Monday, 15 December 2025

Bencana Akibat Salah Mikir

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung Putera Sang Surya

Di masjid, gereja, vihara, tempat-tempat ibadat lain, di perguruan tinggi, pada berbagai seminar, pada rupa-rupa pidato dari dulu sampai hari ini masih saya dengar, “Alam dan seisinya ini diciptakan sebesar-besarnya untuk kepentingan manusia!”

            Pernah mendengar bukan kalimat seperti itu?

            Dari mana kalimat itu berasal?

            Apa dasarnya?

            Kalau ada kitab suci, agama apa pun yang mengajarkan hal itu, saya ingin tahu penjelasannya. Bagi saya, kalimat itu salah total. Sejak masih SMA, saya heran dengan kalimat itu, tetapi dipercaya manusia hingga hari ini. Benar-benar menghermankan, eh mengherankan.

            Sepanjang penelusuran saya, ada kemungkinan kalimat itu berasal dari pemahaman budaya yang salah. Dari seluruh ajaran budaya dan buku-buku yang beredar, ada satu pemahaman inti bahwa “budaya adalah cara manusia hidup menghadapi alamnya”. Inilah pemahaman yang salah itu.

            Kesalahan pemahaman itu mengakibatkan kesalahan sikap. Karena posisinya “berhadapan”, manusia selalu berusaha mengalahkan alam, menguasai, dan menundukkan alam. Manusia menggali, mengeksploitasi, dan menikmati hingga alam dikalahkan sehingga manusia menjadi pemenang dalam kehidupan ini. Apa pun diambil, dikuasai, dan ditaklukan untuk kesenangan manusia.

            Akibat kesalahan berpikir, kesalahan pemahaman, dan kesalahan bersikap, terjadi ketidakseimbangan alam. Akibatnya, banyak terjadi bencana di darat, di laut, dan di udara. Manusia sudah merasakannya. Jika kesalahan berpikir itu tidak diperbaiki, alam menjadi bertambah rusak dan manusia juga yang akhirnya mengalami kerugian dan penderitaan.

            Contoh sederhananya adalah efek perambahan hutan menimbulkan banjir, pemanasan udara mengakibatkan gunung es mencair dan menambah volume air laut yang menenggalamkan daratan, serta menipisnya atmosfir sehingga sinar Matahari langsung menembus kulit. Banyak lagi contoh lain yang akan sangat banyak jika ditulis di sini.


Banjir dan Longsor Sumatera (Foto: CNN Indonesia)


            Seharusnya, manusia itu bukan berhadapan dengan alam, melainkan “bermitra” dengan alam dalam menjalani hidup dan kehidupan. Manusia dan alam harus bekerja sama dengan baik saling menjaga sehingga tercipta kehidupan harmonis dan tidak saling mengalahkan.

            Orang tua kita dulu atau para sesepuh, selalu berhati-hati jika akan membangun apa pun. Para tetua kerap berpuasa, semedi, tirakat, merenung, bertapa, berpikir menyelaraskan diri dengan alam agar pembangunan bisa berjalan tanpa harus merusakkan alam. Mereka berkontemplasi dengan makhluk-makhluk alam, baik yang lahir maupun yang gaib. Mereka berkomunikasi agar terjadi keselarasan kehidupan. Dengan demikian, manusia bisa berkembang dengan baik dan alam pun tetap dapat hidup dengan harmonis.

            Sayangnya, perilaku para sepuh kita itu sering dituduh musyrik, kafir, kuno, kolot, terbelakang, bahkan murtad. Padahal, para orang tua itu sedang berusaha menyeimbangkan diri dengan alam. Sayangnya, kita sekarang lebih suka dengan pendekatan proyek, bisnis, korup, duit, duit, dan duit yang membuat kita menjadi budak duniawi yang kerap menyesatkan.

            Lambat atau cepat manusia akan memanen penderitaan dan kerusakan jika tidak segera memperbaiki diri untuk menciptakan kebaikan. Jika manusia sadar dengan kesalahannya dan mengoreksi dirinya, alam yang merupakan tempat kita hidup akan menjadi seimbang dan menyenangkan, itulah yang dinamakan “rahmatan lil alamin”.

            Sampurasun.

Friday, 5 December 2025

Banjir Dekat Pemerintahan Kabupaten Bandung


 

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

 

Banjir di Kabupaten Bandung selalu terjadi setiap tahun di situ-situ saja. Artinya, semua orang tahu bahwa di wilayah itu kerap terjadi banjir. Anehnya, seperti dinikmati terus-menerus, tak ada perbaikan. Cirinya, tahun-tahun lalu banjir, sekarang masih banjir lagi. Semestinya, kalau sudah terjadi banjir satu kali, tahun berikutnya saat musim penghujan tiba, tak perlu lagi ada banjir karena sudah ada perhatian dan perbaikan. Akan tetapi, di area itu selalu terjadi banjir berulang-ulang.

