Monday 9 August 2010

Yang Tersisa dari Demokrasi Hanyalah Propaganda Menyedihkan

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Sudah demikian jelas bahwa demokrasi tidak memberikan jalan keluar untuk memperbaiki sistem tatanan pergaulan berbangsa dan bernegara di negeri yang kita cintai ini. Demokrasi hanyalah menjadi sumber kekisruhan dan kekalutan yang kemudian menjadi pemicu berbagai ketimpangan yang ada. Sistem ini adalah sistem yang sangat rendah, kotor, hina, kampungan, dan tidak bernilai akademis. Akan tetapi, anehnya banyak orang yang memiliki kedudukan penting dan atau tergolong akademisi masih mempertahankan sistem politik demokrasi yang sudah demikian tampak jelas kengacoannya. Mereka dengan tanpa ragu dan tanpa malu bersuara lantang membela demokrasi. Padahal, sudah tampak nyata bahwa demokrasi semakin menyulitkan hidup kita. Tak jelas mereka itu apakah memang tidak tahu, pura-pura tidak tahu, tahu tetapi mendapatkan keuntungan duniawi dari sistem politik demokrasi yang menipu rakyat itu, tahu tetapi malu mengakui kesalahan yang telah diperbuat selama ini, atau tahu tetapi tidak memiliki alternatif lain selain demokrasi karena di kepalanya hanya ada sistem demokrasi, otoriter, atau Negara Islam. Kalaulah yang membela demokrasi itu rakyat biasa, wajarlah karena rakyat di Indonesia ini sangat mendengarkan pemimpinnya atau tokoh-tokohnya tanpa mempelajari dan mempertimbangkannya dengan matang. Akan tetapi, sangat tidak wajar kalau orang itu termasuk akademisi, bersuara lantang membela demokrasi dengan tanpa pengetahuan, hanya mengikuti isu-isu yang dihembuskan pihak-pihak kapitalis.

Ketika negeri ini mulai menjalankan praktik demokrasi, sama sekali tidak didahului dengan penelitian yang akurat dan matang. Saat itu beberapa di antara para founding father hanya melihat bahwa Amerika Serikat telah maju di berbagai bidang dengan menggunakan sistem politik demokrasi tanpa melihat dengan lebih detail penyebab-penyebab kemajuan tersebut berikut akibat-akibatnya. Dimulailah praktik demokrasi yang secara legal mulai disemarakkan pada 3 November 1945. Beberapa saat setelah itu, hanya dalam hitungan hari, sudah terjadi kekisruhan, Indonesia memiliki dua kabinet yang berseberangan dan menganggap diri paling sah. Beruntung Presiden RI ke-1, Ir. Soekarno, lebih mengutamakan persatuan bangsa dibandingkan keukeuh mempertahankan pendapat pribadinya. Ia memilih untuk merestui kabinet baru yang dibentuk di luar persetujuan dirinya. Hal itu terpaksa dilakukannya hanya untuk menyelamatkan kondisi negeri. Perlu diketahui, Soekarno sangat tidak menyukai demokrasi. Ia sudah dari dulu melihat bahwa demokrasi itu teramat buruk bagi Indonesia.

Berbagai peristiwa menyedihkan pun terjadi pascapemberlakuan demokrasi. Kabinet jatuh bangun, pertontonan kekayaan para anggota dewan, debat tak berkesudahan, dan negeri tak sempat membangun dengan baik. Pertikaian politik pun berlanjut. Jangan dilupakan pula bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi besar secara nyata adalah gara-gara diberlakukannya demokrasi. Seandainya tidak ada demokrasi, PKI tak akan menjadi partai empat besar di Indonesia dan sama sekali tak pernah menjadi partai komunis terbesar di dunia.

Saat kita beralih dari Orde Lama ke Orde Baru pun sama, cita-citanya demokrasi, yaitu Demokrasi Pancasila. Namun, apa yang terjadi selanjutnya? Kengerian dan kesakitan harus di derita rakyat negeri ini. Perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme tumbuh secara sporadis. Pemusatan keuangan yang memalukan, tekanan yang begitu hebat dari penguasa terhadap kehidupan rakyat pada umumnya, serta menggunungnya hutang terhadap luar negeri. Terlalu bosan untuk menuliskan berbagai ketimpangan dan kemelut yang terjadi pada masa Orde Baru. Saya pikir semua tahu dan sudah banyak informasi yang tersedia untuk hal tersebut, tak perlu diuraikan lagi di sini.

