Friday 7 September 2012

Tak Adil


oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya
Terlalu sering kita berbuat tidak adil. Jangankan bertindak, berpikir saja sudah sering sangat tidak adil. Karena sering berpikir dan berpendapat tidak adil, kita sering pula kehilangan banyak keuntungan atau manfaat dari sesuatu yang menjadi perhatian kita.
Supaya tidak pusing, saya berikan contoh bagaimana seringnya kita berpikir tidak adil. Begini Saudara sekalian, ada banyak penceramah, ustadz, ahli bimbingan konseling yang memiliki ilmu bermanfaat bagi banyak orang menjadi tidak bermanfaat. Hal itu disebabkan kita menginginkan orang-orang yang kita perhatikan itu merupakan sosok yang sangat sempurna. Dalam arti sangat sempurna menurut ukuran kita, bukan menurut ukuran Allah swt. Banyak sekali cibiran kepada para penyampai kebenaran, baik itu ahli agama, ahli ilmu jiwa, atau ahli kemasyarakatan. Kita tidak bisa menerima ilmu pengetahuan atau nasihat dengan baik jika ada ustadz, kiyai, atau konselor yang memiliki keluarga tidak beres, tidak berperilaku sesuai dengan nasihat-nasihatnya sendiri. Misalnya, saya merasa prihatin atas cibiran masyarakat kepada seorang penceramah agama Islam hanya karena memiliki anak perempuan perawan yang gemar menggunakan celana pendek, seksi. Saya pun amat menyayangkan ketidakpercayaan masyarakat kepada seorang ahli konseling hanya karena istrinya sering menyakiti hati orang lain. Padahal, antara dia dengan keluarganya adalah merupakan sosok berbeda yang memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing di hadapan Allah swt. Memang di antara mereka memiliki keterkaitan yang tidak terpisahkan, tetapi mereka adalah individu yang berbeda. Akibat dari cibiran dan ketidakpercayaan kita, kita tidak dapat mengambil manfaat dari para ahli itu.
Kita tidak bisa menimpakan kesalahan keluarga atau orang terdekat Sang Ahli kepada Sang Ahli tersebut karena mereka memiliki jalan hidup masing-masing. Allah swt saja dalam dalam Al Quran teramat sering mengisahkan para anggota keluarga nabi dan rasul yang mendapatkan hukuman karena tidak sejalan dengan perilaku suaminya. Bahkan, ada yang mendapatkan tindakan keras dari Allah swt secara langsung. Hal itu menunjukkan bahwa banyak anggota keluarga para nabi yang tidak sesuai dengan ajaran Sang Nabi tersebut. Artinya, kita tidak bisa mencibir atau tidak meyakini ajaran para nabi tersebut hanya karena memiliki anggota keluarga yang menyimpang dari ajaran Sang Nabi. Misalnya, kita tidak bisa mendustakan kenabian Luth as hanya karena memiliki istri yang tidak patuh kepadanya dengan alasan “bisa aja menasihati orang lain, mengurus rumah tangga sendiri saja tidak bisa”. Kita tahu bahwa istri Nabi Luth as dihukum Allah swt secara langsung di dunia ini menjadi batu dan batu itu bisa dilihat siapa saja sampai sekarang.
Dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara pun, kita sangat sering tidak adil. Celakanya, perilaku berpikir dan bertindak tidak adil ini bukan saja dilakukan oleh kalangan rakyat yang memiliki informasi dan kewenangan pas-pasan, melainkan pula dilakukan oleh mereka yang menduduki jabatan-jabatan tinggi dalam pemerintahan. Misalnya, ini benar-benar terjadi yang membuat saya merasa aneh sekaligus ingin tertawa terbahak-bahak. Bupati Bandung Dadang Naser pernah mengeluh karena orang-orang pemerintah pusat mendatangkan pejabat tinggi dari sebuah kabupaten di Sulawesi ke Kabupaten Bandung. Orang-orang pusat itu meminta Kabupaten Bandung belajar dari keberhasilan sebuah kabupaten di Sulawesi tersebut soal e-KTP.  Wilayah itu sudah secara sempurna berhasil 100% melaksanakan e-KTP. Awalnya sih, Bupati Bandung gembira karena bisa belajar dari keberhasilan kabupaten lain. Akan tetapi, ia merasa kecewa karena ternyata keberhasilan kabupaten lain itu sangat tidak berimbang dengan kondisi Kabupaten Bandung. Wajar saja kabupaten di Sulawesi itu berhasil karena ternyata hanya memiliki penduduk sejumlah 67 ribu jiwa, sedangkan Kabupaten Bandung memiliki rakyat 3,2 juta jiwa. Jelas hal itu menunjukkan ketidakadilan berpikir orang-orang pusat.
Bagaimana bisa mereka mengatakan bahwa kabupaten yang hanya berpenduduk puluhan ribu lebih berhasil dibandingkan kabupaten yang berpenduduk jutaan jiwa?
Kalau diukur dari jumlah penduduk, Kabupaten Bandung lebih berhasil karena telah menyelesaikan ratusan ribu e-KTP. Nggak perlu belajar dari yang penduduknya di bawah seratus ribu. Kalau mau belajar, ya   harus dari wilayah-wilayah yang berjumlah penduduk setara dengan Kabupaten Bandung.