 

            Kalau Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi “Bapak Aing”, mengomentari dan merencanakan hal-hal besar untuk ukuran provinsi dalam menangani banjir di Kabupaten Bandung, saya sebagai pengguna jalan melihat hal-hal kecil yang berakibat fatal. Semua warga Kabupaten Bandung yang tinggal di seputar atau dekat dengan pusat pemerintahan Kabupaten Bandung pasti tahu dan merasakan banjir yang sangat mengganggu itu. Lalu lintas macet, mobil tidak bisa bergerak hingga mengular tembus ke wilayah Kota Bandung, motor banyak yang mogok, polisi ikut-ikutan repot mengurusi lalu lintas akibat banjir yang sebetulnya sudah harus tidak terjadi lagi itu. Berjam-jam waktu terbuang berada di jalanan yang akibatnya menguras energi yang seharusnya tidak perlu.

 

            Saya melihat banjir itu banyak disebabkan saluran air yang tidak berfungsi maksimal. Saluran air sudah banyak sampah, ditumbuhi rumput dan tanaman liar, bahkan tidak mengalirkan air, air hanya menggenang tidak bergerak. Gorong-gorong tampaknya macet karena tidak tampak air yang mengalir, air hujan justru mengalir di jalanan. Bahkan, ada selokan yang hanya mengalirkan air sedikit, sementara air besar tumpah di jalanan yang bisa menenggelamkan kendaraan bermotor. Itu artinya tidak ada pemeliharan dan perbaikan saluran air untuk pembuangan. Jelas terjadi penyumbatan saluran air, baik oleh sampah, tanaman liar, atau bangunan liar tak berizin.

 

            Di samping itu, bangunan-bangunan di pinggir jalan, baik itu pertokoan, kantor, maupun rumah pribadi menggunakan beton untuk menutupi saluran air sebagai jembatan. Hal itu membuat orang tidak bisa mengontrol saluran air. Bisa saja di bawah beton itu dipenuhi sampah atau lumpur hingga membuat air macet dan pasti kotor karena setelah jejeran beton itu,tidak tampak air mengalir. Ada juga saluran air yang sudah tidak berfungsi karena tertimbun tanah yang kemudian ditumbuhi rumput liar. Bagusnya, dikeluarkan Perda ataupun Perbup atau apa pun itu untuk melarang warga dan siapa pun menggunakan beton sebagai jembatan untuk menutupi selokan. Semua orang hanya diperbolehkan menggunakan jembatan besi mirip pagar yang bisa diangkat agar selokan bisa dikontrol dan dibersihkan.

 

            Tampaknya konsep pentahelix sekedar omon-omon dalam urusan banjir di Kabupaten Bandung ini. Seharusnya, pemerintah, masyarakat, dunia usaha, akademisi, dan media berupaya keras mengatasi banjir ini sehingga tidak perlu lagi terjadi dan hidup masyarakat lebih berkualitas.

 

            Masih mau dinikmati banjir langganan tahunan ini di dekat pemerintahan Kabupaten Bandung?

 

            Saya sengaja tidak menampilkan ilustrasi dalam tulisan ini karena para netizen Kabupaten Bandung sudah banyak yang menguploadnya, baik berupa foto maupun video. Semakin banyak warga yang menyuarakan dan menayangkan konten-konten hasil karyanya terkait banjir di Kabupaten Bandung ini, mudah-mudahan pihak terkait lebih cepat mengambil tindakan untuk mengatasinya.

 

            Sampurasun.


Thursday, 2 October 2025

Jawa Barat Bisa Rusak Seperti Nepal

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Huru-hara di Negara Nepal dikabarkan terinspirasi dari demonstrasi di Indonesia terkait tunjangan perumahan DPR RI. Akan tetapi, di Nepal jauh lebih anarkis sampai-sampai menteri dikejar-kejar hingga ke sungai dan ditelanjangi, istri-istri pejabat dipukuli dan dibunuh, pemerintahan goncang luar biasa, aksi massa yang parah benar-benar terjadi secara mengerikan. Tidak masuk akal dalam pandangan dan perasaan saya sebagai orang Sunda.


