Friday 5 October 2012

Pilkada DKI Cerminan Demokrasi yang Tumbuh dan Matang. Maksud Loh?



 oleh Tom Finaldin
 

Bandung, Putera Sang Surya


Judul di atas pasti akan saya katakan jika yang mengatakannya teman saya. Akan tetapi, yang mengatakannya bukan teman saya, melainkan Presiden RI SBY. Jadi, tidak seperti itu kalimatnya. Setidak-tidaknya, saya membaca kalimat itu dalam running text di tvOne. SBY mengatakan bahwa Pilkada DKI Cerminan Demokrasi yang Tumbuh dan Matang.

Saya langsung ingin menimpalinya sendirian, “Maksudnya apa, Pak?”

Kalau yang mengatakannya teman saya, saya akan langsung bertanya, “Maksud Loh?”

Saya tidak mungkin berbicara tidak sopan kepada Presiden SBY meskipun hanya lewat tulisan. Bagaimanapun dia itu presiden yang harus dihormati meskipun lahir dari demokrasi yang sangat saya benci. Kita punya etika dan kultur yang harus dijaga. Meskipun tidak suka, tetap harus bertingkah penuh sopan santun. Itulah budaya yang harus kita pertahankan. Berbeda dengan budaya barat yang kasar-kasar itu. Coba saja perhatikan, kita di Indonesia ini punya banyak pilihan kata dalam menggunakan kata sapaan atau kata ganti orang, misalnya, dia, kamu, lu, beliau, Anda, Bapak, Ibu, Saudara, saya, aku, kami, kita, dan lain sebagainya. Kita bisa memilihnya dengan menggunakan perasaan. Kita tidak mungkin jika bertemu dengan SBY menggunakan kata kamu, lu, atau Anda. Kata yang umum bisa kita gunakan adalah Bapak. Kalau mau turun derajat sedikit, kita bisa menggunakan kata Saudara. Misalnya, Bapak Presiden atau Saudara Presiden. Enggak mungkin kan menggunakan kata kamu, lu, atau Anda.

Tidak baik jika berkata kepada Presiden seperti ini, kamu harus memerangi korupsi.

Ada rasa kata di sana. Beda jauh dengan kebiasaan orang-orang barat kapitalis itu yang semua orang bisa dipanggil sama, you, ‘kamu’. Mau itu presiden, orang tua, pejabat, ahli agama, teman sendiri, sahabat, tukang batu, kuli bangunan, penjahat, perampok, direktur, tukang tipu, pengemis, semuanya sama dipanggil you.

Beda ya?

Beda pisan atuh.

Segitu saja contoh kecil kita bisa membedakan bahwa budaya tutur Indonesia jauh lebih baik dan lebih bernilai dibandingkan budaya tutur barat. Jadi, jangan suka memuji-muji orang barat, entar kita ketularan kasar.

Nah, sekarang kita berbicara soal maksud tulisan ini. Pilkada DKI katanya merupakan cerminan demokrasi yang tumbuh dan matang. Jujur saja, saya tidak mengerti maksudnya. Kata tumbuh dan matang itu mengambil dari istilah biologi, terutama tanaman. Dalam ilmu tanaman, jelas ada ukurannya yang disebut tumbuh dan matang itu. Kalau buah, jelas ada ciri dan tandanya jika sudah matang, misalnya, ukurannya lebih besar daripada buah yang masih muda, warnanya merah tua, lebih lembut dan empuk kenyal jika dipegang, serta rasanya manis.

Nah, kalau demokrasi matang, apa cirinya?

Demokrasi yang tumbuh dan matang itu apa tandanya? Bagaimana?
Apa ukurannya?

Pasti nggak ada karena demokrasi itu cuma isu dan penggunaannya di Indonesia tidak melalui penelitian ilmiah. Indonesia menggunakan demokrasi hanya menggunakan isu dan menganggap bahwa budaya barat lebih baik daripada budaya dalam negeri. Akan tetapi, bukan cuma Indonesia kok yang begitu. Negara-negara lain pun sama, terjebak isu demokrasi.

