oleh
Tom Finaldin
Bandung
Putera Sang Surya
Di masjid, gereja, vihara,
tempat-tempat ibadat lain, di perguruan tinggi, pada berbagai seminar, pada
rupa-rupa pidato dari dulu sampai hari ini masih saya dengar, “Alam dan seisinya
ini diciptakan sebesar-besarnya untuk kepentingan manusia!”
Pernah mendengar bukan kalimat seperti itu?
Dari mana kalimat itu berasal?
Apa dasarnya?
Kalau ada kitab suci, agama apa pun yang mengajarkan hal
itu, saya ingin tahu penjelasannya. Bagi saya, kalimat itu salah total. Sejak masih
SMA, saya heran dengan kalimat itu, tetapi dipercaya manusia hingga hari ini.
Benar-benar menghermankan, eh mengherankan.
Sepanjang penelusuran saya, ada kemungkinan kalimat itu berasal
dari pemahaman budaya yang salah. Dari seluruh ajaran budaya dan buku-buku yang
beredar, ada satu pemahaman inti bahwa “budaya adalah cara manusia hidup
menghadapi alamnya”. Inilah pemahaman yang salah itu.
Kesalahan pemahaman itu mengakibatkan kesalahan sikap. Karena
posisinya “berhadapan”, manusia selalu berusaha mengalahkan alam, menguasai,
dan menundukkan alam. Manusia menggali, mengeksploitasi, dan menikmati hingga
alam dikalahkan sehingga manusia menjadi pemenang dalam kehidupan ini. Apa pun
diambil, dikuasai, dan ditaklukan untuk kesenangan manusia.
Akibat kesalahan berpikir, kesalahan pemahaman, dan
kesalahan bersikap, terjadi ketidakseimbangan alam. Akibatnya, banyak terjadi
bencana di darat, di laut, dan di udara. Manusia sudah merasakannya. Jika
kesalahan berpikir itu tidak diperbaiki, alam menjadi bertambah rusak dan
manusia juga yang akhirnya mengalami kerugian dan penderitaan.
Contoh sederhananya adalah efek perambahan hutan menimbulkan
banjir, pemanasan udara mengakibatkan gunung es mencair dan menambah volume air
laut yang menenggalamkan daratan, serta menipisnya atmosfir sehingga sinar Matahari
langsung menembus kulit. Banyak lagi contoh lain yang akan sangat banyak jika
ditulis di sini.
![]() |
| Banjir dan Longsor Sumatera (Foto: CNN Indonesia) |
Seharusnya, manusia itu bukan berhadapan dengan alam, melainkan “bermitra” dengan alam dalam menjalani hidup dan kehidupan. Manusia dan alam harus bekerja sama dengan baik saling menjaga sehingga tercipta kehidupan harmonis dan tidak saling mengalahkan.
Orang tua kita dulu atau para sesepuh, selalu
berhati-hati jika akan membangun apa pun. Para tetua kerap berpuasa, semedi,
tirakat, merenung, bertapa, berpikir menyelaraskan diri dengan alam agar
pembangunan bisa berjalan tanpa harus merusakkan alam. Mereka berkontemplasi
dengan makhluk-makhluk alam, baik yang lahir maupun yang gaib. Mereka
berkomunikasi agar terjadi keselarasan kehidupan. Dengan demikian, manusia bisa
berkembang dengan baik dan alam pun tetap dapat hidup dengan harmonis.
Sayangnya, perilaku para sepuh kita itu sering dituduh
musyrik, kafir, kuno, kolot, terbelakang, bahkan murtad. Padahal, para orang
tua itu sedang berusaha menyeimbangkan diri dengan alam. Sayangnya, kita sekarang
lebih suka dengan pendekatan proyek, bisnis, korup, duit, duit, dan duit yang
membuat kita menjadi budak duniawi yang kerap menyesatkan.
Lambat atau cepat manusia akan memanen penderitaan dan
kerusakan jika tidak segera memperbaiki diri untuk menciptakan kebaikan. Jika
manusia sadar dengan kesalahannya dan mengoreksi dirinya, alam yang merupakan
tempat kita hidup akan menjadi seimbang dan menyenangkan, itulah yang dinamakan
“rahmatan lil alamin”.
Sampurasun.