Pejabat korban huru-hara Nepal (Foto: Instagram)

            Kerusuhan di Nepal salah satunya dipicu oleh hoak, berita bohong, dan misleading, penyesatan informasi. Rakyat disuguhi provokasi bahwa pemerintah Nepal membungkam suara rakyat dengan cara melarang media sosial, seperti, facebok, Instagram, X, dan lain sebagainya untuk beroperasi di Nepal. Hal ini membuat rakyat, terutama kaum muda marah karena sekarang ini media sosial adalah dunianya mereka. Kerusuhan sadis pun terjadi. Padahal, pemerintah Nepal itu sedang bernegosiasi agar para pengusaha pemilik aplikasi media sosial mengikuti aturan-aturan yang berlaku di Nepal, termasuk dalam hal membayar pajak pada pemerintah. Memang jika pemilik Medsos tidak mengikuti keinginan pemerintah, Medsos itu tidak boleh ada lagi di Nepal.

            Berbeda dengan di Indonesia, para pemilik Medsos itu pun sempat diancam untuk berhenti jika tidak mengikuti aturan negara. Akan tetapi, para pemilik Medsos itu dengan cepat mengikuti kehendak pemerintah Indonesia sehingga tidak terjadi pemberhentian aplikasi. Masyarakat tetap bisa menggunakan berbagai media sosial. Dari segi bisnis, memang Indonesia jauh lebih menguntungkan karena penduduknya sangat banyak. Berbeda dengan Nepal yang penduduknya hanya sekitar 25 jutaan, hanya setengah dari penduduk Provinsi Jawa Barat. Keuntungan di Nepal sudah pasti lebih sedikit dibandingkan dengan di Indonesia.

            Kejadian di Nepal bisa terjadi di Jawa Barat akibat kebijakan Gubernur Dedi Mulyadi yang akrab dipanggil KDM. Pemberhentian tambang di Parung Panjang, Bogor, memicu demonstrasi yang dipenuhi orasi dan provokasi berisi perlawanan kepada KDM yang dianggap telah merugikan rakyat. Perusahaan tambang yang telah beroperasi puluhan tahun dan menghidupi banyak orang harus ditutup yang mengakibatkan banyak orang yang bergantung hidup dari perusahaan-perusahaan itu tak punya lagi penghasilan di sana. Itulah yang banyak disuarakan, baik saat demonstrasi maupun pada berbagai tayangan Medsos.

            Jika suara-suara kemarahan akibat penutupan tambang itu ditelan bulat-bulat oleh masyarakat, huru-hara besar bisa sangat terjadi karena seolah-olah Dedi mematikan kehidupan ekonomi rakyat. Beruntung, rakyat Indonesia, khususnya Jawa Barat yang sudah terlatih dengan hoak semakin lama semakin cerdas mengolah berbagai informasi. Rakyat Jawa Barat, Suku Sunda dan juga rakyat Indonesia secara keseluruhan sudah terlatih dengan melihat bahwa isu-isu hoak itu memang benar-benar bohong dan merugikan mereka sendiri. Mereka berulang-ulang tertipu dan tidak lagi mudah mempercayai sebuah kabar berita yang terbawa angin nggak jelas.

            KDM sendiri secara jelas mengakui memang ada beberapa masyarakat Jawa Barat yang terimbas dirugikan akibat kebijakannya menutup tambang. Akan tetapi, kerugian yang diderita masyarakat jauh lebih besar karena tidak jelasnya pajak, kerusakan infrastruktur jalan yang mencapi triliunan, rusaknya kesehatan, bahkan menimbulkan seratusan kematian akibat pertambangan tersebut. Oleh sebab itu, Dedi menegaskan bahwa dirinya bisa menutup perusahaan tambang sementara atau selamanya secara permanen. Dia hanya ingin rakyatnya untung, perusahaan untung, tak ada yang dirugikan. Jika rakyat dirugikan, dia akan menutupnya secara permanen selamanya, tak ada lagi pertambangan di sana.


Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (Foto: Merdeka.com)


            Penjelasan Dedi mudah dipahami oleh rakyat Parung Panjang, Bogor, rakyat Jawa Barat, dan seluruh Indonesia. Oleh sebab itu, mayoritas rakyat mendukung kebijakan Dedi. Hal ini mengakibatkan provokasi para pendemo menjadi melempem, tak punya bahan bakar untuk memperbesar menjadi kerusuhan. Isu dan hoak dengan sendirinya tidak laku di pasaran. Huru hara pun tidak terjadi. Itulah kelebihan rakyat Indonesia sekarang ini mulai cerdas mengolah informasi sehingga tidak terjadi kerusuhan jahat seperti di Nepal.

            Ilustrasi istri mantan PM Nepal saya dapatkan dari Instagram, sedangkan Dedi melotot dari Merdeka com.

            Sampurasun

Wednesday, 24 September 2025

Jangan Marah Kalau MBG Dikritik

 


oleh Tom FInaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Program MBG adalah rencana kerja yang sangat baik bagi rakyat Indonesia. Adalah hal yang aneh jika ada yang tidak menyetujui rakyat Indonesia diberi makan gratis.

