oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Sesungguhnya, sama
sekali tidak diperlukan fatwa haram untuk money
politics karena hal itu sudah jelas. Money politics itu dalam Islam sudah
pasti masuk daftar kasus suap. Yang menyuap dan yang disuap itu sudah jelas
belum tentu masuk penjara, tetapi pasti masuk neraka. Artinya, money politics
itu jelas haram.
Kalau keharaman money politics lebih dikuatkan lagi
dengan fatwa, itu teramat bagus, tetapi sama sekali tidak akan efektif. Money
politics akan terus terjadi sepanjang kita menggunakan sistem politik
demokrasi. Money politics itu adalah kutukan yang lahir dalam sistem politik
demokrasi. Selain itu, demokrasi tanpa money politics itu mustahil. Sejak dari
dulu di mana pun di muka Bumi ini yang ada namanya praktik mirip demokrasi atau
demokrasi itu sendiri untuk mendapatkan kepemimpinan yang basah, selalu terjadi
money politics. Lain halnya jika untuk mendapatkan kepemimpinan yang tidak
menghasilkan uang banyak, semisal, pemilihan ketua kelas, Osis, RT, atau RW,
money politics cenderung tidak ada meskipun di wilayah-wilayah makmur ada juga.
Pada masa dulu yang sering dibanggakan orang-orang itu
mengenai pemilihan langsung di kampung-kampung, terjadi pula money politics.
Meskipun pada masa itu tidak bisa dikatakan demokrasi karena pemerintah di atasnya
berbentuk kerajaan, pemilihan langsung di kampung-kampung itu dianggap sudah
terbiasanya masyarakat Indonesia melakukan pemilihan langsung sebagai
justifikasi untuk melaksanakan pemilihan langsung pada masa ini. Pada zaman itu
money politics terjadi bukan berbentuk uang tunai, melainkan melalui
acara-acara semisal tayuban, hajatan, jamuan makan serta pembagian jagung, dan
lain sebagainya sambil Sang Calon Kepala Kampung meminta keseriusan dan
kesungguhan seluruh tamunya untuk memilihnya dalam pemilihan. Para tamu pun
berjanji akan memilihnya. Untuk menyelenggarakan acara-acara semacam itu, jelas
memerlukan biaya dan itu merupakan modal untuk mendapatkan untung yang lebih
besar semisal tanah bengkok dan bagian dari hasil pertanian sebelum pajaknya
diserahkan kepada raja.
Perbedaan dahulu dengan sekarang adalah money politics
zaman dahulu tidak menjadi penyebab tindakan korupsi. Hal itu disebabkan kepala
kampung yang telah terpilih tidak memerlukan lagi biaya kampanye untuk
pemilihan periode selanjutnya karena tidak ada itu yang namanya periode kedua,
ketiga, atau selanjutnya. Kepala kampung yang terpilih biasanya berkuasa
sepanjang hidupnya dan diganti lagi jika sudah meninggal atau berhalangan
tetap. Money politics kembali terjadi dilakukan oleh calon-calon pasangan yang
akan menggantikannya. Zaman sekarang, money politics yang sangat besar jumlahnya
itu menjadi penyebab penting tindakan korupsi. Hal itu disebabkan para pejabat
terpilih harus membayar hutang, membalas jasa investor, memelihara konstituen
dan tim sukses, serta mempersiapkan biaya untuk pemilihan periode berikutnya.
Kalaupun terjadi korupsi pada masa lalu, bukanlah untuk
biaya kampanye pada periode selanjutnya karena sama sekali tidak ada yang
namanya periode selanjutnya, melainkan kepala kampung mulai menyukai
keduniawian. Korupsi timbul biasanya hanya untuk melakukan perjudian dan bersenang-senang
dengan perempuan.
Penyelesaian korupsi seperti itu pada masa lalu sangat
cepat, efektif, dan efisien. Kasus korupsi biasanya tidak dilaporkan kepada
raja atau pihak penguasa istana karena di samping jaraknya cukup jauh dari
pusat kota, juga kadang tidak efektif dan tidak menyelesaikan permasalahan. Yang
dilakukan pada masa itu adalah masyarakat melakukan kasak-kusuk sehingga
tersebar gosip. Gosip yang beredar sangat cepat itu mengakibatkan rusaknya nama
kepala kampung. Rakyat pun mulai tidak mematuhi perintah, imbauan, dan
program-program kerja kepala kampung. Hal itu mendorong para sesepuh kampung yang
masih kaum kerabat kepala kampung sendiri untuk mengambil tindakan. Tindakan
yang mereka lakukan adalah hanya meminta kepala kampung untuk mengganti segala
yang telah dikorupsi, kemudian meletakkan jabatan untuk diganti orang lain.
