oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Demokrasi
memang menimbulkan keanehan dan kelainan dalam mempengaruhi ketatanegaraan.
Sistem ini sangat memusingkan.
Kita semua mungkin masih ingat
ketika banyak sekali protes dari masyarakat pada berbagai pulau di Indonesia
ini terkait dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Presiden dan
jajarannya sangat menginginkan BBM naik
untuk mengurangi subsidi. Akan tetapi, sebagian besar masyarakat menolaknya.
Pemerintah berupaya keras memberikan pengertian dan alasan-alasan logis agar
BBM naik. Akan tetapi, masyarakat tetap menolak meskipun sebagian mulai
mengerti dan paham.
Kerasnya penolakan masyarakat sangat
besar sehingga mengajak dan atau mendorong para kepala daerahnya untuk ikut
melakukan penolakan. Akibatnya, banyak kepala daerah yang juga berpihak kepada
rakyat untuk ikut menolak kenaikan BBM.
Inilah yang saya sebut anomali
demokrasi. Sebenarnya, yang namanya gubernur, walikota, dan bupati adalah
kepanjangan tangan pemerintah pusat dalam memimpin daerahnya. Artinya, bisa
dikatakan bahwa kepala daerah adalah anak buah presiden, bawahannya presiden.
Jika dikatakan anak buah atau bawahan, mereka harus patuh dan mendukung
sepenuhnya program atau keinginan pemerintah pusat, dalam hal ini presiden.
Akan tetapi, pada kenyataannya, dalam hal kenaikan harga BBM, mereka tidak
mendukung pemerintah pusat. Artinya, terjadi ketidakpatuhan terhadap presiden.
Hal ini pun sempat dikeluhkan Presiden RI SBY. Menurutnya, seharusnya para
bupati dan walikota mendukung presiden, bukan ikut menolak rencana pemerintah
pusat.
Melihat fenomena tersebut, saya
semakin meyakini bahwa demokrasi itu benar-benar sistem politik yang kacau.
Presiden SBY sudah benar bahwa bupati dan walikota itu bawahan presiden, jadi
harus patuh dan mendukung penuh kebijakan pemerintah pusat. Akan tetapi, hal
itu tidak bisa terlaksana dengan baik karena bupati dan walikota dipilih oleh
rakyat. Terjadi dilema pada diri para kepala daerah antara mendukung presiden
atau mendukung rakyat. Akhirnya, mereka memilih untuk bersama konstituen, tim
sukses, dan orang-orang mereka yang masih rakyat-rakyat juga. Mereka lebih baik
tidak mendukung presiden karena bisa-bisa pada masa depan tidak lagi dipilih
rakyat, apalagi mereka yang baru satu periode menjabat dan ingin lagi menjabat
pada periode berikutnya. Padahal, bisa jadi keinginan presiden itu sangat baik
untuk masa depan rakyat-rakyat juga.
Fenomena ini mungkin masih belum
berpengaruh besar pada kehidupan bangsa dan negara karena hanya baru tampak
dalam hal kenaikan BBM. Akan tetapi, jika tidak diperbaiki, akan sangat buruk
pengaruhnya pada masa depan. Artinya, setiap kebijakan pusat yang mendapat
penentangan rakyat, tidak bisa didukung penuh oleh kepala daerah. Bahkan,
kepala daerah ikut menentang. Seharusnya, kepala daerah itu memberikan
pengertian kepada rakyat mengenai kebijakan pusat, kemudian ikut memberikan
dukungan secara penuh.
Bisa
pula terjadi kepala daerah mendukung kebijakan pusat meskipun mendapat
penolakan rakyat, tetapi sambil mengatakan kepada rakyat bahwa mereka hanyalah
bawahan yang harus mematuhi pusat. Kepala daerah semacam ini akan menyalahkan
segala sesuatunya pada pemerintah pusat, lalu cuci tangan. Dengan demikian,
pemerintah pusatlah yang mesti disalahkan karena mengeluarkan kebijakan yang
tidak dikehendaki, kemudian memaksa kepala daerah untuk patuh. Mereka main
aman, kebijakan pusat dapat dilaksanakan, tetapi berharap tidak kecipratan
disalahkan rakyat. Kepala daerah jenis ini jelas bukan merupakan pemimpin yang
baik. Kepala daerah yang baik adalah sama-sama mengambil tanggung jawab atas
kebijakan yang diambil oleh pusat karena dirinya merupakan bagian dari
keseluruhan pemerintahan. Berbeda dengan DPR yang boleh-boleh saja berteriak
keras melakukan penolakan.
Bagaimanapun
kerasnya para ahli mengatakan dengan sangat logis bahwa yang namanya kepala
daerah adalah bawahan presiden yang harus mendukung pemerintah pusat, tetap
saja sulit terlaksana dengan baik karena mereka menjadi kepala daerah itu bukan
atas keinginan pusat atau presiden, tetapi karena pilihan rakyat. Jadi,
meskipun ada kebijakan pusat yang sangat logis setelah melakukan kajian
mendalam dengan mengikutsertakan para ahli, jika masyarakat tidak
menginginkannya, ya bisa tidak jadi. Padahal, bisa jadi jika kebijakan itu
dijalankan, rakyat mendapatkan keuntungan yang besar. Yang susah ya pemerintah
pusat juga karena tidak bisa menjalankan programnya dengan baik, tetapi
dituntut untuk memakmurkan rakyat secara cepat dan tepat.
