Sunday, 25 July 2010

Demokrasi Jadikan Indonesia Bangsa Rusuh yang Tidak Beradab

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Kita menyangka bahwa sistem politik demokrasi adalah sistem yang paling agung dan luhur. Bangsa ini sangat percaya dan berharap bahwa demokrasi mampu menyelesaikan kemelut dan berbagai kesulitan yang diderita. Akan tetapi, sesungguhnya kita semua telah tertipu dengan sistem politik demokrasi yang sebenarnya berbau busuk dan merendahkan martabat kemanusiaan itu. Sampai kapan pun demokrasi tak akan pernah mampu menyelesaikan masalah, bahkan akan menambah masalah dan menjerumuskan Indonesia ke dalam jurang yang lebih menyedihkan.

Sesungguhnya, sistem politik demokrasi itu adalah sistem yang kampungan, rendah, tidak terpelajar, dan cenderung biadab. Jika mau diuraikan secara akademis, kebobrokan demokrasi sangatlah bisa. Yang sulit adalah menyadari dan mengakui diri bahwa kita telah melakukan kesalahan yang teramat fatal dalam menjalankan proses berbangsa dan bertanah air ini. Dengan tolol dan bodohnya, masih sangat banyak pemimpin dan intelektual yang bersikukuh dengan pendapat bahwa demokrasi adalah sistem politik terbaik dan cocok untuk negeri ini. Keangkuhan mereka itu benar-benar membuat kerusakan ke dalam alam pikiran rakyat Indonesia yang berkecenderungan untuk bersikap kumaha nu dibendo, ‘bagaimana pemimpin’ atau bagaimana ‘orang-orang cerdas’ saja.

Sikap bangsa Indonesia yang santun dan mencintai ketertiban itu dimanfaatkan oleh “mereka” yang saat ini sedang populer untuk mendapatkan keuntungan. Mereka sangat paham bahwa bangsa ini sangat tenang dan cenderung mengikuti “arahan”. Dengan demikian, mereka bisa mengarahkan ke mana saja bangsa ini sesuai dengan hawa nafsu dan keterbatasan pemikiran mereka.

Seharusnya, mereka itu tidak perlu terlalu angkuh mempertahankan pendapat yang jelas-jelas telah keliru. Mereka harusnya memiliki “kecintaan” yang lebih terhadap bangsa Indonesia dengan tidak mengarah-arahkan rakyat pada hal-hal yang telah nyata busuk di depan mata.

Sesungguhnya, sistem politik yang kita gunakan sekarang ini bukan hanya tidak cocok bagi bangsa Indonesia, melainkan pula sangat tidak cocok dengan kemanusiaan di muka Bumi ini. Soal demokrasi tidak cocok dengan segala bangsa, dalam situs ini tidak terlalu ditekankan. Dalam berbagai tulisan di dalam blog ini, sengaja difokuskan terhadap kepentingan Negara Indonesia yang kita cintai. Soal negara lain, biarlah urusan penduduknya sendiri. Kita berpikir untuk diri kita sendiri saja.

Saudara pembaca yang budiman, di dalam blog ini terdapat banyak contoh dan alasan logis mengenai kekusutan demokrasi. Tulisan kali ini pun bermaksud lebih membukakan mata kita agar dapat melihat dengan jelas bahwa sistem politik demokrasi itu sangat tidak beradab, bahkan cenderung biadab.

Demokrasi yang dikeramatkan orang itu telah memperlihatkan tabiatnya yang memuakkan. Kita bisa menyaksikan kerusuhan di mana-mana, pertengkaran, adu tegang urat leher, adu jotos, perlombaan jumlah massa, perusakan harta benda dan bangunan, penganiayaan, bahkan sampai pembunuhan yang diduga akibat persaingan politik, pemborosan dana dan waktu, dan lain sebagainya yang terjadi akhir-akhir ini adalah diakibatkan oleh sistem politik demokrasi.

Di berbagai tempat telah terjadi perusakan dan atau pembakaran kantor KPU, gedung DPRD, kantor kecamatan, kantor kelurahan; bentrokan dengan aparat dan antarmassa pendukung; perseteruan antarkeluarga/marga; pembakaran kendaraan bermotor; ketidakamanan situasi yang ditandai dengan adanya ronda bersenjata tajam dan penyebaran polisi akibat dari pelaksanaan Pemilihan Kadal (Pemilihan Kepala Daerah Langsung); kemacetan lalu lintas yang sangat mengganggu aktivitas banyak pihak.

