oleh Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Yang
terbaik di antara yang terburuk. Begitulah yang
diucapkan banyak tokoh nasional mengenai demokrasi. Kata-kata itu banyak
meluncur dari mulut para elit politik, sedangkan dari akademisi tidak begitu
banyak meskipun tetap ada.
Saya bersyukur mereka mengatakan hal seperti itu. Hal
tersebut menunjukkan bahwa mereka mulai paham bahwa demokrasi itu bukanlah sistem
politik terhebat, terbaik, atau teragung. Mereka sadar bahwa demokrasi
merupakan sistem politik yang buruk, tetapi harus tetap dilakukan. Bahkan, ada
yang mengatakan bahwa demokrasi adalah necessary
evil artinya kejahatan yang
diperlukan.
Kalau yang mengatakan hal-hal seperti itu dari kalangan
politisi atau pejabat, cukup wajar karena mereka adalah orang-orang yang
terlalu disibukkan dengan kekuasaan yang kerap mengkhianati ilmu pengetahuan.
Akan tetapi, jika yang mengatakan hal-hal seperti itu adalah akademisi, namanya
keterlaluan, kebangetan. Akademisi
tidak boleh mengatakan hal seperti itu. Mereka harus berupaya keras mencari
jalan keluar dengan menggunakan metode-metode ilmiah agar didapat hal-hal yang terbaik
di antara yang paling baik, bukan yang
terbaik di antara yang paling buruk. Haram hukumnya bagi mereka untuk
mengatakan kejahatan yang diperlukan, seharusnya mereka mencari dan mendapatkan kebaikan yang harus dilakukan.
Kalimat semacam the
best among the worst atau neccesarry
evil sepertinya sudah merupakan kalimat yang dimaklumi banyak orang untuk
diucapkan. Orang bersikap biasa-biasa saja. Malahan, begonya, ada yang bangga
bisa tahu ada pemeo seperti itu. Akan tetapi, kalimat-kalimat seperti itu
sesungguhnya menunjukkan bahwa orang yang mengucapkannya mengakui dengan tegas
bahwa dirinya teramat bodoh.
Sungguh disayangkan jika para tokoh kita di tanah Ibu
Pertiwi itu mengucapkan hal-hal yang menunjukkan pengakuan tentang kelemahan
dirinya. Dengan mengatakan bahwa demokrasi merupakan sistem yang terbaik di
antara sistem-sistem yang paling buruk jelas menunjukkan bahwa mereka tidak
memiliki pilihan lain, kecuali demokrasi. Hal tersebut pun menggambarkan dengan
tegas bahwa mereka bisanya hanya memilih yang sudah ada. Mereka pandainya cuma mencari lalu menggunakan yang sudah ada.
Kuliah lama-lama, mahal-mahal, baik di dalam maupun di luar negeri, gelarnya
profesor doktor ditambah Phd., tetapi hasilnya cuma bisa memilih, mencari, dan
mengekor pendapat orang, orangnya orang asing kapitalis lagi, yang punya
catatan pengalaman hidup yang buruk terhadap kemanusiaan.
Ah,
masa sih mereka bisanya cuma segitu?
Atau
mereka yang punya banyak gelar dengan kuliah lama-lama dan mahal-mahal itu
tujuannya cuma cari uang?
Ah,
masa sih serendah itu kualitas mereka?
Kalau
cuma cari uang mah nggak perlu pintar-pintar kuliah atuh euy, nggak perlu banyak melakukan penelitian. Saya bisa menebak
bahwa yang namanya Ayu Tingting, Sule,
apalagi Tukul Arwana lebih kaya raya
dibandingkan orang yang kuliahnya habis-habisan itu. Padahal, para artis itu
tidak tinggi-tinggi amat sekolahnya, biasa saja, ranking sepuluh besar di kelasnya aja mungkin nggak. Jadi, salah
tuh kalau belajar atau kuliah tujuannya cuma cari uang.
Nih,
saya kasih tahu bahwa tujuan belajar atau kuliah itu adalah agar menjadi orang yang mampu beradaptasi
dengan lingkungannya, lalu bermanfaat, baik bagi dirinya sendiri maupun orang
lain. Begitu bro. Jangan dihubung-hubungkan dengan uang atau kekayaan karena
rezeki itu sudah diatur dari sononya,
sebelum kita gubrak lahir ke dunia.
Kalau
dalam ajaran Islam, belajar itu hukumnya wajib. Jadi, sekolah atau kuliah itu
harus dalam rangka mengabdikan diri kepada
Allah swt, bukan untuk cari uang atau ketenaran. Karena kita belajar itu
dalam rangka mengabdikan diri kepada Allah swt, maka Allah swt akan memberikan
kemuliaan bagi kita sesuai dengan kehendak-Nya. Kan gitu mestinya.