Demikianlah
anomali demokrasi, membingungkan. Akan tetapi, sebagaimana dalam bahasa Sunda, wayahna bongan sorangan make demokrasi, ‘rasain
aja salah sendiri karena menggunakan demokrasi’.
Dalam
demokrasi itu kan kumaha rakyat, ‘terserah
rakyat’. Padahal, rakyat itu orang yang sangat banyak. Di dalamnya ada orang
pintar, cerdas, soleh, baik-baik, bodoh, kurang informasi, mudah dipengaruhi,
berperangai buruk, dan jauh dari Tuhan.
Jika
ukuran orang pintar dan cerdas itu adalah lulusan perguruan tinggi, berapa
banyak yang lulus perguruan tinggi?
Pasti
lebih sedikit dibandingkan dengan yang tidak pernah mengecap pendidikan tinggi.
Apalagi
jika yang disebut pintar itu yang di perguruan tingginya mendapat cumlaude. Pasti lebih sedikit lagi.
Akan
semakin sedikit jika dari yang mendapat cumlaude
itu yang benar-benar mampu mengaplikasikan ilmunya untuk memberikan manfaat
kepada masyarakat.
Jika
yang disebut orang soleh dan baik-baik itu adalah orang-orang yang memahami
ilmu agama dan kemanusiaan, ada berapa banyak orang-orang seperti itu?
Jumlahnya pasti lebih sedikit daripada masyarakat umum.
Dari
jumlah orang soleh dan baik-baik yang
pasti sedikit itu, jika dilihat yang mengamalkan ilmunya untuk kebaikan orang
banyak, jumlahnya akan sangat jauh lebih kecil dibandingkan masyarakat umum.
Jika
orang-orang soleh, baik-baik, pintar, dan cerdas itu dikatakan orang-orang
unggulan, ada berapa jumlahnya di Indonesia? Sesungguhnya, dari zaman ke zaman,
di belahan Bumi mana pun, jumlah orang-orang unggulan ini sangat sedikit,
terbatas.
Nah,
demokrasi itu tidak menyerahkan urusan manusia kepada orang-orang unggulan,
melainkan kepada masyarakat luas yang sebagian besar bukan unggulan.
Mau
beres bagaimana kehidupan manusia jika diserahkan pada orang-orang seperti itu?
Semestinya,
urusan manusia dan kehidupan ini diserahkan kepada orang-orang unggulan. Akan
tetapi, demokrasi akan menghalangi orang-orang unggulan ini untuk mengurus
hajat hidup orang banyak karena dalam demokrasi itu yang penting bukan menjadi
orang unggul, melainkan orang yang punya
banyak uang, banyak koneksi, bisa ngoceh sana-sini.
Yang
saya lihat dari budaya di Indonesia adalah orang-orang unggulan ini pada masa
lalu sebelum masa penjajahan diserahi tugas dan kepercayaan untuk mengurus
hajat hidup orang banyak. Mereka inilah yang memiliki kewajiban memberikan
pengayoman, pengajaran, kasih sayang, perlindungan, dan arah jalan hidup bagi
rakyat banyak. Rakyat pun mematuhi dan mempercayainya karena orang-orang
unggulan ini memang sangat bisa dipercaya, sudah terbukti dalam kehidupan
kesehariannya.
Mengapa
para wali diberi gelar sunan?
Gelar
sunan itu sama sekali tidak dikenal dalam ajaran Islam.
Pemberian
gelar sunan merupakan sebuah bentuk upaya dari keluarga keraton atau istana kepada
para wali agar lebih mendekatkan hubungan. Dari kedekatan hubungan dengan pihak
keraton itu, timbul persepsi masyarakat bahwa para wali itu adalah masih
keluarga keraton. Dengan demikian, masyarakat mematuhi dan mengikuti ajaran
para wali. Para wali itu adalah orang-orang unggulan yang dipercaya para raja
untuk bersama-sama membina dan membangun masyarakat. Para wali memberikan
banyak masukan kepada para raja untuk menyusun aturan, program kerja, menjaga
keamanan dan ketertiban, memperkuat pertahanan, melaksanakan perdamaian,
menjalankan hukum dan keadilan, serta berbagai hal terkait dengan kehidupan
keraton dan rakyat.
Nah,
dalam demokrasi, orang-orang unggulan semacam para wali itu tidak bisa
berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara, kecuali sekedar khotbah yang
sering sekali tidak didengar apalagi dilaksanakan. Hal itu disebabkan orang-orang unggulan itu
harus masuk seleksi melalui proses pemilihan. Yang menang dalam pemilihan tentu
saja yang banyak uang, banyak koneksi, bisa ngoceh sana-sini, jual janji sama
investor, dan lain sebagainya. Orang-orang unggulan itu sulit menang, bahkan
mungkin enggan untuk ikut pemilihan karena bisa merusakkan stabilitas
ruhaninya.
Ada
sih, dalam demokrasi orang-orang unggulan menduduki jabatan-jabatan penting. Akan
tetapi, jumlahnya teramat sedikit. Mereka masih kalah banyak dibandingkan dengan
orang-orang bukan unggulan. Jadi, memang sangat sulit jika menggunakan
demokrasi kita mencapai tujuan nasional, yaitu mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya berdasarkan Pancasila.
Di
samping itu, tentu saja kita harus hidup dalam keanehan dan kejanggalan yang
dihidangkan oleh sistem politik demokrasi. Akan tetapi, tenang saja, keanehan
dan kejanggalan itu akan segera berakhir.
No comments:
Post a Comment