Biasanya, kepala kampung tertuduh melakukan apa yang diminta para sesepuh
tersebut. Selesai sudah urusannya, nggak perlu panjang-panjang. Gak pake lama. Setelah
itu, kepala kampung yang telah dipermalukan itu pindah ke kampung lain dan
sebagian tidak kembali lagi. Kalaupun kembali, mereka pulang dalam tahun-tahun
berikutnya, sesudah waktu lama sejak kejadian yang memalukannya.
Meskipun terjadi korupsi pada masa lalu, tidaklah banyak
terjadi. Hanya satu atau dua kepala kampung yang melakukannya. Selebihnya,
mereka baik-baik saja karena diikat oleh nilai-nilai budaya luhur yang tinggi,
dikelilingi oleh para sesepuh kampung yang masih kerabat sendiri, serta
memiliki beban dan kewajiban untuk menjaga nama baik leluhur dan keluarganya. Artinya,
jika dari seratus kepala kampung, hanya satu kepala kampung yang korup,
kerajaan tersebut dapat dikategorikan aman dari perilaku korup. Selain itu, dapat
dikatakan aman dari perilaku korup karena korupsi dapat ditangani secara cepat,
efektif, dan efisien sehingga tidak menimbulkan goncangan berarti dalam waktu
lama di kalangan masyarakat.
Perlu
diketahui pada masa itu meskipun terjadi pemilihan, para kandidatnya ya masih
dari keturunan yang sama, yaitu masih keluarga pendiri kampung atau keluarga
yang pertama kali membentuk perkampungan. Di antara keluarga sendirilah mereka
bersaing. Para pendatang hanya memilih, bahkan penduduk baru, belum boleh
memilih, apalagi dipilih. Demikian pula para sesepuhnya, masih orang-orang tua
senasab dengan kepala kampung yang terdiri atas uwaknya, pamannya, kakaknya,
atau yang lainnya. Warganya pun demikian, terdiri atas leluhur yang sama ditambah
para pendatang.
Meskipun money politics pada masa lalu tidak menjadi
penyebab korupsi, tetap saja money politics namanya. Artinya, money politics
itu bertaut berkelindan dengan praktik-praktik demokrasi.
Pada masa ini money politics benar-benar menjadi penyebab
penting timbulnya korupsi. Menurut Mahfud MD yang ketua MK itu, 80% kepala
daerah terpilih di Indonesia adalah bermasalah. Mereka digugat pasangan yang
kalah dengan tuduhan money politics. Dari penuturan Mahfud, ada sekitar 20%
yang tidak bermasalah. Hal itu menunjukkan bahwa negeri ini benar-benar
bermasalah. Jika angkanya terbalik, 20% bermasalah dan 80% tanpa masalah,
negeri ini masih bisa dikatakan aman dari money politics, tinggal menyelesaikan
yang 20% itu.
Yang
lebih mengerikan lagi adalah penuturan dari salah satu pasangan terpilih yang
mendapat gugatan dari saingannya. Pasangan saingannya yang kalah itu
menggugatnya memang dengan tuduhan money politics ke Mahkaman Konstitusi.
Dalam
sebuah pertemuan ringan, ngobrol-ngobrol di kalangan intern, pasangan terpilih yang
tergugat itu mengatakan, “Memangnya, ada gitu pasangan yang tidak money
politics? Siapa orangnya yang tidak money politics?”
Saya lumayan terkejut mendengarnya. Mahfud MD mengatakan
hanya 80%. Akan tetapi, pasangan itu menyiratkan seolah-olah money politics
terjadi di seluruh daerah oleh seluruh pasangan kontestan Pemilihan Kadal. Wah,
benar-benar rusak nih negara.
Kalau saya tidak salah, Mahfud dalam sebuah wawancara di Metrotv mengungkapkan keheranannya.
Menurutnya, gaji kepala daerah atau wakilnya selama periode jabatannya, tidak
akan sampai satu miliar, tetapi mereka mau mengeluarkan uang untuk kampanye
sampai bermiliar-miliar.
“Ada apa ini?” tanyanya.
Saya menduga keras bahwa mereka sudah melihat celah-celah
untuk melakukan korupsi pada saat telah mendapatkan kekuasaan. Dari upayanya
menggali APBD dan yang lainnya itulah, pasangan terpilih akan membayar
hutang-hutangnya pada masa kampanye serta untuk mempersiapkan biaya pada
pemilihan berikutnya di samping membalas jasa pada konstituen dan tim
suksesnya.
Demikianlah demokrasi yang disanjung-sanjung orang itu.
Money politics itu tidak akan pernah berhenti sepanjang
berdemokrasi.
