Friday, 5 October 2012

Anomali Demokrasi



oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Demokrasi memang menimbulkan keanehan dan kelainan dalam mempengaruhi ketatanegaraan. Sistem ini sangat memusingkan.

            Kita semua mungkin masih ingat ketika banyak sekali protes dari masyarakat pada berbagai pulau di Indonesia ini terkait dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Presiden dan jajarannya sangat menginginkan  BBM naik untuk mengurangi subsidi. Akan tetapi, sebagian besar masyarakat menolaknya. Pemerintah berupaya keras memberikan pengertian dan alasan-alasan logis agar BBM naik. Akan tetapi, masyarakat tetap menolak meskipun sebagian mulai mengerti dan paham.

            Kerasnya penolakan masyarakat sangat besar sehingga mengajak dan atau mendorong para kepala daerahnya untuk ikut melakukan penolakan. Akibatnya, banyak kepala daerah yang juga berpihak kepada rakyat untuk ikut menolak kenaikan BBM.

            Inilah yang saya sebut anomali demokrasi. Sebenarnya, yang namanya gubernur, walikota, dan bupati adalah kepanjangan tangan pemerintah pusat dalam memimpin daerahnya. Artinya, bisa dikatakan bahwa kepala daerah adalah anak buah presiden, bawahannya presiden. Jika dikatakan anak buah atau bawahan, mereka harus patuh dan mendukung sepenuhnya program atau keinginan pemerintah pusat, dalam hal ini presiden. Akan tetapi, pada kenyataannya, dalam hal kenaikan harga BBM, mereka tidak mendukung pemerintah pusat. Artinya, terjadi ketidakpatuhan terhadap presiden. Hal ini pun sempat dikeluhkan Presiden RI SBY. Menurutnya, seharusnya para bupati dan walikota mendukung presiden, bukan ikut menolak rencana pemerintah pusat.

            Melihat fenomena tersebut, saya semakin meyakini bahwa demokrasi itu benar-benar sistem politik yang kacau. Presiden SBY sudah benar bahwa bupati dan walikota itu bawahan presiden, jadi harus patuh dan mendukung penuh kebijakan pemerintah pusat. Akan tetapi, hal itu tidak bisa terlaksana dengan baik karena bupati dan walikota dipilih oleh rakyat. Terjadi dilema pada diri para kepala daerah antara mendukung presiden atau mendukung rakyat. Akhirnya, mereka memilih untuk bersama konstituen, tim sukses, dan orang-orang mereka yang masih rakyat-rakyat juga. Mereka lebih baik tidak mendukung presiden karena bisa-bisa pada masa depan tidak lagi dipilih rakyat, apalagi mereka yang baru satu periode menjabat dan ingin lagi menjabat pada periode berikutnya. Padahal, bisa jadi keinginan presiden itu sangat baik untuk masa depan rakyat-rakyat juga.

            Fenomena ini mungkin masih belum berpengaruh besar pada kehidupan bangsa dan negara karena hanya baru tampak dalam hal kenaikan BBM. Akan tetapi, jika tidak diperbaiki, akan sangat buruk pengaruhnya pada masa depan. Artinya, setiap kebijakan pusat yang mendapat penentangan rakyat, tidak bisa didukung penuh oleh kepala daerah. Bahkan, kepala daerah ikut menentang. Seharusnya, kepala daerah itu memberikan pengertian kepada rakyat mengenai kebijakan pusat, kemudian ikut memberikan dukungan secara penuh.

Bisa pula terjadi kepala daerah mendukung kebijakan pusat meskipun mendapat penolakan rakyat, tetapi sambil mengatakan kepada rakyat bahwa mereka hanyalah bawahan yang harus mematuhi pusat. Kepala daerah semacam ini akan menyalahkan segala sesuatunya pada pemerintah pusat, lalu cuci tangan. Dengan demikian, pemerintah pusatlah yang mesti disalahkan karena mengeluarkan kebijakan yang tidak dikehendaki, kemudian memaksa kepala daerah untuk patuh. Mereka main aman, kebijakan pusat dapat dilaksanakan, tetapi berharap tidak kecipratan disalahkan rakyat. Kepala daerah jenis ini jelas bukan merupakan pemimpin yang baik. Kepala daerah yang baik adalah sama-sama mengambil tanggung jawab atas kebijakan yang diambil oleh pusat karena dirinya merupakan bagian dari keseluruhan pemerintahan. Berbeda dengan DPR yang boleh-boleh saja berteriak keras melakukan penolakan.

Bagaimanapun kerasnya para ahli mengatakan dengan sangat logis bahwa yang namanya kepala daerah adalah bawahan presiden yang harus mendukung pemerintah pusat, tetap saja sulit terlaksana dengan baik karena mereka menjadi kepala daerah itu bukan atas keinginan pusat atau presiden, tetapi karena pilihan rakyat. Jadi, meskipun ada kebijakan pusat yang sangat logis setelah melakukan kajian mendalam dengan mengikutsertakan para ahli, jika masyarakat tidak menginginkannya, ya bisa tidak jadi. Padahal, bisa jadi jika kebijakan itu dijalankan, rakyat mendapatkan keuntungan yang besar. Yang susah ya pemerintah pusat juga karena tidak bisa menjalankan programnya dengan baik, tetapi dituntut untuk memakmurkan rakyat secara cepat dan tepat.

