oleh
Tom Finaldin
Bandung,
Putera Sang Surya
Pada beberapa tulisan yang
lalu saya sudah menjelaskan bahwa yang namanya survey, quick count atau hitung cepat, exit poll, dan lain sebagainya adalah ilmu yang diajarkan minimal
pengantarnya ada di mata kuliah Metode Penelitian yang diajarkan di setiap perguruan
tinggi. Akan tetapi, ilmu ini jarang digunakan masyarakat secara umum dalam
kegiatan sehari-hari. Akibatnya, masyarakat melihatnya sebagai ilmu baru atau
malah merupakan kegiatan yang diada-adakan hanya untuk kepentingan politik
tertentu. Sebetulnya, tidak seperti itu. Ilmu ini di kalangan tertentu kerap
digunakan untuk menjadi dasar mengambil kebijakan suatu perusahaan, negara,
atau tindakan tertentu agar tepat sasaran. Para pengusaha makanan biasanya
berupaya mencari data atau pengetahuan tentang makanan apa yang disukai rakyat
sehingga mereka mendapatkan pemahaman untuk memproduksi makanan apa yang layak
dijual dan mendapatkan untung besar.
Dalam dunia politik, sejarah survey ini bermula dari
adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu yang pada
masa lalu diselenggarakan oleh pemerintah yang berkuasa di banyak negara. Para
dosen dan akademisi berkumpul, berpikir untuk melakukan perlawanan terhadap
kecurangan ini. Digunakanlah metode-metode penelitian yang lebih cepat untuk
mengontrol hasil pemilihan politik. Jika hasil pemilihan yang dilakukan
pemerintah berbeda jauh dengan hasil survey atau quick count, para peneliti
mengambil kesimpulan telah terjadi kecurangan dalam penyelenggaraan pemilihan
politik. Apabila hasilnya tidak terlalu jauh yang biasanya antara 1 s.d. 5
persen, hasilnya masih bisa ditolerir dan masih berada dalam koridor ilmu
pengetahuan. Jika terlalu jauh, itu sudah melewati batas pengetahuan yang dalam
arti terjadi kejahatan dalam pemilihan politik.
Hal ini dapat terlihat jelas dalam pemilihan presiden
Filipina Ferdinand Marcos yang selalu menang dalam Pemilu, padahal rakyat sudah
tidak menyukainya. Oleh sebab itu, para ahli melakukan metode survey untuk
mengontrol pemerintah Filipina. Hasilnya, mengejutkan. Di dalam survey, Marcos
tidak disukai dan kalah dalam pemilihan, tetapi pemerintah Filipina menyatakan
bahwa Marcos menang. Rakyat yang sudah muak dan memang mayoritas tidak memilih
Marcos, tidak mempercayai pemerintah, tetapi lebih mempercayai hasil survey.
Terjadilah aksi massa yang menurunkan dan meruntuhkan pemerintahan Marcos.
Filipina pun mengalami kegoncangan politik karena rakyat tak percaya lagi
pemerintahnya.
Demikianlah sedikit sejarah survey, quick count, exit
poll, atau yang lainnya. Jadi, metode perhitungan seperti itu digunakan untuk
mengontrol hasil Pemilu agar sesuai dengan kehendak rakyat. Jadi, salah total
jika ada yang mengatakan bahwa survey atau quick count itu dirancang untuk
melakukan kecurangan karena sejarahnya tidak seperti itu, juga karena metode,
narasumber, sumber data, sampel, kriteria, dan sebagainya yang dilakukan untuk
melakukan survey harus juga dilampirkan dan dilaporkan kepada masyarakat. Di
samping itu, satu lembaga survey dapat ditantang lagi oleh lembaga survey yang
lainnya jika terjadi perbedaan yang terlalu jauh. Hal ini akan menjadi
pertarungan ilmu pengetahuan dan menjatuhkan kebohongan.
Memang ada mereka yang mengaku sebagai lembaga survey,
tetapi hasilnya sangat lucu karena tidak jelas metodenya, siapa yang
melakukannya, apa sumber datanya, di mana lokasinya, jumlah data, dan apa saja
pertanyaan yang digunakan untuk bahan angket sehingga menjadi data sah untuk
dijadikan acuan. Lembaga-lembaga seperti ini hanya muncul satu atau dua kali
untuk seterusnya mati dan tidak dikenal lagi karena dia menjatuhkan nama
baiknya sendiri dengan cara berdusta.
Sampurasun.
No comments:
Post a Comment