Ketika memasuki Orde Reformasi dari Orde Baru pun tak jauh berbeda, cita-citanya demokrasi. Kali ini Demokrasi tanpa Embel-embel. Kita semua menyangka bahwa dalam zaman ini akan terjadi perbaikan hidup secara nyata. Namun, harapan tinggal harapan, rakyat semakin bingung hidupnya. Mereka kini pun tak tahu harus ke mana melangkah. Kekisruhan dan kerusuhan politik menjadi-jadi sampai menimbulkan korban jiwa, money politics merajalela yang membuat politisi sederajat dengan tukang warung yang menghitung-hitung modal dan labanya, proses-proses hukum terhambat karena diduga terkait dengan proses demokrasi, pemborosan dana meningkat drastis yang semestinya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan, perilaku korupsi dan kolusi pun tak bisa disebut berkurang atau berhenti, malahan terus menjamur, ditambah lagi dengan tingkat kriminalitas yang meresahkan rakyat. Berita terbaru dari Pong Harjatmo yang kesal dengan perilaku anggota dewan, salah satunya adalah soal Century. Tentang Century ini tersiar dugaan keras bahwa kasus Century ini terkait dana kampanye salah satu partai. Dana kampanye itu kan berarti cost yang harus dikeluarkan untuk demokrasi. Kasus ini tetap dirasakan mengambang dan tetap menggoyang istana. Lalu, mengapa sih harus bertahan dengan demokrasi? Pengalaman sudah menunjukkan dengan sangat nyata bahwa sistem politik demokrasi itu benar-benar menjijikkan.

Tak ada lagi hal yang bisa dijadikan landasan kuat untuk mempertahankan demokrasi. Semuanya sudah hancur berantakan. Kalaupun demokrasi masih didukung oleh para pengagungnya, yang tersisa hanyalah propaganda membingungkan. Bingung karena apa sebenarnya yang membuat mereka tetap pada demokrasi? Tak jelas dan misterius. Jangan jangan, ah ... jangan deh.

Beberapa waktu yang lalu Wakil Presiden RI, Prof. Boediono dalam sebuah surat kabar mengatakan bahwa menurut pemikirannya, demokrasi adalah sistem politik yang terbaik. Akan tetapi, ia pun mewanti-wanti bahwa akan terjadi penurunan kepercayaan terhadap sistem politik demokrasi jika para elit tidak memiliki komitmen yang tinggi dalam berbangsa dan bernegara. Itu tinggal menunggu waktu kejatuhan.

Baru-baru ini pun Presiden RI, SBY, menjelaskan dalam sebuah surat kabar bahwa tak perlu lagi diperdebatkan antara Pemilihan Kadal (Pemilihan Kepala Daerah Langsung) dengan pemilihan tidak langsung dalam arti melalui orang-orang yang pengennya disebut wakil rakyat. Maaf, itu bahasa saya saja. SBY mengistilahkan dengan Pemilukada langsung, sedangkan saya mengistilahkan dengan Pemilihan Kadal. Presiden menegaskan bahwa tetap harus dilakukan pemilhan langsung, tetapi meminta Wantimpres untuk mengkaji berbagai eksesnya. Ia sangat menyadari bahwa pemilihan langsung itu memang memboroskan dana dan memicu money politics. Kesadaran seperti itu adalah teramat baik daripada mengingkari kenyataan yang ada. Namun sayangnya, ia masih percaya terhadap demokrasi yang membuat runyam itu.

