oleh Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Terlalu sering kita
berbuat tidak adil. Jangankan bertindak, berpikir saja sudah sering sangat
tidak adil. Karena sering berpikir dan berpendapat tidak adil, kita sering pula
kehilangan banyak keuntungan atau manfaat dari sesuatu yang menjadi perhatian
kita.
Supaya
tidak pusing, saya berikan contoh bagaimana seringnya kita berpikir tidak adil.
Begini Saudara sekalian, ada banyak penceramah, ustadz, ahli bimbingan
konseling yang memiliki ilmu bermanfaat bagi banyak orang menjadi tidak
bermanfaat. Hal itu disebabkan kita menginginkan orang-orang yang kita
perhatikan itu merupakan sosok yang sangat sempurna. Dalam arti sangat sempurna
menurut ukuran kita, bukan menurut ukuran Allah swt. Banyak sekali cibiran
kepada para penyampai kebenaran, baik itu ahli agama, ahli ilmu jiwa, atau ahli
kemasyarakatan. Kita tidak bisa menerima ilmu pengetahuan atau nasihat dengan baik
jika ada ustadz, kiyai, atau konselor yang memiliki keluarga tidak beres, tidak
berperilaku sesuai dengan nasihat-nasihatnya sendiri. Misalnya, saya merasa
prihatin atas cibiran masyarakat kepada seorang penceramah agama Islam hanya
karena memiliki anak perempuan perawan yang gemar menggunakan celana pendek,
seksi. Saya pun amat menyayangkan ketidakpercayaan masyarakat kepada seorang
ahli konseling hanya karena istrinya sering menyakiti hati orang lain. Padahal,
antara dia dengan keluarganya adalah merupakan sosok berbeda yang memiliki
tugas dan tanggung jawab masing-masing di hadapan Allah swt. Memang di antara
mereka memiliki keterkaitan yang tidak terpisahkan, tetapi mereka adalah
individu yang berbeda. Akibat dari cibiran dan ketidakpercayaan kita, kita
tidak dapat mengambil manfaat dari para ahli itu.
Kita
tidak bisa menimpakan kesalahan keluarga atau orang terdekat Sang Ahli kepada
Sang Ahli tersebut karena mereka memiliki jalan hidup masing-masing. Allah swt
saja dalam dalam Al Quran teramat sering mengisahkan para anggota keluarga nabi
dan rasul yang mendapatkan hukuman karena tidak sejalan dengan perilaku
suaminya. Bahkan, ada yang mendapatkan tindakan keras dari Allah swt secara
langsung. Hal itu menunjukkan bahwa banyak anggota keluarga para nabi yang
tidak sesuai dengan ajaran Sang Nabi tersebut. Artinya, kita tidak bisa
mencibir atau tidak meyakini ajaran para nabi tersebut hanya karena memiliki anggota
keluarga yang menyimpang dari ajaran Sang Nabi. Misalnya, kita tidak bisa
mendustakan kenabian Luth as hanya
karena memiliki istri yang tidak patuh kepadanya dengan alasan “bisa aja menasihati orang lain, mengurus
rumah tangga sendiri saja tidak bisa”. Kita
tahu bahwa istri Nabi Luth as dihukum Allah swt secara langsung di dunia ini
menjadi batu dan batu itu bisa dilihat siapa saja sampai sekarang.
