Sunday 21 October 2012

Tawuran Bikin Karni Ilyas Bingung dan Membingungkan



oleh Tom Finaldin
 

Bandung, Putera Sang Surya

Bukan cuma Karni Ilyas yang bingung, semua orang juga saat ini dibuat bingung oleh maraknya aksi tawuran di sekolah, kampus, dan masyarakat umum. Saat ini tawuran memang seperti menjadi trend yang digunakan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang sudah lama tidak terpecahkan.

            Adalah sebuah acara menarik yang digelar Karni Ilyas tentang membudayanya tawuran pelajar di tvOne dalam acara ILC. Bung Karni mencoba mencari tahu dari narasumber-narasumber yang diundangnya mengenai tawuran ini dengan harapan bisa menemukan akar masalah serta penyelesaiannya sekaligus. Sebuah acara yang positif untuk mendapatkan hal positif pula.

            Sayangnya, sampai acara berakhir, akar permasalahan tawuran dan penyelesaiannya tidak didapatkan dengan baik. Tentu saja tidak mungkin mendapatkan hal-hal yang sangat menentukan dan menjadi rujukan tepat dari acara yang dibatasi waktu dan diselingi iklan tersebut. Meskipun demikian, acara tersebut membuat banyak pihak memiliki wawasan lebih luas mengenai hal-ihwal tawuran.

            Ada hal yang menggelitik dalam acara tersebut, yaitu Karni Ilyas menyarankan untuk belajar ke luar negeri dalam rangka mengatasi perilaku tawuran tersebut. Itulah yang saya sebut membingungkan.

            Mengapa sih kita harus selalu melihat ke luar negeri?

            Mengapa sih kita harus selalu mencontek cara-cara hidup orang lain?

            Mengapa sih kita tidak mau menyelesaikan permasalahan dengan bertanya kepada diri sendiri, bertanya pada budaya dan nilai luhur sendiri?

            Dalam acara itu, kalau saya tidak salah, Karni Ilyas mengatakan seperti ini, “Mengapa di Eropa sana ketika ada dua sekolah sudah berhadap-hadapan, tak ada satu benda pun yang melayang? Itu karena jika ada yang memukul, langsung masuk sel.”

            Jujur saja, saya tidak percaya dengan kata-katanya itu. Hal itu disebabkan pertama, ia mengatakan Eropa, tetapi tak menjelaskan negara yang mana. Kedua, dia bilang ada dua sekolah yang berhadapan, juga tak diterangkan sekolah mana di kota apa. Ketiga, tidak dijelaskan dalam rangka apa kedua sekolah itu berhadapan, mau berkelahi atau sepakbola?

       Perkataannya itu hanyalah mirip kebiasaan orang-orang Indonesia yang selalu mengatakan bahwa segala yang berasal dari luar negeri itu lebih baik dan lebih bagus. Bukan cuma Karni Ilyas yang begitu kok, yang lainnya juga sering seperti itu. Misalnya, saya pernah mendengar langsung dari seorang pejabat pusat yang heboh menceriterakan penanganan lanjut usia di Jepang saat mengadakan kunjungan ke organisasi lanjut usia di Bandung.

Kok harus selalu bersandar pada pengalaman luar negeri sih?

Padahal, program yang dimiliki oleh organisasi lanjut usia yang dikunjunginya di Bandung itu sebenarnya lebih baik dan lebih tepat karena menggunakan kearifan lokal, yaitu program Nyaah ka Kolot, ‘Menyayangi Orang Tua’.  Dalam program itu, terlibat berbagai elemen, seperti, pemerintah, pengusaha, masyarakat, terutama generasi muda.

           Masih dalam acara ILC kemarin-kemarin itu, ada narasumber, seorang psikolog hebat, mengatakan, “Kita kurang pintar mencontek negara lain.”

           Masyaaallah, kok disarankan kita harus pintar mencontek orang lain?

Hanya segitukah kepandaian kita? 

Mencontek orang lain?

            Ada anggota DPR RI yang mengupayakan ajaran agama agar lebih diperhatikan di sekolah-sekolah dengan cara lebih memantapkan materi pelajarannya dan  waktunya ditambah. Karni Ilyas setuju dengan itu, tetapi tetap menyarankan untuk mencontoh aturan di negara-negara lain.