Hal yang sama pula terjadi dengan pembangunan pasar. Bupati Bandung Dadang Naser ingin belajar bagaimana caranya Jokowi mampu membangun pasar di Solo dengan biaya teramat murah, yaitu 10 miliar. Dadang Naser pun melakukan studi banding ke wilayah yang dipimpin Jokowi. Akan tetapi, Dadang Naser lumayan kecewa karena pasar yang dibangun Jokowi kecil-kecil, jadi bisa sangat murah. Hal seperti itu tidak bisa dilakukan di Kabupaten Bandung yang memiliki wilayah teramat luas dan penduduk sangat banyak, jutaan. Biaya yang diperlukan Kabupaten Bandung untuk membangun sebuah pasar mencapai 120 miliar. Artinya, Kabupaten Bandung tidak bisa belajar dari Jokowi karena kondisinya berbeda. Cara Jokowi di Solo tidak bisa digunakan untuk di Kabupaten Bandung.
Hal itu menunjukkan bahwa setiap daerah memiliki masalah dan karakteristik berbeda. Demikian pula dengan sebuah kepemimpinan. Pemimpin yang berhasil di suatu daerah tidak bisa dikatakan mampu bisa berhasil memimpin daerah lain. Belum tentu, coy.
Saya sama sekali tidak mengecilkan Jokowi dan Ahok untuk memimpin Jakarta atau mengarahkan para pembaca untuk mendukung Fauzi Bowo dan Nara. Saya tidak ada urusan dengan itu. Yang saya harapkan dengan tulisan ini, kita, rakyat, mampu berpikir adil. Sama sekali tidak ada keuntungan bagi saya dengan dukung-mendukung salah satu pasangan calon. Toh, Fauzi Bowo jumlah suaranya jauh lebih jeblok dibandingkan Jokowi pada putaran pertama. Artinya, kepemimpinannya kemarin-kemarin menggusarkan banyak orang.
Saya tidak mendukung siapa pun karena pertama, saya bukan penduduk Jakarta, jadi tidak akan memilih mereka; kedua, kalaupun saya penduduk Jakarta, saya tidak akan memilih karena saya pembenci demokrasi; ketiga, saya sama sekali tidak yakin, baik Foke maupun Jokowi akan membuat perubahan yang berarti bagi Jakarta karena cara-cara yang dilakukan mereka adalah demokrasi, sedangkan sistem demokrasi itu adalah sistem korup yang memiliki banyak kejahatan terhadap kemanusiaan.
Sekali lagi, kita harus berpikir adil untuk segala sesuatu. Dengan berpikir adil, kita dapat bertindak dan berperilaku adil pula.
Tidak salah jika kita belajar dari pertandingan tinju dunia. Pertandingan ini lebih adil dibandingkan dengan sepak bola. Dalam tinju, ada pembagian kelas. Ada kelas bulu, kelas terbang, kelas ringan, sampai dengan kelas berat. Kita, Indonesia, punya juara dunia Daud Jordan dan Chris John. Mereka adalah juara. Akan tetapi, juara di kelasnya. Mereka tidak akan dapat berbuat banyak jika dipertandingkan di kelas berat. Hal itu disebabkan berbeda kelasnya. Adalah tidak adil jika juara kelas bulu dihadapkan dengan juara kelas berat. Chris John tak akan sebanding dengan Tyson. Demikian pula Daud Jordan tak sepadan dengan Evander Holyfield.
Mengenai kepemimpinan, adalah lebih baik kita belajar dari Orde Baru. Orde ini memang sangat memuakkan. Saya membencinya dan sangat tidak menyukainya. Akan tetapi, sekali lagi, kita harus adil. Meskipun Orde Baru memiliki banyak kekejian, sesungguhnya ada pula hal baik yang bisa kita kembangkan. Adalah tidak adil jika menganggap Orde Baru seluruhnya buruk. Memang buruk sih, tetapi kan tidak semuanya buruk. Misalnya, Soeharto jika akan mengangkat menteri dalam negeri, biasanya selalu menguji calonnya untuk menjadi gubernur di provinsi yang memiliki permasalahan hampir mirip dengan permasalahan nasional. Jika calonnya itu berhasil, Soeharto benar-benar akan menjadikannya menteri. Jika tidak, ya tidak jadi. Memang itu tidak ada dalam aturan tertulis, artinya tidak dipersyaratkan bahwa untuk menjadi menteri dalam negeri harus berhasil menjadi gubernur di provinsi yang memiliki permasalahan dan penduduk yang teramat kompleks. Hal itu hanya merupakan kebiasaan yang menjadi rahasia umum. Sayangnya, pada masa Soeharto amat kental dengan korupsi, kolusi, nepotisme, pembungkaman aspirasi, dan penghilangan aktivis.
Adalah hal teramat baik jika calon gubernur di provinsi mana pun merupakan kepala daerah yang sudah memiliki pengalaman dan keberhasilan yang baik di kota atau kabupaten yang memiliki permasalahan yang mirip dengan provinsi yang akan dipimpinnya. Jangan menggunakan demokrasi karena yang terjadi adalah maraknya politics bargaining dan money bargaining. Soal adu visi, itu mah soal kabaret atau sandiwara satu babak karena visi misi itu adanya di atas kertas, di dalam kepala, dan di mulut yang berbusa saat kampanye penuh dusta. Semua visi pasti isinya baik,  segala program pasti isinya indah, sebagaimana isi platform setiap partai yang penuh dengan keagungan. Akan tetapi, dalam menjalankan pemerintahan nyata, yang terlaksana adalah penyanderaan oleh berbagai kepentingan yang sama sekali membuat kepemimpinan untuk kemuliaan masyarakat menjadi sangat merosot dan rendah. Begitulah demokrasi yang dikeramatkan orang itu. Ngaco.
Kembali pada maksud tulisan ini. Kita hendaknya adil berpikir, adil berbicara sehingga mampu adil dalam membuat kebijakan dan bertindak, baik untuk diri sendiri, keluarga, maupun orang banyak.

No comments:

Post a Comment