Thursday, 4 October 2012

Kalau Tidak Marah, Kita Keledai



oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Keledai adalah binatang yang sering disifatkan pada manusia karena kebodohannya dan selalu mematuhi pihak yang lebih kuat meskipun dirinya sendiri kesulitan luar biasa. Keledai selalu menurut dan selalu dijadikan binatang pembawa beban. Rasa-rasanya tak pernah ada kontes atau perlombaan untuk keledai, tak ada keledai juara sebuah pertandingan karena pertandingannya juga tak ada. Keledai dianggap binatang yang tidak ada daya tariknya untuk diperlombakan. Kira-kira begitulah manusia setingkat keledai. Berbeda dengan domba, kuda, sapi, bahkan ikan sekalipun yang ada juaranya, misalnya, domba tergagah, ikan terindah, sapi terbaik, atau kuda tercepat.

            Kita harus wajibul kudu marah jika agama kita dihina. Jika tidak marah, berarti kita lebih rendah dibandingkan keledai. Artinya, keledai adalah lebih tinggi derajatnya dibandingkan kita. Sama dengan keledai saja kita tidak. Itu jika kita tidak marah  saat Islam dihina.

            Jangankan ketika Islam dihina, ketika membiarkan istri kita pergi jalan-jalan senang-senang dengan pria lain yang bukan muhrim saja, kita sudah sederajat dengan keledai jika tidak marah. Itu kata Nabi Muhammad saw. Artinya, kita diam saja ketika harga diri kita dihina, baik oleh pria lain maupun istri kita yang selingkuh. Hanya membiarkan istri saja, kita sudah disamakan derajatnya dengan keledai. Apalagi jika bukan harga diri yang dihina, melainkan Allah swt, Al Quran, Islam, dan Muhammad saw yang dihina. Kedudukan istri kita itu jauh berada di bawah Islam dan Rasul-Nya. Artinya, kita pasti lebih rendah dibandingkan keledai jika tidak marah. Kalau marah, justru mendapatkan pahala yang besar dari Allah swt.

             Marah yang harus kita tunjukkan adalah marah yang terukur, terbatas, dan tepat sasaran. Artinya, harus ditujukan pada pihak-pihak yang menimbulkan kemarahan kita, bukan marah kesana-kemari yang terlalu meluas hingga menimbulkan masalah baru. Kalau kita marah berlebihan, justru tidak disukai Allah swt. Segala sesuatu yang berlebihan itu haram hukumnya. Marahlah secara tepat sasaran meskipun harus melakukan pembunuhan, dalam perang misalnya, bukan dalam keadaan damai. Kemudian, berhenti marah jika tuntutan atau kemarahan kita sudah mendapatkan tujuannya, jangan terus-menerus. Sepanjang sumber kemarahan tidak diselesaikan, adalah sangat berpahala jika terus marah dan menuntut untuk mendapatkan penyelesaian yang adil.

            Hal yang harus dijaga dalam hati adalah kita harus marah karena Allah swt, bukan marah karena emosi pribadi atau kebencian pada pihak lain. Marah yang bukan didasarkan pada niat lillahi taala adalah kemarahan yang tercela dan buruk, baik bagi orang lain, lingkungan, terutama terhadap diri sendiri. Contoh yang teramat mulia adalah yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib. Dalam suatu perang, beliau sempat memojokkan musuhnya, salah seorang kafir yang sudah tak lagi mampu melawan. Ketika pedang Ali ra hendak memenggal lehernya, orang kafir itu mendongak, lalu meludahi wajah Ali ra. Ketika ludah itu mengenai wajahnya, Ali ra mengurungkan niatnya memenggal kepala orang itu.

            Apa sebabnya Ali ra tidak jadi membunuhnya?

            Sayidina Ali ra merasakan benar di dalam hatinya bahwa ketika hendak membunuhnya, ia tetap berpegang pada kemarahan lillaahi taala, tetapi ketika ludah orang kafir itu mengenai mukanya, hatinya berubah menjadi marah karena emosi dan nafsu pribadi karena terhina. Ali ra tak ingin membunuh orang hanya karena nafsu, emosi, atau kebencian pada manusia dan hanya untuk membalaskan rasa terhina dirinya. Ia tak membiarkan dirinya dikuasai kemarahan yang tidak sah. Ia ingin membunuh karena kecintaan kepada Allah swt dan rasul-Nya. Ia menahan dirinya untuk marah karena dirinya sendiri.

            Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari peristiwa Ali bin Abi Thalib itu?

           Kita harus marah karena Allah swt, bukan karena nafsu diri kita. Kita harus marah tepat sasaran dan terukur. Kita harus terus marah jika agama kita dihina dan belum terselesaikan masalahnya. Kita harus berhenti marah ketika dalam hati kita tercampur kebencian yang bukan karena Allah swt. Kita harus berhenti marah ketika permasalahannya telah diselesaikan secara adil dan layak.

No comments:

Post a Comment