            Hal yang menjadi masalah adalah dalam pelaksanaan program tersebut. Sejak awal sudah banyak kritikan yang dipicu oleh para siswa yang mengonsumsi MBG. Ada yang mengatakan tidak enak, lama datangnya, dan lain sebagainya. Kritikan-kritikan itu mendapat tanggapan dari pendukung pemerintah atau dari pemerintahnya sendiri. Seolah-olah mereka yang mengkritik adalah orang-orang yang tidak berterima kasih. Istilahnya, sudah dikasih makan, belagu tidak bersyukur.


Makan Bergizi Gratis (Foto: ANTARA News)

            “Kalian ini kenapa? Saya saja makan nasi kotak murah sudah bersyukur. Kalian dikasih makan gratis tidak bersyukur!”

            Ada pendukung pemerintah yang berbicara seperti itu, bahkan lebih kasar. Seharusnya, kritikan-kritikan itu diperhatikan, lalu dievaluasi sehingga ada perbaikan ke depannya.

            Saya sendiri mendengar langsung dari siswa sekolah tertentu yang mengatakan, “Sayurnya masam. Cuma jeruk dan susu aja yang enak.”

            Malahan ada siswa yang memilih tidak makan MBG. Mereka lebih baik jajan atau memakan bekalnya yang dibawa dari rumah.

            Sekarang malahan semakin parah, banyak yang keracunan setelah mengonsumsi MBG. Bahkan, orangtua siswa di Kabupaten Bandung Barat meminta agar program MBG dihentikan karena membahayakan. Miris memang program yang sangat baik menjadi program yang dianggap berbahaya. Ini sudah menurunkan kepercayaan rakyat terhadap program itu.

            Bupati Bandung Barat Jeje menjelaskan bahwa dapur untuk memasaknya tidak higienis. Hal ini bisa dipahami, tetapi kurang masuk akal juga. Sangat banyak dapur yang tidak higienis yang dimiliki rakyat untuk membuat jajanan seperti seblak, bajigur, bala-bala, mie, ataupun pisang goreng, tetapi tidak menimbulkan keracunan masal sampai ada yang kejang-kejang.

            Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menjelaskan bahwa keracunan itu ditimbulkan oleh jarak waktu dari memasak makanannya sampai dengan dibagikannya terlalu lama sehingga makanan bisa basi. Itu juga bisa dipahami, tetapi harus diteliti lebih jauh. Banyak siswa yang membawa bekal dari rumah subuh, dimakan siang hari, baik-baik saja, tidak keracunan.

            Saya sendiri bertanya-tanya dari mana bahan-bahan makanan itu berasal?

            Kapan dibelinya?

            Apakah masih segar?

            Bagaimana prosesnya? Siapa yang masak? Di mana? Bagaimana pengemasannya?

            Saya sering melihat mobil pikup di jalan tol yang dikemudikan seperti kesetanan, ngebut luar biasa. Saya kenal beberapa sopir kesetanan seperti itu. Mereka sangat ngebut karena mengejar waktu agar sayuran yang dijual di pasar tetap segar, tidak layu, dan tidak busuk sehingga masih punya nilai jual tinggi. Hal ini berarti ada bahan makanan yang hanya dalam waktu beberapa jam sejak dipanen bisa langsung busuk dan membahayakan untuk dikonsumsi.

            Sebaiknya untuk daerah-daerah kabupaten yang masih banyak kebun, dapur MBG membeli bahan-bahan dari masyarakat sekitar. Misalnya, tempat tinggal saya masih dikelilingi kebun penduduk, ada kebun sosin, mentimun, cabe, tomat, ada juga yang punya kolam ikan. Saya juga punya kolam ikan kecil yang cukup untuk menampung seribu ikan. Dengan demikian, bahan makanan lebih segar, lebih murah, masyarakat lebih meningkat ekonominya, dan anak-anak muda punya kegiatan ekonomi sebagai pekerjaannya. Tidak perlu mencari kontraktor pengadaan bahan makanan dari tempat yang jauh.

            Untuk daerah perkotaan, beli bahan makanan dari kabupaten terdekat. Di samping lebih cepat, juga makanannya akan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.

            Untuk tenaga pemasak, libatkan orangtua siswa, ibu-ibu yang tidak memiliki aktivitas pekerjaan di luar rumah. Dengan demikian, mereka akan memasak untuk anak-anaknya sendiri dan lingkungannya. Mereka akan punya lebih banyak cinta ketika memasak dan bukan didorong oleh motif bisnis semata.

            Pemerintah dan pendukungnya jangan marah kalau program MBG dikritik, jangan lagi bilang tidak bersyukur dikasih makan.

            Memangnya, siapa yang akan bersyukur jika anak-anaknya keracunan?