Kekisruhan, kekacauan, kesemrawutan, dan kecarut-marutan yang terjadi itu sangat jelas diakibatkan oleh sistem politik demokrasi yang menjijikan. Masyarakat yang terlibat dalam demokrasi, terutama akhir-akhir ini dalam Pemilihan Kadal menduga dengan keras bahwa telah terjadi kecurangan, tidak puas dengan hasil quick count, fanatisme dukungan terhadap calon yang tidak lolos seleksi dan atau kalah dalam Pemilihan Kadal, kebebasan yang kebablasan, dugaan KPUD tidak netral, masalah dalam intern partai, indikasi keterlibatan anggota dewan dalam memanas-manasi situasi, kerugian materi yang diderita pihak yang kalah dalam jumlah spektakuler, serta perilaku dan mental buruk yang diidap para politisi rendahan.

Situasi yang memprihatinkan, menyesatkan, dan membingungkan ini memicu banyak tokoh untuk berkomentar dan bersikap. Mereka memiliki pandangan dan keinginan untuk meredam situasi yang terjadi. Akan tetapi, sayang, komentar, pemikiran, dan sikap mereka tetap berada dalam koridor demokrasi. Akibatnya, sama sekali tak ditemukan jalan untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Mereka hanya berputar-putar tak karuan dan bolak-balik seperti setrikaan yang tak pernah menemukan ujungnya.

Beberapa waktu lalu, di negeri ini telah berdiri organisasi yang bernama Nasional Demokrat atau disingkat Nasdem. Surya Paloh, Sang Pendiri, saya yakin memiliki keinginan yang luhur untuk meredam situasi yang tak menentu dan memajukan Indonesia dengan cara mempersatukan berbagai elemen bangsa dalam satu organisasi. Namun, keinginan luhur itu sama sekali tidak akan membuahkan hasil karena di antara anggotanya banyak anggota partai dan pendukung kekuatan politik tertentu. Para anggota yang masih berada dalam lingkungan partai atau kekuatan politik tertentu itu akan masih sangat setia menjaga fatsun politiknya terhadap kekuatan politik organisasinya, bukan pada Nasdem. Mereka tetap akan bersaing dan berperilaku sebagaimana institusi politik dalam habitat demokrasi yang memuakkan. Hal itu menyebabkan akan masih berlarut-larutnya kekacauan yang terjadi. Kalau soal aksi sosial instan yang dilakukan Nasdem semisal bantuan terhadap bencana alam atau terhadap fakir miskin, itu mah biasa saja, bukan hal yang aneh dan luar biasa. Orang lain dalam berbagai organisasi pun melakukan hal itu, bahkan mungkin lebih banyak jumlahnya dibandingkan Nasdem. Akan tetapi, tujuan Nasdem untuk mempersatukan langkah secara nasional (mungkin), sama sekali tidak akan pernah berhasil. Saya menjamin itu.

Oleh sebab itu, kebingungan Surya Paloh yang sempat berpidato, “.... pasti ada yang salah .... pasti ada yang salah .... pasti ada yang salah ....”, tak akan pernah mendapat jawaban.

Jawaban sesungguhnya terletak dalam dada kita, dada setiap insan Indonesia, yaitu berani keluar dari tempurung kebodohan demokrasi.

Tokoh lain, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang saat ini sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Jimly Asshiddiqie, berpendapat bahwa peristiwa-peristiwa itu menunjukkan gejala masyarakat yang masih berada di peradaban rendah (27-05-2010, 01 : 24).

Sungguh, pendapat Jimly Asshiddiqie itu teramat keliru, jauh dari kebenaran, dan sangat menyakitkan hati. Kalimat yang keluar dari mulutnya itu menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang terbelakang dan kurang beradab. Tak jelas bagi saya, apakah dia itu tidak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa bangsa ini sebenarnya lebih beradab daripada bangsa Barat? Ir. Soekarno pernah mengatakan bahwa saat bangsa Barat tinggal di gua-gua dan pinggir-pinggir sungai dengan berbagai pertarungan hidupnya, kita ini sudah hidup beradab dan tertib. Kita sudah mengenal silih asah silih asih silih asuh, tepo seliro, dan tenggang rasa. Menurut Soekarno, kita menjadi seperti ini adalah akibat dari kejahatan penjajahan yang membuat rakyat negeri ini terjatuh sedalam-dalamnya ke jurang kegelapan.

