Thursday 4 October 2012

Pesantren Perlu Wawasan Kebangsaan





 oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Selama ini, terutama sejak Orde Baru berkuasa, kalangan pesantren seolah-olah terpinggirkan dalam berperan serta membangun bangsa dan menikmati kue pembangunan. Mereka seakan-akan sebuah komunitas yang hampir terpisah dari masyarakat umum. Kaum pesantren selalu tercurigai akan mengubah tatanan negara menjadi negara yang sesuai dalam pemikiran pesantren. Bahkan, parahnya, para santri kerap disudutkan sebagai lapisan masyarakat yang mengganggu kemapanan karena memiliki berbagai ide dan gagasan yang berasal dari pengetahuan yang didapatnya dari pesantren. Dalam hal politik, kalangan pesantren mendapatkan perhatian khusus, baik itu dijadikan sebagai lawan politik atau dimanfaatkan suaranya untuk kepentingan politik. Kondisi-kondisi seperti itu menjadikan pesantren lebih terpisah dibandingkan masyarakat pada umumnya.

            Karena situasi dan kondisi yang seolah-olah meminggirkan pesantren dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, para santri lebih bertekad dan memantapkan bahwa dirinya memang berbeda dibandingkan masyarakat lainnya. Mereka merasa memiliki kewajiban untuk mengubah pandangan dan sikap masyarakat sesuai ilmu pengetahuan yang mereka miliki dari pesantren. Sementara itu, ilmu pengetahuan yang didapat dalam pesantren sangat sedikit mengenai wawasan kebangsaan, bahkan mungkin tidak ada. Mereka memang mempelajari Al Quran, Hadits, Tarikh, dan hal-hal lain yang sangat erat dengan kultur Arab. Akan tetapi, teramat kurang memahami kultur dan sejarah bangsa. Oleh sebab itu, tak heran dalam pikiran, sikap, dan perilakunya cenderung kearab-araban. Lihat saja dari cara mereka berpakaian, gayanya lebih ke Timur Tengah.

            Karena kurangnya wawasan kebangsaan, pesantren sangat rawan menjadi tempat perekrutan aktivitas terorisme. Para perekrut itu menggunakan bahasa Arab serta menukil ayat Al Quran   dan Hadits tentang kewajiban jihad di samping bergaya dan berpakaian sama dengan para santri. Kaum muda pesantren yang memiliki ghirah Islam tinggi menjadi merasa sangat dekat dengan para perekrut itu karena memiliki banyak kesamaan. Kemudian, meyakini bahwa para perekrut teroris itu adalah para mujahid ulung, pencari kesyahidan kelas kakap, jundullah nomor wahid. Padahal, ayat Al Quran, Hadits, tarikh, dan keterangan lainnya tentang jihad yang mereka ajarkan kepada para santri muda itu hanya sepotong-sepotong, malahan ada yang diputarbalikkan mirip sekali dengan kebiasaan orang Yahudi yang gemar memutarbalikkan fakta. Di samping itu, para santri muda lebih mendekat kepada para perekrut dan penghasut itu disebabkan pula oleh kenyataan bahwa orang-orang yang berasal dari luar pesantren, kemudian menduduki jabatan penting di Indonesia melakukan banyak kejahatan, misalnya, korupsi, kriminal, dan kejahatan dosa individual, seperti, pelacuran, judi, narkoba, dan mabuk-mabukan di samping melecehkan kaum santri. Perilaku buruk dari oknum penyelenggara negara tersebut memantapkan para santri dan aktivis Islam bahwa sesungguhnya merekalah yang lebih pantas mengelola negara. Jalan pintas untuk menguasai negara itu adalah tindakan terorisme. Mereka pun mengambil jalan pintas tersebut meskipun sesungguhnya mereka telah tertipu oleh para petualang busuk yang menggunakan Islam untuk membuat kekacauan di Indonesia. Orang-orang busuk itu jelas digerakkan syetan yang terdiri atas jin dan manusia untuk membuat kehidupan manusia tidak harmonis dan selalu dalam kekusutan.

       Dengan memperhatikan fenomena tersebut, menjadi sangat penting wawasan kebangsaan ditanamkan kepada para santri. Wawasan kebangsaan yang harus dikembangkan bukanlah sebagaimana yang sudah-sudah, perlu perubahan mendasar dalam materi dan penyampaiannya. Pemberian wawasan kebangsaan di kalangan pesantren bukanlah untuk “mencekoki” para santri dengan pemahaman kebangsaan yang hitam dan penuh dusta, melainkan untuk membuka mata para santri. Di samping itu, pengembangan wawasan kebangsaan tersebut dimaksudkan untuk lebih mendekatkan para santri dengan masyarakat umum dan negara agar lebih percaya diri dalam berperan serta membangun bangsa.