            Sebaiknya kritikan itu dianggap masukan untuk mendorong program MBG semakin baik dan berhasil mewujudkan generasi muda yang sehat dan cerdas berpikir.

            Ilustrasi makanan dalam MBG saya dapatkan dar ANTARA News.

            Sampurasun.

Tuesday, 16 September 2025

Gara-Gara Kasus Ijazah Jokowi, Setiap Lembaga Pendidikan Harus Siap Diselidiki

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Kasus Ijazah Jokowi yang dibiarkan berlarut-larut bertahun-tahun, baik oleh para pembenci Jokowi maupun oleh Jokowi sendiri telah merembet ke mana-mana. Sekarang menuju pula ke anak Jokowi yang menjadi Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka.

            Gibran disebut tidak sah menjadi Wapres karena ijazahnya, baik SMA ataupun perguruan tingginya berasal dari luar negeri, bukan di dalam negeri. Disebut pula dia bersekolah di SMA nonmuslim. Ada juga yang mengakui sekolahnya memang di sekolah seperti yang diakui Gibran, tetapi tidak selesai. Lucu memang.


Jokowi dan Tampilan Ijazah Yang Diributkan (Foto: Serambinews com - Tribunnews com)


            Ini merembet ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diminta untuk membuka berkas-berkas calon presiden maupun wakil presiden. Bahkan, dituntut agar membuka berkas-berkas setiap politisi yang menjabat melalui pengurusan KPU, baik di eksekutif maupun di legislatif. KPU tampaknya kooperatif dengan cara mendengarkan aspirasi masyarakat dan menggabungkannya dengan ketentuan atau peraturan yang berlaku.

            Hal ini ke depannya akan menjalar pula terhadap berbagai lembaga pendidikan, baik negeri maupun swasta, mulai SD hingga perguruan tinggi di seluruh Indonesia ini. Setiap lembaga pendidikan harus lebih rapi dan teliti dalam mengarsipkan berkas-berkas peserta didiknya dari yang terkecil seperti catatan biaya pendaftaran hingga berkas kelulusannya. Ini wajib dilakukan karena bisa terjadi ada lulusan di lembaga pendidikan tersebut yang kemudian menjadi pejabat publik, lalu diragukan riwayat pendidikannya. Penyelidikan terhadap orang yang diragukan tersebut akan sampai pada lembaga pendidikan yang diakui oleh orang itu. Artinya, catatan di lembaga pendidikan tersebut harus sempurna. Bisa memang orang yang diragukan itu benar-benar lulusan dari lembaga pendidikan yang diakuinya atau bisa juga orang itu hanya mengaku-aku lulusan dari situ, padahal bodong alias bohong.

            Lembaga pendidikan pun harus siap menghadapi pengadilan jika ternyata orang yang diragukan itu dinyatakan bukan lulusan seperti yang diakuinya. Artinya, orang yang diragukan itu akan menuntut lembaga pendidikan tersebut secara hukum karena merasa telah dirugikan, baik martabatnya maupun hak dan kewajiban sosial dan politiknya.

            Itu sangat positif agar setiap lembaga pendidikan semakin rapi catatannya. Di samping itu, setiap politisi harus nyata riwayat pendidikannya secara asli dan benar, bukan abal-abal.

            Saya sih senang-senang saja, malahan sedikit tertawa karena mengenal beberapa politisi yang pernah mengakui telah melakukan jual-beli ijazah. Saya pun memang tidak pernah melihat mereka kuliah, tetapi tiba-tiba mempunyai gelar akademik. Mereka teman-teman saya sampai hari ini meskipun seluruhnya pernah berdebat, bahkan bermusuhan dengan saya. Rata-rata memang mereka itu sulit jujur. Mereka ada yang berasal dari partai agama, partai nasionalis, serta partai nasionalis-religius. Saya tidak pernah memutuskan hubungan pertemanan. Soal mereka tidak beres, itu urusan mereka dengan Tuhan dan negara. Urusan dengan saya adalah berteman sepanjang mereka tidak merugikan dan tetap menghormati saya.

            Baguslah jika setiap orang bisa menuntut KPU untuk membuka berkas-berkas para politisi terpilih yang diragukan riwayat pendidikannya. Dalam waktu tidak terlalu lama lagi akan tampak orang-orang yang selama ini dihormati, dibela, dan diagungkan ternyata melakukan kecurangan dalam pengadminitrasian politik. Kita lihat dan nikmati saja.

            Ilustrasi Jokowi dan tampilan ijazah yang diributkan itu saya dapatkan dari Serambinews com – Tribunnews com.

            Sampurasun

Sunday, 14 September 2025

Sekarang Mau Dikemanain Uang DPR RI Yang Diprotes Itu?