Baik Presiden maupun Wakil Presiden sampai hari ini masih sangat yakin terhadap sistem politik demokrasi. Akan tetapi, mereka tampaknya sama dengan para elit dari zaman dulu sampai dengan sekarang, tak pernah mengkaji secara mendalam apakah sistem politik demokrasi itu cocok untuk diterapkan di negeri ini atau tidak. Mestinya, mereka sebagai orang yang teramat terpandang di negeri ini, memberikan penjelasan ilmiah mengenai keagungan demokrasi bagi bangsa Indonesia yang kita cintai ini, bukan hanya berpikir sekilas, mengira-ngira, atau bahkan mengikuti isu. Mereka itu akademisi yang telah mencapai gelar doktor. Seharusnya, mereka memiliki penjelasan ilmiah yang menggunakan pendekatan-pendekatan atau metode-metode ilmiah jika tetap bersikukuh mempertahankan demokrasi yang kini sudah mulai diserang dan tidak lagi dipercayai oleh beberapa kalangan rakyat, terutama rakyat yang menggunakan otak dan perasaannya. Jika mereka tak memiliki waktu untuk memiliki karya ilmiah tersebut dengan alasan bukan disiplin ilmunya atau karena kesibukannya, bukankah mereka itu dapat mengendalikan orang-orang? Mereka bisa mengumpulkan orang-orang pandainya untuk menyusun karya ilmiah tentang demokrasi itu. Mereka bisa mengumpulkan para rektor perguruan tinggi untuk hal itu. Kemudian, sampaikan kepada rakyat sehingga jelas semuanya bahwa demokrasi itu adalah yang terbaik. Selepas itu, biarkan atau bahkan undang para pengeritik demokrasi dan para antidemokrat untuk mengujinya. Jika karyanya itu selamat dari ujian, mengapa tidak diteruskan saja demokrasi itu dan dibangun dengan sepenuh keyakinan.

Akan tetapi, jika karyanya itu tidak tahan uji, ubah saja sistem politik kita tanpa ragu-ragu seperti yang pernah dikatakan Ir. Soekarno, Pemimpin Besar Revolusi kita itu, “Ubah saja yang perlu diubah, jangan tedeng aling-aling!”

Jika ternyata demokrasi itu setelah diuji, sangatlah lemah dan busuk, tetapi negeri ini tetap mempertahankannya, berarti negeri ini telah mengalami kebodohan yang ditimpa oleh kebodohan lain yang dikunci oleh ketololan yang sangat memuakkan.

Saudara sebangsa dan setanah air, sungguh saya yakin haqul yaqin, seluruh orang pintar di negeri ini tak akan sanggup menyusun penjelasan ilmiah untuk mengagungkan demokrasi. Hal itu disebabkan pertama, demokrasi itu lahir dari orang-orang bingung Athena kuno yang pusing bagaimana caranya untuk mempersatukan seluruh suku yang ada.

Kedua, saat itu pun demokrasi sudah mengklasifikasikan manusia ke dalam golongan-golongan tertentu. Manusia tidak sederajat.

Ketiga, demokrasi itu sistem politik yang kuno sangat kuno nggak ketulungan, lahir enam ratus tahun sebelum Yesus lahir. Padahal, kita hidup di zaman modern.

Keempat, sejak lahir pun demokrasi sudah ditentang para ilmuwan. Plato dan Aristotle adalah filsuf barat yang sangat berpengaruh. Mereka memandang bahwa sistem politik demokrasi itu inferior dan berbahaya.

Kelima, setelah Athena jatuh, dunia menganggap demokrasi tidak efisien. Sejak kejatuhan demokrasi itu, di berbagai belahan dunia mengalami kemajuan yang menakjubkan di berbagai bidang, seperti, ekonomi, pengetahuan, militer, dan lain sebagainya. Islam mengalami keemasan dan kejayaannya tanpa menggunakan demokrasi. Cina dan India mengalami kemajuan pesat, nggak pake demokrasi. Eropa mencapai zaman kegemilangannya, jauh dari demokrasi. Indonesia mencapai masa keemasan dan kebesarannya saat sebelum VOC datang dan sama sekali tidak mengenal demokrasi. Sejarah mencatat hal itu semua.

Keenam, Indonesia dan banyak negara lain menggunakan demokrasi hanya karena mengikuti isu-isu internasional pascaperang dunia kedua, yaitu memandang sosok AS yang saat itu maju dengan demokrasi ketika negara-negara Eropa sedang dilanda kemelut peperangan yang menyakitkan. Indonesia mengikuti isu demokrasi itu tanpa melakukan pengkajian mendalam, sebagaimana yang pernah dikatakan Ir. Soekarno bahwa di negeri ini banyak orang yang malas berpikir. Artinya, lebih suka memperhatikan, lalu mengikuti isu. Isu kok diperhatikan sih? Mestinya kan ada cek en ricek terlebih dahulu.

