Wednesday, 12 February 2025

Kabah Mekah = Sasaka Domas

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Ada fungsi yang sama pada Kabah di Mekah dengan Sasaka Domas di Gunung Halimun Salak, Bogor, Jawa Barat. Keduanya memiliki fungsi sebagai kiblat atau arah, bahkan pusat peribadatan.

Bagi orang Islam, Kabah adalah bangunan yang menjadi titik fokus konsentrasi ketika beribadat dan puncak peribadatannya ada pada bulan Dzulhijah yang disebut juga bulan Haji. Di mana pun orang Islam beribadat, arah dan fokusnya harus ke Kabah.

Foto Kabah saya dapatkan dari SMP Akhlak Cendekia Muslim


Kabah di Mekah (Foto: SMP Akhlak Cendekia Muslim)


Bagi orang Sunda Wiwitan, arah peribadatannya ke Sasaka Domas. Di sana ada situs megalitikum yang menjadi titik fokus konsentrasi peribadatan. Ada batu-batu menhir dan arca yang menjadi pusat konsentrasi. Puncak peribadatannya ada pada bulan Kalima.

Foto Sasaka Domas saya dapatkan dari Kompasiana com.


Sasaka Domas (Foto: Kompasiana com)


Kabah dan Sasaka Domas adalah arah atau kiblat peribadatan, bukan barang yang disembah. Muslim mengarah ke Kabah, Sunda Wiwitan mengarah ke Sasaka Domas. Kabah adalah bukan Allah swt, melainkan titik fokus konsentrasi peribadatan. Oleh sebab itu, sebagai penghormatan dan tempat yang diridhoi Allah swt untuk titik fokus, disebut “Rumah Allah swt”. Ingat, itu bukan berarti Allah swt berdiam di situ. Kalau masuk ke dalamnya juga, kosong atau ada permadani, sajadah, bantal atau hal lain yang juga digunakan untuk ritual. Itu hanyalah bangunan yang diridhoi Allah swt sebagai pusat ibadat.

Demikian pula Sasaka Domas bukan Tuhan, bukan Sang Hyang Tunggal, melainkan pusat titik konsentrasi ritual. Hal itu sudah ditegaskan bahwa Sang Hyang Tunggal tidak boleh diwakilkan ke dalam bentuk apa pun yang ada di dunia ini, bahkan dilarang untuk dibayangkan wujudnya. Hal itu disebabkan manusia adalah ciptaan yang terbatas, sedangkan Sang Hyang Tunggal adalah Pencipta yang tidak terbatas.

Baik Kabah maupun Sasaka Domas, adalah alat bantu untuk konsentrasi atau khusyuk beribadat ritual. Ketika seorang muslim biasa-biasa seperti saya ini melakukan shalat, akan terbayang bentuk Allah swt sebagaimana melayangnya imajinasi dan pikiran. Bentuk-bentuk yang tercipta dalam bayangan kita itu pasti salah dan berbeda-beda dengan orang lain. Itu bukanlah Allah swt dan bisa mengakibatkan shalat tidak khusyuk. Oleh sebab itu, agar lebih khusyuk, kita bisa membayangkan diri kita berada di depan Kabah sambil memahami apa yang kita baca. Dengan demikian, pikiran kita tidak akan terseret kesana-kemari. Insyaallah, Allah swt ridho.

Demikian pula ketika Sunda Wiwitan beribadat, mereka fokus melihat atau membayangkan Sasaka Domas agar terikat pada tempat itu sebagai tempat yang disucikan dan diberkati Sang Hyang Tunggal. Dengan demikian peribadatannya bisa lebih khusyuk, tidak membayangkan hal-hal yang tidak diperlukan.

So, Sang Hyang Tunggal dan Allah swt adalah merujuk pada “Zat Yang Sama”, zat yang tidak memperbolehkan diri-Nya dibayangkan. Zat yang hanya mengizinkan tempat-tempat tertentu sebagai alat bantu konsentrasi untuk beribadat ritual kepada diri-Nya.