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Setelah adanya demonstrasi dan penjarahan, bahkan kematian untuk memprotes kenaikan honor DPR RI, pemerintah memutuskan bahwa uang itu tidak jadi diberikan kepada anggota DPR.

            Lalu, mau dikemanakan uang itu sekarang?

            Mau dibagikan ke rakyat?

            Itu uang kecil sebenarnya untuk ukuran APBN.

            Coba kita hitung  sederhana, seorang anggota DPR mendapatkan uang Rp50 juta per bulan untuk penggantian perumahan. Itu terjadi selama dua belas bulan. Artinya, seorang anggota DPR RI mendapatkan Rp600 juta. Jumlah anggota DPR itu ada sekitar 500 orang. Jadi, mereka seluruhnya mendapatkan uang sejumlah sekitar Rp30 miliar. Pembaca bisa hitung sendiri lebih tepat soal ini. Saya hanya hitungan sederhana.

            Kalau uang yang Rp30 M itu dibagikan kepada rakyat Indonesia yang jumlahnya 285 juta jiwa, berapa setiap orang mendapatkan uang itu?

            Paling juga hanya Rp15 ribu atau Rp50 ribu per orang. Itu hanya cukup untuk beli kuota sehari atau satu bulan.


Uang Recehan (Foto: Kompasiana.com)


            Berhargakah uang sekecil itu jika dibandingkan dengan kematian tujuh orang akibat huru-hara, penjarahan rumah para pejabat, pembakaran fasilitas umum, dihukumnya para aparat yang berlebihan bertindak, ditangkapnya para perusuh yang membuat keadaan menjadi memalukan tidak aman?

            Itu hanya uang kecil!

            Kerusakan yang diakibatkannya jauh lebih parah.

            Seharusnya rakyat menuntut hal yang jauh lebih besar, seperti, disahkannya UU perampasan aset koruptor, pembubaran Ormas pemalak perusahaan yang mengakibatkan harga naik tinggi dan menimbulkan banyak PHK, pembasmian politik uang, atau hal besar lainnya.

            Justru dengan naiknya honor anggota DPR, rakyat harus punya tenaga dan kepedulian untuk menuntut kerja-kerja para wakil rakyat lebih keras lagi. Rakyat harus menekan lebih kuat agar anggota dewan benar-benar memperlihatkan kerjanya yang berpihak kepada rakyat. Hal yang lebih utama adalah tandai para wakil rakyat yang kerjanya fleksing tanpa ada kepedulian kepada rakyat dan jangan lagi dipilih pada masa pemilihan mendatang.

            Kita harus menuntut hal yang jauh lebih besar daripada sekedar menunjukkan rasa iri karena perbedaan penghasilan. Mereka punya penghasilan tinggi karena usaha mereka, kita punya penghasilan seperti sekarang ini karena upaya kita pada masa lalu kita.

            Ilustrasi uang recehan saya dapatkan dari Kompasiana com.

            Sampurasun

Saturday, 6 September 2025

Orang Sunda Tidak Akan Merusakkan Daerahnya Sendiri

 


oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Maaf tulisan ini mungkin akan terasa rasis, bahkan etnosentris. Akan tetapi, itulah yang terjadi belakangan ini.

            Berkaitan dengan demonstrasi di Bandung yang diwarnai huru-hara, perusakkan fasilitas umum, kematian, dan penjarahan, diikuti oleh gerakan cepat pihak kepolisian menangkapi para pelanggar hukum, ternyata para perusuh itu di antaranya bukan orang Bandung, sama sekali bukan orang Jawa Barat, malahan bukan orang Sunda. Hal itu membuat netizen Sunda marah-marah. Mereka jengkel bisa-bisanya bukan orang Sunda bikin kerusakan di tanah Sunda. Menurut mereka, orang Sunda asli tidak akan berbuat kehancuran seperti itu. Komentar-komentar seperti itu sangat banyak beredar pada video-video penangkapan perusuh yang disebarkan oleh pihak kepolisian melalui konferensi pers.

            Sejujurnya, saya setuju bahwa orang Sunda yang memegang nilai-nilai kesundaan tidak akan melakukan kerusakan, apalagi di tanahnya sendiri. Akan tetapi, saya tidak yakin bahwa orang Sunda masih taat pada nilai-nilai keluhuran leluhurnya yang punya keadaban tinggi. Pengaruh-pengaruh luar dan nilai-nilai luar mudah sekali masuk mendistorsi kebaikan ajaran Sunda. Saya juga tidak tahu bahwa orang-orang yang ditangkapi itu semuanya bukan orang Sunda.


