oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Judul
di atas pasti akan saya katakan jika yang mengatakannya teman saya. Akan
tetapi, yang mengatakannya bukan teman saya, melainkan Presiden RI SBY. Jadi,
tidak seperti itu kalimatnya. Setidak-tidaknya, saya membaca kalimat itu dalam running text di tvOne. SBY mengatakan bahwa Pilkada
DKI Cerminan Demokrasi yang Tumbuh dan Matang.
Saya
langsung ingin menimpalinya sendirian, “Maksudnya apa, Pak?”
Kalau
yang mengatakannya teman saya, saya akan langsung bertanya, “Maksud Loh?”
Saya
tidak mungkin berbicara tidak sopan kepada Presiden SBY meskipun hanya lewat
tulisan. Bagaimanapun dia itu presiden yang harus dihormati meskipun lahir dari
demokrasi yang sangat saya benci. Kita punya etika dan kultur yang harus
dijaga. Meskipun tidak suka, tetap harus bertingkah penuh sopan santun. Itulah
budaya yang harus kita pertahankan. Berbeda dengan budaya barat yang
kasar-kasar itu. Coba saja perhatikan, kita di Indonesia ini punya banyak
pilihan kata dalam menggunakan kata sapaan atau kata ganti orang, misalnya, dia, kamu, lu, beliau, Anda, Bapak, Ibu,
Saudara, saya, aku, kami, kita, dan lain sebagainya. Kita bisa memilihnya
dengan menggunakan perasaan. Kita tidak mungkin jika bertemu dengan SBY
menggunakan kata kamu, lu, atau Anda. Kata yang umum bisa kita gunakan
adalah Bapak. Kalau mau turun derajat
sedikit, kita bisa menggunakan kata Saudara.
Misalnya, Bapak Presiden atau Saudara Presiden. Enggak mungkin kan
menggunakan kata kamu, lu, atau Anda.
Tidak
baik jika berkata kepada Presiden seperti ini, kamu harus memerangi korupsi.
Ada
rasa kata di sana. Beda jauh dengan kebiasaan orang-orang barat kapitalis itu
yang semua orang bisa dipanggil sama, you,
‘kamu’. Mau itu presiden, orang tua,
pejabat, ahli agama, teman sendiri, sahabat, tukang batu, kuli bangunan,
penjahat, perampok, direktur, tukang tipu, pengemis, semuanya sama dipanggil you.
Beda
ya?
Beda
pisan atuh.
Segitu
saja contoh kecil kita bisa membedakan bahwa budaya tutur Indonesia jauh lebih
baik dan lebih bernilai dibandingkan budaya tutur barat. Jadi, jangan suka
memuji-muji orang barat, entar kita ketularan kasar.
Nah,
sekarang kita berbicara soal maksud tulisan ini. Pilkada DKI katanya merupakan
cerminan demokrasi yang tumbuh dan matang. Jujur saja, saya tidak mengerti
maksudnya. Kata tumbuh dan matang itu mengambil dari istilah
biologi, terutama tanaman. Dalam ilmu tanaman, jelas ada ukurannya yang disebut
tumbuh dan matang itu. Kalau buah, jelas ada ciri dan tandanya jika sudah
matang, misalnya, ukurannya lebih besar daripada buah yang masih muda, warnanya
merah tua, lebih lembut dan empuk kenyal jika dipegang, serta rasanya manis.
Nah,
kalau demokrasi matang, apa cirinya?
Demokrasi
yang tumbuh dan matang itu apa tandanya? Bagaimana?
Apa
ukurannya?
Pasti
nggak ada karena demokrasi itu cuma isu dan penggunaannya di Indonesia tidak
melalui penelitian ilmiah. Indonesia menggunakan demokrasi hanya menggunakan
isu dan menganggap bahwa budaya barat lebih baik daripada budaya dalam negeri.
Akan tetapi, bukan cuma Indonesia kok yang begitu. Negara-negara lain pun sama,
terjebak isu demokrasi.
Di
mana ada kejadian demokrasi yang tumbuh dan matang?
Di
negara mana?
Di
Amerika Serikat?
