Tuesday 16 December 2014

Memlintir Musyawarah



oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Akhir-akhir ini banyak orang yang sedikit-sedikit pengen musyawarah dengan dalil Pancasila. Akan tetapi, sebenarnya mereka hanya berupaya memaksakan egonya, menjejalkan kehendaknya karena keinginan-keinginan prirbadi dan kelompoknya kurang terakomodasi. Mereka memaksakan untuk bermusyawarah dengan mengabaikan aturan yang sudah ada.

Buat apa musyawarah kalau aturannya sudah ada?

Laksanakan saja aturan itu.

Kalau ternyata sudah dilaksanakan, berakibat buruk terhadap masyarakat, baru dilakukan perbaikan terhadap peraturan tersebut dengan cara musyawarah. Dalam konteks berbangsa dan bernegara Indonesia, peraturan itu harus dievaluasi dengan bersandar pada kepentingan bangsa dan negara, bukan kepentingan diri dan kelompoknya. Kalau ternyata dengan melaksanakan peraturan yang sudah ada bangsa Indonesia sudah diuntungkan, ya hendaknya dilanjutkan meskipun kepentingan pribadi dan kelompoknya terpinggirkan. Nah, itu baru negarawan. Negarawan itu adalah orang yang mau dan bersedia ikhlas untuk meminggirkan kepentingan pribadi dan kelompoknya untuk kepentingan yang lebih besar, yaitu bangsa Indonesia.

Sangatlah menjijikan ketika memaksa untuk mengadakan musyawarah hanya untuk memaksakan kepentingan pribadi dan kelompoknya dengan meminggirkan kepentingan yang lebih besar, yaitu bangsa Indonesia. Orang-orang yang berteriak ingin musyawarah hanya untuk diri dan kelompoknya nilainya sama dengan para penjahat zaman Orde Baru yang menggunakan Pancasila untuk menjadi topeng bagi kepentingan-kepentingan rendahnya. Apalagi dengan berteriak menuduh orang lain yang tidak setuju musyawarah sebagai tidak melaksanakan Pancasila. Mereka bukanlah negarawan.

Kalau mereka mengklaim diri sebagai orang yang paling negarawan, tanya saja, “Negarawan dari mana? Dari Hongkong?”

Negarawan Hongkong kali.

Jangan memlintir-mlintir musyawarah hanya untuk kepentingan pribadi, kelompok yang berjangka pendek dan bernilai rendah. Musyawarah mutlak dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan yang belum ada aturan mainnya dan atau peraturan yang sudah ada berdampak buruk bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Peraturan yang dikatakan berdampak buruk itu adalah jika peraturan itu sudah dilaksanakan sehingga tampak jelas keburukannya.

Berbahaya sekali jika sedikit-sedikit ingin musyawarah hanya karena hawa nafsu pribadi dan kelompoknya.

Hati-hati menggunakan Pancasila. Jangan sampai menjadi kedok bagi kepentingan remeh.

Jangan sok Pancasilais kalau tidak mengerti Pancasila. Jangan menuduh orang lain tidak Pancasilais sebelum dirinya sendiri mengamalkan Pancasila.

Bagaimana mau jadi Pancasilais, ngerti juga nggak tentang Pancasila.

Patuhi Aturan



oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Peraturan apa pun namanya dibuat untuk ketertiban dan keamanan. Di samping itu, peraturan dibentuk agar dapat mencapai tujuan bersama di antara pihak-pihak yang memiliki kesamaan keinginan. Peraturan yang sudah disepakati itu harus dipatuhi karena jika tidak dipatuhi, akan terjadi ketidaktertiban dan ketidakamanan yang berujung pada terhambatnya pencapaian tujuan yang dicita-citakan.

