Sunday, 11 July 2010

Pancasila Sumber Kekuatan Kita

oleh Tom Finaldin

Bandung, Putera Sang Surya

Negeri-negeri kapitalis bukanlah teladan bagi kita. Kita sebaiknya hanya mengambil hal-hal yang dianggap sangat perlu untuk melengkapi yang sudah ada dalam diri kita sendiri. Untuk membiayai kehidupan yang demokratis kapitalistis, tentunya diperlukan kerja keras dan taktik jitu agar dapat “melancong” ke negeri orang untuk melakukan serangkaian aksi menggunakan berbagai alasan dengan maksud mencuri harta-harta orang lain. Kita negeri yang masih cukup santun sama sekali tak ada niatan “melancong” itu. Artinya, kehidupan yang demokratis kapitalistis bukanlah jiwa kita.

Amerika berbeda dengan kita. Nilai-nilai yang dianut mereka berdasarkan kebencian pada otokrasi yang zalim dan keinginan untuk bebas sebebas yang mereka kehendaki. Kita tidak mungkin seperti mereka. Sampai hari ini kita meyakini bahwa yang namanya kebebasan itu adalah hal yang teramat mustahil mampu menjadikan keseimbangan hidup. Hidup harus disertai aturan, norma, nilai kemanusiaan yang tinggi. Batasan-batasan serupa itu sudah ada sejak zaman nenek moyang kita dan terus ada hingga hari ini dalam dada setiap insan Indonesia. Kita memiliki nurani yang kerap dijadikan standar dalam bertindak dan dengan itulah kita mencoba mengukur baik, buruk, indah, jelek, dan sebagainya. Apabila kita mencoba melakukan hal-hal tertentu yang tidak sesuai dengan jiwa, bisa jadi memang terlaksana. Akan tetapi, di dalam nurani terdalam, kita akan menilai hal tersebut adalah sebuah kekeliruan.

Indonesia dari Sabang sampai Merauke sudah dibekali nilai-nilai tersebut sejak lahir. Kemudian, dalam perkembangan sejarah bangsa, nilai-nilai itu mendapat pengaruh dari ajaran Hindu yang diteruskan dengan ajaran Budha sehingga menjadi lebih kaya dan lebih lengkap. Selanjutnya, nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang itu mendapat lagi penyempurnaan dari ajaran Islam. Dengan demikian, semakin kaya, semakin lengkap, semakin luhur, semakin logislah nilai-nilai yang kita anut. Akan tetapi, sayang seribu sayang, sejarah membuktikan bahwa kerakusan bangsa penjajah menghancurkan perkembangan itu sampai ke dasar-dasar kegelapan hingga kita tak tahu lagi bagaimana harus melangkah dengan jelas serta menjadikan kita bermental budak dan rendah.

Beruntung Allah swt memberikan semangat kepada para pemuda kita untuk bergerak secara sadar membebaskan diri dari belenggu penjajahan.

Untuk mendirikan sebuah negara merdeka dan berdaulat, diperlukan dasar yang jelas. Bangsa Indonesia yang majemuk ini dari dulu sudah memiliki dasar hidup masing-masing. Setiap suku, setiap kelompok, setiap elemen yang tersebar di seluruh Nusantara memiliki keyakinan bahwa dasar hidup mereka adalah yang terbaik, the best. Apabila diserahkan kepada masing-masing kelompok, bakal dipastikan kita tidak akan pernah memiliki kata sepakat karena setiap kelompok memiliki dasar hidup yang berbeda-beda. Mereka telah membuktikan bahwa dasar-dasar hidup itu membuat mereka mampu bertahan dalam segala kondisi. Oleh sebab itu, diperlukan dasar yang dapat mengakomodasi kepentingan seluruhnya, diterima semua pihak, dan menjadi perekat persatuan bangsa.

Dengan kemurahan-Nya, Allah swt menganugerahkan cahaya dari diri-Nya untuk merekatkan bangsa yang majemuk ini melalui pendiri Negara Indonesia.