Sampurasun

 

Monday, 20 January 2025

Tuhan Selalu Datang Tak Terdeteksi

 

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Dalam ajaran Sunda Wiwitan, salah satu nama Tuhan adalah “Sang Hyang Raga Dewata”. Perilaku dan keadaannya sedikit dijelaskan dalam ajaran tersebut yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.  

            “Datang tanpa rupa, tanpa raga, tak terlihat, perkataan (senantiasa) benar. Rupa direka karena ada. Aku-lah yang menciptakan, tetapi tak terciptakan, Aku-lah yang bekerja, tetapi tidak dikerjakan, Aku-lah yang menggunakan, tetapi tidak digunakan.”

            Maksudnya adalah Dia kerap mendatangi ciptaan-Nya, apapun itu tanpa terdeteksi karena datang tanpa rupa, tanpa raga, dan tak terlihat oleh apapun ciptaan-Nya. Dia tentunya punya rupa, punya raga, punya wujud, tetapi tidak bisa dikenali oleh indera manusia. Dia tetap tersembunyi dan tidak bisa diamati karena wujud Dia adalah wujud pencipta, bukan ciptaan.

Seluruh wajah, seluruh rupa, seluruh bentuk yang ada di alam ini adalah hasil rekaan-Nya. Dia yang menciptakan berbagai rupa bentuk itu, tetapi tidak ada yang menciptakan Dia, tak ada yang mereka-reka Dia. Sang Hyang Raga Dewata adalah yang mengerjakan semuanya, tetapi tak ada seorang pun atau sesuatu pun yang membuat-Nya. Dia-lah yang menggunakan seluruh ciptaan-Nya untuk kepentingan-Nya sendiri dan terserah pada keinginan-Nya sendiri. Dia yang menguasai segala sesuatu, tetapi Dia tidak dikuasai oleh sesuatu pun.

Tak terdeteksi eksistensi-Nya, tetapi kekuasaan-Nya sangat meliputi segala sesuatu. Perkataan-Nya selalu benar, tidak pernah salah.

Sampurasun

Monday, 13 January 2025

Soal Nama Tuhan, Gimana Gue Aja

 

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Begitu kira-kira yang dikatakan Tuhan jika menggunakan bahasa slang. Soal nama Tuhan, ya terserah Tuhan sendiri. Mau menamai diri-Nya apa, terserah Dia. Mau menggunakan bahasa apapun, terserah Dia. Dia yang punya diri, Dia sendiri yang berhak menamai diri-Nya sendiri. Kita, manusia hanya perlu mengikuti-Nya, tidak perlu banyak berpikir tentang nama-Nya.

            Dia yang menciptakan alam semesta, termasuk manusia berikut bahasanya. Jadi, Dia berhak tanpa ada yang mampu menghalangi untuk menggunakan bahasa apa saja. Mau pake bahasa Sunda, Jawa, Minang, Batak, Ibrani, Suryani, Latin, Romawi, Arab, Sansakerta, Indonesia, Inggris, Spanyol, Italia, Belanda, Papua, Tetun, atau apapun, terserah Dia.

            Dia pun menggunakan bahasa Sunda untuk menamai diri-Nya sendiri. Dia dengan sangat tegas berbicara tentang diri-Nya dalam naskah “Sang Hyang Raga Dewata”.

 

            “Hanteu nu ngayuga Aing. Hanteu manggawe Aing. Aing ngaranan maneh, Sanghiyang Raga Dewata.”

 

            Artinya.

 

            “Tidak ada yang menjadikan Aku. Tidak ada yang menciptakan Aku. Aku menamai diri sendiri, Sang Hyang Raga Dewata.”

 

            Begitu Dia menamai diri-Nya dalam bahasa Sunda agar orang-orang Sunda mengenal dan memahami diri-Nya. Arti dari Sang Hyang Raga Dewata tentunya harus orang ahli Sastra Sunda yang menjelaskannya. Akan tetapi, saya mencoba meraba-raba artinya adalah “Sesembahan yang Berwujud Tuhan”.

            Bagaimana wujudnya?

            Jangan dibayangkan dan jangan dipikirkan karena bayangan dan pikiran kita tentang wujud-Nya pasti salah total.

