Saturday 10 July 2010

Yakin pada Diri Sendiri

oleh Tom Finaldin


Bandung, Putera Sang Surya

Penjajahan memang telah merusakkan banyak hal, termasuk kondisi kejiwaan rakyat Indonesia. Sejak zaman itu, kita ditanami pemikiran bahwa kita adalah kaum terbelakang, lemah, dan bangkrut. Itu semua hanya tipuan dengan maksud agar mereka mampu mengatur kita dengan sebebas-bebasnya.

Sejarah mengatakan bahwa sebenarnya jauh sebelum penjajah datang, negeri kita adalah negeri yang makmur, kuat, terpelajar, dan tertib. Hal itu disebabkan kita telah memiliki nilai-nilai luhur, norma-norma yang kuat, moralitas yang terjaga, dan perasaan spiritual yang tinggi. Akan tetapi, saat itu kita terkotak-kotak dalam kerajaan-kerajaan kecil-kecil sehingga dengan mudah kaum penjajah menguasainya.

Kita sampai kini dibuat lupa, dibikin tak sadar dengan tipuan bahwa bangsa ini kelas rendahan. Akibatnya, kita benar-benar tak sadar bahwa jika tak ada penjajahan, bangsa ini akan menjadi bangsa terkuat di muka Bumi dengan kekayaan alam dan sumber daya manusianya. Kita lupa bahwa kita sebenarnya bisa lebih hebat dalam bidang teknologi, budaya, militer, ekonomi, dan bidang-bidang lainnya. Coba pelajari lagi sejarah bagaimana terbukanya kita dengan ilmu pengetahuan dan agama sehingga tak sedikit para raja yang mengundang berbagai ahli untuk mengajar di negerinya dan tak sedikit para pemuda yang pergi berlayar ke negeri seberang untuk belajar. Masihkah kita ingat lagu yang mengisahkan bahwa nenek moyang kita adalah pelaut yang gagah berani mengarungi samudera dan menerjang badai itu sudah biasa?

Setelah bersatu, kita melawan dan merdeka. Sayangnya, setelah merdeka kita tidak kembali kepada kekuatan kita, melainkan mengadopsi pikiran orang lain yang sama sekali tidak cocok dengan jiwa kita. Soekarno tampaknya menyadari hal itu. Ia ingin sistem pemerintahan yang sesuai dengan jiwa bangsa, tetapi disayangkan pula membawa-bawa komunis yang sebenarnya hasil pemikiran orang luar.

Meskipun demikian, kita semua memahami bahwa pada awal kemerdekaan semua mata dunia memandang sosok Amerika dengan demokrasinya adalah contoh yang menggiurkan untuk diteladani. Padahal, hal itu sudah jelas dilarang oleh Allah swt. Banyak sekali ayat Al Quran yang melarang kita untuk melihat kehidupan ini sebagai ukuran, pun tidak perlu melihat perhiasan dan kemewahan duniawi yang diberikan Allah swt kepada orang lain karena semuanya itu adalah ujian, cobaan. Allah hendak mencoba manusia dengan kemewahan dan kesusahan.

“Janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS Thaha : 131)

Amerika dengan segala sejarah, tindak-tanduk, dan kemewahannya bukanlah teladan bagi kita. Kita memiliki sejarah, kebiasaan, dan kemewahan sendiri. Jika kita bertanya kepada nurani yang paling dalam, maukah kita seperti mereka? Saat ini mereka bergelimang dengan kemaksiatan, penuh tipu daya, menjajah, tak ada rasa hormat kepada orangtua, individualistis, semua orang bebas semau-maunya, pemenuhan seks bagaikan pemenuhan dahaga air minum di mana saja, menghalang-halangi negara lain untuk maju, berkolusi dengan penguasa negara lemah untuk merampok hartanya, melakukan penyerangan kepada para aktivis, menyebar fitnah dan dusta, melakukan pembantaian di mana-mana, serta seabrek kejahatan lainnya. Kahlil Gibran, seorang penyair kenamaan mengaku tidak betah di Amerika karena orang-orang Amerika terlalu berisik, sibuk, grasa-grusu, cepat marah, dan gemar membunuh. Padahal, Gibran bukan beragama Islam. Ia lebih suka kembali ke kampung halamannya di Libanon. Maukah kita seperti Amerika? Jawabannya pasti tidak. Kalau tidak demikian, jawabannya adalah kita ingin kaya seperti mereka, tetapi hidup dalam ketenangan dan penuh cinta kasih.