Islam mengajarkan jika di antara umat Islam ada perbedaan pandangan, penyelesaiannya adalah harus kembali kepada Allah swt dan Rasul-Nya. Artinya, harus kembali pada Al Quran dan sunnah Rasul. Baik Al Quran maupun sunnah, adalah aturan atau koridor yang harus dipatuhi agar terjadi kesepahaman dan penyelesaian mengenai segala sesuatu perselisihan paham. Jika tidak mengembalikan permasalahan pada Al Quran dan sunnah, kekacauan pun terjadi dan kita sering menyaksikannya. Orang-orang yang tidak kembali pada Al Quran dan sunnah selalu berdasarkan pada dugaan dan hawa nafsu belaka yang ujung-ujungnya permasalahan dan konflik tidak pernah terselesaikan.

Berkaca dari sana, dalam proses berbangsa dan bernegara dalam lingkungan Negara Kesatuan Republik Indonesia, jika terjadi permasalahan atau konflik di antara elemen bangsa, hendaknya dikembalikan pada aturan yang sudah disepakati agar terjadi penyelesaian. Jika tidak mengikuti aturan, yang terjadi adalah anarkisme. Memang bisa terjadi ada yang tidak puas terhadap aturan-aturan yang sudah disepakati tersebut, tetapi hal itu tidak serta-merta aturan tersebut tidak harus dipatuhi. Puas atau tidak merupakan risiko yang harus diambil sebagai bangsa yang menjunjung tinggi hukum.

Jika merasa ada aturan yang mengakibatkan ketidakadilan, hendaknya aturan tersebut dilaksanakan terlebih dahulu, kemudian lakukan evaluasi. Evaluasi terhadap aturan tersebut mutlak harus dilakukan setelah aturan tersebut dilaksanakan. Dengan pelaksanaan terhadap aturan, akan diketahui dengan jelas apakah aturan itu baik, bermutu, atau bahkan membuat banyak kerusakan. Jangan mengubah aturan yang disepakati sebelum aturan tersebut dilaksanakan karena keinginan pengubahan tersebut hanya berdasarkan dugaan dan hawa nafsu yang sama sekali kurang berdasar.

Bagaimana mungkin sebuah aturan disebut buruk jika belum dilaksanakan?

Bukankah peraturan tersebut merupakan kesepakatan yang terjadi sebelumnya?

Sangat mungkin terjadi mengubah peraturan yang belum dilaksanakan akan menghasilkan peraturan baru yang kemudian justru ketika dilaksanakan ternyata sangat buruk bagi kehidupan bangsa Indonesia. Jika sudah begitu, baru sadar bahwa aturan yang sebelumnya adalah lebih baik, hanya belum dilaksanakan. Kemudian, berupaya kembali pada peraturan yang sebelumnya itu. Upaya kembali itu adalah sesuatu yang konyol dan memalukan.

Cobalah untuk bijaksana dalam menghadapi permasalahan. Patuhi peraturan yang sudah dibuat, lalu evaluasi dan perbaiki. Jangan menyepakati aturan, kemudian diubah-ubah lagi sebelum jelas manfaat dan mudharatnya peraturan tersebut.

Thursday 11 December 2014

Ilmuwan Partisan


oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Akhir-akhir ini sering sekali kita disuguhi berbagai berita politik dan ekonomi yang sedang hangat menjadi perhatian masyarakat Indonesia. Dalam membahas berbagai isu tersebut sering sekali media-media massa mengadakan acara-acara, seperti, talk show, dialog, atau kupas isu. Dalam acara-acara tersebut, kerap diundang orang-orang yang katanya expert dalam bidangnya. Orang-orang undangan itu sering dijuluki ahli, pakar, pemerhati, pengamat, atau julukan lain sesuai keinginan penguasa media.

            Memang mengasyikan sih kehadiran mereka dalam acara banyak omong  di media tersebut. Tak bisa dibantah bahwa pandangan mereka banyak juga manfaatnya serta memberikan informasi dan pengetahuan yang sebelumnya tidak diketahui masyarakat. Akan tetapi, sayangnya banyak di antara mereka yang disebut pakar tersebut ternyata partisan. Mereka berbicara sudah tidak lagi bersandar pada kesucian ilmu pengetahuan, tetapi sangat bergantung pesanan. Mereka berbicara seolah-olah akademisi ulung, ilmuwan kelas atas, tetapi sesungguhnya sedang menggiring opini masyarakat untuk mendukung kepentingan-kepentingan kelompok tertentu. Kelompok-kelompok kekuasaan inilah yang menjadi dalang para pakar tersebut untuk membuat pernyataan-pernyataan menyesatkan. Tentunya, dalang politik dan atau ekonomi itu mengucurkan banyak fasilitas untuk orang-orang yang disebut ilmuwan oleh media itu.

