Sunday, 21 October 2012

Keramah-tamahan Indonesia Bukan Mitos



oleh Tom Finaldin
 

Bandung, Putera Sang Surya

Budaya orang Indonesia itu luar biasa, tinggi bukan main. Orangnya juga ramah-ramah. Meskipun saat ini keramahan itu sudah mulai tergerus modernisasi dan demokrasi sehingga agak berkurang rasanya, sejatinya kita tetap bangsa yang ramah. Jika kita memiliki sistem politik yang mampu kembali mewujudkan keistimewaan budaya dan keramah-tamahan Indonesia dalam kehidupan nyata, niscaya hidup kita akan lebih tenang, berkualitas, dan menjadi anutan bangsa-bangsa lain di dunia.

            Meskipun sudah jelas bahwa budaya Indonesia itu luar biasa dan orangnya terbukti ramah-ramah, masih ada orang yang tidak meyakininya. Bahkan, orang Indonesia sendiri tidak merasa yakin. Soal kenyataan bahwa budaya Indonesia itu luar biasa, cukup kiranya jika tidak percaya sama saya, percaya saja sama Jaya Suprana. Ya benar, Jaya Suprana yang itu. Jaya Suprana yang menghargai karya anak-anak bangsa dengan Muri-nya. Ia mengatakan bahwa budaya Indonesia itu benar-benar luar biasa.

Menurutnya, sudah tidak perlu ada lagi pertanyaan seperti ini, “Apakah benar budaya Indonesia itu luar biasa?”

Kalau ada pertanyaan seperti itu, ia akan balik bertanya, “Kenapa Anda masih bertanya? Kok nanya sih?”

Pertanyaan tentang apakah budaya Indonesia itu tinggi dan luar biasa, jelas tak perlu dijawab karena sudah pasti jawabannya adalah benar bahwa budaya Indonesia itu bernilai tinggi dan luar biasa.

Soal budaya Indonesia itu sangat tinggi sudah saya tulis pada artikel yang lalu. Bahkan, saya membandingkannya dengan budaya barat. Hasilnya, budaya Indonesia itu lebih tinggi dibandingkan budaya barat. Di barat itu dikembangkan pemahaman budaya bahwa manusia harus menang mengalahkan alam, sedangkan di Indonesia manusia tidak boleh mengalahkan alam, tetapi manusia harus bermitra dengan alam.

Kalau Indonesia sekarang dirundung berbagai kesulitan, itu disebabkan kita yang ngikut-ngikut kebiasaan hidup orang barat yang penuh pertarungan dengan lingkungan sekitarnya, termasuk bersaing dengan manusia di luar dirinya. Padahal, kalau mau bahagia, kita harus kembali hidup seimbang dengan lingkungan sekitar, kemudian secara otomatis akan tercipta harmonisasi kehidupan dalam suasana gotong royong. Akan tetapi, bukan itu yang akan menjadi bahasan dalam tulisan kali ini.

Saya hanya ingin membuktikan bahwa orang Indonesia itu aslinya ramah-ramah. Soalnya, masih ada yang mengatakan bahwa keramahtamahan orang Indonesia itu hanya mitos. Tak tanggung-tanggung yang mengatakan bahwa keramahtamahan Indonesia itu hanya mitos adalah orang sekaliber Sudjiwo Tedjo,  dalang wayang kulit yang terkenal se-Indonesia itu. Ia dipandang budayawan hebat yang wajahnya sering tampil pada berbagai stasiun televisi.

Saya sungguh “patah hati” ketika menyaksikan Sudjiwo Tedjo mengatakan hal tersebut dalam acara talkshow di tvOne. Hal itu disebabkan saya orang yang suka banyak belajar, apalagi mengenai keluhuran budaya Indonesia. Oleh sebab itu, saya sangat ingin mendengar berbagai hal baru tentang budaya dari Mas Tedjo itu. Namun, sayang, saya jadi “patah hati”. Harapan tak sesuai kenyataan.

Sudjiwo Tedjo menjelaskan bahwa jangan-jangan sebutan orang Indonesia itu ramah-ramah hanya merupakan upaya “retorika” dari Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Ir. Soekarno untuk mempersatukan dan menguatkan Indonesia dalam melaksanakan revolusi melawan penjajahan Belanda. Memang Sudjiwo Tedjo memiliki cukup alasan untuk itu karena ternyata saat ini tawuran terjadi di mana-mana, baik itu di lingkungan pendidikan ataupun di kalangan masyarakat umum.