Dalam
menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara pun, kita sangat sering tidak
adil. Celakanya, perilaku berpikir dan bertindak tidak adil ini bukan saja
dilakukan oleh kalangan rakyat yang memiliki informasi dan kewenangan
pas-pasan, melainkan pula dilakukan oleh mereka yang menduduki jabatan-jabatan
tinggi dalam pemerintahan. Misalnya, ini benar-benar terjadi yang membuat saya
merasa aneh sekaligus ingin tertawa terbahak-bahak. Bupati Bandung Dadang Naser
pernah mengeluh karena orang-orang pemerintah pusat mendatangkan pejabat tinggi
dari sebuah kabupaten di Sulawesi ke Kabupaten Bandung. Orang-orang pusat itu
meminta Kabupaten Bandung belajar dari keberhasilan sebuah kabupaten di
Sulawesi tersebut soal e-KTP. Wilayah
itu sudah secara sempurna berhasil 100% melaksanakan e-KTP. Awalnya sih, Bupati
Bandung gembira karena bisa belajar dari keberhasilan kabupaten lain. Akan
tetapi, ia merasa kecewa karena ternyata keberhasilan kabupaten lain itu sangat
tidak berimbang dengan kondisi Kabupaten Bandung. Wajar saja kabupaten di
Sulawesi itu berhasil karena ternyata hanya memiliki penduduk sejumlah 67 ribu
jiwa, sedangkan Kabupaten Bandung memiliki rakyat 3,2 juta jiwa. Jelas hal itu
menunjukkan ketidakadilan berpikir orang-orang pusat.
Bagaimana
bisa mereka mengatakan bahwa kabupaten yang hanya berpenduduk puluhan ribu
lebih berhasil dibandingkan kabupaten yang berpenduduk jutaan jiwa?
Kalau
diukur dari jumlah penduduk, Kabupaten Bandung lebih berhasil karena telah
menyelesaikan ratusan ribu e-KTP. Nggak perlu belajar dari yang penduduknya di
bawah seratus ribu. Kalau mau belajar, ya
harus dari wilayah-wilayah yang berjumlah penduduk setara dengan
Kabupaten Bandung.
Hal
yang sama pula terjadi dengan pembangunan pasar. Bupati Bandung Dadang Naser
ingin belajar bagaimana caranya Jokowi mampu membangun pasar di Solo dengan
biaya teramat murah, yaitu 10 miliar. Dadang Naser pun melakukan studi banding
ke wilayah yang dipimpin Jokowi. Akan tetapi, Dadang Naser lumayan kecewa
karena pasar yang dibangun Jokowi kecil-kecil, jadi bisa sangat murah. Hal
seperti itu tidak bisa dilakukan di Kabupaten Bandung yang memiliki wilayah
teramat luas dan penduduk sangat banyak, jutaan. Biaya yang diperlukan
Kabupaten Bandung untuk membangun sebuah pasar mencapai 120 miliar. Artinya,
Kabupaten Bandung tidak bisa belajar dari Jokowi karena kondisinya berbeda.
Cara Jokowi di Solo tidak bisa digunakan untuk di Kabupaten Bandung.
Hal
itu menunjukkan bahwa setiap daerah memiliki masalah dan karakteristik berbeda.
Demikian pula dengan sebuah kepemimpinan. Pemimpin yang berhasil di suatu
daerah tidak bisa dikatakan mampu bisa berhasil memimpin daerah lain. Belum
tentu, coy.
Saya
sama sekali tidak mengecilkan Jokowi dan Ahok untuk memimpin Jakarta atau
mengarahkan para pembaca untuk mendukung Fauzi Bowo dan Nara. Saya tidak ada
urusan dengan itu. Yang saya harapkan dengan tulisan ini, kita, rakyat, mampu
berpikir adil. Sama sekali tidak ada keuntungan bagi saya dengan
dukung-mendukung salah satu pasangan calon. Toh, Fauzi Bowo jumlah suaranya
jauh lebih jeblok dibandingkan Jokowi pada putaran pertama. Artinya,
kepemimpinannya kemarin-kemarin menggusarkan banyak orang.
Saya
tidak mendukung siapa pun karena pertama,
saya bukan penduduk Jakarta, jadi tidak akan memilih mereka; kedua, kalaupun saya penduduk Jakarta,
saya tidak akan memilih karena saya pembenci
demokrasi; ketiga, saya sama sekali tidak yakin, baik Foke maupun Jokowi
akan membuat perubahan yang berarti bagi Jakarta karena cara-cara yang
dilakukan mereka adalah demokrasi, sedangkan sistem demokrasi itu adalah sistem
korup yang memiliki banyak kejahatan terhadap kemanusiaan.