Ah,
masa sih saya harus berulang-ulang menulis tentang brutalitas demokrasi di AS.
Ada
sih, tetapi cuma di dalam lamunan dan khayalan.
Mungkin
yang dimaksud Presiden SBY itu proses Pilkada DKI aman. Kalau cuma aman mah
atuh dari dulu juga banyak yang aman. Pemilu 1955 aman, Pemilu 1999 juga aman.
Kalau cuma aman, ya nggak ada pertumbuhan dan kematangan sama sekali karena
dari dulu juga banyak yang aman.
Dulu
aman, sekarang aman, apanya yang tumbuh dan matang?
Kalau
ada yang kisruh menimbulkan korban jiwa, itu justru menunjukkan kelemahan
demokrasi.
Lagian,
yang namanya demokrasi itu bukan cuma pemilihan. Pemilihan itu hanya salah satu
kegiatan dari kesesatan demokrasi. Sistem politik demokrasi itu melingkupi soal
kampanye, pemilihan, hasil pemilihan, persiapan pemilihan, proses-proses
politik yang terjadi, kehidupan dan kelakuan partai-partai, pengawasan
pemerintahan, hubungan legislatif dengan eksekutif, distribusi kewenangan,
distribusi hasil pembangunan, penanganan kasus-kasus hukum terkait politik, dan
lain sebagainya yang terlalu banyak jika ditulis di sini. Sistem politik
demokrasi itu melingkupi berbagai hal yang berkaitan dengan seluruh
penyelenggaraan negara, bukan cuma Pilkada yang saya lebih suka mengatakannya
dengan Pemilihan Kadal (pemilihan kepala daerah langsung).
Soal
Pemilihan Kadal aman itu bukan karena pemahaman yang matang terhadap demokrasi,
melainkan karena sifat asli orang Indonesia sendiri yang ingin hidup dalam
keadaan aman sentosa. Orang Indonesia itu baik-baik, tak ingin ada kerusuhan
dan huru-hara. Mereka akan selalu menjaga keamanan dengan sendirinya secara
otomatis. Jika tidak ada yang menghasut dan memprovokasi, orang-orang Indonesia
ini bakalan hidup aman dan tenteram. Bukti nyata bahwa orang Indonesia sangat
menjunjung tinggi rasa aman sudah terkristal dan bisa dilihat dari tujuan
nasional bangsa Indonesia, yaitu Mewujudkan
Manusia Indonesia Seutuhnya Berdasarkan Pancasila. Manusia yang utuh
berdasarkan Pancasila itu adalah yang seimbang batin dan lahir. Itu artinya
bangsa Indonesia yang diwakili oleh founding
father bangsa pada masa dulu sudah
mencerminkan bahwa bangsa Indonesia itu inginnya hidup aman. Justru dengan
adanya demokrasi, timbul banyak kerusakan dan ketidakamanan. Jadi, kalau
tercipta situasi aman, itu bukan karena pemahaman terhadap demokrasi yang
matang, melainkan memang sudah fitrahnya
bangsa Indonesia ingin hidup aman. Kalau terjadi huru-hara, itu justru datang
dari provokasi dan hasutan pihak-pihak yang menginginkan kekuasaan politik dan
ekonomi secara tidak halal. Provokasi dan hasutan semacam itu tumbuh sumbur
dalam sistem politik demokrasi. Dengan demikian, sesungguhnya yang terjadi
adalah masyarakat Indonesia mempertahankan budaya luhurnya yang ingin aman itu
dari serangan kejahatan demokrasi. Suatu waktu bisa menang dalam arti tetap
terjaga keamanan meskipun berdemokrasi, tetapi pada waktu lain bisa kalah dalam
arti terjebak dalam huru-hara demokrasi. Ingat, penyebab orang Yogyakarta
menolak pemilihan gubernur adalah salah satunya tidak ingin wilayahnya dirusakkan
oleh suasana Pemilihan Kadal.
