oleh Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Selama
ini, terutama sejak Orde Baru berkuasa, kalangan pesantren seolah-olah
terpinggirkan dalam berperan serta membangun bangsa dan menikmati kue
pembangunan. Mereka seakan-akan sebuah komunitas yang hampir terpisah dari
masyarakat umum. Kaum pesantren selalu tercurigai akan mengubah tatanan negara
menjadi negara yang sesuai dalam pemikiran pesantren. Bahkan, parahnya, para
santri kerap disudutkan sebagai lapisan masyarakat yang mengganggu kemapanan
karena memiliki berbagai ide dan gagasan yang berasal dari pengetahuan yang
didapatnya dari pesantren. Dalam hal politik, kalangan pesantren mendapatkan
perhatian khusus, baik itu dijadikan sebagai lawan politik atau dimanfaatkan
suaranya untuk kepentingan politik. Kondisi-kondisi seperti itu menjadikan
pesantren lebih terpisah dibandingkan masyarakat pada umumnya.
Karena situasi dan kondisi yang
seolah-olah meminggirkan pesantren dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, para
santri lebih bertekad dan memantapkan bahwa dirinya memang berbeda dibandingkan
masyarakat lainnya. Mereka merasa memiliki kewajiban untuk mengubah pandangan
dan sikap masyarakat sesuai ilmu pengetahuan yang mereka miliki dari pesantren.
Sementara itu, ilmu pengetahuan yang didapat dalam pesantren sangat sedikit
mengenai wawasan kebangsaan, bahkan mungkin tidak ada. Mereka memang
mempelajari Al Quran, Hadits, Tarikh, dan hal-hal lain yang sangat erat dengan
kultur Arab. Akan tetapi, teramat kurang memahami kultur dan sejarah bangsa.
Oleh sebab itu, tak heran dalam pikiran, sikap, dan perilakunya cenderung kearab-araban. Lihat saja dari cara
mereka berpakaian, gayanya lebih ke Timur Tengah.
Karena kurangnya wawasan kebangsaan,
pesantren sangat rawan menjadi tempat perekrutan aktivitas terorisme. Para
perekrut itu menggunakan bahasa Arab serta menukil ayat Al Quran dan Hadits tentang kewajiban jihad di samping
bergaya dan berpakaian sama dengan para santri. Kaum muda pesantren yang
memiliki ghirah Islam tinggi menjadi merasa sangat dekat dengan para perekrut
itu karena memiliki banyak kesamaan. Kemudian, meyakini bahwa para perekrut
teroris itu adalah para mujahid ulung,
pencari kesyahidan kelas kakap, jundullah nomor wahid. Padahal, ayat Al
Quran, Hadits, tarikh, dan keterangan lainnya tentang jihad yang mereka ajarkan
kepada para santri muda itu hanya sepotong-sepotong, malahan ada yang
diputarbalikkan mirip sekali dengan kebiasaan orang Yahudi yang gemar
memutarbalikkan fakta. Di samping itu, para santri muda lebih mendekat kepada
para perekrut dan penghasut itu disebabkan pula oleh kenyataan bahwa
orang-orang yang berasal dari luar pesantren, kemudian menduduki jabatan
penting di Indonesia melakukan banyak kejahatan, misalnya, korupsi, kriminal,
dan kejahatan dosa individual, seperti, pelacuran, judi, narkoba, dan
mabuk-mabukan di samping melecehkan kaum santri. Perilaku buruk dari oknum penyelenggara
negara tersebut memantapkan para santri dan aktivis Islam bahwa sesungguhnya
merekalah yang lebih pantas mengelola negara. Jalan pintas untuk menguasai
negara itu adalah tindakan terorisme. Mereka pun mengambil jalan pintas
tersebut meskipun sesungguhnya mereka telah tertipu oleh para petualang busuk
yang menggunakan Islam untuk membuat kekacauan di Indonesia. Orang-orang busuk
itu jelas digerakkan syetan yang terdiri atas jin dan manusia untuk membuat kehidupan manusia tidak harmonis dan
selalu dalam kekusutan.
Dengan memperhatikan fenomena
tersebut, menjadi sangat penting wawasan kebangsaan ditanamkan kepada para
santri. Wawasan kebangsaan yang harus dikembangkan bukanlah sebagaimana yang
sudah-sudah, perlu perubahan mendasar dalam materi dan penyampaiannya.
Pemberian wawasan kebangsaan di kalangan pesantren bukanlah untuk “mencekoki”
para santri dengan pemahaman kebangsaan yang hitam dan penuh dusta, melainkan
untuk membuka mata para santri. Di samping itu, pengembangan wawasan kebangsaan
tersebut dimaksudkan untuk lebih mendekatkan para santri dengan masyarakat umum
dan negara agar lebih percaya diri dalam berperan serta membangun bangsa.
