Tuesday 10 August 2010

Teori Jam Dinding

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Dalam setiap diskusi dan berbagai kesempatan. Saya selau memberikan pemahaman bahwa demokrasi itu sesat dan menyesatkan, rendah dan merendahkan. Akan tetapi, setelah mereka memahami apa yang saya sampaikan, biasanya kebingungan. Pada satu pihak mereka sangat yakin bahwa negeri ini harus keluar dari demokrasi yang memuakkan ini, di pihak lain tidak memiliki pilihan lagi untuk mengganti sistem politik demokrasi karatan ini. Hal itu disebabkan di kepala mereka hanya ada sedikit pengetahuan mengenai sistem politik, yaitu sistem otoriter, demokratis, atau Negara Islam. Hanya itu yang ada. Padahal, jika kita mau, akan ada banyak sistem politik yang bisa dijadikan alternatif. Syaratnya adalah keluar dari kebiasaan kita yang selalu menyandarkan diri pada otak dan teori-teori yang berasal dari buku-buku barat.

Kita memang terbiasa dan kerap bangga jika sudah mampu mengemukakan gagasan atau opini dengan sandaran pendapat para intelektual barat. Padahal, mereka mengatakan hal-hal itu berdasarkan tempat dan waktu yang berbeda dengan kita sekarang ini. Itulah agaknya yang menjadi dasar Ir. Soekarno, Presiden RI ke-1, mengatakan bahwa kita, bangsa Indonesia, adalah bangsa yang malas berpikir, tidak mau berpikir yang rumit-rumit. Oleh sebab itu, berulang-ulang Pemimpin Besar Revolusi itu mengingatkan kita bahwa dalam berjuang menjalankan negara untuk mencapai kejayaan haruslah memikirkan sendiri gagasan-gagasannya dan cara-caranya, gagasan dan cara-cara yang datang dari luar, tidaklah boleh begitu saja semau-maunya dijiplak. Ia adalah tokoh yang sangat yakin dengan jati dirinya. Tak heran oleh sebab itu, nama dan semangatnya tak pernah mati di negeri ini. Tidak seperti kebanyakan pemimpin kontemporer saat ini, masih hidup saja semangat dan namanya sudah mati duluan, menyedihkan sekaligus memalukan.

Kita sebenarnya diberi anugerah berupa keyakinan bahwa tujuan hidup bangsa ini adalah menjadi/menjadikan manusia Indonesia seutuhnya. Manusia yang utuh itu mengandung pengertian terjadinya keseimbangan hidup secara batin maupun lahir. Tidak berat sebelah, memprioritaskan yang batin sambil meninggalkan urusan lahir atau sebaliknya.

Untuk menyeimbangkan kehidupan yang seimbang secara individu, setiap anggota rakyat Indonesia diberikan kebebasan menganut agama dan kepercayaannya masing-masing sebatas yang diakui oleh Negara Indonesia. Tak boleh ada agama dan kepercayaan lain di luar yang telah disepakati. Untuk berinteraksi antaragama, antarkepercayaan, dan antarsuku yang majemuk ini, Pancasila telah menjadi rumusan yang sangat tepat. Tak ada segolongan manusia Indonesia pun yang dimarjinalkan oleh Pancasila. Di samping itu, Pancasila menjadi penahan sekelompok umat untuk berdiri di atas umat lainnya di lingkungan Negara Indonesia. Tambahan pula, Pancasila akan menjadi filter yang tangguh dalam menahan arus gelombang negatif yang datang dari luar Negara Indonesia jika dilaksanakan secara benar dan konsekwen sesuai dengan keinginan Pancasila itu sendiri, bukan sesuai dengan hawa nafsu segelintir manusia yang rakus harta dan kekuasaan.

Untuk mendapatkan kondisi yang “utuh” tersebut, kita sudah selayaknya menggunakan seluruh sarana lahir dan batin yang kita miliki. Modal itu hendaknya digunakan secara seimbang dalam menata pergaulan berbangsa dan bertanah air. Saat ini kita hanya terbiasa menggunakan sarana lahir tanpa menggunakan sarana batin. Dengan pongah dan bingungnya kita berputar-putar menggunakan teori-teori dan pengalaman-pengalaman hidup bangsa lain dalam memberikan dasar-dasar bagi proses berbangsa dan bertanah air Indonesia. Bisa kita saksikan perdebatan demi perdebatan yang tak karu-karuan itu mengeluarkan teori atau pendapat asing di samping menjelaskan berbagai hal yang terjadi di luar negeri. Para elit kita sangat terbiasa dengan mencontohkan hal-hal yang terjadi di Amerika, Jepang, Swedia, Cina, India, Malaysia, dan negeri-negeri lain. Padahal, keluhuran dan kemuliaan telah dicontohkan oleh para pemimpin negeri ini sejak berabad-abad lalu dan itu adalah nyata menghasilkan kejayaan, keemasan, dan kemakmuran. Tentunya, sebelum terdistorsi kerakusan VOC plus penjajah lain.