Prabu Siliwangi (Foto: Pinterst)


            Hal yang patut diperhatikan adalah komentar-komentar kemarahan dari netizen Sunda itu sekaligus pula mengingatkan orang Sunda untuk kembali mengingat ajaran leluhurnya yang punya banyak solusi tanpa harus menggunakan kekerasan dan kekacauan. Banyak cara lain yang bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah.

            Saya meyakini bahwa semua suku bangsa di Indonesia ini memiliki nilai-nilai kebaikan sangat tinggi yang dilekatkan Allah swt sejak dalam kandungan. Tak ada satu suku pun di Indonesia ini yang mengajarkan kejahatan dan kerusakan. Sudah kehendak Allah swt manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal sehingga bisa bekerja sama membangun hidup dan kehidupan, bukan untuk melakukan kerusakan.

            Kalaulah ada kelompok-kelompok yang gemar kekusutan pikiran dan kekacauan perilaku, itu sudah dipastikan bukan berasal dari Allah swt. Itu berasal dari kesesatan.

            Kita harus kembali pada nilai kebaikan kita dan menyelesaikan masalah dengan kebaikan pula, bukan dengan huru-hara.

            Ilustrasi Prabu Siliwangi saya dapatkan dari Pinterest.

            Sampurasun.

Sunday, 31 August 2025

Demo di Pemukiman dan Penjarahan Itu Kejahatan

 

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Kan tidak perlu diajarin lagi sebetulnya bahwa di pemukiman penduduk itu ada bayi, anak kecil, orang sakit, orang lanjut usia, orang yang tidak mengerti apa-apa, tempat tinggal yang seharusnya menenangkan, serta keluarga-keluarga kecil yang ingin hidup tenteram beraktivitas dan beribadat dengan tenang. Jika ada demonstrasi yang melibatkan massa banyak apalagi melakukan penjarahan, akan sangat mengganggu ketertiban dan kehidupan masyarakat, itu adalah kejahatan yang tidak boleh terjadi.

            Demonstrasi yang awalnya tulus dan murni dengan menyuarakan moralitas berubah menjadi gangguan menakutkan sekaligus menimbulkan kemarahan masyarakat. Isu-isu yang dibawa secara terpelajar untuk membela rakyat meluncur jatuh menjadi gerakan murahan yang mengganggu rakyat. Orang-orang menjadi takut sekaligus marah karena aktivitas rutinnya rusak. Tidak tenang pergi ke luar untuk bekerja, sekolah, pergi ke Puskesmas, belanja karena jalanan serasa dikuasai para pengacau.


Demonstrasi Rusuh Menimbulkan Kerusakan (Foto: Klik Solo News)


            Kalaupun ada orang-orang yang dianggap bersalah sehingga perlu didemo, tetap tidak boleh di rumahnya atau di pemukiman penduduk. Apalagi dengan melakukan penjarahan dan perusakkan terhadap milik orang lain.

            Kita ingin korupsi berhenti, tetapi melakukan penjarahan, perusakkan, dan perampokkan terhadap harta orang lain.

            Lalu, apa bedanya orang yang didemo dengan para pendemo?

            Sama-sama melakukan kejahatan.

            Itu juga kalau benar bahwa orang yang didemo itu adalah koruptor. Seseorang bisa disebut bersalah atau tidak harus melalui keputusan hakim, bukan oleh dugaan, fitnahan, kebencian, ataupun provokasi.

            Kalau ternyata yang didemo itu tidak bersalah, tetapi kalian telah melakukan kerusakan, itu adalah kejahatan. Kalian hanya perusuh.

            Jangan demo di pemukiman penduduk, jangan melakukan penjarahan, jangan mengganggu ketertiban. Tetap teguh pada moralitas dan isu-isu yang benar untuk membela rakyat dengan cara yang terpelajar.

            Kalau rusuh sehingga menimbulkan kerusakan, kesakitan, dan kematian, siapa yang akan mengurus kalian kalau bukan keluarga yang dibantu penduduk yang adalah tetangga kalian?

            Jika kerusakannya sangat parah, pemerintah pasti ikut campur dengan menggunakan uang rakyat. Semua jadi rugi.

            Sampurasun.

Saturday, 30 August 2025

Beda DPR RI dan Dedi Mulyadi

 

oleh Tom Finaldin

 

Bandung, Putera Sang Surya

Tampaknya rakyat marah besar karena Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mendapatkan kenaikan penghasilan yang berupa penggantian perumahan. Jumlah yang mereka terima berdasarkan isu yang berkembang adalah tiga juta rupiah per hari. Sebetulnya sih, penghasilan mereka lebih dari itu karena mendapatkan honor-honor lain, saya tahu betul karena saya pernah menjadi asisten wakil rakyat selama empat tahun. Sebetulnya, rakyat tahu dan paham bahwa gaji pejabat tinggi itu pasti besar, tidak mungkin disamakan dengan orang-orang kebanyakan. Permasalahannya adalah rakyat tidak melihat kebanyakan anggota DPR itu menghasilkan kerja-kerja yang pro-rakyat meskipun ada juga yang benar-benar bekerja dengan sangat baik. Penghasilannya ditingkatkan, tetapi hasil kerjanya tidak dirasakan, bahkan tidak terlihat oleh rakyat.

