Friday, 7 September 2012

The Best among The Worst


oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Yang terbaik di antara yang terburuk. Begitulah yang diucapkan banyak tokoh nasional mengenai demokrasi. Kata-kata itu banyak meluncur dari mulut para elit politik, sedangkan dari akademisi tidak begitu banyak meskipun tetap ada.
            Saya bersyukur mereka mengatakan hal seperti itu. Hal tersebut menunjukkan bahwa mereka mulai paham bahwa demokrasi itu bukanlah sistem politik terhebat, terbaik, atau teragung. Mereka sadar bahwa demokrasi merupakan sistem politik yang buruk, tetapi harus tetap dilakukan. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa demokrasi adalah necessary evil artinya kejahatan yang diperlukan.
            Kalau yang mengatakan hal-hal seperti itu dari kalangan politisi atau pejabat, cukup wajar karena mereka adalah orang-orang yang terlalu disibukkan dengan kekuasaan yang kerap mengkhianati ilmu pengetahuan. Akan tetapi, jika yang mengatakan hal-hal seperti itu adalah akademisi, namanya keterlaluan, kebangetan. Akademisi tidak boleh mengatakan hal seperti itu. Mereka harus berupaya keras mencari jalan keluar dengan menggunakan metode-metode ilmiah agar didapat hal-hal yang terbaik di antara yang paling baik, bukan yang terbaik di antara yang paling buruk. Haram hukumnya bagi mereka untuk mengatakan kejahatan yang diperlukan,  seharusnya mereka mencari dan mendapatkan kebaikan yang harus dilakukan.
            Kalimat semacam the best among the worst atau neccesarry evil sepertinya sudah merupakan kalimat yang dimaklumi banyak orang untuk diucapkan. Orang bersikap biasa-biasa saja. Malahan, begonya, ada yang bangga bisa tahu ada pemeo seperti itu. Akan tetapi, kalimat-kalimat seperti itu sesungguhnya menunjukkan bahwa orang yang mengucapkannya mengakui dengan tegas bahwa dirinya teramat bodoh.
            Sungguh disayangkan jika para tokoh kita di tanah Ibu Pertiwi itu mengucapkan hal-hal yang menunjukkan pengakuan tentang kelemahan dirinya. Dengan mengatakan bahwa demokrasi merupakan sistem yang terbaik di antara sistem-sistem yang paling buruk jelas menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki pilihan lain, kecuali demokrasi. Hal tersebut pun menggambarkan dengan tegas bahwa mereka bisanya hanya  memilih  yang sudah ada. Mereka pandainya cuma mencari lalu menggunakan  yang sudah ada. Kuliah lama-lama, mahal-mahal, baik di dalam maupun di luar negeri, gelarnya profesor doktor ditambah Phd., tetapi hasilnya cuma bisa memilih, mencari, dan mengekor pendapat orang, orangnya orang asing kapitalis lagi, yang punya catatan pengalaman hidup yang buruk terhadap kemanusiaan.
Ah, masa sih mereka bisanya cuma segitu?
Atau mereka yang punya banyak gelar dengan kuliah lama-lama dan mahal-mahal itu tujuannya cuma cari uang?
Ah, masa sih serendah itu kualitas mereka?
Kalau cuma cari uang mah nggak perlu pintar-pintar kuliah atuh euy, nggak perlu banyak melakukan penelitian. Saya bisa menebak bahwa yang namanya Ayu Tingting, Sule, apalagi Tukul Arwana lebih kaya raya dibandingkan orang yang kuliahnya habis-habisan itu. Padahal, para artis itu tidak tinggi-tinggi amat sekolahnya, biasa saja, ranking sepuluh besar  di kelasnya aja mungkin nggak. Jadi, salah tuh kalau belajar atau kuliah tujuannya cuma cari uang.
Nih, saya kasih tahu bahwa tujuan belajar atau kuliah itu adalah agar menjadi orang yang mampu beradaptasi dengan lingkungannya, lalu bermanfaat, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Begitu bro. Jangan dihubung-hubungkan dengan uang atau kekayaan karena rezeki itu sudah diatur dari sononya, sebelum kita gubrak lahir ke dunia.
Kalau dalam ajaran Islam, belajar itu hukumnya wajib. Jadi, sekolah atau kuliah itu harus dalam rangka mengabdikan diri kepada Allah swt, bukan untuk cari uang atau ketenaran. Karena kita belajar itu dalam rangka mengabdikan diri kepada Allah swt, maka Allah swt akan memberikan kemuliaan bagi kita sesuai dengan kehendak-Nya. Kan gitu mestinya.