Ada banyak nama atau sesebutan untuk diri-Nya dalam bahasa Sunda. Insyaallah, jika bisa ditemukan, saya share lagi.

            Sampurasun.

Friday, 10 January 2025

Tuhan Sunda Paling Jujur

 

 

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Banyak hal dan pengetahuan tentang ketuhanan dalam ajaran yang diklaim sebagai Sunda Wiwitan. Pengetahuan itu bisa dipahami dan dijelaskan jika kita mau dengan tenang mempelajarinya.

Salah satu pengetahuan itu tercatat dalam naskah “Jatiraga”. Dalam naskah itu disebutkan bahwa “Sang Hyang Jatiniskala” adalah Tuhan yang tidak dapat dibayangkan dan tidak dapat dikonkritkan. Niskala sendiri bisa berarti kokoh, kuat, agung, perkasa, tetapi tak terbayangkan, jauh di luar imajinasi manusia.

Berikut teks dari Sunda Wiwitan tentang Sang Hyang Jatiniskala, tetapi saya tidak menemukan teks berbahasa Sunda, mungkin penulisnya langsung menerjemahkan sendiri ke dalam bahasa Indonesia.

“Sebab Aku adalah asli dan dari keaslian. Tidak perlu diubah dalam bentuk benda alam yang tidak asli dan tidak jujur sebab Aku adalah jujurnya dari kejujuran.”

Begitu teksnya. Sang Hyang Jatiniskala adalah zat paling asli. Dia tidak ingin wujudnya diwakilkan atau diilustrasikan dalam bentuk lain atau dalam bentuk benda-benda yang Dia ciptakan sendiri. Hal itu disebabkan Dia adalah pencipta yang wujudnya tidak terjangkau oleh manusia yang sehari-hari hanya melihat dan membayangkan wujud ciptaan-Nya. Dia adalah pencipta dan di luar diri-Nya adalah ciptaan-Nya. Ciptaan pasi berbeda dengan Sang Pencipta. Ciptaan tak akan mampu menjangkau wujud Pencipta. Dia adalah wujud paling jujur, paling asli karena di luar diri-Nya hanyalah emanasi atau pelimpahan bentuk dari diri-Nya.

Sampurasun.

Thursday, 9 January 2025

Tuhan Sunda = Sang Hyang Tunggal

 

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Dalam tulisan yang lalu saya sudah menjelaskan tentang salahnya orang yang berpendapat bahwa orang Sunda dulu menyembah patung, pohon, batu, gunung, jin, dan lain sebagainya. Orang Sunda tidak menyembah itu semua, tetapi menyembah Zat atau Sesuatu yang tunggal, tidak beranak, tidak punya teman, paling unggul dalam segala rupa hal. Sumber tulisan ini berasal dari tulisan-tulisan yang diklaim merupakan ajaran Sunda Wiwitan.

            Berikut ini ada pula tulisan tentang Tuhan yang disembah orang Sunda dengan nama “Sang Hyang Tunggal” beserta contoh sedikit hal yang Dia lakukan dalam hidup ini. Tentu saja, hal itu berupa penegasan bahwa Dia-lah pencipta segalanya. Tidak ada sesuatu yang  lain yang berperan sebagai pencipta di dunia ini. Hal ini dapat kita perhatikan dalam teks berbahasa Sunda berikut ini.

            "Utek, tongo, walang, taga, manusa, buta, detia, lukut, jukut, rungkun, kayu, keusik, karihkil, cadas, batu, cinyusu, talaga, sagara, Bumi, langit, jagat mahpar, angin leutik, angin puih, bentang rapang, bulan ngempray, sang herang ngenge nongtoreng, eta kabeh ciptaan Sang Hyang Tunggal, keur Inyanamah sarua kabeh oge taya bedana."

          Artinya.

          “Cacing-cacing, tungau, belalang, taga, manusia, raksasa, jin, lumut, rumput, semak-semak, kayu, kerikil, cadas, batu, mata air, danau, lautan, Bumi, langit, seluruh dunia, angin kecil, angin topan, bintang bertaburan, Bulan bercahaya, Matahari bersinar terik. Itu semua ciptaan Sang Hyang Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa). Bagi-Nya semua itu tidak ada bedanya.”