Sekali
lagi, kita harus berpikir adil untuk segala sesuatu. Dengan berpikir adil, kita
dapat bertindak dan berperilaku adil pula.
Tidak
salah jika kita belajar dari pertandingan tinju dunia. Pertandingan ini lebih
adil dibandingkan dengan sepak bola. Dalam tinju, ada pembagian kelas. Ada
kelas bulu, kelas terbang, kelas ringan, sampai dengan kelas berat. Kita,
Indonesia, punya juara dunia Daud Jordan dan
Chris John. Mereka adalah juara. Akan
tetapi, juara di kelasnya. Mereka tidak akan dapat berbuat banyak jika
dipertandingkan di kelas berat. Hal itu disebabkan berbeda kelasnya. Adalah
tidak adil jika juara kelas bulu dihadapkan dengan juara kelas berat. Chris
John tak akan sebanding dengan Tyson. Demikian
pula Daud Jordan tak sepadan dengan Evander Holyfield.
Mengenai
kepemimpinan, adalah lebih baik kita belajar dari Orde Baru. Orde ini memang
sangat memuakkan. Saya membencinya dan sangat tidak menyukainya. Akan tetapi,
sekali lagi, kita harus adil. Meskipun Orde Baru memiliki banyak kekejian,
sesungguhnya ada pula hal baik yang bisa kita kembangkan. Adalah tidak adil
jika menganggap Orde Baru seluruhnya buruk. Memang buruk sih, tetapi kan tidak
semuanya buruk. Misalnya, Soeharto jika akan mengangkat menteri dalam negeri,
biasanya selalu menguji calonnya untuk menjadi gubernur di provinsi yang memiliki
permasalahan hampir mirip dengan permasalahan nasional. Jika calonnya itu
berhasil, Soeharto benar-benar akan menjadikannya menteri. Jika tidak, ya tidak
jadi. Memang itu tidak ada dalam aturan tertulis, artinya tidak dipersyaratkan
bahwa untuk menjadi menteri dalam negeri harus berhasil menjadi gubernur di
provinsi yang memiliki permasalahan dan penduduk yang teramat kompleks. Hal itu
hanya merupakan kebiasaan yang menjadi rahasia umum. Sayangnya, pada masa
Soeharto amat kental dengan korupsi, kolusi, nepotisme, pembungkaman aspirasi,
dan penghilangan aktivis.
Adalah
hal teramat baik jika calon gubernur di provinsi mana pun merupakan kepala
daerah yang sudah memiliki pengalaman dan keberhasilan yang baik di kota atau
kabupaten yang memiliki permasalahan yang mirip dengan provinsi yang akan
dipimpinnya. Jangan menggunakan demokrasi karena yang terjadi adalah maraknya politics bargaining dan money bargaining. Soal adu visi, itu mah
soal kabaret atau sandiwara satu babak karena visi misi itu adanya di atas
kertas, di dalam kepala, dan di mulut yang berbusa saat kampanye penuh dusta. Semua
visi pasti isinya baik, segala program
pasti isinya indah, sebagaimana isi platform setiap partai yang penuh dengan keagungan.
Akan tetapi, dalam menjalankan pemerintahan nyata, yang terlaksana adalah
penyanderaan oleh berbagai kepentingan yang sama sekali membuat kepemimpinan
untuk kemuliaan masyarakat menjadi sangat merosot dan rendah. Begitulah
demokrasi yang dikeramatkan orang itu. Ngaco.
Kembali
pada maksud tulisan ini. Kita hendaknya adil berpikir, adil berbicara sehingga
mampu adil dalam membuat kebijakan dan bertindak, baik untuk diri sendiri,
keluarga, maupun orang banyak.
No comments:
Post a Comment