Sunday 11 July 2010

Angklung Pancasila

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Dengan adanya P4, Pancasila seolah-olah merupakan bagian tersendiri yang terpisah dari masyarakat. Pancasila menjadi ajaran baru yang harus dipahami oleh seluruh lapisan rakyat Indonesia tanpa kecuali. Orang diseragamkan cara pikir dan tingkah lakunya, padahal bangsa ini majemuk.

Pancasila yang diakui sendiri oleh Soekarno dan para founding father lainnya adalah berasal dari dalam diri bangsa Indonesia sendiri. Artinya, sudah tertanam kuat berurat berakar dalam setiap jiwa insan Indonesia. Dengan demikian, rakyat tidak perlu ditatar, diteter, dititir, ditutur, atau ditotor lagi tentang Pancasila, nilai-nilai dasar pembentukannya sudah sejak dulu ada.

Untuk melaksanakan Pancasila, seharusnya rakyat didorong agar kembali pada nilai-nilai luhurnya masing-masing, kemudian pelaksanaannya disempurnakan oleh agama masing-masing pula. Tidak perlu aneh jika di setiap daerah akan terjadi perbedaan pelaksanaan. Asal terikat pada Proklamasi, Preambul UUD 1945, Sumpah Pemuda, dan Bhineka Tunggal Ika, semuanya akan berlangsung indah. Dengan demikian, Pancasila bukan merupakan suatu ajaran yang ditanampaksakan. Ia akan cair dalam perilaku bangsa kita dan akan menjadi ciri khas yang unik, tidak akan ditemukan di bangsa mana pun. Artinya, rakyat ini akan hidup dengan dirinya sendiri. Dengan itulah kita akan menjadi bangsa terkuat dan dihormati.

Dalam konteks bernegara, tentunya harus ada yang menjadi pemimpin dan ada yang dipimpin. Untuk hal ini, sangatlah baik jika kita belajar pada kesenian angklung. Setiap pemain angklung memegang angklung dengan nada masing-masing, tak ada batasan untuk jumlah pemain angklung, makin banyak makin bersemangat. Seluruh mata pemain angklung terarah pada satu orang pemimpin yang berada di depannya. Sang Pemimpin memiliki cara-cara khusus yang dimengerti oleh setiap pemain untuk memainkan angklung yang sedang dipegangnya. Ketika pemimpin mengangkat tangan dengan posisi telapak miring, akan ada pemain angklung yang menggoyangkan alatnya hingga terdengar bunyi nada tertentu. Demikian pula, ketika tangan pemimpinnya mengepal, ada lagi bunyi nada yang lain. Dengan cara itulah mengalun lagu-lagu merdu dan menyenangkan, baik bagi pendengar maupun pemainnya sendiri. Setiap pemain tak boleh dan tak ingin menggoyangkan angklungnya tanpa ada perintah dari pemimpin karena sedikit saja salah, satu orang saja salah, kerusakan akan ditanggung semuanya, lagunya bisa berantakan. Tak ada satu orang pemain pun yang merasa iri kepada yang lainnya hanya karena dalam satu lagu ia hanya tiga kali menggoyangkan alatnya, sementara yang lain sepuluh kali. Begitu juga sebaliknya. Seluruhnya menyadari posisi dan tanggung jawab masing-masing sesuai dengan arahan pemimpin. Dengan demikian, lagu pun bisa mengalun dengan indahnya.

Begitu pula semestinya kita dalam hal bernegara. Kita harus memiliki pemimpin yang tahu lebih dulu gambar atau wujud Indonesia yang akan dibangun, sebagaimana pemimpin angklung yang lebih dulu tahu lagu yang akan dimainkannya. Pemain angklung tanpa harus tahu dulu lagu yang akan dialunkan asal mengikuti pemimpinnya, maka ia akan menjadi bagian penting dari lagu yang belum diketahuinya itu dan pasti akan melaksanakan tugasnya secara sempurna.

Bagaimana mungkin kita akan maju menjadi bangsa besar jika pemimpinnya sendiri tak tahu arah? Saat kampanye bolehlah kalimat-kalimat menuju kemajuan, perubahan untuk maju, maju bersama rakyat digembar-gemborkan, namun majunya itu ke mana? Bagaimana? Apanya yang maju?

Bersama kita bisa!

Bisa apa? Yang jelas dong kalau teriak!

Di sinilah kita mesti punya pemimpin yang di kepalanya sudah ada gambar Indonesia Merdeka Jaya Makmur Sentosa. Semua elemen bangsa mengarahkan potensinya sesuai dengan gambar itu. Gambar itu hanya akan bisa terlaksana jika kita kembali pada keluhuran dan kesucian jati diri sendiri. Pancasila adalah dasar yang merupakan gabungan dari seluruh nilai yang ada di Nusantara. Itu baru sakti.

Kondisi sekarang ini tak jelas arah dan gambarnya. Retorikanya memang berbunyi reformasi, tetapi konkretnya seperti apa belum diketahui secara jelas. Bangsa Indonesia tengah berada dalam era peralihan, bukan lagi Orde Baru, Orde Lama, atau Orde Reformasi (Nurcholish Madjid: 2004).

Jika kita memperhatikan saat ini, Indonesia sangat bisa menjadi kaki tangannya kapitalis. Kuku mereka sudah sangat kuat mencengkeram. Benar, kita bisa beralih bukan menjadi kapitalis, melainkan menjadi kambingnya kapitalis.

No comments:

Post a Comment