            Ini merupakan bahwa Sang Hyang Tunggal adalah pencipta segalanya. Pencipta itu bernama Sang Hyang Tunggal yang dalam bahasa Indonesia dan tercantum dalam Pancasila Sila Pertama adalah Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan dengan nama itulah yang disembah orang Sunda dari dulu hingga saat ini.

            Bagi-Nya, seluruh ciptaan tidak ada bedanya. Dia bisa mengadakan, menghilangkan, memuliakan, menghinakan, menyenangkan, menjijikan, ataupun menghancurkannya. Segalanya bagi Dia tidak berarti apa pun karena Dia berjalan dengan kehendak-Nya sendiri.

            Sampurasun.

Thursday, 12 December 2024

Mahasiswa Bicara Makan Bergizi Gratis

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Program pemerintah Presiden RI Prabowo Subianto yang dikenal dengan “Makan Siang Gratis” yang kemudian berubah menjadi “Makan Bergizi Gratis” mendapatkan banyak tanggapan dari masyarakat, baik di dalam maupun di luar negeri, baik dari para pendukung Prabowo-Gibran, maupun dari para penyinyir dan antipemerintah. Kali ini saya ingin mendengar pendapat dari mahasiswa secara murni pikiran mereka, terutama mahasiswa yang saya asuh di Program Studi Hubungan Internasional (HI), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip), Universitas Al Ghifari (Unfari), Bandung.

            Saya bagi mahasiswa di kelas Mata Kuliah Diplomasi Gastro ke dalam tiga kelompok. Salah satu kelompok, yaitu Kelompok 1 saya tugaskan untuk mempresentasikan dan mendiskusikan tentang “Makan Bergizi Gratis” dan hubungannya dengan Diplomasi Gastro. Saya tidak ikut campur ke dalam pikiran dan pendapat mereka. Saya membebaskan mereka untuk bicara apa saja, termasuk mengkritik pemerintah ataupun mendukung pemerintah. Saya hanya memagari mereka untuk tidak jatuh dalam “DFK”, yaitu “disinformasi, fitnah, dan kebencian”, saya memang mengeluarkan fatwa bahwa DFK itu haram.

            Bagi yang ingin mengikuti presentasi dan diskusi mereka, silakan saksikan di link https://www.youtube.com/watch?v=8kF6OHPcfXc&t=818s

            Semua boleh berkomentar, mengkritik, ataupun mendukung demi berkembangnya ilmu pengetahuan, khususnya Ilmu Diplomasi Gastro, termasuk perbaikan dan usulan terhadap program makan bergizi gratis.

            Sampurasun.

Sunday, 8 December 2024

Sesembahan Orang Sunda

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera sang Surya

Karena banyak orang yang sok tahu tentang Islam dan Sunda Wiwitan, lalu menyesatkan banyak orang dengan kata-kata mereka dan tulisan mereka, saya jadi memaksakan diri untuk memeriksa catatan saya sekitar tujuh atau sepuluh tahun lalu. Saya pernah membaca dan merekam beberapa naskah tentang Sunda Wiwitan. Saya pastikan orang yang mengatakan bahwa orang Sunda pada zaman dahulu adalah penyembah pohon, batu, gunung, jin, atau patung, orang itu sudah pasti bodoh, sok tahu, dan berbicara, berpendapat, atau menulis hanya berdasarkan dugaan atau sangkaan belaka, tanpa ilmu. Celakanya, dugaan atau sangkaan itu dianggap sebagai kebenaran yang menghasilkan pemahaman dan perilaku yang salah. Orang Sunda sesungguhnya dari dulu sampai hari ini menyembah hanya satu hal, tidak berubah. Dulu menyembah “itu”, sekarang pun tetap menyembah “itu”. Perhatikan kalimat dari Sunda Wiwitan berikut ini.

            “Hyang tunggal anu Maha Luhung; satemenna tujuan utama manusa sembah Hyang; henteu boga anak henteu boga dulur; boga baraya jeung batur ogé henteu di jagat jeung ieu alam; anu pangunggulna dina sagala rupa hal; hung, tah éta téh nu ngagem bebeneran sajati, ahung.”

