oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Sifat ini sangat dicela dalam ajaran Islam. Rasulullah pernah mengatakan bahwa kita tidak boleh menjadikan seorang yang ambisius untuk mendapatkan kekuasaan. Di balik ambisinya pasti ada keinginan-keinginan rendah yang mencelakakan.
Dengan demokrasi, sifat-sifat ini didorong untuk tumbuh dan berkembang dengan panas dan cepat. Seluruh pengambisi mati-matian berjuang bertarung.
Lupakah kita bahwa Nabi Muhammad pernah menolak Abu Dzar Al Ghifari ketika meminta kedudukan?
Nabi mengatakan, “Wahai Abu Dzar, Anda ini adalah orang yang lemah, sedangkan pekerjaan itu adalah amanah Allah yang kelak di hari kiamat mungkin membawa kehinaan dan penyesalan,…”
Begitu hati-hatinya Nabi terhadap suatu jabatan. Bahkan, menolak sahabatnya itu agar tidak celaka.
Pada kali lain, Rasulullah mengatakan bahwa yang namanya jabatan itu adalah beban di dunia dan penyesalan di akhirat. Tentunya, bagi orang-orang yang tidak memiliki syarat menjadi pemimpin.
Dengan demokrasi ini, semua orang ingin jabatan. Jika kalah, kecewa. Jika menang, syukuran, allhamdulillah, padahal mestinya mengucapkan inalillaahi wainailaihi raajiuun.
Kita lupa bahwa jabatan itu nanti akan dimintai pertanggungjawaban. Di akhirat kelak akan banyak penguasa yang menyesal dan iri kepada rakyat biasa karena beratnya pertanggungjawaban dan hinanya penyiksaan. Akan tetapi, wajar kalau pihak yang menang mengadakan syukuran, toh mereka sudah mengeluarkan uang banyak, energi yang besar, dan perjuangan yang melelahkan. Jadi, kemenangan adalah buah yang manis terasa. Padahal, penuh dengan beban dan pertanggungjawaban.
No comments:
Post a Comment