Sungguh, untuk hidup kaya, bahkan lebih kaya dari mereka adalah hal yang sangat mungkin bagi bangsa Indonesia. Mereka sebetulnya tidak kaya-kaya amat, masih banyak warga miskin yang berkeliaran dan hidup dalam penderitaan. Mereka hanya pandai menutupinya dengan menunjukkan kehebatannya pada dunia. Dari dulu mereka memang pandai dalam hal kampanye dan propaganda meskipun penuh lumpur dusta. Kita bisa lebih kaya, lebih makmur, serta penuh cinta kasih dan harmonis. Kuncinya adalah yakin pada diri sendiri.

Kunci itulah yang disebutkan Allah swt dalam ayat di atas, karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal. Kita tak bisa membantah sejak ribuan tahun lalu, nilai-nilai dan norma-norma asli Indonesia tak pernah hilang meskipun zaman selalu berubah, selalu ada. Itulah kekal. Masalahnya, kita tak menyadari bahwa itu adalah karunia. Bahkan, kita menyebutnya sebagai produk “terbelakang”, padahal jauh lebih maju karena mengedepankan keseimbangan antara lahir dan batin. Itulah yang disebut Allah swt lebih baik.

Indonesia, seperti halnya negara berkembang lainnya sesungguhnya mempunyai apa yang oleh Thorstein Veblen diistilahkan sebagai the advantage of backwardness atau keuntungan-keuntungan keterbelakangan. Artinya, sebagai negara muda yang ada di belakang negara-negara yang lebih maju dan berada di depan, Indonesia dapat belajar dari pengalaman yang baik dan buruk dari bangsa-bangsa lain (Amien Rais: 1986).

Benar kita harus belajar dari bangsa lain dan harus mengambil manfaat darinya jika dirasa perlu. Akan tetapi, kita mestinya mempelajari dahulu riwayat diri kita, kemudian mengambil dari luar hal-hal yang benar-benar diperlukan. Tidak perlu mengadopsi banyak-banyak, toh kita tidak mengalami revolusi industri, revolusi konservatif, maupun revolusi komunis.


Zamrud Khatulistiwa
Kedua kata itu dulu sering kita dengar untuk menggambarkan betapa kayanya Indonesia dengan sumber alamnya. Sesungguhnya, bukan hanya kekayaan alam yang diberikan Allah swt kepada Indonesia. Tuhan telah menciptakan manusia-manusia Indonesia yang baik-baik dan santun-santun. Rasanya aneh jika ada orang Indonesia yang dilahirkan untuk berbuat kerusakan di muka Bumi. Kalaupun terjadi kejahatan yang dilakukan, sudah pasti karena lingkungan yang diciptakan akibat penjajahan dan pergaulan dengan budaya luar.

Kita dilahirkan oleh ibu kita dengan baik, maksud baik, dan dilekati oleh norma dan nilai-nilai yang luhur. Seluruh suku yang ada di Indonesia memiliki kebiasaan dan adat khusus yang mendorong anggotanya untuk selalu berbuat kebaikan, baik kepada sesama manusia maupun kepada alam sekitar. Kalaupun orang-orang Papua disebut terbelakang dan kanibal, itu keliru. Coba pelajari bagaimana mereka berupaya mempertahankan kehidupan yang seimbang dengan alam, Jika ada perilaku yang dianggap menyimpang, misalnya, seorang pemuda akan dianggap dewasa jika sudah mampu menguliti kepala orang, yang dikuliti bukan kepala ibunya, ayahnya, adiknya, melainkan kepala musuhnya yang berbeda suku. Hal itu wajar karena dalam keadaan permusuhan. Toh, pasukan Amerika pun lebih kejam dengan membombardir perumahan warga sipil yang di dalamnya ada orang-orang lemah, bayi, anak-anak, dan perempuan.