            Bagi saya, segala yang dilakukan negara lain memang tidak salah untuk dipelajari, tetapi bukan untuk dicontek, melainkan untuk dijadikan sekedar wawasan dan bahan pertimbangan. Upaya yang sangat tepat adalah mencari penyelesaian berdasarkan pengalaman hidup dan budaya sendiri. Kalau ternyata kurang cukup, baru melirik dari negara lain. Contoh dari negara lain itu hendaknya hanya berupa pelengkap jika dirasakan kurang setelah menggunakan cara-cara sendiri. Kalau sudah cukup dengan cara-cara yang berasal dari jiwa sendiri, ya tidak usah ngikutin orang lain.

            Lumayan berbahaya jika kita menggunakan cara-cara bangsa lain dalam menangani masalah tawuran atau perilaku kekerasan yang terjadi di kampus-kampus. Bahayanya adalah kita bisa mengalami keburukan yang sama seperti yang dialami mereka. Menurut saya, tawuran siswa atau mahasiswa Indonesia yang telah menimbulkan kematian setidaknya 21 jiwa itu masih lebih baik dibandingkan dengan yang terjadi di sekolah-sekolah negara barat. Korban yang 21 itu berasal dari berpuluh-puluh kali tawuran di berbagai sekolah dan daerah di Indonesia dalam waktu lama. Artinya, tidak setiap tawuran menimbulkan kematian.

            Memang di kampus-kampus barat tidak ada itu yang namanya tawuran antarpelajar. Saya setuju dengan Karni Ilyas yang wartawan berpengalaman luas itu. Menurutnya, jika ada tawuran di luar negeri, pasti ada beritanya di CNN. Saya pun meyakininya, tidak ada tawuran pelajar di barat. Kalau ada, pasti banyak film barat yang bertemakan tawuran semacam itu. Saya lumayan sering menonton film-film barat. Yang ada bukan tawuran pelajar, tetapi tawuran antargeng.

            Bahaya dari mencontek aturan barat adalah korban dan peristiwanya bisa seburuk yang terjadi di barat. Hal itu jauh lebih buruk dan lebih sadis dibandingkan tawuran yang terjadi di Indonesia.

            Pengen tahu apa peristiwanya?

        Di barat itu satu kali kejadian, korbannya bisa mencapai belasan orang. Dua kali kejadian, bisa puluhan orang. Jika dihitung seluruhnya, lebih banyak lagi korban yang sudah tercatat dan terkubur di berbagai pemakaman.

           Tahu kan peristiwanya?

           Kalau sudah lupa, saya ingatkan lagi.

           Benar di negara barat tak ada tawuran pelajar, tetapi siswa atau mahasiswa mereka bisa dengan mudah membawa pistol berpeluru ke dalam kelas, kemudian menembak siswa lain berikut gurunya dengan membabi buta.

Sudah ingat sekarang?

Memang aturan di sana kelihatannya mencegah tawuran dan itu benar karena tawurannya pun tidak pernah ada. Jadi, tawuran tidak ada bukan karena aturannya yang hebat, melainkan memang tak pernah terjadi tawuran antarkampus. Akan tetapi, mereka tidak bisa mencegah peluru-peluru yang berdesingan di kelas-kelas yang berasal dari senjata yang dibawa para siswanya. Bahkan, peluru-peluru itu ada yang menembus tubuh warga Negara Indonesia yang sedang berada di negara mereka hingga tewas.

Kita bersyukur tidak ada kasus seperti itu. Kita bersyukur hanya punya kasus tawuran yang lebih mudah diselesaikan dibandingkan kasus seperti di negara mereka. Tekanan ideology of success yang diderita mereka lebih parah dibandingkan di Indonesia. Maksudnya, sukses dalam pencapaian materi dan kekuasaan.

Imam Prasodjo benar bahwa ada orientasi yang salah dalam diri para pelajar kita, yaitu bangga atau sangat senang jika ditakuti, dihargai, dianggap paling tinggi dan penting karena sudah melakukan hal-hal negatif. Hal itu menjadi salah satu penyebab tawuran. Akan tetapi, hal itu kan memang sudah terjadi sejak zaman purba sampai saat ini setiap hari di mana pun. Ada sebagian orang yang sangat senang dan bangga jika dipatuhi, diakui, dihormati, dan dianggap lebih hebat serta lebih berkuasa dibandingkan yang lainnya setelah menunjukkan perilaku-perilaku negatifnya, baik itu fisik maupun nonfisik.

