Thursday 4 October 2012

Teroris Harus Banyak Berlatih



oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Urusan teroris sudah sejak lama memuakkan, memusingkan, dan yang jelas membuat rasa aman masyarakat  meluntur. Sudah sejak lama pula aparat penegak hukum “mengurusi” terorisme ini. Kalau dulu, tentara paling sibuk menanganinya, sekarang dipindahtangankan pada pihak kepolisian. Akan tetapi, ternyata menurut sumber resmi, jumlah teroris sekarang bertambah banyak dengan para warrior yang masih berusia teramat muda.

Lantas, penanggulangan yang dilakukan pemerintah dari zaman ke zaman di negeri ini apa hasilnya?

Saya bisa mengatakan bahwa upaya yang dilakukan selama ini menemui kegagalan yang luar biasa. Memang banyak teroris yang ditangkap dan mati, tetapi kalau jumlahnya ternyata bertambah banyak, percuma juga. Artinya, terjadi kesalahan dalam penanganannya. Kalau penanganannya benar, mestinya berkurang, bahkan hilang sama sekali. Upaya yang bisa dikatakan berhasil adalah penyelesaian separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh. Sampai sekarang, gerakan itu tak ada lagi. Para penduduk Aceh tetap berada dalam NKRI dan dari hari ke hari bersama-sama berjuang membangun diri dan negerinya.

Gerakan yang dikatakan teroris baru-baru ini menimbulkan praduga yang sama sekali “tidak bersahabat” dalam arti didalangi oleh kepentingan-kepentingan tertentu, baik politis maupun ekonomi. Banyak analisis dari banyak pihak yang menunjukkan ke arah itu yang rata-rata masuk akal.

Saya sendiri merasa aneh. Katanya mereka itu orang-orang terlatih, terdidik, dan terbina untuk melakukan serangkaian aksi teror. Akan tetapi, kok seperti itu gerakannya, sama sekali tidak menunjukkan sebagaimana orang-orang yang terlatih. Malahan, tampil buruk.

Pada waktu yang lalu alasan yang mengemuka adalah mereka ingin mendirikan Negara Islam Indonesia (NII), menjatuhkan pemerintah yang sah. Alasan itu malah menjadikan orang-orang mempelajari NII dan hasilnya ternyata orang mulai tahu kebenaran perjuangan SM Kartosoewiryo dalam mempertahankan wilayah yang telah direbut dari Belanda serta melindungi rakyat ketika TNI berhijrah ke Yogyakarta. Sejarah NII asli dan perilaku teror yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan perbedaan yang nyata, ada keterputusan sejarah dan tidak nyambung. Artinya, kelakuan para teroris itu tidak sebagaimana perjuangan NII asli yang sudah tutup buku dan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.

Aksi teror yang baru-baru ini menimbulkan korban dari pihak kepolisian dikabarkan tidak lagi “menjual” niat untuk mendirikan NII, melainkan dendam pada pihak kepolisian yang telah melakukan kekejaman pada “ikhwan-ikhwannya”. Kalau aksi itu memang benar berasal dari dendam, bukan digerakkan kepentingan tertentu, gerakannya mungkin tidak sesembrono itu. Seandainya saya jadi teroris yang dendam pada polisi, pasti akan mengatur siasat jitu yang tepat sasaran dan meminimalisasi risiko yang terjadi. Artinya, polisi berhasil dibunuh atau dilukai, tetapi saya tetap selamat, jangankan mati, terluka pun tidak. Orang berani tak harus mati.

Begini Saudara, saya kok merasa aneh. Saya saja yang tidak terlatih, pasti bikin strategi yang rapi, apalagi mereka yang terlatih, mestinya lebih rapi dan cantik. Kalau saya dendam sama polisi, pasti dipikirin kapan polisi itu dalam keadaan lemah, tidak konsentrasi, lengah, tidak bersenjata, tidak sedang bertugas, dalam situasi yang terpojok, dicokok satu-satu, sendirian, dan saya bersama banyak teman dengan jumlah yang lebih banyak daripada polisi dan senjata yang lebih sempurna. Misalnya, saya pasti melakukan aksi ketika polisi itu sedang di warung beli rokok malam-malam dalam keadaan sendirian, sedang tidur, jalan-jalan dengan pacarnya, atau kondisi yang paling lemah adalah polisi itu sedang beol, apalagi diare, mencret di WC umum, serta tidak sedang berseragam lengkap. Saat kondisi polisi lemah itu saya pasti melakukan pembunuhan dan tidak perlu dengan ledakan atau bunyi-bunyian yang menarik perhatian orang-orang. Hajar aja pake benda tumpul, pasti mati kok. Jadi, dendam itu terbalaskan dan tujuannya tercapai. Kemudian, cari lagi polisi lain yang sedang lengah dan lemah, bunuh lagi. Begitu seterusnya, culik satu-satu, lalu tuntaskan sampai rasa dendam terbalaskan secara sempurna.