            Artinya.

            “Tuhan Tunggal Yang Mahaagung. Sesungguhnya, Dia-lah yang sebenarnya tujuan penyembahan manusia, tidak punya anak dan tidak punya saudara, punya kerabat dan teman juga tidak di seluruh jagat dan seluruh alam ini. Dia yang paling unggul dalam segala rupa hal. Hung! Itulah agama pegangan kebenaran yang sejati. Ahung!”

            Nah, Zat itulah yang disembah orang Sunda dari dulu sampai hari ini, tidak berubah. Sesuatu dengan kriteria itulah yang disembah orang Sunda hingga detik ini.

            Sekarang paham?

            Jadi, berhenti mendengarkan orang-orang bodoh dan sok tahu yang tidak punya pengetahuan. Berhati-hati dalam berpendapat, beropini, atau berfatwa jika belum memahami dengan benar apa yang sedang dibicarakan.

            Sampurasun.

Wednesday, 4 December 2024

Saatnya Berhenti Membenci Gus Miftah

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Semua sepakat bahwa apa yang dilakukan Gus Miftah kepada Sunhaji, pedagang es teh dari Magelang adalah keburukan meskipun disampaikan dengan cara bercanda, olok-olok yang niatnya hanya menyegarkan suasana. Sunhaji hanya dijadikan sebagai objek untuk menerangkan bahwa yang memberikan rezeki itu adalah Allah swt.

            Kesalahan yang dilakukan Gus Miftah mudah saja dilakukan oleh orang lain, terutama orang yang bekerja atau yang aktivitasnya banyak berbicara, seperti, saya yang punya ribuan murid, para guru, para dosen, para ustadz, mentor, pembina, trainer, dan lain sebagainya. Bisa saja kita pun pernah melukai orang lain dengan kata-kata, baik sengaja ataupun tidak, bercanda ataupun serius.

            Gus Miftah malah punya keuntungan besar karena ditegur Allah swt secara cepat melalui bulian, hujatan, dan makian rakyat Indonesia. Dengan demikian, dia bisa segera cepat memperbaiki diri. Tampaknya, Miftah pun memperbaiki dirinya. Dia meminta maaf secara langsung kepada Sunhaji, menjanjikannya umrah, dan menggelar pengajian di sekitar tempat tinggalnya. Di samping itu, Presiden RI Prabowo Subianto pun memberikan modal usaha buat Sunhaji karena Miftah sekarang adalah bagian dari dirinya, bagian dari istana yang ditugasi untuk mengurus hal-hal khusus yang berkaitan dengan kerukunan hidup umat beragama serta fasilitas beragama. Tambahan pula, banyak orang yang bersimpati kepada Sunhaji dan dengan dermawan memberikan banyak bantuan.

Sunhaji dan Miftah (Foto: ANTARA Jateng)

            Abah Miftah sudah mendapatkan banyak hukuman dari masyarakat selama berhari-hari. Saya pikir sudah cukup masyarakat memberikan peringatan kepadanya. Dia mungkin akan memperbaiki dirinya. Hal itu pun menjadi keuntungan bagi kita karena kita bisa belajar dari kesalahan dirinya dan tidak perlu melakukan hal yang serupa. Miftah sudah mulai membenahi dirinya. Kita masyarakat tidak perlu terus-menerus membulinya. Kalau kita terus-menerus membencinya, mungkin ada yang salah dalam diri kita. Bisa jadi hidup kita banyak masalah, banyak penderitaan, kekecewaan, dan kegagalan yang kemudian dilampiaskan dengan membuli, menghujat, dan memaki orang lain.

            Kemarahan kita akan menjadi pahala jika diniatkan untuk memperbaiki Miftah agar bisa menjadi gus yang lebih bermanfaat dan tidak berlebihan. Akan tetapi, kemarahan kita akan menjadi dosa dan membuat diri kita buruk jika hanya untuk mengumbar kebencian dan berlebihan.

