oleh
Tom Finaldin
Demokrasi sudah menjadi
penyakit akut yang diderita banyak manusia. Orang-orang begitu tersihir hingga
tertipu untuk mengikuti sistem politik demokrasi yang bejat dan memalukan
kesadaran kemanusiaan itu. Meskipun sudah tampak nyata kerusakan pada berbagai
bidang yang diakibatkan penggunaan sistem politik demokrasi, orang-orang masih
percaya juga terhadap demokrasi. Sungguh mengherankan.
Jakarta, Ibukota Negara Indonesia, yang kita cintai pun
percaya bahwa demokrasi bisa menyelamatkan dan membangun dirinya ke arah yang
lebih baik. Padahal, kenyataannya tidak seperti itu. Sejak diberlakukannya
demokrasi, Jakarta tidak menjadi lebih baik. Bahkan, para koruptor kelas atas berkeliaran di kota besar itu.
Untuk mendapatkan pemimpinnya, Jakarta kembali melakukan
proses demokrasi. Padahal, dulu sudah melaksanakan demokrasi, kemudian punya
pemimpin. Akan tetapi, dalam pemilihan gubernur berikutnya, pemimpin yang telah
dipilihnya dulu kalah suara secara telak pada putaran pertama. Hal itu
menunjukkan bahwa pemimpin yang telah dipilih dulu tidak mendapat tempat di
banyak hati rakyat Jakarta. Artinya, dianggap tidak berhasil.
Kalau
dianggap berhasil, mengapa jumlah pemilihnya kalah jauh dibandingkan dengan pasangan baru?
Kemudian,
rakyat coba-coba pilih pemimpin baru yang berasal dari tempat jauh dari Jakarta
dan menjadi pemimpin daerah yang memiliki permasalahan berbeda dengan Jakarta.
Harapan rakyat tentunya akan terjadi perbaikan. Namun, besar kemungkinan
harapan tinggal harapan. Kenyataan akan menunjukkan hal yang berbeda daripada harapan.
Hal itu disebabkan sistem politik demokrasi memiliki tabiat merusakkan tatanan
kehidupan manusia dan penuh dengan kebohongan.
Pemimpin atau gubernur Jakarta yang terbaik justru lahir
tidak melalui proses demokrasi. Adalah hal yang tak terbantahkan bahwa Gubernur
Jakarta yang terhebat adalah Bang Ali Sadikin, putera Sumedang.
Ali Sadikin mampu membangun Jakarta karena tidak
mengeluarkan uang banyak-banyak, tak ada tim sukses, tak ada hutang politik,
tak ada hutang budi apa pun kepada siapa pun, dan tak ada black or white campaigne. Bang Ali menjadi gubernur atas dasar
perintah dari Presiden RI ke-1 Ir. Soekarno. Pada awalnya ia mendapat tentangan
dari beberapa pihak karena sifatnya yang kopig
(kophh), ‘keras kepala’. Akan tetapi, justru kekeraskepalaannya itu yang
disukai oleh Soekarno.
Bang Ali hadir menjadi gubernur karena diinginkan
oleh Pemimpin Besar Revolusi yang sudah pasti mencintai negerinya. Ia bersedia
bekerja menjadi gubernur karena ia prajurit tangguh yang siap ditempatkan di
mana saja.
Bang Ali tak gentar dimaki dan dikata-katai.
Dengan
keras kepalanya ia mengatakan, “Saya akan masuk neraka!”
Kata-kata
kerasnya itu ditujukan bagi pihak-pihak yang
mengkritiknya karena menggunakan uang hasil perjudian untuk membangun
Jakarta. Ia sesungguhnya mengerti judi itu haram, tetapi pada saat tertentu
ketika keadaan mendesak, uang hasil perjudian itu diperlukan untuk pembangunan.
Jika saja saat itu anggaran pembangunan yang bersumber bukan dari perjudian
sudah mencukupi, niscaya Bang Ali tidak akan menggunakan uang dari hasil
perjudian.
Ia
mengatakan, “Tuhan pasti mengerti.”
Hasilnya,
ia dapat membangun sarana kesehatan, pendidikan, dan kegiatan pembangunan
lainnya yang bisa dinikmati rakyat Jakarta.
Adalah
hal yang tak terbantahkan pula bahwa Bang Ali adalah satu-satunya gubernur yang
mendapatkan penghargaan dari mahasiswa. Padahal, gubernur lain sering sekali
mendapatkan protes dari mahasiswa.
Tulisan
ini mengingatkan kita bahwa gubernur terbaik Jakarta adalah tidak lahir dari
demokrasi. Ia lahir dari keinginan dan pertimbangan matang seorang presiden
yang mencintai rakyatnya. Ia mampu bekerja secara bersih karena dirinya
merupakan prajurit tangguh yang juga mencintai negerinya. Adalah sungguh pantas jika
kita mengangkat dua jempol untuk Jakarta pada masa Ali Sadikin yang tidak lahir
dari demokrasi itu.
Demokrasi
hanya menghasilkan pemimpin yang terlalu banyak berhitung ini tidak bisa dan itu tidak bisa karena tersandera banyak
kepentingan. Akibatnya, rakyat-rakyat juga yang merasakan penderitaan dan
kebingungan berkepanjangan.
Ada
satu lagi contoh hebat kepemimpinan yang tidak lahir dari demokrasi. Khalifah
Umar bin Abdul Aziz mampu mengubah kondisi yang dipenuhi ketimpangan ekonomi
menjadi kemakmuran berlimpah hanya dalam waktu 29 bulan. Saking makmurnya,
orang yang disebut miskin dalam masa pemerintahannya adalah orang yang sudah memiliki
rumah, kendaraan, dan pembantu, tetapi punya hutang. Orang dengan keadaan
ekonomi seperti itu diklasifikasikan sebagai mustahik, ‘orang yang berhak menerima zakat’.
Berbeda
jauh kan dengan klasifikasi orang miskin di Indonesia?
Orang
yang miskin di Indonesia adalah orang yang benar-benar melarat, tidak punya
ini-itu. Padahal, katanya sudah menjadi negara modern karena menggunakan
demokrasi.
Cape deh ….
Jadi,
ngapain masih memelihara demokrasi kutu kupret itu?
Nggak
bisa ya bikin sistem politik dari pengalaman dan nilai-nilai luhur budaya
bangsa sendiri?
Kalau
nggak bisa, percuma juga di negeri ini banyak profesor botak, setengah botak, belum
botak, dan tidak akan botak. Mikir dong, mikiiir …!
Sebentar
saja berpikir untuk itu akan mendapat banyak pahala dari Allah swt.
Bukankah
orang yang berpikir sebentar untuk kemaslahatan bangsa dan negara itu lebih
banyak pahalanya dibandingkan orang yang melakukan shalat puluhan tahun?
No comments:
Post a Comment