“Malam sebelum 1 Juni (1945: Pen.), Saudara-saudara, saya menekukkan lutut ke hadirat Allah subhanahu wataala di Kebun Pegangsaan Timur 56, memohon petunjuk daripada Tuhan. Pada saat itu dengan segenap kerendahan budi, saya memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa: Ya Allah, Ya Rabbi, berikanlah petunjuk kepadaku apa yang besok pagi akan kukatakan sebab Engkau Ya Tuhanku mengerti apa yang ditanyakan kepadaku oleh Ketua Dokuritzu Zunbi Tjosakai itu bukan barang yang remeh, yaitu dasar daripada Indonesia Merdeka. Dasar daripada satu negara yang telah diperjuangkan oleh seluruh rakyat Indonesia berpuluh-puluh tahun dengan segenap penderitaannya, yang penderitaan-penderitaan itu sendiri telah aku melihatnya. Dasar daripada Negara Indonesia Merdeka yang menjadi salah satu unsur daripada Amanat Penderitaan Rakyat.

Aku, Ya Tuhan, telah Engkau beri kesempatan melihat penderitaan rakyat untuk mendatangkan Negara Indonesia yang Merdeka itu. Aku melihat pemimpin-pemimpin ribuan, puluhan ribu meringkuk di dalam penjara. Aku melihat rakyat menderita. Aku melihat orang-orang mengorbankan ia punya harta benda untuk tercapainya cita-cita ini. Aku melihat orang-orang didrel mati. Aku melihat orang naik tiang penggantungan.

Bahkan, aku pernah menerima surat sebagai berikut, ‘Bung Karno, besok aku akan meninggalkan dunia ini. Lanjutkanlah perjuangan kita ini.’

Ya Tuhan, Ya Allah, Ya Rabbi, berikanlah petunjuk kepadaku sebab besok pagi aku harus memberi jawaban atas pertanyaan yang maha penting ini.

Saudara-saudara, sesudah aku mengucapkan doa kepada Tuhan ini, saya merasa mendapat petunjuk. Saya merasa mendapat ilham yang berkata: Galilah apa yang hendak engkau jawabkan itu dari Bumi Indonesia sendiri. Galilah di dalam kalbunya rakyat Indonesia dan engkau akan mendapat apa yang harus dijadikan dasar daripada Negara Merdeka yang akan datang. Maka malam itu aku menggali, menggali di dalam ingatanku, menggali di dalam ciptaku, menggali di dalam Bumi Indonesia ini agar supaya sebagai hasil penggalian itu dapat dipakainya sebagai dasar daripada Negara Indonesia Merdeka yang akan datang…." (Pidato Bung Karno, 1 Juni 1964 pada peringatan 19 tahun lahirnya Pancasila).

Atas anugerah Allah swt dan penggalian dari dalam Bumi Indonesia, lahirlah Pancasila pada 1 Juni 1945 sebagai Dasar Negara Republik Indonesia. Dasar itu diucapkan Soekarno dalam pidatonya pada tanggal tersebut.

Pancasila telah menjadi alat perekat, pemersatu seluruh kepentingan yang ada di dalam Negara Indonesia. Tak satu pun kelompok yang dikecilkan peranannya oleh Pancasila, apalagi diserang. Pancasila telah mengakomodasi seluruhnya. Ia telah menjadi dasar sekaligus tujuan hidup dalam berbangsa dan bertanah air.

Sesungguhnya, di dalam Pancasila-lah letaknya sumber kekuatan kita. Benar, hakikatnya sumber kekuatan itu dari Allah swt. Akan tetapi, dalam menjalankan proses berbangsa dan bernegara Allah swt telah memberikan Pancasila sebagai kekuatan kita. Di sanalah sebenarnya potensi terbesar kejayaan negeri ini.

Dengan Pancasila, kita akan menjadi bangsa yang terkuat, terhormat, dan berbudi luhur di atas muka Bumi ini. Pancasila merupakan produk yang lebih tinggi dibandingkan kapitalis dan komunis. Tekanan dalam ajaran kapitalis maupun komunis adalah pada nilai pemenuhan terhadap benda, materi, duniawi, sedangkan tekanan dalam Pancasila adalah nilai spiritual yang menjadikan manusia dapat mengendalikan potensi benda, materi, dan duniawi demi kepentingan bersama, untuk menjadi pelengkap dalam menyeimbangkan kehidupan.

Seandainya kita menyadari, niscaya kita tidak hidup sial seperti ini. Kesialan kita disebabkan oleh perilaku kita sendiri yang membuat Pancasila menjadi sial. Allah swt tentunya murka dengan perilaku kita yang jauh dari anugerah yang diberikan-Nya itu.

No comments:

Post a Comment