Bisa
saja ada orang-orang yang sadar untuk menghentikan atau tidak melakukan money
politics, tetapi bagaimana dengan yang tidak sadar?
Orang
yang sadar bahwa money politics itu haram akan melakukan pula money politics
karena saingannya yang tidak sadar melakukan money politics. Orang yang sadar
juga ingin menang dan ingin mengalahkan saingannya.
Jika
saingannya mendapat banyak suara karena money politics, apakah dia yang sadar
itu akan diam saja?
Yang
sadar pun akhirnya akan money politics juga.
Menurut
Mahfud, kalau saya tidak salah simak, Mahkamah Konstitusi tidak membatalkan
hasil pemilihan gara-gara money politics. Salah satu sebabnya adalah di samping
buktinya yang kurang, juga karena kedua pihak dalam hal ini penggugat dan
tergugat sama-sama money politics. Kalaupun ada bukti, urusannya diserahkan
pada kepolisian.
Dalam
bahasa gaul, mungkin nanti di antara mereka yang gugat-menggugat itu bisa
seperti ini, sudahlah, kita sama-sama
tahu, kita sama-sama money politics, nggak usah ribut.
Penyelesaian
atau perdamaian yang didasarkan atas sikap TST (Tahu Sama Tahu) akan
mengakibatkan hal yang lebih berbahaya pada masa depan. Para pasangan kontestan
bisa mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk money politics. Mereka akan
merasa aman dari gugatan saingannya karena saingannya itu tidak akan menggugat,
toh sama-sama money politics. Jadi, pada masa selanjutnya bisa terjadi untuk
menjadi kepala daerah adalah paloba-paloba
duit, ‘bersaing siapa yang paling besar duitnya’. Wah, kacau deh kalau
sudah begitu.
Oleh
sebab itu, saya sangat tidak menyukai demokrasi karena mengandung berbagai hal
dosa perdosaan yang menyebabkan kehidupan manusia semrawut dan jauh dari rahmat
Allah swt.
Pilkada
DKI aman?
Bisa
jadi.
Sampai
hari ini tak ada yang menggugat ke MK soal Pilkada DKI. Semua orang juga
berharap seperti itu, tetap aman selamanya.
Fauzi
Bowo yang mampu menguasai dirinya dengan tenang meskipun kalah mengatakan, “Ini
adalah kemenangan demokrasi!”
Kemenangan demokrasi?
Hmm…. Ok. No
problem.
Akan tetapi, hal itu tidak membuat saya setuju terhadap
demokrasi. Tak adanya gugatan ke MK memang sesuatu yang menggembirakan. Namun,
DKI hanyalah salah satu proses pemilihan dari seluruh proses pemilihan yang
ada. Kalau tetap aman tak ada gugatan pada masa selanjutnya, DKI hanyalah
merupakan bagian dari 20% yang aman itu, sedangkan yang 80% tetap bermasalah.
Hal itu menjelaskan bahwa sistem politik demokrasi itu bermasalah.
Meskipun demikian, saya berharap amannya DKI itu bukan
disebabkan ingin menampilkan demokrasi yang menurut mereka matang, padahal di
dalamnya terdapat kecurangan. Kalau ada kecurangan, ya dibuka saja. Kalau ada
kecurangan, terus ditutupi, di samping berbahaya untuk masa depan, juga menipu
diri sendiri dan rakyat secara keseluruhan. Yang kita harapkan adalah aman yang
benar-benar aman. Kalau memang benar tak ada kecurangan, itulah yang sama-sama
kita harapkan dan semoga tetap demikian selamanya.
Meskipun demikian, tetap saja sistem politik demokrasi itu
merugikan karena biaya untuk menyelenggarakan pemilihannya teramat besar dan
boros. Padahal, biaya itu bisa digunakan untuk kepentingan masyarakat. Belum
lagi proses-proses politik dan ekonomi yang akan terjadi selanjutnya masih bisa
memungkinkan sarat dengan praktik-praktik siluman. Proses demokrasi di DKI itu
bukan cuma Jokowi-Ahok, melainkan banyak pihak lain yang terlibat. Kalau memang
Jokowi-Ahok itu dipandang bagus pribadinya meskipun perlu bukti selama memimpin
DKI, itu kan cuma Jokowi-Ahok.
Bagaimana dengan politisi lain yang bertebaran di DKI
hasil demokrasi itu?
Yang diharapkan oleh kita sebenarnya bukanlah kemenangan demokrasi, melainkan kemenangan rakyat.
Beranikah Fauzi
Bowo mengatakan bahwa hasil Pilkada DKI itu adalah kemenangan rakyat?
Saya
meragukannya.
No comments:
Post a Comment