Aksi yang terjadi kemarin-kemarin itu aneh luar biasa. Kok menyerang polisi yang berseragam lengkap, sedang bertugas, bersenjata lengkap, dan kondisi terorisnya itu lebih lemah daripada polisi.

Ah, masa sih orang-orang terlatih seceroboh itu?

Padahal, kabarnya mereka dilatih di luar negeri.

Mereka kurang terlatih ternyata.  

Anehnya lagi, judulnya “dendam pada polisi”, tetapi berniat mengebom Senayan. Kan di Senayan itu bukan markas polisi.

Dengan demikian, aneh sekali gerakannya, semrawut.

Apa sih gol yang diinginkan teroris itu?

Polisi pada mati?

Tidak mungkin.

Pemerintahan jatuh?

Tidak mungkin. Pemerintah tidak akan jatuh oleh aksi-aksi aneh itu. Bisa saja jatuh, tetapi bukan oleh aksi teror, melainkan oleh perilaku para penyelenggara negara sendiri yang tidak amanah, banyak bohong, dan tidak berkompeten mengurus negara.

Kegiatan anak-anak muda teroris yang mestinya menjadi penerus bangsa itu hanya menimbulkan huru-hara, kekacauan, beralihnya perhatian masyarakat, ketakutan, dan menguntungkan pihak-pihak tertentu. Dari keanehan-keanehan itu, saya meyakini bahwa mereka itu digerakkan oleh orang-orang brengsek yang memiliki kepentingan ekonomi atau politik, baik dari dalam maupun dari luar negeri.

Pihak kepolisian seharusnya matanya tertuju untuk membasmi orang-orang brengsek yang menggerakkan para pemuda kita untuk melakukan aksi teror, bukan terlalu ngurusin para pionnya. Para teroris muda dan polisi muda itu sama-sama aset bangsa yang berguna untuk masa depan negeri. Mereka itu manusia yang ingin hidupnya penuh manfaat dan berkualitas, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Jangan jadikan mereka korban keserakahan orang-orang brengsek. Bedebah dan jahat bukan main itu orang-orang brengsek yang mengadu domba para pemuda kita hanya untuk kepentingan rendahnya. Polisi atau aparat jangan lagi banyak mengomentari soal pesantren, apalagi pake ada sertifikasi ulama. Bisa-bisa tambah ngaco.

Sertifikasi itu apa?

Penyetaraan wawasan keilmuan?

Penambahan kompetensi?

Sampai sekarang, orang berpikir dan menduga-duga sendiri tentang sertifikasi. Kalau sertifikasi itu berupa “izin mengajar”, wah tambah kalang kabut dan lucu pastinya.

Jangan juga ngotot-ngototan memasukkan materi pelajaran Antiteroris ke dalam kurikulum sekolah. Kan semua orang sudah pada tahu bahwa kurikulum di Indonesia ini terlalu memberatkan siswa, akan menjadi lebih berat jika ditambah dengan pelajaran baru yang tidak perlu itu. Paling-paling, pemahaman antiteror itu diintegrasikan dalam mata pelajaran yang sudah ada dan materinya jangan memojokkan ustadz atau pesantren tertentu.

Polisi dan seluruh elemen bangsa harus bahu-membahu menghanguskan orang-orang brengsek yang pasti orang-orang kuat itu. Merekalah yang seharusnya dijadikan abu. Jangan takut, selama berpegang pada Pancasila, pasti Allah swt memberikan jalan dan petunjuk. Yang teramat penting adalah jangan jadikan informasi yang berasal dari luar negeri kapitalis sebagai sandaran utama. Apalagi bermesraan dengan mereka. Mereka dan kita memiliki kepentingan yang berbeda dan tujuan hidup yang berbeda pula. Biasakan untuk tidak menerima bantuan apa pun dari mereka karena hal itu memalukan dan mendorong kita untuk bermental jongos yang gemar membikin proposal untuk mendapatkan uang.

Pemimpin Besar Revolusi Republik Indonesia Ir. Soekarno tidak mengajarkan kita untuk menjadi jongos atau kuli orang lain. Ia mendorong sepenuh tenaganya agar bangsa Indonesia dari zaman ke zaman harus Berdikari, ‘Berdiri di Atas Kaki Sendiri’!

Paham?

Kalau nggak paham, pergi ke masjid, belajar huruf hijaiyah dari awal!

No comments:

Post a Comment