Salah
satu kengacoan demokrasi dalam membudayakan kolusi, menghambat pembangunan, dan
membuat susah rakyat adalah adanya perilaku balas budi dari pasangan terpilih
kepada para pendukungnya, terutama para pendukung dari kalangan pengusaha. Pada
masa kampanye dan persiapan memenangkan pemilihan setiap pasangan biasanya
memiliki departemen atau seksi untuk menggalang dana. Dana-dana itu tidak
sedikit yang terkumpul dari para pengusaha. Ketika pasangan itu menang, para
pendukungnya dari kalangan pengusaha ini kerap meminta balas jasa, balas budi.
Ini perilaku yang jelas terjadi dan tidak bisa dihindari.
Mantan
menteri Sonny Keraff mensinyalir bahwa banyaknya pembangunan gedung, mall, atau
jalan yang tidak memperhatikan lingkungan hidup hingga terjadi penurunan tanah,
banjir, dan kemacetan di Jakarta disebabkan oleh kepala daerah tidak mampu
untuk mengatur atau melarang para pengusaha. Hal itu disebabkan para pengusaha
telah banyak berjasa memberikan dukungan pada masa kampanye. Kira-kira seperti
itulah yang diungkapkan Sonny Keraff dalam sebuah acara talkshow di Metrotv.
Situasi
yang sama pun sangat mungkin terjadi pada pasangan Jokowi-Ahok. Hal tersebut
diwanti-wanti oleh mantan Gubernur DKI Sutiyoso bahwa mereka yang telah
memberikan dukungan pada masa kampanye akan berdatangan untuk mendapatkan
berbagai macam proyek.
“Itu
pasti,” kata Sutiyoso.
Yang
namanya proyek pembangunan itu kan bukan cuma pemerintah dan pengusaha yang
terlibat, melainkan pula DPRD. Lebih parah lagi jika melibatkan para broker yang tidak jelas. Biaya
pembangunan bisa membengkak. Kalaupun tidak membengkak, hasil pembangunannya
tidak sesuai dengan standar, akhirnya cepat rusak hingga diperlukan lagi proyek
baru untuk memperbaikinya. Terlalu banyak biaya yang terbuang. Pencapaian ke
arah kemakmuran masyarakat pun terhambat.
Kebiasaan-kebiasaan
yang kerap terjadi dalam sistem politik demokrasi itu jelas menimbulkan
kerawanan kolusi dan korupsi pada berbagai lini. Sekarang, tinggal kita lihat
apakah Jokowi-Ahok mampu tegas atau tidak mengatasi hal seperti itu. Sutiyoso
sendiri yang sudah berpengalaman memang mengharapkan Jokowi-Ahok mampu tegas dan
berani. Bukan kepada para pendukungnya saja harus berani tegas, melainkan pula kepada
mereka yang bakal berdatangan dari berbagai lembaga yang terkadang bersikap sok
tahu. Saya sendiri tidak yakin mereka berdua bakal berani tegas. Hal itu
disebabkan sudah menjadi sesuatu yang wajar jika orang yang telah dibantu,
kemudian berhasil, memberikan balas jasa pada orang yang telah membantunya.
Justru menjadi hal yang tidak bermoral ketika orang yang sudah dibantu, lalu
berhasil, tidak memberikan balas budi kepada orang yang membantunya.
Demokrasi
itu memang memusingkan. Sistem politik ini diwarnai oleh celah-celah untuk
melakukan korupsi dan kecurangan lainnya.
Saya
percaya bahwa SBY, Boediono, Foke, Nara, Jokowi, Ahok, Sutiyoso, dan masih
banyak lagi adalah orang baik-baik. Pokoknya, pada dasarnya orang Indonesia itu
baik-baik dan berniat menjadi orang baik-baik. Aneh sekali jika ada orang
Indonesia yang dilahirkan untuk melakukan keburukan. Sayangnya, berjuta-juta
sayang, kita semua terjebak sistem politik demokrasi sehingga cita-cita mulia
dan luhur kerap terganjal oleh berbagai kepentingan dan tersandera oleh
berbagai kekuatan yang tersembunyi dari mata rakyat.
Jadi,
demokrasi yang tumbuh dan matang itu apa maksudnya, Pak?
No comments:
Post a Comment