Sunday, 11 July 2010

Pancasila Sial

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Itulah kata yang sangat tepat untuk Pancasila kita, bukan Pancasila Sakti. Bohong itu orang-orang yang suka mengumbar-umbar dan berteriak-teriak Pancasila Sakti. Mereka berdusta. Kalau tidak mau pake istilah Pancasila Sial, ya sebaiknya Pancasila Naas.

Dalam bayangan saya, Pancasila adalah seseorang yang berbaju hitam kumal dan compang-camping. Rambutnya panjang tak terurus, kumisnya acak-acakan menutup mulut dan lubang hidung. Kalau dia makan, selalu saja ada sisa makanan yang menempel di kumisnya, sementara dia sendiri tidak menyadarinya. Janggutnya panjang tak terurus. Mending kalau hanya panjang ke bawah, tetapi juga melebar kesana-kemari tak karuan. Ia jarang sekali mandi. Kerjaannya hanya duduk di pinggir trotoar sepi, kemudian berdiri dan berjalan jika lapar. Kalau sempat menemukan sisa-sisa makanan, ia beruntung. Kalau tidak, berarti harus menahan rasa lapar. Sementara itu, banyak orang yang meneriakan namanya, memuji-mujinya, mengagungkannya. Tak jarang di antara orang-orang itu ada yang sampai berani menumpahkan darah demi namanya. Orang-orang itu menyangka telah membela dan melindunginya, padahal Pancasila sendiri tak lebih dari sekedar gembel. Bagaimana ini bisa terjadi?

Dulu Pancasila hanya seberkas cahaya dari langit yang tak berbentuk. Ketika menyentuh Bumi, perlahan namun pasti berubah menjadi seorang pria muda yang kekar gagah perkasa. Semua rakyat Indonesia menyambutnya dan menggandengnya, menjadikannya dasar sekaligus tujuan hidup bangsa. Semua senang, dia pun gembira bukan main. Akan tetapi, masa-masa itu hanya sebentar, tak lebih dari hajatan kawinan yang segera bubar setelah semuanya selesai.

Pada masa awal kemerdekaan, namanya sering disebut-sebut, namun orang mulai asyik dengan dirinya sendiri. Pertengkaran, perdebatan, dan penonjolan diri semakin kentara. Bahkan, mulai pula bintik-bintik perilaku memperkaya diri sendiri. Mulailah kesialan menerpa Pancasila. Ia menjadi sekedar runtunan kalimat tak bermakna. Ada memang yang benar-benar ingin menjalankannya dengan tulus, namun seluruhnya kandas diterpa gelombang duniawi dan pertontonan adu kecerdasan. Semakin lama Pancasila semakin tersingkir. Ia yang dulu gagah perkasa, jadi letih karena kurang makanan dan cinta.

Periode terus berlanjut, penguasa pun berganti. Namanya jadi lebih sering disebut-sebut dan dielu-elukan sebagai sakti mandraguna. Penguasa Orde Baru menggunakan namanya untuk menakuti-nakuti rakyat. Siapa pun yang tidak sejalan dengan pemerintah disebutnya anti-Pancasila. Pancasila hanya digunakan sebagai topeng, kedok untuk melakukan berbagai kesewenang-wenangan di Bumi Pertiwi ini. Sementara itu, Pancasila sendiri sudah menjadi gembel luntang-lantung tak tentu arah. Ia disebut-sebut sakti sendirian. Padahal, kesaktiannya sama sekali tak akan pernah ada jika tak terpenuhi syarat-syaratnya. Salah satu syaratnya adalah pendukung yang tulus dan setia.

Kesewenang-wenangan pun berbuah petaka. Orde Baru harus tumbang. Sayangnya, kejatuhan itu menyebabkan pula Pancasila yang sebetulnya tak tahu-menahu urusan pemerintah jadi kena getahnya. Kini ia semakin tersudut, tertendang di emperan toko dan tong sampah. Di samping sudah tak lagi diminati, juga hendak dibunuh karena dianggap sebagai alat penjamin perilaku buruk pemerintah Orde Baru.

Semakin hari semakin tak terdengar namanya serta dianggap produk kolot dan membosankan. Ia sudah dianggap hal yang menjenuhkan karena sejak dulu rakyat negeri ini dijejali seabrek penafsiran Pancasila secara sepihak.

Sungguh, ia kini hidup dalam kesialan. Ia yang telah berjanji untuk sehidup semati dengan bangsa ini, tinggal dalam keadaan naas.

No comments:

Post a Comment