Di samping itu, ia merasa kurang yakin bahwa orang Indonesia ramah-ramah karena di Jawa dalam kisah-kisah masa lalu ada kalimat-kalimat penuh kekerasan yang diucapkan para tokohnya. Ia mencontohkan, kalau saya tidak salah, pada masa Ken Arok atau Amangkurat, ada kalimat ancaman kepada musuhnya yang diucapkan dalam bahasa Jawa yang kira-kira seperti ini artinya aku akan membunuhmu beserta seluruh keturunanmu sampai yang paling kecil. Sayang, saya tidak ingat redaksi bahasa Jawa-nya karena saya orang Sunda dan artinya pun sangat mungkin kurang tepat, tetapi maksudnya, saya pahami seperti itu. Sudjiwo Tedjo pun menegaskan bahwa kalimat keras penuh ancaman seperti itu hanya ada di Indonesia, maksudnya Jawa. Ia sama sekali tidak melihat ada kalimat-kalimat seperti itu di luar negeri. Ia menjelaskan di Jerman tidak ada kalimat semacam itu.

Okelah kalau begitu. Mari kita lihat yang sesungguhnya.

Orang Indonesia itu ramah-ramah sejak lahirnya. Kalaupun sekarang dirundung banyak kemalangan, tetap saja jiwa aslinya itu ramah-ramah. Memang untuk membuktikannya dengan lebih tepat mesti menggunakan survey yang bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga survey terpercaya. Akan tetapi, tanpa survey pun bisa dibuktikan bahwa orang Indonesia itu ramah-ramah. Kalaupun dilakukan survey, tetap saja hasilnya akan seperti yang saya pikirkan. Saya pasti 100% benar.

Begini Saudara Pembaca yang Ramah-ramah, dalam kehidupan dunia saat ini ketika jarak dan teritorial antarnegara tidak lagi menjadi hambatan berarti, bahkan disebut zaman borderless world, terjadi migrasi manusia. Orang luar negeri bisa pindah ke Indonesia untuk kemudian menetap menjadi warga Negara Indonesia. Demikian pula sebaliknya, orang Indonesia bisa pindah ke luar negeri, ke mana saja yang disukainya. Tentunya, setelah menyelesaikan banyak persyaratan. Nah, dari seluruh orang Indonesia yang pindah ke luar negeri, baik sementara maupun selamanya, sebagian besar alasan mereka adalah untuk mencari nafkah, ingin uang lebih banyak, dan mendapatkan pekerjaan yang di Indonesia tidak bisa didapatkan. Kalau bukan alasan ekonomi, mereka pindah karena menginginkan kebebasan yang di Indonesia tidak bisa dilakukan. Akan tetapi, biasanya, sudah menjadi kultur orang Indonesia, mereka sebagian besar pulang lagi ke Indonesia, kampung halamannya.

Saya tidak pernah mendengar ada orang Indonesia yang pergi lama atau pindah ke luar negeri dengan alasan bahwa di luar negeri itu orangnya baik-baik, ramah-ramah, dan alamnya menyenangkan. Pasti alasannya kalau bukan ekonomi, ya kebebasan sebebas-bebasnya.

Mari kita lihat sebaliknya. Kalau orang luar negeri pindah atau menetap lama di Indonesia alasannya selalu bahwa orang Indonesia itu ramah-ramah, baik-baik, dan alamnya menyenangkan.

Nggak percaya?

Tanya aja langsung sama mereka.

Adalah hal yang teramat menggelikan jika ada orang luar negeri yang pindah menetap ke Indonesia karena alasan ekonomi. Ajaib sekali jika mereka pindah ke Indonesia tujuannya adalah untuk mencari pekerjaan karena di negara asalnya tidak mendapatkan pekerjaan. Adalah keanehan yang membingungkan jika mereka datang ke Indonesia karena miskin di negaranya, lalu cari uang banyak di Indonesia.

Memang sih ada yang datang ke Indonesia dengan alasan pekerjaan, misalnya, pemain bola dan pegawai asing yang bekerja di perusahaan asing milik mereka yang ada di Indonesia. Akan tetapi, di samping jumlahnya sedikit, mereka itu kan bukan disebabkan kesulitan ekonomi datang ke Indonesia, melainkan keterampilannya dibutuhkan di Indonesia. Hal itu tidak ada hubungan dengan ramah-tidaknya orang Indonesia.

Orang-orang asing yang sudah terlalu lama di Indonesia biasanya betah dan berupaya keras menjadi warga Negara Indonesia. Alasannya sama, yaitu orangnya ramah-ramah dan baik-baik di samping sudah punya bisnis dan cinta di Indonesia. Mereka pun sampai matinya berada di Indonesia dan ingin dikubur pula di Indonesia. Berbeda dengan orang Indonesia yang pergi ke luar negeri, dalam hatinya selalu ingin pulang dan ingin mati dikubur di Indonesia.

Iya kan?

Nggak percaya?