            Mereka yang sangat marah kepada Miftah saya perhatikan sangat banyak dari para antihabib. Memang Miftah tampaknya masih berat untuk mengakui bahwa para habib bukanlah keturunan Nabi Muhammad saw. Dia masih membela habib meskipun tidak punya bukti karena katanya dirinya adalah murid dari Abah Luthfi atau yang dikenal Luthfi bin Yahya. Memang berat untuk mengakui bahwa kenyataannya gurunya yang dia hormati tidak tersambung nasabnya ke Nabi saw. Miftah punya masalah dengan dirinya soal hal itu.

Soal ejekan atau olokan kepada Sunhaji adalah hal yang berbeda dengan urusan nasab para habib. Olokan kepada Sunhaji adalah masalah adab, sedangkan soal nasab para habib yang justru kabarnya secara DNA tersambung ke Yahudi Israel adalah masalah ilmu pengetahuan. Jangan dihubung-hubungkan karena itu adalah dua persoalan yang berbeda.

 Gus Miftah sudah memperbaiki diri, tinggal kita juga sekarang harus menjaga diri.

Foto Sunhaji dan Miftah saya dapatkan dari ANTARA Jateng.

Sampurasun

Sunday, 1 December 2024

Siapa Bilang Islam Dikalahkan Sunda Wiwitan?

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Kemenangan mutlak Dedi Mulyadi dalam Pilkada 2024 Provinsi Jawa Barat lumayan meributkan media sosial. Ada yang bersuara menggunakan ilmu pengetahuan, ada juga yang bersuara menggunakan kebodohan.

            Dedi Mulyadi yang dipandang sebagai pemegang teguh ajaran Sunda Wiwitan dianggap telah mengalahkan Islam di Jawa Barat. Sungguh, saya pastikan orang yang berpendapat seperti adalah orang yang tidak memahami Islam dan sangat tidak memahami Sunda Wiwitan.

            Panjang sebenarnya kalau menulis hal ini, bisa berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Akan tetapi, sedikit saja saya jelaskan bahwa Sunda Wiwitan itu adalah sistem sosial yang digunakan leluhur Sunda dalam mengatur masyarakat, termasuk di dalamnya ada keyakinan yang monoteisme atau “bertuhan tunggal”. Oleh sebab itu, orang Sunda mudah sekali menerima Islam sebagai agama karena memiliki getaran yang sama dengan Sunda Wiwitan.

            Beberapa raja Sunda mencoba mengabadikan ajaran-ajaran Sunda Wiwitan dalam berbagai bentuk tulisan. Misalnya, sebagaimana yang direkam oleh “Prabu Munding Laya bin Gajah Agung bin Cakrabuana bin Aji Putih, Raja Sumedang Larang”.

            “Dina Agama Sunda Wiwitan, aya anu unina kieu, ‘Nya inyana anu muhung di ayana, aya tanpa rupa, aya tanpa waruga, hanteu ka ambeu-ambeu acan, tapi wasa maha kawasa di sagala karep inyana’.”

            Artinya.

           “Dalam Agama Sunda Wiwitan, ada ajaran seperti ini, ‘Dia-lah Yang Mahaagung dalam keberadaan-Nya, ada tanpa kelihatan rupa-Nya, ada tanpa kelihatan wujud-Nya, tidak tercium keberadaan-Nya, tetapi berkuasa yang kemahakuasaan-Nya adalah sesuai dengan kehendak-Nya’.”

            Itu satu kalimat dari Sunda Wiwitan yang pernah saya baca naskahnya. Kalau penasaran, nanti saya tambah lagi. Sayangnya, saya lupa menulis sumber naskahnya karena dulu saya kurang menganggap penting sumber tulisan, hanya mementingkan redaksinya. Insyaalah, kalau saya temukan sumbernya, saya share lagi.

            Pertanyaannya, adakah dari satu kalimat Sunda Wiwitan tadi yang bertentangan dengan ajaran Islam?

            Kalau ada, kasih tahu saya. Sangat senang saya mendiskusikannya. Kalau tidak ada, kalimat itu tidak bertentangan dengan Islam. Jadi, tidak benar Sunda Wiwitan mengalahkan Islam.

            Sampurasun.