oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Keberanian adalah modal mutlak yang harus dimiliki sebuah bangsa yang ingin maju. Pemimpin adalah orang yang paling berani dalam bertindak untuk memutuskan sesuatu demi kepentingan bangsanya. Pemimpin yang selalu menghitung untung rugi, ini tidak bisa, itu tidak bisa bukanlah pemimpin agung. Ia hanya pemimpin kelas pedagang yang kata Soekarno bagai Tukang Kedai yang takut hilang uangnya sekeping.
Kita ini ibarat ikan di samudera luas. Negeri kapitalis, terutama Amerika adalah pemancing ikan. Ia memang sejak dulu menebar pancingnya di seluruh muka Bumi. Ada yang memang telah berhasil dia tangkap, ada yang tidak, ada pula yang seperti Indonesia, sedang tarik-menarik.
Umpan kapitalis sudah kita makan. Kini di moncong kita sudah tertancap kait tajam yang tak mudah dilepaskan. Umpan yang tak seberapa itu telah membuat kita jadi tertarik-tarik, terseok-seok, sementara itu Sang Pemancing sedang asyik menggulung senarnya agar kita lebih tertarik lagi untuk akhirnya dimiliki. Dalam kondisi seperti ini, tak banyak pilihan kita. Hanya ada dua. Pertama, membiarkan diri kita menyerah pada tali pancingan untuk kemudian dimiliki, ditangkap, selanjutnya dicincang hingga benar-benar mati. Kedua, berupaya terus melawan dengan cara membiarkan mulut kita terluka, robek, berdarah, tetapi terlepas dari kait tajam itu untuk kemudian bebas sebebas yang kita yakini. Sakit memang, tetapi mau pilih mati atau sakit kemudian sembuh?
Pilihan pertama sudah tentu tidak perlu dikisahkan karena tak ada gunanya, toh kematian hina yang akan kita temui. Pilihan kedua adalah pilihan bangsa berani, bangsa terhormat yang memiliki harga diri. Sudahkah kita lupa dengan teriakan kakek dan orangtua kita dulu? Merdeka atoe mati! Pilihan ini harus ditempuh bagaimana pun beratnya. Kita memang sudah sangat tergantung kepada pihak-pihak asing sehingga jika kita dengan mendadak menghentikannya, akan terjadi guncangan yang cukup berarti. Akan tetapi, itu semua tetap harus dilakukan agar bangsa ini bisa lebih cepat keluar dari kemelut yang membingungkan ini.
Hal pertama yang harus dilakukan adalah meyakini bahwa demokrasi itu adalah anjing yang digunakan syetan untuk menggigit dan melukai bangsa ini. Untuk itu, kita harus menghentikan praktik-praktik demokrasi semacam itu. Hentikan demokrasi dan jangan tinggalkan serpihan-serpihannya, buang ke dalam tong sampah kemanusiaan.
Kedua, mengubah sistem politik, sistem pemerintahan yang sekarang sedang berlangsung. Jangan takut. Ubah sampai benar-benar sesuai dengan jiwa asli bangsa Indonesia atau membentuk pemerintahan berdasarkan nila-nilai dan norma-norma yang ada sejak zaman dulu. Berulang kali sejarah menunjukkan bahwa di sanalah kita menemukan kejayaan dan kemakmuran. Hindari perilaku menjiplak cara-cara hidup orang lain. Kita bukanlah mereka.
Kalau ada orang yang sok pintar mengatakan bahwa tindakan kembali adalah keliru karena menganggap bahwa memandang masa lalu adalah sikap yang terbelakang, kita sebut saja orang itu brengsek dan idiot. Apa salahnya memang dengan masa lalu? Mungkin masa lalu dia yang penuh dengan keburukan. Salahkah bila seseorang yang telah jauh dari ibunya, kemudian tersesat di tengah hidup, lalu kembali mohon maaf karena telah merendahkan nasihat-nasihat ibunya? Di samping itu, jika dia bertahan dengan demokrasi karena dianggap maju, harusnya dia ingat bahwa demokrasi itu sistem pemerintahan usang yang kolot sekali, dilahirkan lima ratus tahun sebelum Yesus lahir. Dari segi waktu, masih lebih modern bangsa Indonesia. Kalaupun memang demokrasi mengalami perkembangan, tetap saja bertitik tolak dari Athena itu.
Ketiga, laksanakan Pancasila tanpa demokrasi. Kalau pada zaman Orde Baru kita ditekan untuk berdemokrasi Pancasila, sekarang sudah saatnya kita melaksanakan Pancasila tanpa harus ada demokrasi. Dengan Pancasila yang benar-benar asli, artinya bukan hanya slogan, seluruh hak dan kewajiban rakyat akan bisa terpenuhi. Itu pasti.
Keempat, perkuat TNI. TNI harus menjadi institusi terkuat di negeri ini, bukan hanya senjata, melainkan pula dalam kesejahteraan dan lain sebagainya. TNI adalah lambang kewibawaan negara. TNI yang lemah menunjukkan kelemahan Negara Indonesia. Kini tak ada lagi negara yang merasa gentar terhadap Indonesia. Mereka tahu tentara Indonesia adalah tentara rombengan. Kapal patroli polisi lautnya saja kalah cepat dengan kapal penyelundup asing. Pesawat udaranya saja menyedihkan, tidak seperti dulu No. 4 terkuat di dunia hingga Belanda tak mau bertempur lagi rebutan Irian Barat.
TNI sudah demikian tersudut. Institusi ini sudah merasakan akibat kekeliruan pada masa lalu. Kini saatnya mengembalikan TNI menjadi prajurit-prajurit yang disegani dan dihormati, baik di dalam maupun di luar negeri. Rakyat Indonesia pasti tidak akan berkeberatan jika negeri ini mendahulukan kepentingan TNI karena dengan memiliki tentara yang kuat, bangsa ini lebih tenang dan lebih punya harga diri dalam melakukan berbagai aktivitasnya, baik di dalam maupun di luar negeri.
Kelima, perkuat kepolisian. Kepolisian adalah institusi yang harus diperkuat sebagaimana TNI, namun kepentingannya berada di bawah urutan TNI. Lembaga ini harus menjadi lembaga yang dihormati dan mampu memberikan solusi untuk berbagai permasalahan yang ada dalam masyarakat. Merekalah yang sebenarnya harus mampu mengendalikan masyarakat. Mereka juga yang memiliki kewajiban untuk selalu berada di tengah-tengah masyarakat jika terjadi perselisihan, bukan menjadi biang keributan. Di samping itu, kepolisian harus mampu mendeteksi pihak-pihak asing yang ingin menguasai negeri ini, bukannya menjadi kaki tangan pemerintahan kapitalis.
Apabila kita mampu melakukan kelima hal di atas, berarti kita sudah mulai mampu melepaskan diri dari segala ketergantungan kepada pihak asing. Artinya, bangsa ini secara bertahap tentunya akan dapat menggali potensi diri dan potensi sumber daya alam untuk kemakmuran bersama.
Kelima langkah di atas harus diambil dengan berani tanpa harus menghitung-hitung ini itu. Terlalu banyak pertimbangan akan menyebabkan bertambahnya waktu kemelaratan negeri ini.
No comments:
Post a Comment