Ketujuh, setelah menjamur demokrasi di seluruh dunia, kapitalis menjajah negeri-negeri lain tanpa menggunakan fisik. Mereka menggunakan demokrasi itu untuk berbuat cabul dengan pemimpin-pemimpin negeri yang lemah demi merampok harta kekayaan negerinya.

Kedelapan, sejarah Indonesia tak mencatat bahwa demokrasi menyelesaikan berbagai permasalahan. Kenyataan yang ada adalah menambah masalah yang ada. Dari berbagai peristiwa yang terjadi saat ini, para pecinta demokrasi akan selalu mendapatkan masalah untuk mengagungkan demokrasi karena akan selalu bertentangan antara teori, keinginan, asumsi, dengan kenyataan yang ada. Oleh sebab itu, para penganut demokrat tidak akan pernah berhasil menjelaskan kehebatan demokrasi.

Kesembilan, negeri-negeri yang saat ini makmur, cenderung tak ada masalah berarti, dan tetap relatif berada dalam kesantunan, sama sekali tidak menggunakan sistem politik demokrasi. Rakyat di negeri-negeri itu akan menganggap Pemilu hanya kegiatan yang nggak ada kerjaan. Mereka tidak membutuhkannya. Mereka mungkin akan tertawa terpingkal-pingkal jika di negerinya diadakan Pemilihan Kadal. Amerika? Makmur? Wow... tidak salah, tetapi mereka itu menjajah orang lain, gemar berdusta, bertengkar, bermuka dua, sering mengadu domba, mudah membunuh, terlalu grasu-grusu, dan menjadi sumber kemaksiatan di muka Bumi ini. Negeri itukah yang menjadi anutan Indonesia? Hmh ... kalau memang itu yang terjadi, saya hanya ingin mengatakan kaciaaan deh lu.

Kesepuluh, demokrasi modern yang katanya telah berkembang, padahal masih tetap mengacu pada yang kuno itu, dasar-dasarnya diletakan di negara-negara yang berbeda budaya dengan kita. Di negara-negara itu telah terjadi pengekangan yang luar biasa dari pihak kerajaan dan gereja, revolusi industri, revolusi sosial, revolusi komunis, dan dinamika sosial lainnya. Di Indonesia tidak terjadi peristiwa-peristiwa itu, jadi nggak perlu ngikut-ngikut mereka.

Saudara-saudara sebangsa dan setanah air, sebetulnya sangat ingin saya menambahkan lagi alasan-alasan lain yang membuat saya yakin bahwa orang-orang terpandai di negeri ini tak akan pernah sanggup menjelaskan kehebatan demokrasi. Akan tetapi, saya khawatir Saudara-saudara akan bosan membacanya dan kemudian merasa letih. Sungguh, terlalu banyak untuk ditulis di sini. Lain kali dalam tulisan berikutnya akan saya tambah.

Intinya adalah kita harus segera keluar dari isu demokrasi ini, lalu rumuskan sistem politik yang sesuai dengan jiwa bangsa dan berasal dari dalam jiwa negeri. Allah swt sudah melekatkan nilai-nilai dan norma-norma yang kemudian dapat dijadikan landasan untuk membentuk sistem politik sendiri. Jangan pikirkan negara lain dulu. Mereka biarkan dengan urusannya sendiri.

Akan tetapi, jika masih juga percaya terhadap demokrasi, lakukan penelitian mendalam tentang hal itu. Kemudian, uji dengan baik oleh orang-orang yang kontra demokrasi. Itu akan menghasilkan sesuatu yang baik. Tidak perlu malu untuk berubah. Hanya orang tolol yang tidak mau berubah menjadi baik.

Jangan pula menyusun penjelasan ilmiah, lalu hanya diuji oleh orang-orang yang prodemokrasi. Itu sama saja dengan bohong. Dengan kata lain, upaya itu akan sama saja dengan onani atau masturbasi, yaitu punya gagasan sendiri, mengerjakan sendiri, menikmati sendiri, dan orang lain tidak boleh ikut campur.

Saya sangat percaya bahwa yang tersisa dari demokrasi hanyalah propaganda menyedihkan.

No comments:

Post a Comment