Ebiet G. Ade pun sudah sejak lama melantunkan syair mengenai hal itu, … mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa ….

Untuk hal itu, diperlukan upaya agar orientasi dan pandangan para pemuda kita berubah.

Memang tidak mudah menguraikan benang kusut masalah tawuran ini, tetapi setidak-tidaknya ada kunci yang dapat dipergunakan oleh kita semua, yaitu ada pakar yang mencatat bahwa aksi tawuran ini disebabkan terjadinya perubahan tren yang mendadak sejak 1968. Artinya, aksi tawuran ini sudah berlangsung selama 44 tahun di Indonesia sejak 1968.

Kita bisa melakukan penelaahan dan penelitian mengapa tidak terjadi tawuran sebelum 1968 dan mengapa setelah tahun itu terjadi tawuran.

Ada apa pada kedua masa itu?

Apa perbedaan di antara kedua masa itu?

Kita bisa melihatnya dari berbagai sisi, baik itu politik, leadership, ekonomi, budaya, pendidikan, dan lain sebagainya.

Saya menduganya dengan keras bahwa mulai tahun itu sampai sekarang terjadi penurunan kepemimpinan dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, tekanan perlombaan mengejar materi yang mulai semakin keras, masuknya budaya asing yang lebih cepat melalui media televisi, dan lain sebagainya.

Perilaku siswa SD pada tahun tujuh puluhan sudah mulai dikeluhkan oleh para guru. Para guru mulai merasakan perbedaan yang jauh dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Salah satu contohnya adalah guru saya sendiri sewaktu masih SD yang mengatakan bahwa penghormatan kepada guru sudah mulai kurang. Berbeda dengan siswa masa lalu yang sangat menghormati guru. Saking hormatnya, anak-anak tidak pernah ribut di kelas jika di meja guru ada kopiah gurunya. Hanya ada kopiahnya saja, para siswa hening seolah-olah gurunya ada di kelas, padahal tidak ada.

Dalam hal cepat dan derasnya pengaruh budaya asing melalui media televisi pun sangat terasa. Saat itu lebih parah dibandingkan saat ini perihal pemujaan dan pemujian terhadap budaya asing.  Pada masa itu segala yang berasal dari barat adalah dianggap lebih baik, lebih bagus, dan lebih hebat sambil melecehkan budaya dalam negeri sendiri. Orang-orang malu untuk menggunakan batik serta gengsi menyanyikan lagu-lagu daerah dan atau lagu-lagu berbahasa Indonesia. Lagu-lagu barat lebih mendominasi meskipun nggak ngerti arti dari syairnya. Demikian pula perilaku pergaulan anak muda yang sangat kebarat-baratan. Jika ada anak muda yang tidak berperilaku meniru barat, dianggap ketinggalan zaman. Malahan, anak-anak muda sangat bangga jika sudah berpenampilan seperti gipsy atau hippies. Padahal, gaya itu acak-acakan sekali. Saya mengalami hal-hal ini. Parahnya, yang namanya alkohol, ganja, dan obat terlarang pun menjadi ukuran kampungan-tidaknya seorang pemuda.

Saya masih ingat dengan benar bahwa mewabahnya breakdance disebabkan TVRI menayangkan tarian itu dalam acara Dunia dalam Berita. Padahal, tayangan itu tidak lebih dari satu menit. Dari tayangan beberapa detik itu, orang-orang mulai mencari tahu lebih jauh tentang breakdance. Akhirnya, bermunculan di mana-mana kursus breakdance dan pantomim. Yang tidak mampu kursus pun belajar sendiri dari teman-temannya. Tarian ini pun menjadi ukuran kampungan-tidaknya bagi para pemuda.

Media televisi ditambah video kaset yang kerap memutar film-film barat bernuansa kekerasan dan seks menguasai tontonan generasi muda. Hal itu membuat saya berpendapat bahwa orang barat itu kalau bikin film selalu kurang percaya diri. Mereka tak pernah percaya diri menyuguhkan ceritera sebenarnya tanpa dibarengi adegan kekerasan dan seks. Tanpa kekerasan dan seks, mereka ragu akan mendapatkan penonton yang banyak.