Di mana ada kejadian demokrasi yang tumbuh dan matang?

Di negara mana?

Di Amerika Serikat?

Ah, masa sih saya harus berulang-ulang menulis tentang brutalitas demokrasi di AS.

Ada sih, tetapi cuma di dalam lamunan dan khayalan.

Mungkin yang dimaksud Presiden SBY itu proses Pilkada DKI aman. Kalau cuma aman mah atuh dari dulu juga banyak yang aman. Pemilu 1955 aman, Pemilu 1999 juga aman. Kalau cuma aman, ya nggak ada pertumbuhan dan kematangan sama sekali karena dari dulu juga banyak yang aman.

Dulu aman, sekarang aman, apanya yang tumbuh dan matang?

Kalau ada yang kisruh menimbulkan korban jiwa, itu justru menunjukkan kelemahan demokrasi.

Lagian, yang namanya demokrasi itu bukan cuma pemilihan. Pemilihan itu hanya salah satu kegiatan dari kesesatan demokrasi. Sistem politik demokrasi itu melingkupi soal kampanye, pemilihan, hasil pemilihan, persiapan pemilihan, proses-proses politik yang terjadi, kehidupan dan kelakuan partai-partai, pengawasan pemerintahan, hubungan legislatif dengan eksekutif, distribusi kewenangan, distribusi hasil pembangunan, penanganan kasus-kasus hukum terkait politik, dan lain sebagainya yang terlalu banyak jika ditulis di sini. Sistem politik demokrasi itu melingkupi berbagai hal yang berkaitan dengan seluruh penyelenggaraan negara, bukan cuma Pilkada yang saya lebih suka mengatakannya dengan Pemilihan Kadal (pemilihan kepala daerah langsung).

Soal Pemilihan Kadal aman itu bukan karena pemahaman yang matang terhadap demokrasi, melainkan karena sifat asli orang Indonesia sendiri yang ingin hidup dalam keadaan aman sentosa. Orang Indonesia itu baik-baik, tak ingin ada kerusuhan dan huru-hara. Mereka akan selalu menjaga keamanan dengan sendirinya secara otomatis. Jika tidak ada yang menghasut dan memprovokasi, orang-orang Indonesia ini bakalan hidup aman dan tenteram. Bukti nyata bahwa orang Indonesia sangat menjunjung tinggi rasa aman sudah terkristal dan bisa dilihat dari tujuan nasional bangsa Indonesia, yaitu Mewujudkan Manusia Indonesia Seutuhnya Berdasarkan Pancasila. Manusia yang utuh berdasarkan Pancasila itu adalah yang seimbang batin dan lahir. Itu artinya bangsa Indonesia yang diwakili oleh founding father bangsa pada masa dulu  sudah mencerminkan bahwa bangsa Indonesia itu inginnya hidup aman. Justru dengan adanya demokrasi, timbul banyak kerusakan dan ketidakamanan. Jadi, kalau tercipta situasi aman, itu bukan karena pemahaman terhadap demokrasi yang matang, melainkan memang sudah fitrahnya bangsa Indonesia ingin hidup aman. Kalau terjadi huru-hara, itu justru datang dari provokasi dan hasutan pihak-pihak yang menginginkan kekuasaan politik dan ekonomi secara tidak halal. Provokasi dan hasutan semacam itu tumbuh sumbur dalam sistem politik demokrasi. Dengan demikian, sesungguhnya yang terjadi adalah masyarakat Indonesia mempertahankan budaya luhurnya yang ingin aman itu dari serangan kejahatan demokrasi. Suatu waktu bisa menang dalam arti tetap terjaga keamanan meskipun berdemokrasi, tetapi pada waktu lain bisa kalah dalam arti terjebak dalam huru-hara demokrasi. Ingat, penyebab orang Yogyakarta menolak pemilihan gubernur adalah salah satunya tidak ingin wilayahnya dirusakkan oleh suasana Pemilihan Kadal.