            Adalah kejahatan dusta yang telah terjadi puluhan tahun di negeri ini bahwa yang namanya materi wawasan kebangsaan dan atau wawasan nusantara berikut sejarahnya selalu mengecilkan bahkan menghilangkan peranan pesantren dalam perjalanan sejarah bangsa. Padahal, pesantren merupakan ujung tombak yang sangat kuat dan tajam dalam memerdekakan Negara Indonesia. Para pemimpin pesantren dan santrinya menyerukan jihad melawan penjajahan Belanda. Dengan teriakan Allahu Akbar, mereka bertaruh nyawa untuk kemerdekaan Indonesia. Kisah-kisah inilah yang tampaknya terhapus atau memang sengaja dihapus dalam berbagai materi mengenai kebangsaan di Indonesia.
             
            Kita semestinya berlaku jujur dalam mengisahkan perjalanan bangsa. Kalau pada masa Orde Baru, memang terasa sekali peranan umat Islam dari kalangan pesantren dihilangkan atau dikecilkan dalam memori anak-anak negeri. Hal itu disebabkan ada ketakutan terhadap Islam dan kepentingan politik tertentu yang tidak menghendaki kekuatan Islam untuk berperan serta membangun bangsa. Malahan, dalam banyak hal, kelompok-kelompok Islam dituduh sebagai pihak yang mengganggu kepentingan bangsa.
           
        Kita bisa memulai penambahan wawasan kebangsaan di kalangan pesantren dengan mengisahkan perjuangan pesantren dalam memerdekakan dan mempertahankan kedaulatan Negara Indonesia. Kita bisa mengetengahkan profil kaum santri yang nyata-nyata berperan teramat besar dalam membentuk Negara Indonesia. Para santri yang sudah nyata tersebut, misalnya, HOS Cokroaminoto, Haji Agus Salim, Mohamad Natsir, Buya Hamka, termasuk Ir. Soekarno, dan lain sebagainya. Berikan kisah yang jujur jangan dipotong-potong tentang orang-orang itu, jangan menghitamkan sejarah. Kemudian, kemukakan cita-cita orang itu dalam mengusir penjajah dan berperan besar dalam membentuk Negara Indonesia.
         
          Di samping itu, gali pula sejarah di tingkat lokal. Cari sejarah para santri yang menjadi pahlawan di tingkat lokal agar para santri pada zaman ini merasa terhubung dengan sejarah Indonesia. Misalnya, kisah Hasan Arif yang melakukan pemberontakan di Cimareme, Garut, Jawa Barat. Saya yakin orang-orang dan atau santri-santri Garut sendiri banyak yang tidak mengenalnya, apalagi santri se-Indonesia. Padahal, kisahnya heroik bukan main. Sejak remaja Hasan Arif sudah teramat berani menentang penjajahan meskipun sendirian. Ia menolak keras untuk melakukan kerja paksa yang diwajibkan oleh Belanda. Akibat dari penolakannya itu, ia bersitegang dengan kontrolir Belanda. Saking ngototnya Hasan Arif untuk meninggalkan kerja paksa, Sang Kontrolir Belanda mencabut pistol untuk menembaknya. Akan tetapi, Hasan Arif tidak gentar, matanya tetap nyalang menantang. Hasan Arif berhadap-hadapan dengan kontrolir Belanda itu, duel. Hasan Arif tak bersenjata apa pun, sedangkan kontrolir itu memegang pistol yang hanya tinggal menarik pelatuknya untuk menembak. Para penduduk kampung cemas terhadap keselamatan Hasan Arif karena pistol kontrolir itu bisa meletus sewaktu-waktu dan pelurunya membunuh Hasan Arif. Walaupun cemas, penduduk kampung tidak mampu melakukan apa pun karena takut oleh Belanda. Mereka hanya menonton ketegangan itu dalam kondisi yang tegang juga.

Akan tetapi, apa yang terjadi?

Tangan kontrolir Belanda itu tiba-tiba gemetar, tak mampu membuat pistolnya meletus. Hasan Arif pun dalam kondisi garang meninggalkan duel yang tertunda itu, pergi meninggalkan keinginan penjajah untuk melakukan kerja paksa.

Pada masa dewasanya, Haji Hasan Arif diserahi tugas oleh ayahnya untuk memimpin pesantren. Pada masa kepemimpinannya, ia mampu menolak membayar upeti berupa beras untuk kepentingan Belanda. Saat Belanda marah dan mengerahkan aparatnya, Haji Hasan Arif mengumpulkan seluruh santri berikut bekerja sama dengan pesantren se-wilayah Garut dan kota-kota di sekitarnya sehingga terbentuk pasukan jubah putih ribuan orang. Jubah putih itu berbahan kain kafan dengan maksud jika mati syahid, kain itulah yang akan menjadi pembungkus jasadnya.

