itu diintegrasikan dalam mata pelajaran yang
sudah ada dan materinya jangan memojokkan ustadz atau pesantren tertentu.
Polisi
dan seluruh elemen bangsa harus bahu-membahu menghanguskan orang-orang brengsek
yang pasti orang-orang kuat itu. Merekalah yang seharusnya dijadikan abu.
Jangan takut, selama berpegang pada Pancasila, pasti Allah swt memberikan jalan
dan petunjuk. Yang teramat penting adalah jangan jadikan informasi yang berasal
dari luar negeri kapitalis sebagai sandaran utama. Apalagi bermesraan dengan
mereka. Mereka dan kita memiliki kepentingan yang berbeda dan tujuan hidup yang
berbeda pula. Biasakan untuk tidak menerima bantuan apa pun dari mereka karena
hal itu memalukan dan mendorong kita untuk bermental jongos yang gemar membikin
proposal untuk mendapatkan uang.
Pemimpin
Besar Revolusi Republik Indonesia Ir. Soekarno tidak mengajarkan kita untuk
menjadi jongos atau kuli orang lain. Ia mendorong sepenuh tenaganya agar bangsa
Indonesia dari zaman ke zaman harus Berdikari,
‘Berdiri di Atas Kaki Sendiri’!
Paham?
Kalau
nggak paham, pergi ke masjid, belajar huruf hijaiyah dari awal!
No comments:
Post a Comment