            Yang namanya pakar, akademisi, ahli, atau apalah sesungguhnya kalau berbicara, harus terbebas dari kepentingan tertentu, termasuk kecenderungan dirinya sendiri dalam mendukung kelompok tertentu. Para ilmuwan itu kalau mengeluarkan pendapat, haruslah selalu bersandar pada ilmu pengetahuan dan dengan itulah mereka mengukur sesuatu itu salah atau benar. Di samping itu, mereka pun harus menyiasati agar pengetahuan yang dimiliki mereka itu adalah untuk kebaikan manusia, bukan untuk menjerumuskan manusia sehingga mendukung kekuatan temporer tertentu.

            Sangat menyedihkan memang kondisi seperti ini ketika orang-orang kuliahan yang dianggap dapat menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk memecahkan banyak masalah dengan sinar terang yang menyenangkan, malahan ikut-ikutan berantem, adu bacot, adu bekok, adu mulut hanya karena berbeda dukungan politis atau ekonomi. Masyarakat bukannya menjadi tambah terang dan tenang, tetapi malah menjadi makin bingung, gelap, dan tersesat.

            Tak heran jika pada zaman ini di negeri Indonesia oleh Ronggowarsito disebut zaman ketika Sarjana Tidak Ada. Zaman tidak ada sarjana itu bukan berarti tidak ada orang yang bergelar sarjana, melainkan tidak ada orang yang menggunakan ilmu pengetahuan yang dimilikinya untuk kemaslahatan umat manusia. Yang ada hanyalah gelar-gelar D1, D2, D3, S1, S2, S3, Prof., dsb. lulusan dari perguruan tinggi. Adapun yang sarjana hati dan pikirannya tidak ada. Semua kepandaiannya hanya digunakan sebagaimana tukang rongsokan, tukang jamu gendong, bahkan maling, yaitu sekedar cari uang buat makan dan beli benda-benda.

Memang apa bedanya para sarjana yang ada sekarang dengan profesi lain kalau cuma cari uang buat makanan dan membeli aneka benda?

Sama saja kan?

Sarjana itu harus berbeda. Ia harus menjadi cahaya manusia ketika manusia berada dalam kekusutan, bukan ikut-ikutan mengusutkan situasi.

Pokoknya, sekarang itu jangan terlalu percaya kepada orang yang disebut oleh media sebagai pakar, ahli, pengamat, pemerhati, dsb.. Soalnya mereka cuma cari recehan dengan cara menggiring pikiran masyarakat agar mendukung pihak yang telah memberinya makanan.

Mirip anjing mereka itu. Membela orang yang telah memberinya makanan. Anjing itu terkenal dengan sikap menyerang dulu, urusan belakangan. Anjing itu menggonggong aja dulu, soal yang digonggongnya itu orang baik atau orang jahat, itu urusan nanti, yang penting senangkan dulu Sang Majikan dengan gonggonggannya, soal salah-benar, urusan berikutnya. Bahkan, anjing penjilat itu bisa langsung menggigit orang tanpa berpikir panjang yang ujung-ujungnya akan menyusahkan banyak orang.

Akan tetapi, masih banyak juga sih para pakar yang waras pikiran dan sehat otak. Mereka berupaya memberikan penyadaran kepada pihak-pihak yang memiliki kekuasaan dan penerangan kepada masyarakat dengan harapan bangsa Indonesia menjadi tercerahkan dan tercerdaskan. Mereka tak peduli dengan uang dan kekuasaan. Merekalah orang-orang yang setia kepada ilmu pengetahuan dan mencintai manusia sehingga menggunakan kepandaiannya untuk kemaslahatan penduduk Bumi.