Tuesday 10 August 2010

Keangkuhan Tim Sukses dan Upaya Pembodohan Masyarakat

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Sudah menjadi kebiasaan, bahkan keharusan setiap tim sukses mati-matian untuk memenangkan jagoannya yang juga lebih mati-matian untuk mendapatkan kedudukan yang diinginkannya. Berbagai upaya ditempuh agar tujuannya berhasil tercapai dengan gilang-gemilang. Dalam angan mereka, biasanya sudah ada gambaran kalau menang, akan bisa “menggali” ini dan itu sebagai hasil dari kemenangannya. Seluruhnya, biasanya berharap nilai materi dan duniawi yang semu dan sesaat.

Memang ada yang jujur dan tulus untuk masyarakat, tetapi siapa sih orangnya? Berapa sih jumlah mereka yang bisa benar-benar dibilang jujur dan tulus berbakti dan berkorban untuk rakyat?

Wajar jika para calon penguasa atau pejabat itu nggak enak tidur dan nggak enak makan atau bayangannya dipenuhi proses-proses politik, praktik dagang sapi, dan kengerian jika terjadi kekalahan. Hal itu disebabkan sudah sangat banyaknya modal yang dikeluarkan untuk mengikuti proses politik di alam demokrasi ini. Demikian pula para tim sukses yang selama ini membantunya. Mereka memiliki kesempatan untuk ikut meramaikan situasi dengan berupaya keras memenangkan jagoannya itu. Jika jagoannya menang, mereka akan ikut senang dan mungkin kebagian “sesuatu” sebagai buah dari upayanya. Jika kalah, ya harus pasrah menerima kenyataan pahit, termasuk harus pula rela jika jagoannya itu bukannya menjadi pejabat, melainkan menjadi penghuni rumah sakit jiwa. Di samping itu, mereka harus menerima untuk beberapa saat menjadi bahan gunjingan tetangga karena kekalahannya itu.

Upaya-upaya yang dilakukan tim sukses itu ada yang normal, wajar, dan bisa dibilang mendidik masyarakat. Akan tetapi, ada pula yang angkuh dan pongah, terutama yang berada di pedesaan dan atau daerah pinggiran kota. Mereka mencoba menekan masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah dengan menakut-nakuti masyarakat untuk wajib datang ke tempat pemilihan. Banyak masyarakat yang mengeluh, resah, dan merasa tertekan karena ditakuti-takuti, misalnya, kalau tidak memilih, akan didatangi aparat pemerintah dan urusan mereka ke depan akan dipersulit. Jika datang ke tempat pemilihan apalagi memilih jagoannya, diberi janji akan dimodali usahanya serta disebut warga negara yang baik dan bertanggung jawab. Kalau tidak datang ke tempat pemilihan, disebut masyarakat yang tidak bertanggung jawab dan mendapat sindiran untuk segera pindah dari tempat tinggalnya sekarang, bahkan diolok-olok sebagai bukan warga Negara Indonesia. Sungguh, masyarakat sebenarnya sudah luntur kepercayaannya kepada sistem politik demokrasi ini. Mereka sangat bingung karena mulai tumbuh keyakinan bahwa siapa pun yang terpilih, kehidupan mereka tidak akan pernah berubah. Kemerosotan kepercayaan masyarakat terhadap proses politik demokrasi ini mendorong para tim sukses busuk untuk melakukan serangkaian upaya-upaya pemaksaan yang membodohkan.

Perilaku “pemaksaan” itu pun tampaknya dilakukan pula bukan hanya oleh tim sukses, melainkan pula dilakukan oleh panitia pemilihan. Biasanya, mereka, panitia itu, di beberapa TPS berkoar-koar melalui pengeras suara mengingatkan masyarakat untuk segera ke tempat pemilihan dan memberitahukan batas waktu pemilihan. Jika batas waktu sudah habis dan ada masyarakat yang masih belum datang, ada panitia yang mengunjungi warga yang belum atau tidak memilih itu. Memang yang terjadi bukan pemaksaan, melainkan peringatan tentang batas waktu pemilihan. Akan tetapi, di lingkungan masyarakat Indonesia, upaya “didatangi” itu sudah dirasakan merupakan aksi “memaksa”.

Upaya-upaya angkuh dari sebagian tim sukses dan sebagian panitia pemilihan itu sungguh bukanlah upaya yang mendidik masyarakat dalam politik. Perilaku itu hanya menunjukkan betapa khawatirnya dan sombongnya para elit di negeri ini.

Seharusnya, jika ingin disebut terpelajar, para jagoan itu mendidik tim suksesnya masing-masing agar mengajari masyarakat bahwa datang ke tempat pemilihan itu adalah “hak”, bukan “kewajiban”, di samping tugas pokoknya memberitakan soal visi dan misi para jagoannya yang biasanya isinya begitu-begitu saja. Berikan kebebasan kepada masyarakat untuk tidak datang memilih karena tidak memilih itu juga merupakan sikap politik yang lahir dari sebuah kecerdasan dan itu harus diakomodasi dalam sistem pemerintahan yang demokratis. Demikian pula pemerintah, sudah saatnya memberikan pengarahan kepada KPU dan panitia-panitia di TPS untuk tidak maksa-maksa orang datang ke tempat pemilihan. Biarkan masyarakat berjalan mengikuti kata hatinya. Duduk saja diam di tempat pemilihan dan jika waktu telah usai, lakukan proses selanjutnya, tinggalkan masyarakat yang tidak datang ke tempat pemilihan dengan rasa hormat. Nah, itu baru sportif, gentleman, dan jiwa pemberani.

Kalaulah masyarakat sudah tidak respek lagi dengan sistem politik demokrasi, mengapa tidak tinggalkan saja sistem politik demokrasi yang memalukan ini? Kemudian, bangkit membangun sistem politik baru yang berasal dari jiwa asli bangsa Indonesia. Sistem politik demokrasi itu kan hanya isu, bukan pemahaman hasil dari pengkajian ilmiah.

Jangan paksa dan jangan bodohi masyarakat!

No comments:

Post a Comment