Tanya saja pada hati diri sendiri. Jika Anda pergi lama ke luar negeri bertahun-tahun, pasti pada masa tuanya ingin berada di Indonesia dan mati dikubur di Indonesia. Berbeda dengan orang luar negeri yang sudah lama di Indonesia, tak ingin kembali ke negaranya, dikubur pun ingin di Indonesia.

Benar kan?

Ada artis Indonesia yang kuliah di Amerika Serikat yang selalu senang jika pulang ke Indonesia karena di Indonesia itu orangnya selalu tersenyum kalau bertemu berpapasan. Berbeda dengan di Amerika Serikat yang boro-boro tersenyum, apalagi nyapa, nengok pun nggak. Begitu katanya. Duh, saya lupa nama artisnya, itu tuh yang ngomong bahasa Indonesia-nya menggunakan dialek Amerika Serikat.

Memang benar orang Indonesia itu mudah tersenyum, apalagi kalau di pedesaan. Walaupun jika kita terkesan bersikap agak sombong sedikit, mereka tetap menyapa. Ini benar, pengalaman. Saya berkali-kali ke daerah Kuningan dekat Gunung Ciremai. Setiap selesai shalat Shubuh, saya jalan-jalan menghirup udara yang sangat segar. Saat jalan-jalan itu banyak sekali orang yang tersenyum dan menyapa, padahal sama sekali tidak saya kenal.

Kalimat yang diucapkan mereka hampir selalu sama, yaitu bertanya basa-basi, “Bade ka cai, Pa? (Mau ke air, Pak?)”

Ka cai atau ke air yang dimaksudkan mereka itu seperti kita ke kamar mandi atau berwudhu. Memang di daerah sana masih sangat banyak rumah yang tidak memiliki kamar mandi. Oleh sebab itu, kalau ingin mandi, wudhu, bersih-bersih, dan mendapatkan air, harus ke luar rumah menuju pancuran air yang bisa dipergunakan bersama-sama warga lainnya.

Sepanjang saya jalan-jalan, sepanjang itu pula orang-orang yang berpapasan selalu tersenyum sambil bertanya dalam kalimat yang sama, “Bade ka cai, Pa?

Demikianlah, walaupun dilakukan survey, hasilnya pasti sama bahwa orang Indonesia itu ramah-ramah. Saya pasti benar.

Sekarang mari kita lihat kalimat ancaman seperti yang diucapkan Sudjiwo Tedjo ketika zamannya Ken Arok atau Amangkurat yang akan membunuh musuh beserta keluarga dan keturunannya itu.

Sungguh, saya orang Sunda. Di Sunda tidak pernah saya mendengar ada sumpah permusuhan seperti itu yang akan membunuh musuh sampai keturunannya yang paling akhir. Mungkin juga ada, tetapi saya tidak tahu karena tidak pernah mendengarnya. Yang ada paling-paling sumpah untuk tidak melakukan sesuatu sampai tujuh generasi. Misalnya, kakek saya sebelum meninggal berpesan bahwa tujuh turunan ulah nyekel pestol, ‘tujuh generasi dilarang memegang pistol’. Maksudnya, tujuh keturunan yang dimulai dari anaknya, yaitu ibu saya, sampai keturunan yang ketujuh, jangan ada yang memegang pistol. Kakek saya tidak ingin keturunannya seperti dirinya yang kalau tidak membunuh, ya dibunuh. Kakek saya kan anggota TNI masa lalu yang hidup dalam zaman pertempuran.

Ada juga contoh lain, tetangga saya, Pak RW, diamanatkan oleh orangtuanya bahwa tujuh turunan ulah urusan jeung pulisi, ‘tujuh generasi jangan berurusan dengan polisi’. Kabarnya sih, dia pernah punya pengalaman buruk berurusan dengan polisi yang saya tidak ingin menceriterakannya. Lagian, kejadiannya waktu Pak RW itu masih kecil dan saya sendiri belum lahir.

Ya sudah, saya tidak berniat membandingkan antara sumpah yang ada di Jawa dengan yang ada di Sunda. Begini saja. Saya yakin kok meskipun zaman Ken Arok atau Amangkurat ada kalimat ancaman kejam dan sadis seperti itu, kenyataannya tidak pernah terjadi. Kalau di Sunda, kalimat semacam itu disebut ngagos, ‘menggertak’, dan menunjukkan kemarahan luar biasa. Kalau dalam permainan kartu di kalangan anak muda Sunda, disebut ngakik, ‘membuat lawan merasa terjepit’ hinga nyalinya ciut. Akan tetapi, ya cuma segitu. Nggak pernah terlaksana dengan nyata. Rasa-rasanya, di Indonesia ini tak pernah ada yang terus-terusan bermusuhan saling bunuh sepanjang tujuh generasi. Malahan, para keturunannya itu bisa jadi menjalin hubungan yang lebih baik sambil sama-sama berusaha melupakan kisah masa lalu yang buruk.