Saya sama sekali tidak yakin jika orang Batak diajari oleh norma-norma Batak untuk melakukan kekerasan di tanah perantauan. Kalaupun di tanah perantauan mereka keras-keras, itu bukan karena sukunya, melainkan tantangan hidup di perantauan yang membuat mereka begitu.

Bangsa ini memiliki masyarakat yang santun-santun. Sekitar tahun 70-an, banyak orang asing yang datang ke Indonesia mengakui bahwa kita ramah-ramah.

Selain dari ramah dan memiliki nilai-nilai luhur, kita pun memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Untuk menggali potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia, nenek moyang kita sudah memiliki cara-cara sendiri. Itu sudah terbukti efektif berhasil. Sejarah sudah mencatatnya. Di samping itu, kita pun memiliki cara-cara sendiri dalam melangsungkan pemerintahan. Kalaulah di negara-negara kulit putih dulu kekuasaan raja dan gereja dianggap lalim dan menyakitkan, di negeri ini tidak ada kejadian itu, aman-aman saja. Kekerasan dan kecurangan baru terjadi setelah datangnya penjajahan dan setelah bergaul dengan orang-orang yang berbeda budaya dengan kita.

Kita sudah bisa melihat bahwa Allah swt menganugerahkan dua potensi kepada kita, yaitu: nilai-nilai luhur dan sumber daya alam. Jika mampu menyelenggarakan sistem pemerintahan dengan cara mengambil nilai-nilai dan norma-norma yang sudah berakar kuat di masyarakat, kita akan menjadi bangsa mandiri, kuat, dan memiliki harga diri tinggi. Kita tidak akan merasa menjadi orang terbelakang, kita berbeda dengan siapa pun. Dengan kekuatan itulah kita akan membangun sebagaimana nenek moyang kita ketika berada dalam masa keemasan dan kejayaan.

Orang Sunda biarkan menjadi Sunda sejati. Orang Jawa lepaskan dengan kejawaannya. Orang Sumatera, Aceh, Irian, Kalimantan, Sulawesi, NTB, NTT, dan lain-lainnya harus didorong untuk kembali dan hidup dengan jati dirinya sendiri. Kita semua dari dulu sudah punya cara masing-masing untuk bertahan dan berkembang.

Tuhan sudah menciptakan kita berbangsa-bangsa untuk saling kenal mengenal. Nilai dan norma yang dilekatkan sejak dalam kandungan itu dimaksudkan untuk beradaptasi dengan lingkungannya, baik sesama manusia maupun alam. Kalaulah para elit politik kita memaksakan sesuatu yang berasal dari luar, itu sama saja dengan tirani kehidupan. Nilai-nilai luar yang didesakkan kepada bangsa ini adalah sebentuk penjajahan lain. Hal itu sama dengan menyuruh binatang berkaki empat untuk mati-matian berjalan berdiri dengan dua kaki secara terus-menerus dan makan dengan menggunakan kedua kaki lainnya agar mirip simpanse dengan pertimbangan bahwa simpanse lebih baik. Itu adalah kejahatan hidup.

Jika kita tidak segera berubah, kembali pada diri sendiri, dan selamanya menganggap bahwa bangsa lain lebih hebat, bersiaplah untuk mengucapkan selamat jalan Indonesia semoga arwahmu tenang di alam sana dan berdoalah semoga anak cucu kita masih membaca sejarah bahwa dulu pernah ada negara yang bernama Indonesia.

No comments:

Post a Comment