Wednesday 7 July 2010

Demokrasi Sama Dengan Melepaskan Rakyat ke Pangkuan Dajjal dan Iblis

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Rakyat Indonesia itu seharusnya dituntun, dibimbing, didorong, disantuni, diarahkan, diayomi, dikasihi, dan dicintai dengan hati yang tulus. Bisa kita lihat persentase komposisi penduduk Indonesia, banyak yang terpelajar atau yang tidak, banyak yang baik atau tidak? Dalam hal pendidikan, rakyat Indonesia ini belum bisa dikatakan rakyat yang telah mengecap pendidikan yang layak. Artinya, jumlah mereka yang terpelajar atau lulus perguruan tinggi jauh lebih kecil dibandingkan yang lainnya. Demikian pula dalam hal agama, moral, atau spiritual, rakyat Indonesia ini harus dibimbing agar menjadi orang baik-baik. Harus diakui bahwa orang baik-baik di dunia ini jumlahnya sedikit, termasuk pula di Indonesia.

Dengan melepaskan rakyat untuk memilih segala sesuatu sesuai keinginannya sendiri sama saja dengan menyerahkannya ke pangkuan Dajjal dan Iblis. Dengan wawasan keilmuan yang terbatas, baik materiil maupun spiritual, bisa dibayangkan betapa mudahnya syetan menggelincirkan mereka.

Sepertinya hebat itu demokrasi, menghargai manusia sebagai individu yang bebas dan berkuasa menentukan hidupnya sendiri. Di balik tabir indah itu adalah terbukanya pintu syetan dalam menyesatkan manusia.

Saat setiap jiwa, setiap kelompok masyarakat diberikan kesempatan untuk mendirikan partai sesuai cita rasanya sendiri. Saat itu pula syetan dari jenis jin dan manusia berbondong-bondong mempengaruhi otak dan hati manusia agar bersegera mengikuti proses itu. Dengan pikiran-pikiran yang elok, penuh semangat, dan memesonakan, mereka mendorong manusia untuk berlomba-lomba mendapatkan kekuasaan.

Seluruh partai pasti intinya adalah Indonesia Jaya. Namun, apa yang terjadi? Kenyataan menunjukkan sebaliknya.

Alasan setiap partai jika menjawab Indonesia belum juga bangkit adalah karena belum mendapat kekuasaan. Kalau partainya berkuasa, pasti akan makmur. Begitu katanya, tetapi jika telah mendapatkan kursi, lalu masih juga Indonesia melarat, mereka berkilah lagi dengan alasan kursinya kurang banyak. Apabila kursinya sudah banyak dan sangat menguasai, mereka beralasan lagi bahwa ini adalah kesulitan warisan pemerintahan sebelumnya. Pendeknya, ada ribuan alasan yang pasti semuanya logis-logis untuk berkilah.

Dengan terbukanya kesempatan mendirikan partai, terbuka pula kesempatan bagi pihak-pihak yang menginginkan keburukan bagi negeri ini. Kita tidak bisa mendeteksi dan mencegah apabila ada kekuatan asing, baik itu kapitalis maupun komunis untuk mendirikan partai lewat jaringannya di Indonesia. Mereka masih menginginkan Indonesia yang rasanya nikmat dan lezat. Demikian pula pihak-pihak yang bermasalah di Indonesia. Mereka berharap dapat memperoleh bagian kekuasaan agar masalahnya dapat diredam sesembunyi mungkin dengan mengalihkan perhatian rakyat pada hal-hal yang lainnya. Selain itu, mereka pun ingin menambah lagi kenikmatan duniawi yang telah diperolehnya.

Di samping mendirikan partai, pihak-pihak asing itu bisa berkolaborasi dengan partai-partai yang sudah mapan. Harapannya tentu saja jika partai yang disponsorinya itu menang, bisa ikut juga menggali-gali kekayaan alam Indonesia sebagai balas jasa yang telah diberikannya.

Menarik untuk diperhatikan, pada awal masa reformasi ada pihak dan orang-orang yang mengaku dengan jujur dan terus terang disponsori Amerika. Ada lagi yang mengaku didanai oleh sebuah lembaga independen yang juga masih dari Amerika. Kita boleh curiga bahwa pihak kapitalis memiliki kepanjangan tangan di Indonesia agar aturan-aturan atau legislasi yang dibuat di Indonesia bisa menguntungkan Amerika.

Adapun orang-orang yang tidak terikat dengan pihak kapitalis dan komunis, sudah dipastikan akan mempersiapkan dirinya untuk berlelah-lelah berdebat, bertengkar, adu mulut, bahkan punya pasukan adu jotos untuk menjadikan partainya sebagai partai yang terbaik. Tentunya, dengan merendahkan partai lain.

No comments:

Post a Comment