           Kekuatan media TV dan film yang sangat kuat itu mempengaruhi para pemuda kita untuk menirunya. Bermunculanlah geng-geng mirip yang ada di film-film Amerika. Para pemuda kita bangga dengan itu. Memang dalam film-film Amerika itu disuguhkan kisah-kisah tawuran antargeng. Di sana memang banyak geng, misalnya, Geng Meksiko, Geng Asia (Cina atau Jepang), geng kulit hitam, dan geng-geng lain yang terlibat dengan Napza, baik kulit putih maupun kulit berwarna. Rupa-rupa geng itu sering terlibat tawuran.

           Nah, perilaku-perilaku geng itu dengan segala atributnya dicontoh oleh pemuda-pemuda kita yang gemar mengikuti perilaku bangsa asing. Lembaga sekolah adalah salah satu tempat yang mudah untuk membentuk geng dan merekrut anggotanya. Oleh sebab itu, kita sering mendengar istilah kebarat-baratan yang dialamatkan para orangtua kepada para pelajar.

            Ada salah satu contoh yang nyata terjadi. Beberapa waktu lalu kita diresahkan oleh perilaku geng motor. Televisi sempat menayangkan bagaimana “pelantikan” anggota baru geng motor di Bandung yang penuh dengan kekerasan. Anak-anak yang ingin menjadi anggota geng diharuskan adu jotos dulu sampai babak belur. Tayangan itu mengingatkan pada salah satu film yang pernah saya tonton mengenai tawuran antara Geng Meksiko dengan geng kulit hitam Amerika. Dalam film itu dikisahkan para pemuda Meksiko yang awalnya hidup normal dan wajar di Amerika tiba-tiba mendapatkan perlakuan buruk dan merasa terancam oleh geng kulit hitam. Mereka pun dengan sangat terpaksa mencari perlindungan pada Geng Meksiko dengan cara menjadi anggotanya. Untuk menjadi anggota geng, mereka diwajibkan berkelahi di antara sesama mereka serta para seniornya sampai babak belur mengeluarkan darah. Setelah itu, mereka diterima dengan baik dan akan mendapat perlindungan untuk selanjutnya saling melindungi sesama anggota geng.

            Saat ini masuknya pengaruh asing yang tidak sesuai dengan budaya bangsa diperkuat oleh internet. Banyak hal yang didapat dari internet. Mereka pun semakin baik meniru kehidupan geng-geng di barat. Hal-hal detil mengenai kehidupan geng sangat mudah diketahui.

            Adik bungsu saya, perempuan, pernah diajak untuk menjadi anggota geng tertentu. Ia dijanjikan perlindungan dan pertemanan yang lebih jujur dan setia dalam geng tersebut. Adik saya akan aman di mana saja untuk keperluan apa saja karena berada dalam perlindungan geng tersebut. Akan tetapi, adik saya menolaknya karena salah satu syarat yang harus dilakukan adalah menginjak Kitab Suci Al Quran sebagai lambang pembebasan diri dari ikatan apa pun dan menyandarkan dirinya pada kesatuan geng. Ia pun menceriterakannya kepada saya. Malahan, adik saya memberitahukan dengan jelas siapa saja anak-anak muda yang mengajaknya kepada saya. Beruntung, hubungan kami berdua sangat-sangat dekat sehingga mudah sekali untuk berdiskusi dalam segala hal. Nah, perilaku menginjak kitab suci itu diadopsi dari perilaku para anggota geng barat yang memang sudah sangat rusak kepercayaannya pada agama, kitab suci, dan para pemimpin agamanya sendiri. Mereka merasa lebih aman dan lebih dihargai oleh komunitas di dalam gengnya.

            Benar sekali bahwa tawuran pelajar di luar negeri tidak ada, tetapi perilaku kehidupan geng barat itu hidup dalam geng-geng pelajar kita yang akhirnya mempengaruhi lembaga sekolah sehingga sebuah sekolah bisa dianggap sebuah geng tertentu. 

           Perlu pula diperhatikan bahwa seseorang menjadi anggota geng itu bukan karena selalu harus ingin ditakuti atau dihormati, melainkan pula didorong oleh keterpaksaan karena takut oleh geng lain sehingga mencari perlindungan terhadap geng lainnya. Keterpaksaan menjadi anggota geng tersebut di Indonesia diakui oleh salah seorang anggota geng motor yang pernah diinterogasi polisi.
        