Nah, sekarang mari kita periksa lagi kata-kata Sudjiwo Tedjo yang lainnya. Katanya, di luar negeri tidak ada kalimat ancaman mengerikan seperti di Jawa. Menurutnya, tidak ada kalimat semacam itu di Jerman.

Kalau berbicara Jerman, mari kita kenang Adolf Hitler.

Nah, lho. Mulai deh panas dingin ngomongin Hitler.

Hitler itu habis-habisan membantai kaum Yahudi sampai ke bayi-bayinya. Yang dilakukan Hitler itu merupakan pembersihan etnis. Memang di Jerman nggak ada kalimat semacam di Jawa itu, tetapi kekejamannya sadis pisaaan…!

Okelah, kata banyak orang kisah Hitler membantai Yahudi itu hanya rekaan Yahudi agar dunia merasa kasihan kepada mereka hingga bisa ditempatkan di wilayah Palestina sekarang. Memang kenyataannya Yahudi berhasil kok memanipulasi dunia.  Akan tetapi, meskipun demikian, Hitler dan Nazi-nya itu yang pasti adalah menyerang negara-negara di sekitarnya dan tentu saja melakukan banyak pembunuhan karena merasa bahwa Jerman adalah Ras Aria, ras terunggul di dunia yang paling berhak memerintah dunia.

Jadi, jangan memuji-muji Jerman. Wong mereka itu seperti itu.

Ngaco kan ketika mereka menganggap diri sebagai ras terunggul di dunia, iya kan?

Akan tetapi, yang lebih ngaco lagi adalah orang-orang Indonesia yang menganggap bahwa bangsa Jerman lebih beradab dibandingkan orang Indonesia. 

Mau lebih beradab bagaimana, wong dirinya menganggap ras terunggul di dunia?

Memangnya mereka bikin request sama Tuhan sebelum lahir ke dunia untuk dijadikan bangsa Jerman?

Siapa orangnya yang bisa pesan sama Tuhan untuk menjadi bangsa tertentu?

Tuhan sendiri kok yang punya kebijaksanaan Si A menjadi bangsa itu, Si B jadi bangsa ini, Si C jadi bangsa anu. Ngaco jika menganggap diri merupakan ras atau keturunan terhebat di muka Bumi. Lebih ngaco lagi jika menganggap orang ngaco sebagai orang yang lebih beradab dibandingkan dirinya.

Ah, itu kan cuma Jerman, negara luar yang lain tidak seperti itu. Mereka itu orang-orang dari negara maju yang patut kita tiru

Mungkin ada orang yang mengatakan seperti itu.

Oke, kalau masih juga gemar mengekor kelakuan orang asing, saya kasih tahu lagi. Seluruh Eropa itu dipenuhi dengan sejarah pertikaian dan pertarungan yang teramat mengerikan dan dahsyat. Presiden RI ke-1 Ir. Soekarno menggambarkannya seperti ketel penuh minyak yang mendidih panas sekali.
 
Amerika Serikat?

Wah, sampai sekarang dia masih membunuhi orang-orang sambil ngajak negara sekutunya untuk menyerang negeri orang. Ngomongnya aja polisi dunia, tetapi Irak dan Afghanistan yang telah dikuasainya tidak pernah ada kata aman dan tenteram. Sampai sekarang kusut melulu, terus ikut-ikutan lagi manas-manasin Suriah.

AS itu memang gemar bertengkar, seperti kata penyair dunia Kahlil Gibran yang mengatakan bahwa orang-orang Amerika itu terlalu bising, gemar keributan, sering bertengkar, gampang marah, dan mudah membunuh. Oleh sebab itu, ia memilih pulang dari Amerika  ke kampung halamannya di Libanon. Padahal, Libanon itu diberitakan sebagai wilayah yang tidak aman, tetapi Gibran merasa nyaman meskipun dia bukan seorang muslim.

Nah, kita yang ramah-ramah ini sangat tidak patut meniru orang-orang yang gemar ribut, bertikai, banyak bohong, dan rakus.

Jadi, keramahtamahan orang-orang Indonesia itu bukan mitos. Asli bukan mitos.

Percaya deh sama saya.

Dengan kekuatan senyum dan keramahan, kita akan menjadi bangsa paling beradab di muka Bumi ini. Kuncinya, jangan terlalu sering menoleh apalagi ngikutin perilaku dan hasil pikiran orang-orang luar negeri yang punya banyak kekusutan itu. Percaya saja sama diri sendiri sambil berdoa kepada Allah swt, niscaya jalan-jalan kebaikan akan ditunjukkan-Nya untuk kita semua.

Insyaallah. Amin. Demi Allah swt.

No comments:

Post a Comment