Demikianlah anomali demokrasi, membingungkan. Akan tetapi, sebagaimana dalam bahasa Sunda, wayahna bongan sorangan make demokrasi, ‘rasain aja salah sendiri karena menggunakan demokrasi’.

Dalam demokrasi itu kan kumaha rakyat, ‘terserah rakyat’. Padahal, rakyat itu orang yang sangat banyak. Di dalamnya ada orang pintar, cerdas, soleh, baik-baik, bodoh, kurang informasi, mudah dipengaruhi, berperangai buruk, dan jauh dari Tuhan.

Jika ukuran orang pintar dan cerdas itu adalah lulusan perguruan tinggi, berapa banyak yang lulus perguruan tinggi?

Pasti lebih sedikit dibandingkan dengan yang tidak pernah mengecap pendidikan tinggi.

Apalagi jika yang disebut pintar itu yang di perguruan tingginya mendapat cumlaude. Pasti lebih sedikit lagi.

Akan semakin sedikit jika dari yang mendapat cumlaude itu yang benar-benar mampu mengaplikasikan ilmunya untuk memberikan manfaat kepada masyarakat.

Jika yang disebut orang soleh dan baik-baik itu adalah orang-orang yang memahami ilmu agama dan kemanusiaan, ada berapa banyak orang-orang seperti itu? Jumlahnya pasti lebih sedikit daripada masyarakat umum.

Dari jumlah orang soleh dan baik-baik  yang pasti sedikit itu, jika dilihat yang mengamalkan ilmunya untuk kebaikan orang banyak, jumlahnya akan sangat jauh lebih kecil dibandingkan masyarakat umum.

Jika orang-orang soleh, baik-baik, pintar, dan cerdas itu dikatakan orang-orang unggulan, ada berapa jumlahnya di Indonesia? Sesungguhnya, dari zaman ke zaman, di belahan Bumi mana pun, jumlah orang-orang unggulan ini sangat sedikit, terbatas.

Nah, demokrasi itu tidak menyerahkan urusan manusia kepada orang-orang unggulan, melainkan kepada masyarakat luas yang sebagian besar bukan unggulan.

Mau beres bagaimana kehidupan manusia jika diserahkan pada orang-orang seperti itu?

Semestinya, urusan manusia dan kehidupan ini diserahkan kepada orang-orang unggulan. Akan tetapi, demokrasi akan menghalangi orang-orang unggulan ini untuk mengurus hajat hidup orang banyak karena dalam demokrasi itu yang penting bukan menjadi orang unggul, melainkan orang yang  punya banyak uang, banyak koneksi, bisa ngoceh sana-sini.

Yang saya lihat dari budaya di Indonesia adalah orang-orang unggulan ini pada masa lalu sebelum masa penjajahan diserahi tugas dan kepercayaan untuk mengurus hajat hidup orang banyak. Mereka inilah yang memiliki kewajiban memberikan pengayoman, pengajaran, kasih sayang, perlindungan, dan arah jalan hidup bagi rakyat banyak. Rakyat pun mematuhi dan mempercayainya karena orang-orang unggulan ini memang sangat bisa dipercaya, sudah terbukti dalam kehidupan kesehariannya.

Mengapa para wali diberi gelar sunan?

Gelar sunan itu sama sekali tidak dikenal dalam ajaran Islam.

Pemberian gelar sunan merupakan sebuah bentuk upaya dari keluarga keraton atau istana kepada para wali agar lebih mendekatkan hubungan. Dari kedekatan hubungan dengan pihak keraton itu, timbul persepsi masyarakat bahwa para wali itu adalah masih keluarga keraton. Dengan demikian, masyarakat mematuhi dan mengikuti ajaran para wali. Para wali itu adalah orang-orang unggulan yang dipercaya para raja untuk bersama-sama membina dan membangun masyarakat. Para wali memberikan banyak masukan kepada para raja untuk menyusun aturan, program kerja, menjaga keamanan dan ketertiban, memperkuat pertahanan, melaksanakan perdamaian, menjalankan hukum dan keadilan, serta berbagai hal terkait dengan kehidupan keraton dan rakyat.

Nah, dalam demokrasi, orang-orang unggulan semacam para wali itu tidak bisa berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara, kecuali sekedar khotbah yang sering sekali tidak didengar apalagi dilaksanakan.  Hal itu disebabkan orang-orang unggulan itu harus masuk seleksi melalui proses pemilihan. Yang menang dalam pemilihan tentu saja yang banyak uang, banyak koneksi, bisa ngoceh sana-sini, jual janji sama investor, dan lain sebagainya. Orang-orang unggulan itu sulit menang, bahkan mungkin enggan untuk ikut pemilihan karena bisa merusakkan stabilitas ruhaninya.

Ada sih, dalam demokrasi orang-orang unggulan menduduki jabatan-jabatan penting. Akan tetapi, jumlahnya teramat sedikit. Mereka masih kalah banyak dibandingkan dengan orang-orang bukan unggulan. Jadi, memang sangat sulit jika menggunakan demokrasi kita mencapai tujuan nasional, yaitu mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya berdasarkan Pancasila.

Di samping itu, tentu saja kita harus hidup dalam keanehan dan kejanggalan yang dihidangkan oleh sistem politik demokrasi. Akan tetapi, tenang saja, keanehan dan kejanggalan itu akan segera berakhir.

No comments:

Post a Comment