oleh Tom Finaldin
Bandung, Putera Sang Surya
Kita sangat marah dengan perilaku elit-elit yang dengan mudahnya memberikan jalan pada pihak asing untuk menguasai sumber-sumber Bumi Indonesia. Pada saat yang sama kita merasa bangga menjadi bangsa yang sudah mulai maju dengan digunakannya demokrasi. Padahal, demokrasi mengundang dengan sopan para penjajah itu untuk menguasai bangsa Indonesia.
Sebelum-sebelumnya sudah diuraikan bahwa untuk menjadi pemenang dalam meraih dukungan masyarakat memerlukan uang yang sangat banyak. Untuk mendapatkan posisi puncak di Indonesia, jelas harus mau kesana-kemari jual janji kepada pihak-pihak berduit. Pihak-pihak asing bisa dengan senang hati membantunya karena mendapatkan janji yang pasti bakal dipenuhi jika jagonya menang. Bahaya yang sangat besar adalah jika pihak asing meminta kepatuhan dan ketundukan calon penguasa, baik itu legislatif, eksekutif, maupun yudikatif untuk mengeluarkan aturan dan undang-undang yang menguntungkan negeri-negeri kapitalis itu. Bahkan, meminta kekuasaan untuk merampok hasil Bumi Indonesia yang seharusnya untuk rakyat keseluruhan.
Cara paling mudah bagi korporasi untuk menaklukan kekuatan politik adalah dengan memberikan biaya kampanye tatkala calon presiden atau calon gubernur melakukan kampanye menjelang pemilihan umum. Presiden yang terpilih tidak bisa tidak pasti akan membalas budi pada korporasi yang telah menggelontorkan dana kampanye. Di Amerika sendiri dana kampanye siluman merupakan salah satu masalah politik dan hukum yang pelik. Bukan saja korporasi Amerika yang berlomba-lomba memberikan dana kampanye kepada Capres yang dinilai bakal mudah menjadi fasilitator kepentingan korporat, perusahaan asing (dari luar Amerika) juga ikut-ikutan menimbrung supaya kelak memperoleh kemudahan-kemudahan (Amien Rais: 2008).
Saudara-saudara yang budiman, dengan penuturan dalam beberapa tulisan saya, belum cukupkah alasan bagi kita untuk bersama-sama menghentikan demokrasi yang dikeramatkan orang itu? Masihkah kita mau menunggu neunggar cadas betul-betul sampai kepala kita hancur? Okelah kalau masih belum paham juga, saya tambahin lagi tulisan tentang keburukan demokrasi.
Sebelum-sebelumnya sudah diuraikan bahwa untuk menjadi pemenang dalam meraih dukungan masyarakat memerlukan uang yang sangat banyak. Untuk mendapatkan posisi puncak di Indonesia, jelas harus mau kesana-kemari jual janji kepada pihak-pihak berduit. Pihak-pihak asing bisa dengan senang hati membantunya karena mendapatkan janji yang pasti bakal dipenuhi jika jagonya menang. Bahaya yang sangat besar adalah jika pihak asing meminta kepatuhan dan ketundukan calon penguasa, baik itu legislatif, eksekutif, maupun yudikatif untuk mengeluarkan aturan dan undang-undang yang menguntungkan negeri-negeri kapitalis itu. Bahkan, meminta kekuasaan untuk merampok hasil Bumi Indonesia yang seharusnya untuk rakyat keseluruhan.
Cara paling mudah bagi korporasi untuk menaklukan kekuatan politik adalah dengan memberikan biaya kampanye tatkala calon presiden atau calon gubernur melakukan kampanye menjelang pemilihan umum. Presiden yang terpilih tidak bisa tidak pasti akan membalas budi pada korporasi yang telah menggelontorkan dana kampanye. Di Amerika sendiri dana kampanye siluman merupakan salah satu masalah politik dan hukum yang pelik. Bukan saja korporasi Amerika yang berlomba-lomba memberikan dana kampanye kepada Capres yang dinilai bakal mudah menjadi fasilitator kepentingan korporat, perusahaan asing (dari luar Amerika) juga ikut-ikutan menimbrung supaya kelak memperoleh kemudahan-kemudahan (Amien Rais: 2008).
Saudara-saudara yang budiman, dengan penuturan dalam beberapa tulisan saya, belum cukupkah alasan bagi kita untuk bersama-sama menghentikan demokrasi yang dikeramatkan orang itu? Masihkah kita mau menunggu neunggar cadas betul-betul sampai kepala kita hancur? Okelah kalau masih belum paham juga, saya tambahin lagi tulisan tentang keburukan demokrasi.
No comments:
Post a Comment