        Oh ya, yang sangat teramat tidak boleh disepelekan adalah bahwa geng-geng yang ada di sekolah-sekolah di Indonesia ini bisa pula sangat mungkin dibentuk oleh orang-orang atau pihak-pihak di luar sekolah untuk kepentingan bisnis dan kekuasaan. Begini. Ini pengalaman saya pribadi. Usia SMA adalah usia pancaroba yang dipenuhi rasa penasaran dalam keadaan emosi yang kurang seimbang. Hal itu digunakan oleh para pengusaha untuk memasarkan barangnya pada siswa SMA. Sekolah kami berkali-kali pada jam-jam istirahat didatangi oleh para sales rokok. Rokok yang terkenal sampai hari ini. Para sales itu memang sangat mahir berkomunikasi dan membaur dengan kami meskipun usianya jelas sudah bukan usia SMA lagi. Mereka mengarahkan agar kami membentuk kelompok untuk mengadakan berbagai kegiatan semisal touring ke tempat-tempat wisata serta kegiatan-kegiatan lain yang sifatnya bisa diikuti secara massal. Para sales itu jelas menyediakan dana untuk berbagai kegiatan yang kami lakukan, bahkan perusahaannya memberikan sumbangan pada pihak sekolah semisal bola voli, net untuk bulutangkis, raket, dan hal-hal lainnya. Yang mengantarkan sumbangan pada pihak sekolah bukan para sales itu, melainkan pentolan-pentolan kelompok yang masih siswa SMA tersebut. Mereka hanya titip sumbangan untuk kemudian diberikan pada sekolah. Tentu saja hal itu merupakan taktik agar kelompok yang telah dibentuk mereka mendapat restu dari pihak sekolah.
       
     Awalnya, saya dan teman-teman kurang ngeh dengan saran para sales itu. Kami tidak begitu tertarik. Akan tetapi, para sales itu tidak kenal menyerah sampai-sampai meledek kami sebagai siswa yang nggak punya kreativitas. Mereka mencontohkan bahwa di sekolah-sekolah lain sudah terbentuk kelompok-kelompok sesuai arahan mereka. Tentunya, tidak semua sekolah di Bandung yang mereka datangi dan arahkan. Hanya sekolah-sekolah favorit tertentu yang dianggap layak untuk membantu pemasaran dan atau promosi produk rokok mereka. Akhirnya, terbentuk juga sih kelompok seperti yang mereka inginkan. Lagian, kami nggak keluar uang banyak karena dibiayai perusahaan rokok. Malahan, para pentolan kelompok mendapatkan semacam insentif, minimal rokok gratis. Jika mengadakan  tour, kami bisa main-main, senang-senang, dan bergembira.

            Nah, tanpa terasa besar kemungkinan kelompok ini pada sekolah-sekolah tertentu kemudian menjadi komunitas yang eksklusif di sekolah. Kelompok ini dengan sendirinya menjadi komunitas tertentu di sekolah. Mereka memiliki prestise tertentu di kalangan siswa lainnya. Meskipun program dari para sales rokok itu sudah selesai dan tak kembali lagi, kelompok ini tidak bubar. Mereka pun berubah menjadi sebuah geng. Geng ini punya kelebihan keberanian sehingga tampak lebih “berkuasa” dibandingkan siswa lainnya. Kelompok ini di lingkungan sekolah menjadi kelompok yang ditakuti. Akan tetapi, jika siswa di sekolahnya mendapatkan gangguan dari sekolah lain, kelompok ini pula yang akan berada paling depan untuk membela harga diri sekolahnya. Akhirnya, tawuran deh. Memang pada saat saya masih SMA tawuran itu tidak pernah ada, yang ada paling-paling sebatas “mau” tawuran, tetapi tidak pernah terjadi.