Kembali
ke soal demokrasi yang kampungan itu. Dengan munculnya kalimat-kalimat semacam the best among the worst, necessary evil, atau
yang sejenisnya, kita bisa mengukur bahwa kualitas para tokoh, baik politisi
maupun akademisi kita masih pengecut untuk
menciptakan atau melahirkan pemikiran sendiri. Bisanya baru menjiplak cara-cara
hidup orang lain, padahal Allah swt menganugerahkan Indonesia dengan kekayaan
nilai-nilai luhur yang luar biasa agung. Kita bisa membuat konstruksi sistem
politik kita dengan cara-cara kita sendiri dengan nilai-nilai luhur yang
dianugerahkan Allah swt sejak dalam kandungan itu.
Sungguh
nggak masuk di akal jika Allah swt hanya memberikan petunjuk bagi kita tentang
sistem politik itu yang buruk-buruk tanpa ada yang terbaik di antara yang paling baik. Adalah penghinaan kepada Allah
swt jika kita berpandangan bahwa tak ada lagi sistem politik, kecuali yang
paling baik di antara yang terburuk.
Masa
sih Allah swt hanya memberikan petunjuk-petunjuk yang buruk tanpa ada yang
terbaik?
Sungguh
tidak masuk akal, tidak nyambung dengan ilmu pengetahuan, dan tidak bisa
dipahami dengan keimanan.
Sudah
tinggalkan saja kebiasaan memuji-muji pikiran-pikiran atau teori-teori barat,
nggak ada gunanya diteruskan. Gali-gali dalam diri sendiri, jalan itu pasti
ada, asal serius mencari. Insyaallah, Allah
swt akan memberikan petunjuk.
Para
profesor, doktor, sarjana, budayawan, rohaniwan, dan para pemikir lainnya harus
berada di depan untuk memikirkan jalan yang terbaik mewujudkan sistem politik
yang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia.
Masa
sih tidak bisa?
Kalau
tidak bisa, berarti di dalam diri kita masih banyak kekotoran diri akibat dari
kecintaan kepada pemikiran orang lain dan pandangan-pandang hidup yang
pragmatis-materialistis.
Kita
mesti serius dan sungguh-sungguh berpikir jika ingin menyelamatkan Indonesia
yang kusut samut ini. Teladani Pemimpin Besar Revolusi Ir. Soekarno yang
berpikir keras untuk mencari dasar negeri ini. Soekarno pada malam-malam buta
yang dingin berjalan sendirian menuju kebun di belakang rumahnya. Ia menggali
dan terus menggali di dalam ciptanya untuk menyusun Dasar Negara Republik
Indonesia sambil terus berdoa kepada Allah swt. Akhirnya, Allah swt memberinya
petunjuk berupa Pancasila yang kita
kenal sekarang ini.
Nggak
percaya jika Soekarno mendapatkan pengalaman spiritual hingga lahir Pancasila?
Baca
saja sendiri pidato Soekarno 1 Juni 1945. Ia menceriterakan bagaimana
mendapatkan keyakinan bahwa Allah swt memberinya petunjuk berupa Pancasila pada
malam buta di kebun belakang rumahnya.
Jika
seluruh elemen bangsa ini serius, sebagaimana Ir. Soekarno serius mencari jalan
keluar untuk kebaikan bangsa ini tanpa ada kepentingan pragmatis-materialistis,
kita akan mendapatkan bahwa Allah swt sangat menyayangi negeri ini, kemudian
memberikan petunjuk berupa sistem politik terbaik bagi negeri ini. Sistem
politik yang jauh lebih hebat dan lebih mulia dibandingkan sistem politik
demokrasi yang kotor hasil pikiran orang-orang Yunani bingung pada enam ratus
tahun sebelum Yesus lahir itu. Kekotoran dan kejahatan demokrasi semakin
menjadi-jadi seiring dengan berjalannya waktu hingga menghina serta merusakkan
manusia dan kemanusiaan.
Cari
dan gali bersama dari nilai-nilai sendiri, Insyaallah,
kita akan mendapatkan banyak petunjuk kebaikan. Dari beragam kebaikan itu, kita
akan mendapatkan yang terbaik di antara yang
paling baik.
Tinggalkan
itu kalimat the best among the worst atau
necessary evil, karena itu
menunjukkan kepengecutan diri untuk menciptakan yang terbaik sekaligus
memperlihatkan kepandiran kita dalam menunjukkan kehebatan diri sebagai orang
yang banyak diberi anugerah oleh Allah swt.
Do the best, then say this is my way.
Do the best, then say this is my way.
No comments:
Post a Comment