Upaya-upaya lahir yang keterlaluan ini sudah saatnya dikurangi untuk kemudian ditambah dengan upaya-upaya batin. Pendekatan batin kepada Sang Pencipta adalah upaya yang sangat tepat untuk menyelesaikan berbagai masalah yang kita alami.

Kembali pada maksud dari tulisan ini. Ketika banyak orang yang bertanya jika tidak menggunakan sistem politik demokrasi, sistem apa yang lebih baik daripada demokrasi, sesungguhnya jawaban itu selalu ada dan setiap hari diberikan Allah swt. Masalahnya, kita terlalu sibuk dengan hal-hal yang lahir, urusan hiruk pikuknya dunia ini. Padahal, sementara itu, kita meyakini bahwa Tuhan adalah Mahabenar, Maha Pemberi Petunjuk. Sangatlah aneh jika memiliki keyakinan terhadap Tuhan, tetapi mencari jalan keluar yang jauh dari nilai-nilai ketuhanan.

Saudara sebangsa dan setanah air, saya coba upayakan untuk menyederhanakan maksud ini. Kita tak akan pernah mendapatkan petunjuk yang jelas jika terlalu sibuk dengan hal-hal yang sifatnya lahir, duniawi. Kita akan selalu tersesat jika tidak memperhatikan petunjuk-petunjuk batin.

Sebagaimana judul di atas, saya mengajak Saudara-saudara sekalian untuk memperhatikan jam dinding. Saat siang ketika dunia ini dipenuhi kebisingan suara-suara yang sibuk, jam dinding itu seolah-olah hanya berjalan seperti itu, tak ada istimewanya. Akan tetapi, ketika mulai menjelang malam, saat kesibukan dunia berkurang, kita mulai mendengar sesuatu yang lain dari jam dinding, yaitu detak jam. Suara detak jam itu semakin lama semakin keras seiring dengan berkurangnya hiruk-pikuk kesibukan dunia. Ketika malam semakin pekat, semakin gelap, semakin sepi, suara detak jam dinding itu keras sekali. Bahkan di ruangan tertentu suara itu menjadi raja dibandingkan suara-suara lainnya.

Sebenarnya, suara detak jam dinding itu sejak siang pun ada dan tetap ada. Kalaupun kita tidak tidak mendengarnya, itu disebabkan perhatian kita yang tersedot oleh suara kesibukan dunia. Kalau mau sedikit melelahkan diri dengan berkonsentrasi, kita setiap saat bisa mendengarnya, baik siang apalagi malam hari.

Sesungguhnya, petunjuk mengenai sistem politik alternatif yang dapat menyelamatkan, bahkan memuliakan negeri ini setiap saat selalu ada. Allah swt selalu memberikannya kepada kita, namun kita tidak pernah benar-benar memperhatikannya. Hal itu disebabkan kita terlalu angkuh, pongah, sombong, dan bangga dengan pengetahuan yang kita dapatkan secara lahir dan bisa diraba atau dijelaskan secara lahiriah. Adapun pengetahuan dan petunjuk batin, kita abaikan. Padahal, keagungan petunjuk Allah swt itu hanya bisa diperoleh dengan upaya batin yang sungguh-sungguh.

Jika saja kita mau, sesungguhnya petunjuk untuk mengantarkan negeri ini menuju puncak kejayaannya selalu ada dan tidak pernah berhenti diberikan oleh Allah swt. Akan tetapi, hal itu hanya akan kita dapatkan jika kita mulai mengurangi kepusingan kita dengan segala hal yang sifatnya duniawi yang cenderung mengantarkan manusia untuk mengejar keuntungan sesaat.

Semoga tulisan ini memberikan sedikit pencerahan agar kita mau mencari petunjuk yang suci dari Allah swt sekaligus menghentikan atau setidak-tidaknya mengurangi kebiasaan-kebiasaan menipu, berdusta, mengingkari janji, khianat, bertengkar, berdebat, saling fitnah, saling umbar kebaikan diri pribadi, saling tuding, dan perilaku lainnya yang disahkan oleh sistem demokrasi. Sungguh sistem politik demokrasi itu sangat menggelikan. Acara yang disebut “terpelajar” dalam demokrasi adalah acara adu bacot dan adu tegang urat leher. Padahal, Pancasila mengajarkan kita untuk hidup saling membantu, bukan saling berkompetisi menjadi penguasa terhadap sekelompok manusia lainnya.

Perhatikan jam dinding. Dengarkan suaranya. Cari petunjuk Tuhan. Tuhan akan memberikan jalan keluar dari demokrasi yang menjijikan ini serta kita akan mendapatkan sistem politik yang lebih baik dan lebih agung untuk kebaikan negeri ini. Insyaallah.

No comments:

Post a Comment