            Maksud saya menceriterakan pengalaman saya adalah agar kita lebih berhati-hati karena bisa saja bukan sales rokok yang pada zaman ini mendatangi para siswa, melainkan para pengedar Napza dengan menggunakan pendekatan seperti para sales rokok seperti yang saya ceriterakan. Para pengedar itu jelas membutuhkan pasar dan alat promosi. Jika itu terjadi dan memang sangat mungkin terjadi, bahayanya akan sangat besar. Jika para sales rokok itu dibatasi oleh program promosi dari perusahaannya, para pengedar Narkoba itu tidak seperti itu. Mereka akan terus bersama geng yang telah terbentuk, kemudian menjadikan geng itu sebagai bagian dari sindikatnya. Orang-orang inilah yang kemudian menjadi pengarah geng-geng dari para pelajar kita. Geng-geng di sekolah yang sangat berpengaruh di lingkungan teman-teman satu sekolahnya inilah yang pertama kali bisa menimbulkan penyebab tawuran dengan sekolah lain. Misalnya, salah seorang anggota geng di sebuah sekolah melakukan penghinaan kepada salah seorang siswa dari sekolah lain. Kemudian, siswa yang terhina itu mengadu kepada geng yang ada di sekolahnya. Mereka pun marah, lalu melakukan pembalasan. Dalam melakukan pembalasan itu, mereka tidak memilih mana siswa yang menjadi anggota geng, mana siswa yang baik-baik. Pokoknya, mereka akan membalas kepada siswa yang satu sekolah dengan siswa yang telah melakukan penghinaan kepada teman satu sekolahnya. Akibatnya, masalah bertambah luas dan semakin rumit. Tawuran pun tak bisa dihindari.

            Adalah lebih parah jika yang dikatakan Henri Yosodiningrat, benar-benar terbukti. Henri mengatakan bahwa urusan Narkoba atau Napza ini bukan hanya urusan bisnis, melainkan pula urusan politik. Artinya, ada negara luar yang disebut oleh banyak orang sebagai negara maju dan sering dipuji-puji oleh para elit Indonesia sebagai negara beradab tidak menginginkan Indonesia menjadi negara besar, kuat, dan makmur. Mereka berupaya melemahkan Indonesia dari berbagai sisi, salah satunya melalui Narkoba yang jelas akan melemahkan generasi muda Indonesia. Dengan demikian, negara luar yang sering disembah-sembah pikirannya oleh para elit Indonesia itu bisa dengan mudah menguasai sektor-sektor ekonomi dan politik di Indonesia. Kalaupun mereka tidak bisa menguasai, minimal Indonesia dibikin kalang kabut.

            Begitulah yang terjadi dan demikianlah kekhawatiran saya.

            Memang banyak hal yang harus dibenahi untuk menanggulang urusan tawuran ini, salah satunya, guru jangan dijadikan hanya penyalur mata pelajaran, tetapi juga harus diberi keleluasaan untuk memberikan ajaran-ajaran moral dan budi pekerti. Untuk itu, tentunya para guru harus diberikan kewenangan dalam memberikan hukuman dan penghargaan kepada siswa, jangan ditakut-takuti oleh undang-undang hak azasi manusia yang terlalu mencontek barat.

            Jangan mencontek aturan-aturan barat karena sebenarnya geng-geng yang ada di negeri ini merupakan bentukan yang mencontoh geng-geng barat itu. Kita hendaknya kembali mengajarkan nilai-nilai dan norma-norma luhur bangsa hingga para pemuda kita paham terhadap dirinya sendiri yang pada gilirannya bisa memberikan manfaat, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Cari pula cara atau jalan atau aturan yang disesuaikan dengan budaya dalam negeri karena akan lebih mudah diresapi. Di samping itu, para elit pun harus memberikan contoh yang baik karena kita ini sangat kekurangan teladan dari para pemimpin. Merosotnya keteladanan telah membuat merosot moral dan budi pekerti generasi muda. Meningkatnya keteladanan positif dari para elit akan menjadikan negeri ini memiliki pola dan contoh yang bisa diikuti untuk kemudian dibanggakan.

            Sekali lagi, kita hendaknya melakukan penelitian mengenai berbagai hal sebelum 1968 dan sesudahnya. Jika penelitian itu telah mendapatkan kesimpulan dan saran, hendaknya tidak hanya dijadikan pengaya khazanah kepustakaan nasional, melainkan dijadikan rujukan untuk membentuk dan menjalankan program nyata. Sangatlah disayangkan jika hasil-hasil penelitian mengenai hal tersebut hanya jadi pajangan di perpustakaan sampai berdebu karena tidak ada yang memanfaatkannya.

No comments:

Post a Comment