Salah satu kengacoan demokrasi dalam membudayakan kolusi, menghambat pembangunan, dan membuat susah rakyat adalah adanya perilaku balas budi dari pasangan terpilih kepada para pendukungnya, terutama para pendukung dari kalangan pengusaha. Pada masa kampanye dan persiapan memenangkan pemilihan setiap pasangan biasanya memiliki departemen atau seksi untuk menggalang dana. Dana-dana itu tidak sedikit yang terkumpul dari para pengusaha. Ketika pasangan itu menang, para pendukungnya dari kalangan pengusaha ini kerap meminta balas jasa, balas budi. Ini perilaku yang jelas terjadi dan tidak bisa dihindari.

Mantan menteri Sonny Keraff mensinyalir bahwa banyaknya pembangunan gedung, mall, atau jalan yang tidak memperhatikan lingkungan hidup hingga terjadi penurunan tanah, banjir, dan kemacetan di Jakarta disebabkan oleh kepala daerah tidak mampu untuk mengatur atau melarang para pengusaha. Hal itu disebabkan para pengusaha telah banyak berjasa memberikan dukungan pada masa kampanye. Kira-kira seperti itulah yang diungkapkan Sonny Keraff dalam sebuah acara talkshow di Metrotv.

Situasi yang sama pun sangat mungkin terjadi pada pasangan Jokowi-Ahok. Hal tersebut diwanti-wanti oleh mantan Gubernur DKI Sutiyoso bahwa mereka yang telah memberikan dukungan pada masa kampanye akan berdatangan untuk mendapatkan berbagai macam proyek.

“Itu pasti,” kata Sutiyoso.

Yang namanya proyek pembangunan itu kan bukan cuma pemerintah dan pengusaha yang terlibat, melainkan pula DPRD. Lebih parah lagi jika melibatkan para broker yang tidak jelas. Biaya pembangunan bisa membengkak. Kalaupun tidak membengkak, hasil pembangunannya tidak sesuai dengan standar, akhirnya cepat rusak hingga diperlukan lagi proyek baru untuk memperbaikinya. Terlalu banyak biaya yang terbuang. Pencapaian ke arah kemakmuran masyarakat pun terhambat.

Kebiasaan-kebiasaan yang kerap terjadi dalam sistem politik demokrasi itu jelas menimbulkan kerawanan kolusi dan korupsi pada berbagai lini. Sekarang, tinggal kita lihat apakah Jokowi-Ahok mampu tegas atau tidak mengatasi hal seperti itu. Sutiyoso sendiri yang sudah berpengalaman memang mengharapkan Jokowi-Ahok mampu tegas dan berani. Bukan kepada para pendukungnya saja harus berani tegas, melainkan pula kepada mereka yang bakal berdatangan dari berbagai lembaga yang terkadang bersikap sok tahu. Saya sendiri tidak yakin mereka berdua bakal berani tegas. Hal itu disebabkan sudah menjadi sesuatu yang wajar jika orang yang telah dibantu, kemudian berhasil, memberikan balas jasa pada orang yang telah membantunya. Justru menjadi hal yang tidak bermoral ketika orang yang sudah dibantu, lalu berhasil, tidak memberikan balas budi kepada orang yang membantunya.

Demokrasi itu memang memusingkan. Sistem politik ini diwarnai oleh celah-celah untuk melakukan korupsi dan kecurangan lainnya.

Saya percaya bahwa SBY, Boediono, Foke, Nara, Jokowi, Ahok, Sutiyoso, dan masih banyak lagi adalah orang baik-baik. Pokoknya, pada dasarnya orang Indonesia itu baik-baik dan berniat menjadi orang baik-baik. Aneh sekali jika ada orang Indonesia yang dilahirkan untuk melakukan keburukan. Sayangnya, berjuta-juta sayang, kita semua terjebak sistem politik demokrasi sehingga cita-cita mulia dan luhur kerap terganjal oleh berbagai kepentingan dan tersandera oleh berbagai kekuatan yang tersembunyi dari mata rakyat.

Jadi, demokrasi yang tumbuh dan matang itu apa maksudnya, Pak?

No comments:

Post a Comment