Bangsa ini sebenarnya sebelum kedatangan Si Anjing VOC, sudah memiliki cara-cara pergaulan yang baik, serasi, harmonis, baik dengan alam maupun sesama manusia. Kita bertahan dan maju dengan nilai-nilai dan norma-norma yang luhur menuju zaman keemasan dan kejayaan. Sejarah sudah mencatat hal itu. Perdagangan, peningkatan pendidikan, dan kehidupan religi berjalan sangat mengagumkan.

Saudara pembaca yang budiman, pendapat Jimly Asshiddiqie itu sangat salah. Pendapatnya itu sangat terbalik daripada yang seharusnya. Justru dengan digunakannya sistem politik demokrasi, bangsa ini meluncur jatuh ke jurang yang semakin hari semakin sangat tidak beradab. Tidak percaya? Bukankah contohnya sudah begitu gamblang di depan mata kita? Mau bukti apa lagi? Kalau buktinya kurang banyak, tunggu saja hari-hari berikutnya jika kita masih memuja demokrasi yang menyesatkan itu.

"Setelah sekian tahun berjalan, Pilkada sepertinya harus dievaluasi. Salah satunya bisa saja bupati atau walikota dipilih oleh DPRD setempat," kata Jimly pada saat yang sama, "Mekanismenya sudah ada tinggal diefektifkan."

Masyaallah, pendapatnya ini benar-benar keterlaluan. Dia benar-benar seolah-olah mempertontonkan diri sebagai orang yang sangat cepat melupakan sejarah. Bukankah sebelum dilaksanakan Pemilihan Kadal, telah dilangsungkan pemilihan oleh DPRD setempat? Sistem ini bukan terjadi ratusan tahun silam atau pada Orde Lama. Ini terjadi baru-baru ini, tahun-tahun kemarin. Masa sudah lupa?

Pemilihan bupati dan walikota oleh DPRD setempat yang telah dilangsungkan dulu itu, ternyata menuai banyak protes, kecaman, dan kritikan keras. Saya pikir Jimly tahu lebih lengkap mengapa sistem pemilihan itu diubah menjadi pemilihan langsung. Saya hanya tahu beberapa, misalnya, dugaan menyuburkan kolusi, korupsi, pemerasan, money politics, dan “panen” yang dilakukan DPRD pada masa-masa pertanggungjawaban kepala daerah. Masa sudah lupa? Buat apa kita disarankannya untuk kembali pada cara-cara itu? Duh, itulah yang saya sebutkan seperti setrikaan yang bolak-balik tak pernah menemukan ujung dan pangkalnya.

Tokoh lain, pengamat politik dari Centre for Strategic of International Studies (CSIS) J. Kristiadi menuturkan bahwa kejadian-kejadian semacam itu sangat mengkhawatirkan. Ada beberapa hal yang menjadi penyebab peristiwa itu, di antaranya, elit politik yang tamak kekuasaan mempunyai sifat tak mau kalah, Pemilukada sudah keruh dengan politik uang, serta adanya oknum-oknum KPUD yang sudah terkontaminasi (27-05-2010, 01 : 24).

Penuturan J. Kristiadi tersebut menambah informasi penyebab kekacauan yang terjadi. Ia melihat bahwa para politisi dan penyelenggara pemilihan sudah ada yang mencederai kepercayaan rakyat. Oleh sebab itu, pada beberapa acara dalam tayangan televisi, J. Kristiadi selalu menekankan bahwa diperlukan adanya kesadaran moral dari para politisi untuk benar-benar berpihak kepada rakyat karena rakyatlah yang membuat mereka duduk dalam jabatannya sekarang ini. Namun sayangnya, ia masih juga mempercayai demokrasi sebagai sistem yang cocok untuk diberlakukan di negeri ini, sebagaimana yang sering dituturkannya bahwa partai sangat diperlukan karena partai adalah tiangnya demokrasi. Artinya, tak akan ada demokrasi jika tak ada partai.