Nah, kisah-kisah heroik kalangan pesantren semacam itu semestinya ada dalam materi wawasan kebangsaan. Dengan demikian, para santri sekarang akan merasa terhubung dengan para pendahulunya dalam memerdekakan dan membangun bangsa. Selain itu, mereka pun akan merasa dihargai karena merupakan kaum yang sangat penting dalam perjalanan sejarah bangsa.

Jika telah terhubung dan merasakan dengan benar bahwa para pendahulunya adalah pahlawan bangsa, mereka akan lebih memahami bahwa mereka harus meneruskan perjuangan para pendahulunya itu untuk mengisi kemerdekaan Indonesia dengan berbagai hal positif. Berbeda jika mereka selalu berada dalam kondisi terpinggirkan dan terlupakan atau sengaja dilupakan, para santri tidak merasakan adanya kewajiban untuk membangun bangsa Indonesia. Mereka akan langsung merasa sebagai warga dunia dan berupaya keras mewarnai dunia dengan ajaran Islam sampai Islam tegak di muka Bumi karena Islam itu bersifat universal. Adapun Indonesia hanyalah merupakan tempat tinggal dan lahir mereka secara administratif. Kalaupun mereka bekerja mencari nafkah, pekerjaan mereka hanyalah dianggap sebagai alat mencari uang, tidak untuk berperan serta membangun bangsa. Mereka merasa terikat secara emosional dan spiritual dengan umat Islam sedunia serta harus menjawab permasalahan dunia dengan ajaran Islam. Parahnya, jika Negara Indonesia dianggap sebagai batu sandungan untuk “bersaudara” dengan sesama muslim dunia, mereka pun akan menyepelekan Indonesia. Dalam kondisi seperti itu, mereka sangat rentan mendapat pengaruh buruk dari para perekrut teroris. Kalaupun tidak terpengaruh untuk melaksanakan aksi teror, minimal mereka akan menganggap bahwa Indonesia merupakan salah satu item yang harus “dibereskan” untuk kemudian diarahkan menjadi wilayah perwakilan kekuatan Islam dunia. Bahkan, sangat mungkin Indonesia tidak ada dalam agenda mereka untuk dibangun, hanya merupakan negeri biasa yang mudah sekali untuk ditinggalkan dan dilupakan kalau tidak bisa “diperbaiki”. Konsentrasi mereka langsung untuk menyerukan kebenaran Islam pada manusia di seluruh dunia. Padahal, untuk bisa menjalin ukhuwah dengan kaum muslim sedunia dan berperan banyak dalam menyelesaikan permasalahan kaum muslimin dunia bisa dimulai dengan berpartisipasi aktif dalam membangun bangsa dan Negara Indonesia.

Hal yang harus diperhatikan jika akan memberikan wawasan kebangsaan di pesantren adalah para pematerinya bukanlah politisi dan atau mereka yang berniat mencekoki pesantren dengan pemahaman baru yang akibatnya menjadi racun, baik bagi pesantren sendiri maupun bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Sebaiknya, orang-orangnya berasal dari pesantren sendiri atau setidak-tidaknya mengerti tentang pesantren, tetapi memiliki jiwa nasionalis. Dengan demikian, para santri akan lebih dekat dan lebih mudah menerima wawasan kebangsaan di pesantrennya.

Ingatkan para santri dan kita semua bahwa negeri Indonesia merdeka karena seruan jihad para pemimpin Islam di masjid-masjid dan teriakan Allahu Akbar para mujahid. Ingatkan pula teriakan Allahu Akbar Bung Tomo ketika membakar semangat massa. Jangan lupakan pula kisah Jenderal Besar Soedirman yang memegang erat tasbih sambil melafalkan Al Fatihah ketika berada di tengah hutan.

Dengan pemahaman kebangsaan tanpa menghitamkan sejarah dan membuka dengan jelas perjuangan kalangan pesantren, para santri akan memiliki filter yang lebih kuat dalam menangkal ajakan para perekrut teroris. Hal itu disebabkan para santri akan lebih memilih berjihad membangun bangsa daripada membuat suasana ketakutan di tengah masyarakat.

Itu pun jika memang benar-benar ingin menghapuskan terorisme di Indonesia, kalangan pesantren harus diikutsertakan aktif terlibat. Lain lagi jika setengah hati menanggulangi terorisme karena kegiatan teror itu bisa digunakan untuk mendapatkan kepentingan ekonomi dan politik.

Kalau cuma pura-pura mengatasi tindakan terorisme, padahal tetap memeliharanya, ya terserah elu aja deh.

No comments:

Post a Comment