            Saya jadi teringat kata-kata almarhum Gus Dur bahwa DPR RI itu mirip “Taman Kanak-Kanak”. Hal ini bisa dilihat ketika diumumkan penghasilan DPR RI meningkat, mereka berjoget ria mirip anak-anak TK yang dikasih permen, senangnya bukan main. Memang tidak semua joget-joget, ada juga yang diam, entah apa yang ada di dalam pikirannya. Ketika rakyat mengkritik perilaku tersebut, para anggota DPR itu ada yang melawan dan menghina rakyat dengan sebutan tolol atau perilaku lain yang membuat marah. Itulah awalnya kemarahan rakyat yang kemudian menjadi kerusuhan di berbagai daerah. Seharusnya, anggota DPR RI itu menjelaskan bahwa kenaikan penghasilan itu akan membantu mereka untuk lebih produktif, lebih berpihak pada rakyat, serta menjelaskan apa saja yang mereka kerjakan untuk membela rakyat.


Anggota DPR RI Berjoget Ria (Foto: Surabaya Pagi)


            Rakyat marah karena anggota DPR RI semakin banyak mendapatkan uang. Pada saat yang sama ada beberapa bagian rakyat yang sedang benar-benar kesusahan untuk membiayai hidup diri dan keluarganya.

            Sikap rakyat ini berbeda terhadap Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Rakyat sangat senang jika Dedi Mulyadi semakin kaya. Rakyat justru sangat menginginkan Dedi semakin banyak uang. Hal ini bisa dilihat dari komentar-komentar rakyat pada video di chanel-chandel milik Dedi Mulyadi. Pada ribuan komentar itu selalu saja terdapat komentar yang mendorong orang-orang untuk menambah subscriber, menonton video Dedi hingga habis, tidak memotong penayangan iklan, dan ajakan untuk membagikan video Dedi pada berbagai akun milik rakyat. Semua tahu hal itu akan menaikkan pendapatan uang buat Dedi. Sekarang saja dari akun Medsos-nya, Dedi sudah mendapatkan uang lebih dari Rp10,3 M per bulan. Rakyat tidak iri dan tidak marah. Malahan, senang luar biasa.

            Rakyat merasa senang karena tahu bahwa penghasilan Dedi itu akan kembali mengalir kepada rakyat yang sedang membutuhkan dan itu bisa dilihat secara langsung yang biasanya membuat emak-emak dan orang-orang berhati melo menangis haru. Tak ada kemarahan sama sekali dari rakyat jika Dedi mendapatkan banyak uang. Meskipun Dedi setiap hari berjoget, memeluk dan dipeluk perempuan kapan saja, mencium dan dicium perempuan mana saja, rakyat tidak marah, bahkan rakyat ikut berjoget-joget.


Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi Menembus Demionstran (Foto: Tribun Jabar)


            Rakyat yang biasa-biasa saja tak punya uang banyak hanya bisa membantu Dedi dengan mendukung tayangan-tayangan video Dedi. Rakyat yang punya uang banyak dan pengusaha besar membantu Dedi dengan uangnya yang juga sangat banyak. Hal ini bisa dilihat dari pengakuan Dedi sendiri ketika menyelamatkan gereja Katolik dari penyitaan yang dilakukan oleh pihak bank. Gereja itu harus disita bank karena persoalan tunggakan pinjaman yang menggunakan tanah gereja sebagai jaminan sejumlah  enam miliar rupiah yang kemudian membengkak menjadi enam belas miliar rupiah. Dedi menjelaskan bahwa untuk menyelamatkan gereja itu dibantu oleh teman-temannya dalam menyelesaikan tagihan bank. Teman-teman Dedi itu rakyat yang punya banyak uang.

            Rakyat marah karena DPR RI tidak jelas kerjanya dan banyak mempertontonkam kemewahan di hadapan rakyat tanpa dirasakan keberpihakannya kepada rakyat. Rakyat senang Dedi kaya raya karena melihat jelas keberpihakannya kepada rakyat, hasil kerjanya bisa ditonton langsung, dan banyak memberikan uang secara langsung kepada rakyat yang membutuhkan dalam jumlah yang sangat besar. Itu bedanya.

            Foto DPR RI berjoget saya dapatkan dari Surabaya Pagi, sedangkan Dedi Mulyadi merangsek menembus kerumunan demonstran dari Tribun Jabar.

            Sampurasun