Adalah kejahatan dusta yang telah
terjadi puluhan tahun di negeri ini bahwa yang namanya materi wawasan
kebangsaan dan atau wawasan nusantara berikut sejarahnya selalu mengecilkan
bahkan menghilangkan peranan pesantren dalam perjalanan sejarah bangsa.
Padahal, pesantren merupakan ujung tombak yang sangat kuat dan tajam dalam
memerdekakan Negara Indonesia. Para pemimpin pesantren dan santrinya menyerukan
jihad melawan penjajahan Belanda. Dengan teriakan Allahu Akbar, mereka bertaruh nyawa untuk kemerdekaan Indonesia.
Kisah-kisah inilah yang tampaknya terhapus atau memang sengaja dihapus dalam
berbagai materi mengenai kebangsaan di Indonesia.
Kita semestinya berlaku jujur dalam
mengisahkan perjalanan bangsa. Kalau pada masa Orde Baru, memang terasa sekali
peranan umat Islam dari kalangan pesantren dihilangkan atau dikecilkan dalam
memori anak-anak negeri. Hal itu disebabkan ada ketakutan terhadap Islam dan kepentingan
politik tertentu yang tidak menghendaki kekuatan Islam untuk berperan serta
membangun bangsa. Malahan, dalam banyak hal, kelompok-kelompok Islam dituduh
sebagai pihak yang mengganggu kepentingan bangsa.
Kita bisa memulai penambahan wawasan
kebangsaan di kalangan pesantren dengan mengisahkan perjuangan pesantren dalam
memerdekakan dan mempertahankan kedaulatan Negara Indonesia. Kita bisa
mengetengahkan profil kaum santri yang nyata-nyata berperan teramat besar dalam
membentuk Negara Indonesia. Para santri yang sudah nyata tersebut, misalnya,
HOS Cokroaminoto, Haji Agus Salim, Mohamad Natsir, Buya Hamka, termasuk Ir.
Soekarno, dan lain sebagainya. Berikan kisah yang jujur jangan dipotong-potong
tentang orang-orang itu, jangan menghitamkan sejarah. Kemudian, kemukakan
cita-cita orang itu dalam mengusir penjajah dan berperan besar dalam membentuk
Negara Indonesia.
Di samping itu, gali pula sejarah di
tingkat lokal. Cari sejarah para santri yang menjadi pahlawan di tingkat lokal
agar para santri pada zaman ini merasa terhubung dengan sejarah Indonesia.
Misalnya, kisah Hasan Arif yang melakukan pemberontakan di Cimareme, Garut,
Jawa Barat. Saya yakin orang-orang dan atau santri-santri Garut sendiri banyak
yang tidak mengenalnya, apalagi santri se-Indonesia. Padahal, kisahnya heroik
bukan main. Sejak remaja Hasan Arif sudah teramat berani menentang penjajahan
meskipun sendirian. Ia menolak keras untuk melakukan kerja paksa yang
diwajibkan oleh Belanda. Akibat dari penolakannya itu, ia bersitegang dengan
kontrolir Belanda. Saking ngototnya Hasan Arif untuk meninggalkan kerja paksa,
Sang Kontrolir Belanda mencabut pistol untuk menembaknya. Akan tetapi, Hasan
Arif tidak gentar, matanya tetap nyalang menantang. Hasan Arif berhadap-hadapan
dengan kontrolir Belanda itu, duel. Hasan Arif tak bersenjata apa pun,
sedangkan kontrolir itu memegang pistol yang hanya tinggal menarik pelatuknya
untuk menembak. Para penduduk kampung cemas terhadap keselamatan Hasan Arif
karena pistol kontrolir itu bisa meletus sewaktu-waktu dan pelurunya membunuh
Hasan Arif. Walaupun cemas, penduduk kampung tidak mampu melakukan apa pun
karena takut oleh Belanda. Mereka hanya menonton ketegangan itu dalam kondisi
yang tegang juga.
Akan
tetapi, apa yang terjadi?
Tangan
kontrolir Belanda itu tiba-tiba gemetar, tak mampu membuat pistolnya meletus.
Hasan Arif pun dalam kondisi garang meninggalkan duel yang tertunda itu, pergi
meninggalkan keinginan penjajah untuk melakukan kerja paksa.
Pada
masa dewasanya, Haji Hasan Arif diserahi tugas oleh ayahnya untuk memimpin
pesantren. Pada masa kepemimpinannya, ia mampu menolak membayar upeti berupa
beras untuk kepentingan Belanda. Saat Belanda marah dan mengerahkan aparatnya,
Haji Hasan Arif mengumpulkan seluruh santri berikut bekerja sama dengan
pesantren se-wilayah Garut dan kota-kota di sekitarnya sehingga terbentuk pasukan jubah putih ribuan orang. Jubah
putih itu berbahan kain kafan dengan maksud jika mati syahid, kain itulah yang
akan menjadi pembungkus jasadnya.