Kembali ke soal demokrasi yang kampungan itu. Dengan munculnya kalimat-kalimat semacam the best among the worst, necessary evil, atau yang sejenisnya, kita bisa mengukur bahwa kualitas para tokoh, baik politisi maupun akademisi kita masih pengecut untuk menciptakan atau melahirkan pemikiran sendiri. Bisanya baru menjiplak cara-cara hidup orang lain, padahal Allah swt menganugerahkan Indonesia dengan kekayaan nilai-nilai luhur yang luar biasa agung. Kita bisa membuat konstruksi sistem politik kita dengan cara-cara kita sendiri dengan nilai-nilai luhur yang dianugerahkan Allah swt sejak dalam kandungan itu.
Sungguh nggak masuk di akal jika Allah swt hanya memberikan petunjuk bagi kita tentang sistem politik itu yang buruk-buruk tanpa ada yang terbaik di antara yang paling baik. Adalah penghinaan kepada Allah swt jika kita berpandangan bahwa tak ada lagi sistem politik, kecuali yang paling baik di antara yang terburuk.
Masa sih Allah swt hanya memberikan petunjuk-petunjuk yang buruk tanpa ada yang terbaik?
Sungguh tidak masuk akal, tidak nyambung dengan ilmu pengetahuan, dan tidak bisa dipahami dengan keimanan.
Sudah tinggalkan saja kebiasaan memuji-muji pikiran-pikiran atau teori-teori barat, nggak ada gunanya diteruskan. Gali-gali dalam diri sendiri, jalan itu pasti ada, asal serius mencari. Insyaallah, Allah swt akan memberikan petunjuk.
Para profesor, doktor, sarjana, budayawan, rohaniwan, dan para pemikir lainnya harus berada di depan untuk memikirkan jalan yang terbaik mewujudkan sistem politik yang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia.
Masa sih tidak bisa?
Kalau tidak bisa, berarti di dalam diri kita masih banyak kekotoran diri akibat dari kecintaan kepada pemikiran orang lain dan pandangan-pandang hidup yang pragmatis-materialistis.
Kita mesti serius dan sungguh-sungguh berpikir jika ingin menyelamatkan Indonesia yang kusut samut ini. Teladani Pemimpin Besar Revolusi Ir. Soekarno yang berpikir keras untuk mencari dasar negeri ini. Soekarno pada malam-malam buta yang dingin berjalan sendirian menuju kebun di belakang rumahnya. Ia menggali dan terus menggali di dalam ciptanya untuk menyusun Dasar Negara Republik Indonesia sambil terus berdoa kepada Allah swt. Akhirnya, Allah swt memberinya petunjuk berupa Pancasila yang kita kenal sekarang ini.
Nggak percaya jika Soekarno mendapatkan pengalaman spiritual hingga lahir Pancasila?
Baca saja sendiri pidato Soekarno 1 Juni 1945. Ia menceriterakan bagaimana mendapatkan keyakinan bahwa Allah swt memberinya petunjuk berupa Pancasila pada malam buta di kebun belakang rumahnya.
Jika seluruh elemen bangsa ini serius, sebagaimana Ir. Soekarno serius mencari jalan keluar untuk kebaikan bangsa ini tanpa ada kepentingan pragmatis-materialistis, kita akan mendapatkan bahwa Allah swt sangat menyayangi negeri ini, kemudian memberikan petunjuk berupa sistem politik terbaik bagi negeri ini. Sistem politik yang jauh lebih hebat dan lebih mulia dibandingkan sistem politik demokrasi yang kotor hasil pikiran orang-orang Yunani bingung pada enam ratus tahun sebelum Yesus lahir itu. Kekotoran dan kejahatan demokrasi semakin menjadi-jadi seiring dengan berjalannya waktu hingga menghina serta merusakkan manusia dan kemanusiaan.
Cari dan gali bersama dari nilai-nilai sendiri, Insyaallah, kita akan mendapatkan banyak petunjuk kebaikan. Dari beragam kebaikan itu, kita akan mendapatkan yang terbaik di antara yang paling baik.
Tinggalkan itu kalimat the best among the worst atau necessary evil, karena itu menunjukkan kepengecutan diri untuk menciptakan yang terbaik sekaligus memperlihatkan kepandiran kita dalam menunjukkan kehebatan diri sebagai orang yang banyak diberi anugerah oleh Allah swt.  
Do the best, then say this is my way.

No comments:

Post a Comment