Ada persamaan pendapat antara J. Kristiadi dengan Jimly Asshiddiqie. Keduanya meyakini bahwa demokrasi akan berjalan dengan baik jika para elit politik mampu menjaga moralnya, menepati janjinya kepada rakyat, siap menang siap kalah, dan bertanggung jawab jika ada kerusuhan.

Pendapat keduanya itu sama sekali tak akan pernah terwujud dengan nyata. Keinginan keduanya itu hanya akan berjalan dalam alam khayalan. Mimpi di siang bolong dan dengkuran di malam gelap gulita.

Permasalahannya adalah mereka berdua tampaknya menyerah pada diri pribadi politisi dan atau penyelenggara pemerintahan. Artinya, sistem yang berjalan sekarang ini akan selalu terguncang-guncang jika diri pribadi para elit tidak positif, bahkan negatif. Sistem politik yang sekarang berlangsung akan sangat efektif dan berhasil jika diri pribadi para elit dipenuhi nilai-nilai positif.

Sungguh, hal itu baik, tetapi mustahil terjadi. Bagaimana mungkin dapat terjadi jika kedua hal yang takdirnya saling menolak, disatukan?

Saudara pembaca yang budiman, yang namanya diri pribadi yang baik dan positif itu hanya terdapat dalam keluhuran nilai-nilai dan norma-norma yang telah dilekatkan Allah swt sejak dalam kandungan kepada kita. Setiap suku bangsa di negeri ini telah memilikinya sebagai bekal untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Tak ada satu suku bangsa pun di Indonesia yang mengajarkan nilai-nilai buruk. Pribadi-pribadi yang baik akan tumbuh dalam lingkungan yang terjaga dalam nilai dan norma tersebut. Adapun demokrasi, justru mengacaukan nilai-nilai dan keluhuran norma-norma kita. Demokrasi sangat menunjung tinggi kebebasan, persaingan, dan kemenangan.

Nilai dan norma yang ada dan tersebar di seluruh Nusantara itu telah dikristalkan ke dalam Pancasila. Pancasila itu jika diperas akan menjadi Trisila. Trisila jika diperas lagi akan menjadi Ekasila. Ekasila itu adalah gotong royong. Adapun demokrasi, intinya adalah kompetisi.

Gotong royong dan persaingan itu adalah dua hal yang bertolak belakang, mustahil untuk dikawinkan. Yang satu mengajarkan untuk saling membantu, yang satu lagi mengajarkan saling bersaing untuk menang.

Dalam gotong royong, terkandung banyak energi positif, baik dalam niat, perencanaan, pelaksanaan, pencapaian, maupun evaluasi. Dalam kompetisi, terkandung sangat banyak energi negatif, baik dalam niat, perencanaan, pelaksanaan, pencapaian, maupun evaluasi.

Akan menjadi upaya yang sia-sia jika berusaha melaksanakan sistem politik yang sarat energi negatif dengan bersandar pada keluhuran nilai dan norma yang dipenuhi energi positif. Itulah yang saya katakan berkali-kali sebagai kekusutan pikiran.

Hal yang harus dilakukan adalah kita secepatnya membangun sistem politik yang berasal dari dalam jiwa bangsa sendiri, bukan mengadopsi perilaku orang luar yang jelas memiliki sejarah dan budaya yang berbeda dengan kita. Pancasila adalah rumusan yang sangat tepat untuk memulai segalanya. Segeralah keluar dari demokrasi, lalu laksanakan Pancasila tanpa demokrasi. Jangan paksakan pendapat bahwa Pancasila sangat mengamini demokrasi. Kata demokrasi sama sekali tidak terdapat dalam Pancasila. Pun tidak perlu takut jika negeri ini akan represif jika melaksanakan Pancasila dengan tidak berdemokrasi. Kalaulah saat Orde Baru yang sering meneriakkan Pancasila berlaku represif, yang salah bukan Pancasila, tetapi rezimnya. Pancasila sendiri sebenarnya dirugikan karena hanya digunakan sebagai kedok untuk kepentingan penguasa.

Intinya adalah kembali pada jati diri dan buang jauh-jauh demokrasi ke dalam tong sampah kemanusiaan. Hanya dengan itulah kita akan mampu mengatasi kesulitan dan menjadi bangsa yang besar.

No comments:

Post a Comment