Nah,
kisah-kisah heroik kalangan pesantren semacam itu semestinya ada dalam materi
wawasan kebangsaan. Dengan demikian, para santri sekarang akan merasa terhubung
dengan para pendahulunya dalam memerdekakan dan membangun bangsa. Selain itu,
mereka pun akan merasa dihargai karena merupakan kaum yang sangat penting dalam
perjalanan sejarah bangsa.
Jika
telah terhubung dan merasakan dengan benar bahwa para pendahulunya adalah
pahlawan bangsa, mereka akan lebih memahami bahwa mereka harus meneruskan
perjuangan para pendahulunya itu untuk mengisi kemerdekaan Indonesia dengan
berbagai hal positif. Berbeda jika mereka selalu berada dalam kondisi
terpinggirkan dan terlupakan atau sengaja dilupakan, para santri tidak
merasakan adanya kewajiban untuk membangun bangsa Indonesia. Mereka akan
langsung merasa sebagai warga dunia dan berupaya keras mewarnai dunia dengan ajaran
Islam sampai Islam tegak di muka Bumi karena Islam itu bersifat universal.
Adapun Indonesia hanyalah merupakan tempat tinggal dan lahir mereka secara
administratif. Kalaupun mereka bekerja mencari nafkah, pekerjaan mereka hanyalah
dianggap sebagai alat mencari uang, tidak untuk berperan serta membangun
bangsa. Mereka merasa terikat secara emosional dan spiritual dengan umat Islam
sedunia serta harus menjawab permasalahan dunia dengan ajaran Islam. Parahnya,
jika Negara Indonesia dianggap sebagai batu sandungan untuk “bersaudara” dengan
sesama muslim dunia, mereka pun akan menyepelekan Indonesia. Dalam kondisi
seperti itu, mereka sangat rentan mendapat pengaruh buruk dari para perekrut
teroris. Kalaupun tidak terpengaruh untuk melaksanakan aksi teror, minimal
mereka akan menganggap bahwa Indonesia merupakan salah satu item yang harus “dibereskan”
untuk kemudian diarahkan menjadi wilayah perwakilan kekuatan Islam dunia. Bahkan,
sangat mungkin Indonesia tidak ada dalam agenda mereka untuk dibangun, hanya
merupakan negeri biasa yang mudah sekali untuk ditinggalkan dan dilupakan kalau
tidak bisa “diperbaiki”. Konsentrasi mereka langsung untuk menyerukan kebenaran
Islam pada manusia di seluruh dunia. Padahal, untuk bisa menjalin ukhuwah dengan kaum muslim sedunia dan
berperan banyak dalam menyelesaikan permasalahan kaum muslimin dunia bisa
dimulai dengan berpartisipasi aktif dalam membangun bangsa dan Negara
Indonesia.
Hal
yang harus diperhatikan jika akan memberikan wawasan kebangsaan di pesantren
adalah para pematerinya bukanlah politisi dan atau mereka yang berniat
mencekoki pesantren dengan pemahaman baru yang akibatnya menjadi racun, baik
bagi pesantren sendiri maupun bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Sebaiknya, orang-orangnya berasal dari pesantren sendiri atau
setidak-tidaknya mengerti tentang pesantren, tetapi memiliki jiwa nasionalis.
Dengan demikian, para santri akan lebih dekat dan lebih mudah menerima wawasan
kebangsaan di pesantrennya.
Ingatkan
para santri dan kita semua bahwa negeri Indonesia merdeka karena seruan jihad
para pemimpin Islam di masjid-masjid dan teriakan Allahu Akbar para mujahid. Ingatkan pula teriakan Allahu Akbar Bung Tomo ketika membakar
semangat massa. Jangan lupakan pula kisah Jenderal Besar Soedirman yang
memegang erat tasbih sambil melafalkan Al
Fatihah ketika berada di tengah hutan.
Dengan
pemahaman kebangsaan tanpa menghitamkan sejarah dan membuka dengan jelas
perjuangan kalangan pesantren, para santri akan memiliki filter yang lebih kuat
dalam menangkal ajakan para perekrut teroris. Hal itu disebabkan para santri
akan lebih memilih berjihad membangun bangsa daripada membuat suasana ketakutan
di tengah masyarakat.
Itu
pun jika memang benar-benar ingin menghapuskan terorisme di Indonesia, kalangan
pesantren harus diikutsertakan aktif terlibat. Lain lagi jika setengah hati
menanggulangi terorisme karena kegiatan teror itu bisa digunakan untuk
mendapatkan kepentingan ekonomi dan politik.
Kalau
cuma pura-pura mengatasi tindakan terorisme, padahal tetap memeliharanya, ya terserah elu aja deh.
No comments:
Post a Comment